Embun Salju terdesak mundur oleh serangan Nini Pasung Jagat. Bahkan satu kali ia terkena pukulan bercahaya biru dari tangan Nini Pasung Jagat. Segera Mahasi dan Dewi Anjani memerintahkan beberapa murid lainnya untuk memagari Embun Salju.
"Nyai Guru harus beristirahat dulu! Jangan teruskan penyerangan ini!" kata Dewi Anjani.
"Siapa yang akan menahan amukan Nini Pasung Jagat itu kalau bukan aku? Kalian akan mati sia-sia kalau mencoba menyerangnya!"
"Kami akan pancing dia agar menjauh dari kuil ini!" kata Mahasi.
Lalu, Dewi Anjani menambahkan kata, "Kami ulur waktu sampai Pendekar Kera Sakti tiba di sini!"
"Apa Jongos Daki sudah berangkat?"
"Sudah sejak tadi, Guru!" jawab Dewi Anjani.
"Guru terluka dan harus disembuhkan dulu! Kami akan ulur waktu untuk menunggu kedatangan Pendekar Kera Sakti!"
"Baik, Baik...! Tapi lukaku ini tak seberapa. Tak perlu cemas!" kata Embun Salju sambil melangkah mundur.
"Buat dia agar sibuk ke ar
"Aha...! Pedang Wukir Kencana ada di tanganmu, Baraka! Oooh...ho ho ho...! Pucuk dicinta ulam tiba! Itu yang kucari-cari!""Barangkali kematian yang kau cari, bukan pedang ini, Nini!""Dengar Cah bagus kayak tikus...! Pedang itu adalah milik guruku, dan hanya murid-muridnya yang berhak memegang dan memiliki pedang emas itu! Ki Padmanaba atau aku! Bukan kau! Karena kau bukan murid Guru kami, Baraka!""Tapi aku yang mendapat amanat dari Ki Padmanaba untuk menyelamatkan pedang ini, agar tak jatuh ke tangan orang-orang sesat seperti kamu, Nini!""Kalau kau nekat menggunakan pedang itu, maka kau akan mati termakan kutuk yang ada di dalam kekuatan pedang itu!"Kirana berteriak dari jauh, "Jangan percaya, Baraka!"Pendekar Kera Sakti tersenyum memandangi Nini Pasung Jagat yang tampak berang mendengar seruan Kirana. Tapi Nini Pasung Jagat tidak menghiraukan seruan tersebut, ia maju setindak sambil mengulurkan tangannya dengan pelan, "Berikan padaku!
Tetapi kemunculan itu membuat hati Kirana menjadi seperti ditusuk dengan seribu jarum berkarat. Dendam di dalam hatinya terbakar lagi. Bayangan saat orang seperti raksasa itu memperkosa ibu dan seorang kakaknya, terbayang jelas di mata Kirana. Sekalipun waktu itu Logayo masih muda, tapi Kirana masih ingat dengan wajahnya, brewoknya, matanya yang lebar ganas dengan alisnya yang tebal, tubuhnya yang besar, suaranya yang berat dan besar itu juga, semuanya melekat erat dalam ingatan Kirana.Pelan-pelan Kirana bangkit dengan jantung bergemuruh, berdebar debar dan sedikit gemetar. Tinggal satu orang itu yang belum dilenyapkan oleh dendam Kirana. Kini orang tersebut muncul di depan Pendekar Kera Sakti dan berkata dengan gaya memuakkan, "Hebat sekali jurus pedangmu, Anak Muda! Aku terkesima melihat jurusmu yang luar biasa itu! Tapi kau menggunakan pedang emas milik Ki Padmanaba kelihatannya! Apakah kau telah mencuri pedang itu dari tangan bekas adik iparku, hah!""Aku tak kena
Kirana menatap Baraka, mata gadis itu berkaca-kaca memandangnya. Kemudian, meleleh air matanya ketika ia terbayang wajah-wajah keluarganya, ayahnya, ibunya, dan satu persatu wajah kakak perempuannya yang berjumlah lima orang itu. Seakan Kirana telah menebuskan nyawa mereka dengan membantai seluruh orang yang terlibat dalam peristiwa perampokan di rumahnya itu.Dengan matinya Logayo, pimpinan perampok dan pemerkosa kelima kakak serta ibunya itu, Kirana semakin menyadari bahwa sekarang hidupnya benar-benar telah sendirian. Tanpa arah dan tujuan yang pasti. Tanpa dendam dan kegelisahan lagi. Maka, menangislah ia dalam pelukan Pendekar Kera Sakti, sementara Pendekar Kera Sakti pun berusaha menenangkan tangis itu dengan bisikan-bisikan yang meneduhkan hati Kirana.Pedang emas telah dimasukkan ke dalam sarungnya. Pendekar Kera Saktipun segera menuntun Kirana untuk melangkah dalam rangkulan kasih sayangnya.Ketika menuruni bukit, mereka berpapasan dengan Embun Salju ya
