Wuttt...! Brukk...!
Kirana disentakkan hingga menabrak Pendekar Kera Sakti. Lehernya tidak jadi digorok oleh Ratu Fajar Garang. Perempuan beruban rata itu segera lari menuju ke pedang emas yang tergeletak di rerumputan. Tetapi, pada saat itu pula tangan kanan Baraka bergerak menyentak ke depan dalam keadaan telapak tangan terbuka miring.
Sett...!
Zlap zlappp...!
Jurus 'Manggala' dikeluarkan oleh Baraka. Dari tangan yang disentakkan, meluncur dua pisau kecil yang tak terlihat oleh mata telanjang. Pisau itu melesat begitu cepatnya dan menancap masuk ke punggung Ratu Fajar Garang.
Pada waktu itu, perempuan tersebut sedang mau mengambil pedang dalam gerakan membungkuk. Dan ketika ia terkena jurus 'Manggala', keadaannya menjadi tetap diam dan tak bergerak sebagaimana posisi mengambil pedang. Suaranya tak ada, gerakannya pun hilang.
Kirana memandangnya dengan rasa takjub. Ia membatin, "Lagi-lagi Pendekar Kera Sakti mengeluarkan ilmu totoknya yang
Embun Salju terdesak mundur oleh serangan Nini Pasung Jagat. Bahkan satu kali ia terkena pukulan bercahaya biru dari tangan Nini Pasung Jagat. Segera Mahasi dan Dewi Anjani memerintahkan beberapa murid lainnya untuk memagari Embun Salju."Nyai Guru harus beristirahat dulu! Jangan teruskan penyerangan ini!" kata Dewi Anjani."Siapa yang akan menahan amukan Nini Pasung Jagat itu kalau bukan aku? Kalian akan mati sia-sia kalau mencoba menyerangnya!""Kami akan pancing dia agar menjauh dari kuil ini!" kata Mahasi.Lalu, Dewi Anjani menambahkan kata, "Kami ulur waktu sampai Pendekar Kera Sakti tiba di sini!""Apa Jongos Daki sudah berangkat?""Sudah sejak tadi, Guru!" jawab Dewi Anjani."Guru terluka dan harus disembuhkan dulu! Kami akan ulur waktu untuk menunggu kedatangan Pendekar Kera Sakti!""Baik, Baik...! Tapi lukaku ini tak seberapa. Tak perlu cemas!" kata Embun Salju sambil melangkah mundur."Buat dia agar sibuk ke ar
"Aha...! Pedang Wukir Kencana ada di tanganmu, Baraka! Oooh...ho ho ho...! Pucuk dicinta ulam tiba! Itu yang kucari-cari!""Barangkali kematian yang kau cari, bukan pedang ini, Nini!""Dengar Cah bagus kayak tikus...! Pedang itu adalah milik guruku, dan hanya murid-muridnya yang berhak memegang dan memiliki pedang emas itu! Ki Padmanaba atau aku! Bukan kau! Karena kau bukan murid Guru kami, Baraka!""Tapi aku yang mendapat amanat dari Ki Padmanaba untuk menyelamatkan pedang ini, agar tak jatuh ke tangan orang-orang sesat seperti kamu, Nini!""Kalau kau nekat menggunakan pedang itu, maka kau akan mati termakan kutuk yang ada di dalam kekuatan pedang itu!"Kirana berteriak dari jauh, "Jangan percaya, Baraka!"Pendekar Kera Sakti tersenyum memandangi Nini Pasung Jagat yang tampak berang mendengar seruan Kirana. Tapi Nini Pasung Jagat tidak menghiraukan seruan tersebut, ia maju setindak sambil mengulurkan tangannya dengan pelan, "Berikan padaku!
