Embun Salju manggut-manggut. Kemudian ia berkata kepada Minarsih, "Bagaimana luka-lukamu" Masih terasa sakit?"
"Hanya perih sedikit, Guru!"
"Itu berarti sebentar lagi lukamu akan sembuh, bibirmu yang robek akan mengering Dan..., sebaiknya keluarlah dulu. Aku mau bicara berdua dengan Dewi Anjani."
"Baik, Guru!"
Di luar, Minarsih kembali bercerita dengan penuh semangat dan berapi-api. Beberapa temannya mengerumuni, termasuk Jongos Daki yang merasa tertarik dengan berita aneh tersebut. Jongos Daki menyimak tiap kata yang diucapkan Minarsih, seolah-olah mencatatnya dalam otak.
Sementara itu, di dalam ruang penyembuhan, Embun Salju bertanya kepada Dewi Anjani, "Apa yang kau maksud dengan ketidakberesan Minarsih tadi?"
"Dia mengarang sebuah cerita seru untuk menutupi sesuatu yang belum jelas kita ketahui!"
"Minarsih berbohong kepada kita?"
"Betul, Guru!"
"Tidak mungkin!" bantah Embun Salju. "Minarsih bicara apa adanya. Aku mel
Mereka segera bergegas mencari tempat berlindung. Sebongkah batu karang besar menjadi sasaran berlindung mereka. Mata mereka memandang ke arah sebatang pohon berdaun merah kehitaman. Dari bawah pohon itulah Mahasi melihat sinar merah tadi menyerang mereka. Jika ia tidak menendang Dewi Anjani, maka Dewi Ajani akan menjadi bubuk seperti perahu tersebut."Siapa yang menyerang kita!" tanya Dewi Anjani dengan tegang karena amarahnya menjadi meluap namun tertahan di dalam dada."Entah! Tak kulihat manusianya. Aku hanya melihat sinar merah yang melesat dari bawah pohon itu!""Pancinglah dengan pukulan jarak jauhmu! Saran Dewi Anjani.Mahasi segera berdiri dan melepaskan pukulan jarak jauhnya yang memancarkan sinar kuning panjang berkelebat bagai bintang jatuh dari langit.Wuuuttt...! Blarrr...!Tanah di bawah pohon besar berdaun merah kehitaman itu menyembur ke atas dalam satu ledakan. Pohon besar itu berguncang, daunnya yang keringpun berguguran.
"Benar. Dari mana kau tahu?""Aku hadir di Arena Pertarungan itu! Aku melihat kehebatanmu, dan aku terkesan dengan ilmu pedangmu! Tapi untuk saat-saat fajar begini, kau tidak akan bisa menandingi ilmu pedangku, Pendekar Kera Sakti""Apa maksudmu berkata begitu!""Serahkan pedang emas di tanganmu itu, atau kau kubantai seperti saat membantai Mahendra Soca, si Wajah Hitam itu!""Boleh kau ambil pedang ini, asal kau bisa mengejarku!"Zlapppp...!Pendekar Kera Sakti berlari melebihi hembusan badai. Tahu-tahu ia berada jauh di ujung sana. Ratu Fajar Garang terbegong memandang gerakan Baraka yang begitu cepatnya. Dari sana terdengar Baraka berseru, "Fajar Garang! Ambillah pedang ini kalau kau mampu menjamahnya!""Keparat kau, Pendekar Kera Sakti! Aku tak akan terpancing oleh kelicikanmu! Hiaaah...!"Wuttt...!Ratu Fajar Garang menyerang Kirana yang tersenyum-senyum melihat Baraka melakukan rencana yang dibisikkan tadi.