DARI balik kerimbunan hutan berpohon rapat, terdengar suara jeritan yang panjang dan memilukan. Siapa yang menjerit, itu tak jelas. Yang pasti jeritan itu adalah jeritan kematian. Suaranya yang melengking menggema panjang itu bagaikan membangunkan setiap jasad yang sudah terkubur mati.Sementara itu, hembusan angin cukup kencang dan menderu. Gumpalan awan hitam bergulung-gulung di langit, menyekap matahari, membuat alam terasa mati. Sesekali terdengar gelegar petir melecutkan lidahnya bagai ingin membelah langit.Agaknya alam yang memberikan tanda-tanda bagai kiamat datang itu tak dihiraukan oleh tiga orang berusia sebaya itu. Satu di antaranya telah terkapar mati tanpa darah. Dua dari mereka masih melanjutkan pertarungannya dengan sengit.Rupanya mereka bertarung di atas dataran berbatu rata. Dataran tersebut adalah lantai dari sebuah petilasan keraton yang telah hancur sekian puluh tahun yang lalu, bahkan mungkin sekian ratus tahun yang lalu. Sisa pilar-pilarn
Baru tiga langkah Tapak Getih tinggalkan tempat, tiba-tiba sebuah gerakan berkelebat dari arah kanannya.Wuttt...! Crapp...!Sebatang tombak berujung garpu tiga mata menancap di selasela bebatuan yang menjadi lantai petilasan itu. Tombak tersebut datangnya dari arah atas pohon. Kalau Tapak Getih tidak cepat hentakkan kaki dan melompat mundur, ia akan dihujam tombak tersebut tanpa ampun lagi. Beruntung ia mempunyai gerakan bagus sehingga mampu menghindari maut yang hampir merenggut nyawa itu.Cepat-cepat Tapak Getih melemparkan pandangannya ke arah pohon, tempat datangnya tombak tersebut. Dari atas pohon melayang sesosok tubuh berpakaian serba kuning. Rambutnya panjang diikat memakai tali warna coklat. Orang itu ternyata seorang pemuda yang mempunyai wajah lumayan ganteng. Usianya sekitar dua puluh delapan tahun."Marta Kumba...!" sapa Tapak Getih dengan suara ketus, lalu ia tersenyum sinis.Marta Kumba, pemuda yang mempunyai badan tegap itu, segera
"Biasanya, kalau ular ganas mencium bau darah manusia, ia akan datang secara tiba-tiba dan mematuk kaki, atau mungkin melilit leher dari atas sebuah pohon. Dan kalau ular... kalau ular...."Marta Kumba berhenti bicara. Matanya terkesiap, kepalanya tegak, tak berani menengok ke bawah. Karena ia merasakan ada gerakan lembut yang menjalar mendekati kakinya. Mata yang terkesiap itu segera memandang ke bawah pelan-pelan. Marta Kumba menahan napas. Ada ular sedang merayap melingkari kakinya. Ular itu sebesar lengannya sendiri."Mati aku..!" keluhnya dalam hati. Ia tak berani bergerak sedikit pun. Keringat dinginnya mengucur deras dari kening dan leher. Jantungnya berdetak-detak cepat. Wajahnya menjadi pucat pasi. Ular itu berwarna merah kehitam-hitaman. Jenis ular ganas yang bisa mengejar lawan dengan satu sentakan terbang.Marta Kumba tahu, ular itu mempunyai bisa yang luar biasa mautnya. Sekali gigit orang, dalam lima hitungan orang itu pasti mati. Ular itu bernama