Tetapi kemunculan itu membuat hati Kirana menjadi seperti ditusuk dengan seribu jarum berkarat. Dendam di dalam hatinya terbakar lagi. Bayangan saat orang seperti raksasa itu memperkosa ibu dan seorang kakaknya, terbayang jelas di mata Kirana. Sekalipun waktu itu Logayo masih muda, tapi Kirana masih ingat dengan wajahnya, brewoknya, matanya yang lebar ganas dengan alisnya yang tebal, tubuhnya yang besar, suaranya yang berat dan besar itu juga, semuanya melekat erat dalam ingatan Kirana.Pelan-pelan Kirana bangkit dengan jantung bergemuruh, berdebar debar dan sedikit gemetar. Tinggal satu orang itu yang belum dilenyapkan oleh dendam Kirana. Kini orang tersebut muncul di depan Pendekar Kera Sakti dan berkata dengan gaya memuakkan, "Hebat sekali jurus pedangmu, Anak Muda! Aku terkesima melihat jurusmu yang luar biasa itu! Tapi kau menggunakan pedang emas milik Ki Padmanaba kelihatannya! Apakah kau telah mencuri pedang itu dari tangan bekas adik iparku, hah!""Aku tak kena
Kirana menatap Baraka, mata gadis itu berkaca-kaca memandangnya. Kemudian, meleleh air matanya ketika ia terbayang wajah-wajah keluarganya, ayahnya, ibunya, dan satu persatu wajah kakak perempuannya yang berjumlah lima orang itu. Seakan Kirana telah menebuskan nyawa mereka dengan membantai seluruh orang yang terlibat dalam peristiwa perampokan di rumahnya itu.Dengan matinya Logayo, pimpinan perampok dan pemerkosa kelima kakak serta ibunya itu, Kirana semakin menyadari bahwa sekarang hidupnya benar-benar telah sendirian. Tanpa arah dan tujuan yang pasti. Tanpa dendam dan kegelisahan lagi. Maka, menangislah ia dalam pelukan Pendekar Kera Sakti, sementara Pendekar Kera Sakti pun berusaha menenangkan tangis itu dengan bisikan-bisikan yang meneduhkan hati Kirana.Pedang emas telah dimasukkan ke dalam sarungnya. Pendekar Kera Saktipun segera menuntun Kirana untuk melangkah dalam rangkulan kasih sayangnya.Ketika menuruni bukit, mereka berpapasan dengan Embun Salju ya
DARI balik kerimbunan hutan berpohon rapat, terdengar suara jeritan yang panjang dan memilukan. Siapa yang menjerit, itu tak jelas. Yang pasti jeritan itu adalah jeritan kematian. Suaranya yang melengking menggema panjang itu bagaikan membangunkan setiap jasad yang sudah terkubur mati.Sementara itu, hembusan angin cukup kencang dan menderu. Gumpalan awan hitam bergulung-gulung di langit, menyekap matahari, membuat alam terasa mati. Sesekali terdengar gelegar petir melecutkan lidahnya bagai ingin membelah langit.Agaknya alam yang memberikan tanda-tanda bagai kiamat datang itu tak dihiraukan oleh tiga orang berusia sebaya itu. Satu di antaranya telah terkapar mati tanpa darah. Dua dari mereka masih melanjutkan pertarungannya dengan sengit.Rupanya mereka bertarung di atas dataran berbatu rata. Dataran tersebut adalah lantai dari sebuah petilasan keraton yang telah hancur sekian puluh tahun yang lalu, bahkan mungkin sekian ratus tahun yang lalu. Sisa pilar-pilarn
Baru tiga langkah Tapak Getih tinggalkan tempat, tiba-tiba sebuah gerakan berkelebat dari arah kanannya.Wuttt...! Crapp...!Sebatang tombak berujung garpu tiga mata menancap di selasela bebatuan yang menjadi lantai petilasan itu. Tombak tersebut datangnya dari arah atas pohon. Kalau Tapak Getih tidak cepat hentakkan kaki dan melompat mundur, ia akan dihujam tombak tersebut tanpa ampun lagi. Beruntung ia mempunyai gerakan bagus sehingga mampu menghindari maut yang hampir merenggut nyawa itu.Cepat-cepat Tapak Getih melemparkan pandangannya ke arah pohon, tempat datangnya tombak tersebut. Dari atas pohon melayang sesosok tubuh berpakaian serba kuning. Rambutnya panjang diikat memakai tali warna coklat. Orang itu ternyata seorang pemuda yang mempunyai wajah lumayan ganteng. Usianya sekitar dua puluh delapan tahun."Marta Kumba...!" sapa Tapak Getih dengan suara ketus, lalu ia tersenyum sinis.Marta Kumba, pemuda yang mempunyai badan tegap itu, segera
