"Baraka! Biar kami yang hadapi!" teriak seseorang yang ternyata Ki Lumaksono. Ia dan Ki Parandito sempat tersesat jalan dan tiba di tempat ketika Nila Cendani terlempar tadi.
Kedua tokoh tua itu segera melesat mendekati Baraka. "Biar kami yang hadapi, supaya kami tak sakit hati jika beliau terluka!"
Tapi baru saja mereka bersepakat begitu, Sokobumi melepaskan serangannya berupa puluhan bintang yang menyerang kedua tokoh tua dan Baraka. Puluhan bintang itu tentu saja berkekuatan tenaga dalam sangat tinggi. Gerakannya sangat cepat dan nyaris tidak terlihat lagi.
"Awas...!" teriak Baraka sambil menendang dengan kedua kaki ke kiri dan ke kanan secara serempak.
Tendangan itu mengenai tubuh Ki Lumaksono yang ada di kirinya dan Ki Parandito yang ada di kanannya. Akibatnya mereka berdua terlempar jauh dan terhindar dari puluhan bintang berbahaya itu. Sedangkan untuk menyelamatkan dirinya, Baraka segera mengibaskan Suling Naga Krishnanya ke depan.
Wuuut...!
"Aku butuh bantuanmu.""Indah sekali. Belum-belum sudah butuh bantuan.""Aku terpaksa menghubungimu, karena tak punya senopati.""Begitukah...!"Asmaradani, Ratu Samudera Kencana, anggukkan kepala dengan gemulai. Bau wewangiannya menyerap ke dalam hati sanubari Pendekar Kera Sakti. Lama-lama mata indah itu mulai berkaca-kaca. Wajah cantik ceria menjadi tersaput duka.Ratu Samudera Kencana melelehkan air mata. Baraka trenyuh, lalu menghapus air mata yang meleleh sampai di pertengahan pipi. Ia menghapus dengan jari telunjuk yang ditekuk dan digunakan sebagai menadah butiran air mata itu."Jangan menangis, Asmaradani. Aku akan datang menolongmu," bisik Baraka dengan nada mesra sekali. "Sebutkan kesulitanmu dan aku akan lakukan apa yang seharusnya kulakukan."Asmaradani menatap dengan penuh perasaan. Jari-jemarinya yang lentik indah itu meraba pipi Baraka. Pendekar tampan berbaju rompi kulit ular emas tanpa lengan itu membiarkan pipinya d
Ternyata seorang pemuda berusia sekitar dua puluh enam tahun. Kurus dan berpakaian rompi keemasan. Pemuda itu juga membawa suling berwarna keemasan yang terselip di sabuk pinggangnya. Melihat wajahnya yang pucat tegang dengan bibir berdarah, pemuda itu pasti habis dihajar oleh seseorang, ia malahan bersembunyi di balik pohon besar yang dipakai bersembunyi oleh Baraka di atasnya. Pemuda itu tak tahu kalau di atasnya ada orang bersembunyi pula.Mungkin karena panik, takut, ngos-ngosan, sehingga pemuda kurus itu tak sadar bicara sendiri dengan gemetar. "Ya ampuuun... dosa apa aku ini kok sampai dikejar-kejar orang? Mimpi apa aku semalam kok sampai dihajar orang? Kalau tadi aku tak segera lari, pasti aku dibunuh oleh orang itu. Ihh... mengerikan. Goloknya tajam sekali. Kalau aku dibacok pakai golok itu, oooh... ngeri! Ngeri sekali membayangkannya."Di atas pohon Pendekar Kera Sakti mendengarkan dengan seksama."Wah... itu dia orangnya!" ucap pemuda itu dengan tenang