Wuttt...! Brukk...!Kirana disentakkan hingga menabrak Pendekar Kera Sakti. Lehernya tidak jadi digorok oleh Ratu Fajar Garang. Perempuan beruban rata itu segera lari menuju ke pedang emas yang tergeletak di rerumputan. Tetapi, pada saat itu pula tangan kanan Baraka bergerak menyentak ke depan dalam keadaan telapak tangan terbuka miring.Sett...!Zlap zlappp...!Jurus 'Manggala' dikeluarkan oleh Baraka. Dari tangan yang disentakkan, meluncur dua pisau kecil yang tak terlihat oleh mata telanjang. Pisau itu melesat begitu cepatnya dan menancap masuk ke punggung Ratu Fajar Garang.Pada waktu itu, perempuan tersebut sedang mau mengambil pedang dalam gerakan membungkuk. Dan ketika ia terkena jurus 'Manggala', keadaannya menjadi tetap diam dan tak bergerak sebagaimana posisi mengambil pedang. Suaranya tak ada, gerakannya pun hilang.Kirana memandangnya dengan rasa takjub. Ia membatin, "Lagi-lagi Pendekar Kera Sakti mengeluarkan ilmu totoknya yang
Embun Salju terdesak mundur oleh serangan Nini Pasung Jagat. Bahkan satu kali ia terkena pukulan bercahaya biru dari tangan Nini Pasung Jagat. Segera Mahasi dan Dewi Anjani memerintahkan beberapa murid lainnya untuk memagari Embun Salju."Nyai Guru harus beristirahat dulu! Jangan teruskan penyerangan ini!" kata Dewi Anjani."Siapa yang akan menahan amukan Nini Pasung Jagat itu kalau bukan aku? Kalian akan mati sia-sia kalau mencoba menyerangnya!""Kami akan pancing dia agar menjauh dari kuil ini!" kata Mahasi.Lalu, Dewi Anjani menambahkan kata, "Kami ulur waktu sampai Pendekar Kera Sakti tiba di sini!""Apa Jongos Daki sudah berangkat?""Sudah sejak tadi, Guru!" jawab Dewi Anjani."Guru terluka dan harus disembuhkan dulu! Kami akan ulur waktu untuk menunggu kedatangan Pendekar Kera Sakti!""Baik, Baik...! Tapi lukaku ini tak seberapa. Tak perlu cemas!" kata Embun Salju sambil melangkah mundur."Buat dia agar sibuk ke ar
"Aha...! Pedang Wukir Kencana ada di tanganmu, Baraka! Oooh...ho ho ho...! Pucuk dicinta ulam tiba! Itu yang kucari-cari!""Barangkali kematian yang kau cari, bukan pedang ini, Nini!""Dengar Cah bagus kayak tikus...! Pedang itu adalah milik guruku, dan hanya murid-muridnya yang berhak memegang dan memiliki pedang emas itu! Ki Padmanaba atau aku! Bukan kau! Karena kau bukan murid Guru kami, Baraka!""Tapi aku yang mendapat amanat dari Ki Padmanaba untuk menyelamatkan pedang ini, agar tak jatuh ke tangan orang-orang sesat seperti kamu, Nini!""Kalau kau nekat menggunakan pedang itu, maka kau akan mati termakan kutuk yang ada di dalam kekuatan pedang itu!"Kirana berteriak dari jauh, "Jangan percaya, Baraka!"Pendekar Kera Sakti tersenyum memandangi Nini Pasung Jagat yang tampak berang mendengar seruan Kirana. Tapi Nini Pasung Jagat tidak menghiraukan seruan tersebut, ia maju setindak sambil mengulurkan tangannya dengan pelan, "Berikan padaku!
Tetapi kemunculan itu membuat hati Kirana menjadi seperti ditusuk dengan seribu jarum berkarat. Dendam di dalam hatinya terbakar lagi. Bayangan saat orang seperti raksasa itu memperkosa ibu dan seorang kakaknya, terbayang jelas di mata Kirana. Sekalipun waktu itu Logayo masih muda, tapi Kirana masih ingat dengan wajahnya, brewoknya, matanya yang lebar ganas dengan alisnya yang tebal, tubuhnya yang besar, suaranya yang berat dan besar itu juga, semuanya melekat erat dalam ingatan Kirana.Pelan-pelan Kirana bangkit dengan jantung bergemuruh, berdebar debar dan sedikit gemetar. Tinggal satu orang itu yang belum dilenyapkan oleh dendam Kirana. Kini orang tersebut muncul di depan Pendekar Kera Sakti dan berkata dengan gaya memuakkan, "Hebat sekali jurus pedangmu, Anak Muda! Aku terkesima melihat jurusmu yang luar biasa itu! Tapi kau menggunakan pedang emas milik Ki Padmanaba kelihatannya! Apakah kau telah mencuri pedang itu dari tangan bekas adik iparku, hah!""Aku tak kena