Lima kuda berhenti di depan Rangka Cula. Orang berpakaian ungu itu menghentikan kudanya sejajar dengan pengawalnya yang bersenjata pedang di punggung, sedangkan dua pengawal yang bersenjata tombak dan panah di punggung, mengenakan pakaian putih-putih itu, tetap mengambil posisi di belakang mereka bertiga. Matanya memandang ke belakang, ke samping dan sekeliling, penuh pangawasan ketat.Orang berpakaian ungu itu segera berkata kepada Rangka Cula, "Kaukah yang bernama Rangka Cula?""Benar," jawab Rangka Cula yang termasuk orang yang jarang bicara itu."Sudah tahu tugasmu?""Mencari jubah keramat!""Betul! Aku sangat membutuhkan jubah itu. Dan aku sudah siapkan hadiah buatmu!"Orang berpakaian ungu itu mengambil kantong uang dari dalam bajunya, kantong itu berwarna merah beludru, memakai tali khusus pada bagian penutupnya. Kantong itu segera dilemparkan.Wuttt...!Diterima oleh tangan kiri Rangka Cula dengan mata tetap memandang d
Tepat mengenai mulut Rangka Cula, sehingga Rangka Cula terpental ke belakang dan terhuyung-huyung nyaris jatuh. Ada antara lima tindak ia tersentak ke belakang, setelah itu kembali berdiri tegak walau ia merasakan ada sesuatu yang mengalir dari dalam hidungnya. Sesuatu itu tak lain adalah darah. Pukulan nenek tua itu jelas dibarengi dengan tenaga dalam. Jika tidak, tak mungkin bisa membuat hidung Rangka Cula mengucurkan darah.Rangka Cula diam saja memandangi Nyai Cungkil Nyawa. Mata nenek itu mulanya berseri-seri karena bisa membuat hidung Rangka Cula berdarah. Tapi mata itu jadi menyipit heran begitu melihat darah yang mengalir dari hidung itu tiba-tiba meresap hilang, seperti masuk ke dalam pori-pori kulit. Dan wajah Rangka Cula menjadi bersih tanpa setitik noda merah pun. Bahkan tangannya yang tadi dipakai mengusap darah itu juga kering tanpa bekas darah setetes pun."Semakin sakti saja kau rupanya!" gumam Nyai Cungkil Nyawa dengan pelan, seakan bicara pada dirinya
"Iblis Raja Naga!" gumam Mega Dewi percaya dengan firasat yang dimiliki Ki Empu Sakya. Ia semakin kagum terhadap ketinggian ilmu orang tua bertubuh kecil itu."Sekarang apa yang harus kita lakukan, Ki?""Ke goa! Aku punya goa tempatku bertapa dulu. Mudah-mudahan belum tertutup reruntuhan batu.""Aku ikut, ya Ki?" usul Angon Luwak."Apakah kau tak akan dicari oleh orangtuamu?""Orangtuaku yang suruh aku memberitahukan padamu tentang kedatangan orang itu, Ki," jawab Angon Luwak dengan lugu."Baiklah kalau kau memaksa mau ikut. Tapi tempatnya tinggi. Kalau kau lelah mendaki tak ada orang yang sanggup menggendongmu.""Aku akan berjalan sendiri. Ki," kata Angon Luwak dengan penuh semangat. Bocah itu sangat kagum dengan Ki Empu Sakya, juga menyukai petualangan di rimba persilatan.Cerita-cerita tentang tokoh golongan putih yang pernah dan sering dituturkan oleh Ki Empu Sakya memacu jiwa bocah itu untuk masuk ke dunia persilatan golon
Bruuk!"Uhg...! Sial! Pinggangku bisa bengkak atau patah kalau begini!" gerutu Ki Bwana Sekarat sambil mencoba bangkit kembali. Tapi pada saat itu, Sabit Guntur yang merasa tak akan mampu melawan Ki Bwana Sekarat segera lompat ke kuda bekas tunggangan Nenggolo. Dengan menggunakan satu tangan ia memacu kudanya, melarikan diri, meninggalkan tempat tersebut. Ki Bwana Sekarat sengaja tak mau mengejarnya, karena tulang punggungnya terasa ngilu sekali.Bertepatan dengan hilangnya Sabit Guntur, muncul sesosok bayangan yang berkelebat ke arah Ki Bwana Sekarat. Dengan cepat Ki Bwana Sekarat siap-siap kibaskan kipasnya untuk merobek kulit tubuh bayangan yang baru datang. Namun gerakan itu segera tertahan karena Ki Bwana Sekarat segera mengetahui bahwa bayangan yang datang ke arahnya itu adalah sosok tubuh Pendekar Kera Sakti."Ki Bwana Sekarat...!""Ah, Gusti Manggala Yudha... Kenapa baru sekarang munculnya?" gerutu Ki Bwana Sekarat. Ia bersungut-sungut sambil menc