Mat Paung mencabut goloknya dan ingin menebaskan ke bagian kaki. Ia bermaksud memotong kaki pemuda itu sebagai pelajaran. Tetapi ketika golok terangkat, Baraka melepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya lagi ke pergelangan tangan Mat Paung.Teess...!Tangan yang memegang golok itu tersentak ke samping dan goloknya lepas bagaikan dibuang begitu saja. Tapi Mat Paung sempat memekik kesakitan dengan wajah menyeringai dan melangkah mundur dua tindak, ia memegangi lengan kanannya memakai tangan kiri dan menggamitnya ke dekat paha."Uuuh...! Bangsat kau! Kau punya ilmu tapi tidak bilang-bilang. Uuhh...! Ternyata apa yang dikatakan orang-orang itu memang benar, kau berilmu tinggi. Tapi... tapi aku yakin ilmumu tak setinggi ilmuku, Setan Alas!""Buk... bukan aku, Kang...! Sumpah... summ... sumpah...! Aku tidak menyakitimu, Kang," bocah muda itu ketakutan walau ia sudah bangkit dan hendak melarikan diri. Langkahnya terhenti karena di sisi lain ia dihadang Brojo yang mulutn
"Delapan hari yang lalu aku sedang berada di Pulau Serindu menengok calon istriku," pikir Baraka.Hening tercipta sejenak. Baraka terbayang wajah Ki Empu Sakya yang pernah ditolongnya saat terancam keserakahan Wiratmoko dalam persoalan keris itu juga, ia sama sekali tak menduga kalau Ki Empu Sakya ternyata sudah tiada. Berita itu baru saja diterimanya, karena ia pergi ke Pulau Serindu menengok Hyun Jelita selama enam hari. Baru sekarang ia tiba di tanah Jawa, dan tahu-tahu mendengar kabar tersebut."Aku sudah bilang kepada orang-orang Perguruan Lumbung Darah itu bahwa aku tidak memiliki keris pusaka tersebut, tapi mereka tetap tidak percaya.""Mengapa mereka menduga keras kaulah pemilik keris itu"' tanya Baraka."Karena mereka sangka aku bernama Baraka!""Hahh...!" Baraka terkesiap memandang pemuda kurus."Padahal namaku Sabani, bukan Baraka. Enak saja, aku disamakan dengan Baraka. Gantengnya saja sudah tentu ganteng aku, ya Kang?""H
PENGEJARAN terhadap diri Ratu Tanpa Tapak kehilangan jejak. Berhari-hari Baraka tidak temukan perempuan yang ingin menjadi penguasa di seluruh jagat raya itu. Akhirnya Baraka putuskan untuk menghentikan pengejaran, ia berangkat ke Pulau Serindu untuk menengok Hyun Jelita. Kepergiannya itu didampingi oleh Ki Bwana Sekarat, si tukang tidur, karena memang dialah yang diutus mencari Baraka oleh sang Ratu negeri Puri Gerbang Kayangan itu. Sedangkan Pelangi Sutera tetap tinggal di tempat dan tidak mengetahui kepergian Baraka.Berawal dari situlah, ternyata sebuah peristiwa yang tak diduga-duga itu terjadi dengan sangat menyedihkan. Ki Empu Sakya dibunuh seseorang dan tersebarlah berita bahwa Baraka adalah pembunuh Ki Empu Sakya. Tersebar pula kabar, bahwa keris pusaka milik Ki Empu Sakya yang bernama Keris Setan Kobra itu telah dicuri oleh Baraka dengan cara membunuh Ki Empu Sakya lebih dulu. Siapa yang menyebarkan berita itu pertama kalinya, tak diketahui secara pasti. Yang jelas,
"Hahh...!" mereka saling terkejut dan sama-sama saling pandang dengan tegang.Dua di antaranya tampak cemas. Dua lagi tampak memberanikan diri. Salah satu dari yang memberanikan diri itu berkata keras."Kalau begitu kami harus memaksamu agar mau serahkan keris itu!""Aku tidak mempunyai Keris Setan Kobra, dan aku tidak membunuh Ki Empu Sakya, karena beliau termasuk orang yang kuhormati!""Omong kosong! Kau harus dipaksa rupanya.Hiiaat...!"Orang itu melompat dengan mengibas-ngibaskan sabit kembarnya di kanan kiri. Kibasan sabit kembar itu menimbulkan bunyi yang membuat merinding orang awam. Tetapi Baraka tetap diam dan tenang. Rupanya ia cepat-cepat pergunakan ilmu 'Tukar Raga' sejak mendengar penjelasan mereka. Maka, ketika si Sabit Kembar membabatkan sabitnya ke lengan Baraka, temannya yang menggenggam tombak bergagang pedang lengkung itu memekik kesakitan."Aoooww...!"Sabit Kembar berpaling memandangi teman yang menjerit,