Kirana menatap Baraka, mata gadis itu berkaca-kaca memandangnya. Kemudian, meleleh air matanya ketika ia terbayang wajah-wajah keluarganya, ayahnya, ibunya, dan satu persatu wajah kakak perempuannya yang berjumlah lima orang itu. Seakan Kirana telah menebuskan nyawa mereka dengan membantai seluruh orang yang terlibat dalam peristiwa perampokan di rumahnya itu.Dengan matinya Logayo, pimpinan perampok dan pemerkosa kelima kakak serta ibunya itu, Kirana semakin menyadari bahwa sekarang hidupnya benar-benar telah sendirian. Tanpa arah dan tujuan yang pasti. Tanpa dendam dan kegelisahan lagi. Maka, menangislah ia dalam pelukan Pendekar Kera Sakti, sementara Pendekar Kera Sakti pun berusaha menenangkan tangis itu dengan bisikan-bisikan yang meneduhkan hati Kirana.Pedang emas telah dimasukkan ke dalam sarungnya. Pendekar Kera Saktipun segera menuntun Kirana untuk melangkah dalam rangkulan kasih sayangnya.Ketika menuruni bukit, mereka berpapasan dengan Embun Salju ya
DARI balik kerimbunan hutan berpohon rapat, terdengar suara jeritan yang panjang dan memilukan. Siapa yang menjerit, itu tak jelas. Yang pasti jeritan itu adalah jeritan kematian. Suaranya yang melengking menggema panjang itu bagaikan membangunkan setiap jasad yang sudah terkubur mati.Sementara itu, hembusan angin cukup kencang dan menderu. Gumpalan awan hitam bergulung-gulung di langit, menyekap matahari, membuat alam terasa mati. Sesekali terdengar gelegar petir melecutkan lidahnya bagai ingin membelah langit.Agaknya alam yang memberikan tanda-tanda bagai kiamat datang itu tak dihiraukan oleh tiga orang berusia sebaya itu. Satu di antaranya telah terkapar mati tanpa darah. Dua dari mereka masih melanjutkan pertarungannya dengan sengit.Rupanya mereka bertarung di atas dataran berbatu rata. Dataran tersebut adalah lantai dari sebuah petilasan keraton yang telah hancur sekian puluh tahun yang lalu, bahkan mungkin sekian ratus tahun yang lalu. Sisa pilar-pilarn
"Kalau kau membentak-bentakku, sebaiknya aku pergi saja dan silakan cari pakaianmu sendiri!" Baraka berpura-pura ingin pergi."Tunggu!" teriak gadis itu. "Baiklah, aku tidak membentakmu lagi," suaranya mereda. "Tolonglah, carikan pakaianku, nanti kuberi upah.""Apa upahnya?""Akan kuajarkan padamu sebuah jurus yang jarang dimiliki orang."Senyum Pendekar Kera Sakti melebar. "Jurus apa itu?""Jurus pukulan 'Malaikat Rela'," jawab gadis itu dengan suaranya yang selalu keras dan bening.Baraka sempat tertawa dalam gumam. "Lucu sekali nama jurus itu.""Jangan menertawakan. Kalau kau tahu kehebatan jurus itu kau akan terbengong-bengong!""Apa kehebatannya?""Pukulan 'Malaikat Rela' dapat merobohkan delapan pohon dalam satu kali hentakan. Jika dilepaskan kepada lawanmu, dia akan tumbang setelah bernapas tiga kali. Percayalah, jurus itu tak ada yang memiliki kecuali diriku. Maka carilah pakaianku dan kau akan kuajarkan jurus te