"Biasanya, kalau ular ganas mencium bau darah manusia, ia akan datang secara tiba-tiba dan mematuk kaki, atau mungkin melilit leher dari atas sebuah pohon. Dan kalau ular... kalau ular...."Marta Kumba berhenti bicara. Matanya terkesiap, kepalanya tegak, tak berani menengok ke bawah. Karena ia merasakan ada gerakan lembut yang menjalar mendekati kakinya. Mata yang terkesiap itu segera memandang ke bawah pelan-pelan. Marta Kumba menahan napas. Ada ular sedang merayap melingkari kakinya. Ular itu sebesar lengannya sendiri."Mati aku..!" keluhnya dalam hati. Ia tak berani bergerak sedikit pun. Keringat dinginnya mengucur deras dari kening dan leher. Jantungnya berdetak-detak cepat. Wajahnya menjadi pucat pasi. Ular itu berwarna merah kehitam-hitaman. Jenis ular ganas yang bisa mengejar lawan dengan satu sentakan terbang.Marta Kumba tahu, ular itu mempunyai bisa yang luar biasa mautnya. Sekali gigit orang, dalam lima hitungan orang itu pasti mati. Ular itu bernama
Lima kuda berhenti di depan Rangka Cula. Orang berpakaian ungu itu menghentikan kudanya sejajar dengan pengawalnya yang bersenjata pedang di punggung, sedangkan dua pengawal yang bersenjata tombak dan panah di punggung, mengenakan pakaian putih-putih itu, tetap mengambil posisi di belakang mereka bertiga. Matanya memandang ke belakang, ke samping dan sekeliling, penuh pangawasan ketat.Orang berpakaian ungu itu segera berkata kepada Rangka Cula, "Kaukah yang bernama Rangka Cula?""Benar," jawab Rangka Cula yang termasuk orang yang jarang bicara itu."Sudah tahu tugasmu?""Mencari jubah keramat!""Betul! Aku sangat membutuhkan jubah itu. Dan aku sudah siapkan hadiah buatmu!"Orang berpakaian ungu itu mengambil kantong uang dari dalam bajunya, kantong itu berwarna merah beludru, memakai tali khusus pada bagian penutupnya. Kantong itu segera dilemparkan.Wuttt...!Diterima oleh tangan kiri Rangka Cula dengan mata tetap memandang d
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern
Reruntuhan cadas bercampur karang itu menimbun celah sempit tersebut dan menutup rapat. Bahkan sebongkah batu jatuh di depan mulut gua dan membuat mulut gua semakin kuat tertutup batu besar. Tak sembarang orang bisa mendorong batu tersebut, sebab bagian yang runcing menancap masuk ke dalam celah, menutup dan mengunci.Marta Kumba berkata, "Kalau begitu caranya, dia tidak akan bisa keluar dari gua itu, Ratna!""Biar! Biar dia mati di sana. Kurasa gua itu adalah sarang ular berbisa! Orang ganas macam dia memang layak mati dimakan ular, daripada kerjanya mengganggu perempuan-perempuan lemah!""Rupanya kau kenal dia, Ratna!""Ya. Dia yang bernama Gandarwo! Setiap dia masuk kampung, penduduk menjadi ketakutan, masuk pasar, pasar jadi bubar! Dialah biang keributan dan momok bagi masyarakat di mana ia berada!"Ratna Prawitasari menghembuskan napas kecapekan, ia duduk di atas batang pohon yang telah tumbang beberapa waktu lamanya. Marta Kumba pun duduk di
"Lakukanlah kalau kau berani! Lakukanlah!" Ratna Prawitasari maju setindak seakan menyodorkan tubuhnya agar dimakan."Grrr...!" Gandarwo mundur satu tindak dengan erangan gemas mau menerkam namun tak berani."Ayo, lakukanlah...!" Ratna Prawitasari maju lagi."Ggrr...! Nekat kau...!" Gandarwo mundur dengan makin gemas."Lakukanlah,..!Bedd...!"Uuhg....!" Gandarwo menyeringai dengan membungkuk dan memegangi 'jimat antik'-nya yang tahu-tahu ditendang kuat oleh Ratna Prawitasari.Tubuhnya merapat, meliuk ke kanan-kiri dengan mata terpejam, mulutnya mengeluarkan erang kesakitan. Sementara itu, Marta Kumba tersenyum-senyum menahan tawa. Marta Kumba pun segera berkata, "Baru sama perempuan saja sudah nyengir-nyengir begitu, apalagi mau melawan aku!"Begitu mendengar suara Marta Kumba berkata demikian, Gandarwo segera tegak dan menggeram, lalu dengan cepat ia lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Marta Kumba. Sinar hijau tadi melesat