"Tapi itu bukan aku, Mega Dewi. Tidak semua orang yang membawa suling emas adalah Pendekar Kera Sakti!""Pendekar biasa lebih mustahil lagi jika bisa membunuh Ki Empu Sakya. Aku tahu seberapa tinggi ilmu Ki Empu Sakya. Aku bukan anak kecil yang bisa kau bohongi dengan dalih-dalihmu, Baraka!"Sedih sekali hati Pendekar Kera Sakti mendengar kata-kata Mega Dewi. Menurutnya, itu baru satu orang teman yang tidak percaya, bagaimana jika sampai semua temannya tidak mau percaya lagi kepadanya? Padahal memperoleh kepercayaan itu lebih sulit daripada memperoleh kemenangan dalam suatu pertarungan.Pada dasarnya, Baraka mengakui kebenaran kata-kata Mega Dewi. Orang yang bisa membunuh Ki Empu Sakya pasti orang berilmu tinggi, itu memang benar. Baraka juga mengakui bahwa Ki Empu Sakya orang berilmu tinggi. Jika tidak berilmu tinggi beliau tidak akan mungkin bisa melihat noda merah di kening Baraka, yaitu lambang penghargaan yang diberikan oleh Gusti Ratu Hyun Ayu Kartika Wang
Melihat Raja Maut bertarung dengan seorang wanita cantik namun berkesan galak itu, Baraka tak bisa tinggal diam. Apalagi pelayaran perahunya harus melintasi tempat itu. Pada mulanya Baraka tidak mengenal perempuan yang bertarung dengan Raja Maut.Tetapi prajurit yang menyertainya dalam perahu itu berkata, "Perempuan itulah yang bernama Nyai Demang Ronggeng, penguasa Pulau Blacan yang tampak dari sini itu.""Ooo... ya, ya, ya... aku mengerti sekarang," kata Baraka sambil manggut-manggut."Aku pernah dengar cerita permusuhan Raja Maut dengan Nyai Demang Ronggeng. Pasti persoalan Kitab Sukma Sukmi yang dicuri oleh Nyai Demang Ronggeng dari tangan gurunya si Raja Maut.""Saya malah tidak dengar cerita itu, Gusti Manggala Yudha," kata prajurit tersebut kepada Baraka. Gusti Manggala Yudha memang pangkat dan sebutan Baraka di kalangan orang-orang Puri Gerbang Kayangan.Kedudukannya lebih tinggi dari sang Ratu Mahkota Sejati Ratu Ayu Sejagat, karena kehorm
Tetapi tiba-tiba sekelebat Sinar putih perak dari telapak tangan sang pengintai melesat lebih dulu sebelum Rajang Lebong lepaskan jurus 'Pasir Neraka' andalannya.Zlaaap...!Sinar putih perak yang dinamakan jurus 'Tapak Dewa Kayangan' itu tepat kedai dada Rajang Lebong.Deeub...! Blaaarrr...!Apa yang terjadi sungguh tak diduga-duga oleh Pangkas Caling. Tubuh Rajang Lebong hancur. Pecah menjadi serpihan-serpihan daging dan tulang yang menyebar ke mana-mana. Bahkan darahnya sendiri tak bisa terkumpulkan. Ada yang membasahi batu, pohon, daun, ilalang, dan ke mana saja tak jelas bentuknya, hanya warna merah yang membuat alam sekitarnya bagai berbunga indah. Sedangkan Pangkas Caling gemetar antara takut dan memendam murka, ia sempat berkata pada dirinya sendiri, "Kalau begini matinya, bagaimana aku bisa meludahi Rajang Lebong? Apanya yang harus kuludahi! Celaka! Ada orang yang membantu kedua pendeta itu! Ilmunya pasti lebih tinggi! Sebaiknya aku harus lekas-l