"Ahg...!" Dampu Sabang tersentak dan diam seketika dengan tangan masih mau disentakkan. Lama sekali dia tak bergerak. Kelana Cinta dan Raja Hantu Malam sempat merasa heran melihat Dampu Sabang bagaikan menjadi patung. Tetapi ketika angin berhembus kencang, mereka terkejut melihat tubuh Dampu Sabang berhamburan ke mana-mana. Rupanya pada saat itu Dampu Sabang sudah tak bernyawa lagi. Pisau-pisau kecil itu telah membuat Dampu Sabang berubah menjadi debu yang masih saling bergumpalan. Itulah kehebatan dan kedahsyatan jurus 'Manggala' milik Pendekar Kera Sakti, pemberian dari Ratu Hyun Ayu Kartika Wangi, calon mertuanya itu.Dengan terbunuhnya tubuh Dampu Sabang, maka persoalan Raja Hantu Malam palsu pun terselesaikan. Ki Randu Papak segera ditolong olah Baraka menggunakan hawa ‘Kristal Bening’-nya, dan Baraka meminta maaf kepada tokoh tua yang bijak itu. Sedangkan Ratu Asmaradani tubuhnya menjadi pulih seperti sediakala, terbebas dari pengaruh 'Racun Siluman' yang ju
Praaak...! Terdengar seperti suara cermin pecah. Lalu sinar biru itu menghantam tubuh Raja Hantu Malam.Zruub! Tepat mengenai iga kanan Raja Hantu Malam."Aaahhhg...!" Raja Hantu Malam mengejang dengan kepala terdongak dan kedua kakinya menekuk ke depan. Sekujur tubuhnya berasap, warna kulitnya menjadi merah retak-retak.Baraka terbelalak melihat keadaan Raja Hantu Malam. Lukanya sangat parah, tapi agaknya ia bertahan untuk tetap lakukan serangan ke arah Dampu Sabang. Tapi serangannya sangat lunak dan mudah dihindari Dampu Sabang yang tertawa terbahak-bahak kegirangan. Baraka dalam kebimbangan. Mau menolong, tapi yang ditolong adalah yang menjadi musuhnya dan ingin dibinasakan jika tak mau tawarkan racun yang mengenal Ratu Asmaradani. Jika ia tidak menolong, ia tak tega melihat orang yang pernah dikagumi itu menderita siksaan begitu keji.Dalam keadaan bimbang itu, tiba-tiba Baraka dikejutkan oleh gerakan halus yang datang dari arah belakangnya. Baraka ce
Rupanya Ki Randu Papak berlari menuju arah datangnya sinar merah yang meletup di angkasa tadi. Tetapi gerakannya mampu dipatahkan oleh Baraka yang tahu-tahu menghadang langkahnya.Jleeg...!"Mau lari ke mana kau, Raja Hantu Malam!" tegur Baraka tak ramah lagi."Baraka, minggirlah dulu. Aku punya urusan dengan seseorang! Setelah kuselesaikan urusanku ini, kita bicara lagi mencari kebenaran fitnah itu!""Tak kubiarkan kau lari tinggalkan tanggung jawabmu. Raja Hantu Malam!""Jangan paksa aku melukaimu, Baraka!""Tidak. Aku hanya ingin paksa dirimu mengobati Ratu Asmaradani yang terkena 'Racun Siluman' itu!""Itu bukan tanggung jawabku, Baraka! Aku tidak melakukannya!" sentak Ki Randu Papak. "Tapi kalau kau ingin aku membantumu, aku sanggup membantumu. Tapi nanti, setelah kuselesaikan urusanku dengan Dampu Sabang!""Sekarang juga kau harus lakukan penyembuhan terhadap Ratu Asmaradani!""Tidak bisa! Aku sudah punya janji unt
Perubahan wajah yang ada pada Ki Randu Papak tampak jelas sebagai ungkapan rasa kaget, namun juga rasa tidak percaya. Baraka sengaja diam untuk menunggu kata-kata dari sang kakek itu."Apa maksudmu dengan mengatakan aku menipumu, Pendekar Kera Sakti? Kata-katamu menyimpang dari watak kependekaranmu yang harus bicara jujur.""Aku bicara yang sebenarnya, Ki Randu Papak. Kau boleh buktikan sendiri ke Lembah Sunyi. Hanya ada dua murid yang selamat dari pembantaian sadis itu, karena mereka sedang diutus ke pesisir selatan.""Sepertinya kau bicara mengigau. Tapi baiklah, kucoba untuk mempercayai kata-katamu. Lalu, bagaimana dengan Resi Wulung Gading sendiri? Apakah dia ikut menjadi korban?"Baraka menggeleng berkesan dingin, "Resi Wulung Gading bertapa di Gua Getah Tumbal. Mungkin sampai sekarang belum mengetahuinya.""Kalau begitu aku harus ke Gua Getah Tumbal untuk memberitahukan hal itu kepada Resi Wulung Gading!" tegas Ki Randu Papak.Tiba-tib