PANTAI berpasir putih mempunyai riak ombak yang tenang. Deburannya di pagi itu terasa lebih pelan dan damai ketimbang semalam. Tetapi pantai itu sekarang sedang dijadikan ajang pertarungan konyol, yaitu pertarungan yang bersambung dari semalam, berhenti untuk istirahat sebentar, kemudian paginya dilanjutkan lagi. Rupanya dua remaja yang dicari Nyai Cungkil Nyawa itu sudah berada di pantai tersebut. Mereka saling kejar dari Petilasan Teratai Dewa sampai ke pantai itu. Mereka adalah Marta Kumba dan gadis yang menyelamatkannya dari gigitan ular berbahaya itu.Gadis tersebut menyerang dengan pedangnya, tapi setiap kali serangan itu tak pernah dibalas oleh Marta Kumba. Hanya dihindari dan kadang ditangkis jika sempat. Sikap Marta Kumba yang tidak mau menyerang membuat gadis itu penasaran, sehingga selalu melancarkan pukulan dan serangan ke arah Marta Kumba, ia ingin mengenai pemuda itu walau satu kali saja, tapi tidak pernah berhasil."Sudah kukatakann kau tak akan berhasil
Orang itu mempunyai rambut hitam, panjangnya sepunggung tapi acak-acakan tak pernah diatur, sehingga penampilannya semakin kelihatan angker, menyeramkan. Di pinggangnya terselip kapak bermata dua yang masing-masing mata kapak berukuran lebar melengkung, ujungnya mempunyai mata tombak yang berwarna merah membara, kalau kena kegelapan malam mata tombak itu menjadi sangat terang bagai cahaya lampu. Gagang kapaknya agak panjang. Kapak itu kadang ditentengnya, jika capek diselipkan di sabuk hitamnya itu. Melihat wajahnya yang angker dan berbibir tebal karena memang mulutnya lebar, jelas kedatangannya ke petilasan itu bukan untuk maksud yang baik.Terbukti ketika ia melihat Nyai Cungkil Nyawa sedang tertidur di salah satu sudut dinding reruntuhan, orang itu segera mengangkat batu sebesar perutnya dan dilemparkan ke arah Nyai Cungkil Nyawa dengan mata mendelik memancarkan nafsu membunuh.Wusss...!Batu itu melayang di udara, menuju ke tubuh nenek kurus itu. Tapi tiba-t
Dalam perjalanan menuju rumah kediaman Ki Sonokeling, yang tinggal bersama cucu dan keponakannya itu, Baraka sempat menanyakan tentang diri Nyai Cungkil Nyawa."Ki Sonokeling sudah lama mengenal Nyi Cungkil Nyawa?""Cukup lama. Sejak aku berusia sekitar tiga puluh tahun, aku jumpa dia dan naksir dia. Tapi dia tidak pernah mau membalas taksiranku, hanya sikapnya kepadaku sangat bersahabat.""Saya kaget tadi waktu dia tiba-tiba menghilang dari pandangan. Tak sangka dia punya ilmu bisa menghilang begitu.""Dia memang perempuan misterius. Kadang kelihatan cantik dan muda, kadang kelihatan tua seperti itu. Kadang mudah dicari dan ditemukan, kadang dia menghilang entah pergi ke mana dan sukar ditemukan. Tapi karena aku suka sama dia, aku bersedia dijadikan pengurus taman di petilasan itu. Maka jadilah aku juru tamannya sejak berusia tiga puluh tahun, sedangkan dia adalah juru kunci penjaga makam Prabu Indrabayu itu. Kami saling kerja sama jika ada orang berilmu
SEPERTI apa yang dikatakan Ki Sonokeling, di pelataran Petilasan Teratai Dewa terdapat tiga mayat. Tentu saja mayat itu adalah mayat si Cakar Macan, Julung Boyo dan Tapak Getih. Tetapi dua remaja yang dikatakan Ki Sonokeling itu tidak ada.Nyai Cungkil Nyawa mencari-cari kedua muda-mudi itu ke beberapa tempat sambil menggerutu, "Jangan-jangan mereka sedang mesra-mesraan di sini! Kugepruk habis kalau ketemu! Tempat suci kok mau dipakai remas-remasan!"Dalam keremangan cahaya langit yang sudah menjadi cerah dengan rembulan kece mengintip sangat sedikit, Nyai Cungkil Nyawa menyusuri tempat-lempat yang paling tidak memungkinkan dijamah manusia. Tetapi tetap saja dua remaja yang dikatakan Ki Sonokeling itu tidak ia temukan.Akhirnya Nyai Cungkil Nyawa kembali ke reruntuhan bagian depan. Mayat-mayat itu diseretnya satu persatu untuk dibuang ke jurang yang jaraknya tak seberapa jauh dari petilasan itu. Sambil menyeret mayat-mayat itu Nyai Cungkil Nyawa menggerutu,