Tubuh Pangkas Caling tak kelihatan setelah terjadi kilatan cahaya terang warna ungu akibat benturan tadi. Tubuh kedua pendeta itu terjungkal lima langkah dari jarak tempat berdiri mereka tadi. Hidung mereka sama-sama keluarkan darah, dan wajah mereka sama-sama menjadi pucat. Mereka sendiri tak sangka kalau akan terjadi ledakan sedahsyat itu."Jantung Dewa, apakah kita masih hidup atau sudah di nirwana?""Kukira kita masih ada di bumi, Mata Lima," jawab Pendeta Jantung Dewa dengan suara berat dan napas sesak. Getaran bumi terhenti, angin membadai hilang. Gemuruh bebatuan yang longsor bersama tanahnya pun tinggal sisanya. Kedua pendeta itu sudah tegak berdiri walau sesak napasnya belum teratasi. Tapi pandangan mata para orang tua itu sudah cukup terang untuk memandang alam sekitarnya.Pada waktu itu, keadaan Rajang Lebong yang sudah mati ternyata bisa bernapas dan bangkit lagi. Sebab sebelum Pangkas Caling menyerang, terlebih dulu meludahi wajah Rajang Lebong. Tet
Bersalto di udara dua kali masih merupakan kelincahan yang dimiliki orang setua dia. Kini keduanya sudah kembali mendarat di tanah dan langsung menghadang lawannya, tak pedulikan sinar kuning tadi kenai pohon itu langsung kering dari pucuk sampai akarnya."Rajang Lebong dan Pangkas Caling, mau apa kalian menyerang kami!" tegur Pendeta Jantung Dewa dengan kalem. Senyum Pangkas Caling diperlihatkan kesinisannya, tapi bagi Pendeta Jantung Dewa, yang dipamerkan adalah dua gigi taring yang sedikit lebih panjang dari barisan gigi lainnya. Pangkas Caling menyeringai mirip hantu tersipu malu.Sekalipun yang menyeringai Pangkas Caling, tapi yang bicara adalah Rajang Lebong yang punya badan agak gemuk, bersenjata golok lengkung terselip di depan perutnya. Beda dengan Pangkas Caling yang bersenjata parang panjang di pinggang kirinya."Kulihat kalian berdua tadi ada di Bukit Lajang!""Memang benar!" jawab Pendeta Jantung Dewa. Tegas dan jujur."Tentunya kalian
RESI Wulung Gading mengatakan, bahwa Seruling Malaikat tidak mempunyai kelemahan. Satu-satunya cara menghadapi Seruling Malaikat adalah, "Jangan beri kesempatan Raja Tumbal meniup Seruling itu!"Pendekar Kera Sakti punya kesimpulan, "Harus menyerang lebih dulu sebelum diserang. Karena jika Raja Tumbal diserang lebih dulu, maka ia tidak punya persiapan untuk meniup serulingnya. Syukur bisa membuat dia tidak punya kesempatan untuk mengambil pusaka itu!Itu berarti Baraka harus lakukan penyerangan mendadak ke Lumpur Maut. Padahal ia tidak mengetahui di mana wilayah Lumpur Maut. Maka, hatinya pun membatin, "Aku harus minta bantuan Angin Betina! Di mana perempuan itu sekarang?"Pendekar Kera Sakti dihadapkan pada beberapa persoalan yang memusingkan kepala. Pertama, ia harus mencari di mana Angon Luwak, agar Pedang Kayu Petir yang ada di tangan anak itu tidak jatuh ke tangan orang sesat. Kedua, ia harus temukan Delima Gusti dan memberi tahu tentang siasat Raja Tumbal
Diamnya Baraka dimanfaatkan oleh Angin Betina untuk berkata lagi, "Aku suka padamu, dan berjanji akan melindungimu!""Berani sekali kau berkata begitu padaku. Apakah kau tak merasa malu, sebagai perempuan menyatakan isi hatimu di depanku?""Aku lebih malu jika kau yang menyatakan rasa suka padaku lebih dulu!""Aneh!" Baraka tertawa, tapi tiba-tiba Angin Betina menyentak lirih, "Jangan tertawa!""Kenapa" Aku tertawa pakai mulutku sendiri!""Tawamu makin memancing gairahku," jawabnya dalam desah yang menggiring khayalan kepada sebentuk kehangatan. Baraka hanya tersenyum, matanya sempat melirik nakal ke dada Angin Betina. Perempuan itu pun berkata lirih lagi, "Jangan hanya melirik kalau kau berani! Lakukanlah! Tunjukkan keberanianmu sebagai seorang lelaki yang mestinya mampu tundukkan wanita sepertiku!"Baraka kian lebarkan senyum dan menggeleng. "Tidak. Anggap saja aku pengecut untuk urusan ini! Selamat tinggal!"Zlaaap...! Weesss...!