Blaaar...!Sinar hijau itu pecah menjadi lebar, lalu padam seketika. Tubuh Siluman Selaksa Nyawa terpelanting dalam keadaan mengepulkan asap. Kerudung kain hitamnya hangus sebagian. Mulutnya keluarkan darah kental. Matanya menjadi merah bagai digenangi cairan darah. Tongkat El Mautnya menjadi putih bagaikan dilapisi busa-busa salju."Keparat!" gumamnya lirih, lalu ia sentakkan kaki dan lari tinggalkan tempat itu secepatnya. Baraka pun bergegas mengejar, tetapi Sumbaruni segera berseru, "Biar kubereskan dia!" dan perempuan cantik itu segera melesat dengan cepat mengejar Siluman Selaksa Nyawa. Sedangkan Baraka segera berpaling ke belakang untuk melihat siapa orang yang telah selamatkan jiwanya dari serangan lima larik sinar hijau tadi."Oh, kau...!" Baraka terkejut bukan kepalang.Ternyata orang yang melepaskan sinar merah berbentuk lingkaran tadi adalah Raja Hantu Malam, alias Ki Randu Papak."Kau terlambat sedikit, Baraka! Sinar hijau itu harus dib
Bukit itu tidak terlalu tinggi. Tanamannya tidak begitu rimbun. Bagian puncak bukit termasuk datar dan mempunyai tempat yang enak untuk sebuah pertarungan. Rimbunan semaknya tumbuh secara berkelompokkelompok. Dan di salah satu rimbunan semak berdaun lebar itulah Baraka bersembunyi mengintai sebuah pertarungan. Ternyata pertarungan itu adalah pertarungan yang tidak disangka-sangka oleh Baraka. Bukan pertarungan Raja Hantu Malam melawan Dampu Sabang, melainkan pertarungan antara Sumbaruni dengan orang berkerudung kain hitam dan membawa senjata tombak El Maut yang ujungnya mirip sabit.Orang itu adalah tokoh sesat yang diburu-buru oleh Pendekar Kera Sakti selama ini. Dia tak lain adalah Siluman Selaksa Nyawa, yang mempunyai wajah pucat dan dingin.Tentu saja Pendekar Kera Sakti terkejut sekali melihat tokoh sesat itu muncul di bukit tersebut dan lakukan pertarungan dengan Sumbaruni. Apa persoalan mereka, Baraka tidak tahu secara pasti. Tetapi sebagai orang yang sudah bebe
"Jadi... selama ini kaulah yang memberi kabar tentang pemuda-pemuda yang akan diculiknya?""Ya. Karena itu syarat untuk menjadi muridnya.""Kau salah, Sundari. Kau tidak boleh membantu pihak yang sesat seperti Nyai Sedah itu.""Tapi aku ingin memiliki ilmu seperti yang dimilikinya!""Ada jalan lain, tanpa harus membantunya melakukan kejahatan."Sundari kian menangis di sela malam bercahaya rembulan. Baraka mencoba memahami jalan pikiran lugu gadis desa itu. Akhirnya ia bertanya, "Lalu mengapa kau tadi mau dibunuhnya?""Sejak kemarin ia mencarimu, tapi aku tak mau kasih tahu di mana dirimu! Aku takut kau dijadikan korban seperti pemuda lainnya. Lalu, malam ini ia mendesakku lagi, tapi tidak percaya kalau kukatakan bahwa kau ke puncak. Rupanya dia bermaksud serahkan dirimu kepada suaminya, yang juga sebagai gurunya, ia merelakan diperistri oleh suaminya itu hanya untuk dapatkan ilmu-ilmu sakti seperti yang dimilikinya sekarang ini. Tapi menuru
"Dia ke puncak! Carilah di puncak sana!" jawab Sundari dengan rasa marah yang tak mampu dilampiaskan. Tangisnya kian terdengar jelas dari tempat Baraka bersembunyi di atas pohon."Tidak mungkin, Sundari! Aku bukan orang bodoh yang bisa kau bohongi! Kau ingin menjebakku di puncak sana, bukan!""Ttt... tidak!""Kau bohong! Aku jadi muak padamu!"Sreeet...!Orang berkerudung hitam itu mencabut pisau sepanjang dua jengkal dari balik baju hitamnya. Pisau itu hendak ditikamkan ke dada Sundari. Tapi Baraka segera lepaskan pukulan 'Jari Guntur'-nya lewat sentilan tangan.Taaas...!Tenaga dalam yang dilepaskan lewat sentilan tangannya itu tepat kenai pelipis orang berpakaian hitam.Dees...!Orang itu pun tersentak dan terpelanting ke samping bagaikan terkena tendangan kuda binal. Ia berguling-guling tiga kali, lalu cepat ambil sikap berdiri lagi.Wuuut...! Jleeg...!Baraka turun dari atas pohon langsung berhadapan d