"Apa bahaya itu?""Mereka terancam oleh orang-orang Lumpur Maut."Baraka berkerut dahi secepatnya. "Raja Tumbal, maksudmu?""Ya. Raja Tumbal bermaksud menaklukkan kedua biara itu, sebab kedua biara itu dianggap perguruan yang berbahaya jika sampai bersatu. Selama ini kedua biara itu tidak bisa bersatu karena ada perbedaan pendapat mengenai aliran kepercayaan mereka. Ancaman dari Raja Tumbal itulah yang membuat mereka harus bisa mendapatkan Pedang Kayu Petir, sebab mereka tahu bahwa Raja Tumbal telah memiliki pusaka Seruling Malaikat.""Bukankah Pedang Kayu Petir sudah ada di tangan Raja Tumbal?"Angin Betina gelengkan kepala dengan tenang."Tidak mungkin, sebab jika Raja Tumbal sudah memiliki pedang yang asli, tentunya kedua biara sudah diserangnya, negeri Muara Singa sudah direbutnya, dan negeri-negeri lain sudah ditumbangkannya. Sampai sekarang Raja Tumbal belum mau bergerak, sebab ia punya firasat munculnya pedang maha sakti itu. Ia harus
Tak ada jawaban. Ilmu ‘Ilmu Menyadap Suara Angin’ digunakan. Ternyata memang tak ada suara siapa-siapa ditempat itu. Akhirnya Baraka duduk di salah satu tepi danau itu."Ke mana anak itu? Jika tak ada di sini, berarti dia berlari dan bersembunyi di tempat lain. Tapi di mana kira-kira? Haruskah kutanyakan kembali kepada Sabani, kakaknya? Ah, capek kalau harus bolak-balik ke sana."Sesaat kemudian di hati Pendekar Kera Sakti timbul kecemasan yang samar-samar. "Jangan-jangan dia terperosok di jurang sebelah timur tadi? Ah, mudah-mudahan tidak demikian. Biarlah kedua pendeta bodoh itu yang terperosok di jalanan tepi jurang timur itu. Kalau tidak terperosok pasti mereka sudah mengejar dan menemukanku di sini. Seandainya mereka menemukanku di sini dan menyerangku, apakah aku harus melumpuhkan mereka?"Pikiran Baraka sempat melayang-layang tak tentu arah. Tapi segera dikembalikan pada pokok persoalannya, ia masih merasa tak habis pikir, mengapa ked
Jaaab...!Tanah keras itu merekah, dari rekahannya keluar asap putih dan cahaya sinar biru membara di dalamnya. Kejap berikutnya tanah itu kembali utuh, namun rumput-rumputnya rontok dan mengering kecoklatan."Mana dia tadi?" Pendeta Jantung Dewa mencari-cari Baraka tanpa menengok kepada kakaknya. Pendeta Mata Lima juga menengok ke sana-sini dan begitu menengok ke belakang terpekik kaget."Hahhh...!"Wajahnya lucu. Wajah tua berkumis dan berwibawa itu membelalakkan mata dan melebarkan mulut karena kaget. Bahkan tubuhnya sempat terlonjak satu tindak ke samping. Tapi wajah itu buru-buru dibuat tenang dan berwibawa, walau yang terlihat adalah wajah menahan rasa malu dan jengkel. Sedangkan Pendeta Jantung Dewa tetap tenang memandangi Baraka yang tersenyum geli melihat kelucuan wajah Pendeta Mata Lima itu."Hebat sekali kau bisa hindari jurus 'Jala Surga'-ku," kata Pendeta Jantung Dewa sambil manggut-manggut."Tapi dapatkah kau tetap bertahan den
Baraka ingin berkecamuk lagi di dalam hatinya, tapi ia batalkan karena kecamuknya akan diketahui oleh Pendeta Mata Lima. Kini ia bahkan berkata dengan tegas dan lebih bersikap berani."Eyang-eyang Pendeta, saya mohon maaf tidak bisa membantu maksud Eyang. Jadi, izinkan saya lewat tanpa ada sikap memaksa!""Tidak bisa!" si Mata Lima berkata dengan tegas juga. "Kami tak bisa lepaskan orang yang tahu tentang pedang itu! Dengan menyesal dan sangat terpaksa, aku harus tunjukkan padamu bahwa kami benar-benar membutuhkannya!""Apa maksud kata-katanya?" pikir Baraka setelah mereka bertiga sama-sama diam. Tapi mata Baraka segera melihat bahwa tasbih hitam yang ada di tangan Pendeta Mata Lima itu diremas-remas semakin kuat.Remasan itu kepulkan asap putih, dan tiba-tiba Baraka rasakan perutnya bagai dipelintir sekuat tenaga, hingga akhirnya ia jatuh terbanting."Uuhg...!"Bruuk...!"Gila! Rupanya dia telah serang diriku dengan kekuatan batinnya