"Gggrrr...!" Gaok Lodra benar-benar merasa dipermainkan nafsu amarahnya.Sementara itu, Nenggolo dan Sabit Guntur mulai tak sabar menunggu hasil pemeriksaan Gaok Lodra. Nenggolo pun berseru keras, "Apa yang kau temukan di sana, Gaok Lodra!!""Aahg...!" terdengar suara pekik pendek tertahan dari dalam kerimbunan semak itu. Suara pekik tertahan yang pendek itu membuat Sabit Guntur menggerutu sambil bersungut-sungut."Kurang ajar! Disuruh memeriksa keadaan malah buang hajat dulu!""Memang menjengkelkan pergi bersama Gaok Lodra. Sebentar-sebentar cari tempat buat buang hajat." Nenggolo menimpali.Tapi beberapa saat kemudian terdengar langkah kuda dan ringkikan yang pelan. Kaki kuda menerabas semak ilalang. Nenggolo dan Sabit Guntur sudah pasang wajah geram dan cemberut. Nenggolo sempat berkata kepada Sabit Guntur, "Jangan terlalu dekat dengannya kalau dia habis begitu! Pasti tak pernah bersih dan menjengkelkan!"Nenggolo palingkan wajah, buang m
Ilmu peringan tubuh yang dimiliki Ki Bwana Sekarat bukan ilmu tingkat rendah. Tak heran jika ia mampu bergerak secepat badai menerabas semak belukar memotong arah untuk bisa menghadang tiga utusan Gunung Sesat itu. Gerakan larinya yang cepat itu membuat tubuhnya bagaikan ditiup angin semilir dan rasa kantuknya datang lagi. Matanya pun mulai mengecil dan kepala mulai terangguk-angguk, namun langkah larinya tetap cepat tak berkurang sedikit pun.Bruus...!Serumpun pohon pisang diterjangnya. Wajahnya tersabut daun pisang. Perih. Tapi justru membuat kantuknya jadi hilang. Matanya pun terbuka kembali dengan terang. Ketika tiba di perbatasan desa, rasa kantuk itu sama sekali lenyap dan membuat tubuh Ki Bwana Sekarat tampak tegar. Ia menunggu tiga utusan yang menurut perkiraannya tidak lama lagi akan datang melalui jalan tersebut.Beberapa saat kemudian, suara deru kuda mulai terdengar di kejauhan. Makin lama semakin jelas, pertanda derap kaki kuda itu makin mendekati
KALAU saja Pendekar Kera Sakti kala itu tidak berbalik arah dan meneruskan langkahnya, maka ia akan bertemu dengan Ki Bwana Sekarat di kaki bukit Cadas Putih. Itupun kalau mata Baraka cukup awas, sebab siang itu Ki Bwana Sekarat ternyata tertidur di atas sebuah pohon berdaun lebat. Pohon itu mempunyai dahan yang berjajar rapat dan enak dipakai untuk tidur. Orang yang doyan tidur itu tidak mau menyia-nyiakan tempat seperti itu, tak heran jika dalam waktu cepat ia sudah tidur dengan dengkuran yang amat lirih. Dengkuran itu tak terdengar dari jalanan di bawah pohon tersebut.Ketika jalanan itu dipakai lewat tiga kuda, tak satu pun dari ketiga penunggang kuda tersebut mendengar dengkuran Ki Bwana Sekarat. Bahkan tiga orang itu sempat beristirahat di bawah pohon tersebut karena tak jauh dari sana ada sendang kecil berair jernih. Mereka menyempatkan cuci muka dan minum air sendang itu. Tiga orang tersebut adalah para utusan dari Gunung Sesat yang dikuasai oleh tokoh golongan hitam
"Mulut ember, sesumbar seenaknya saja. Akan kubuktikan bahwa aku bisa melangkahi mayatmu tujuh kali bolak-balik!""Lakukanlah! Aku sudah siap menerima seranganmu. Citradani!""Heaaat...!" Citradani lompat ke depan, tubuhnya berputar cepat melayangkan tendangan kipasnya.Wuuutt...! Tendangan itu dihindari oleh Tandak Ayu.Kejab berikutnya Tandak Ayu berhasil pukul punggung Citradani dengan sentakan telapak tangannya.Duuuhg...!"Uhhg...!" Citradani tersentak ke depan, darah muncrat dari mulutnya. Hal itu membuat Baraka sempat cemas. Kirana sudah gatal, tak sabar ingin ikut terjun ke pertarungan itu. Tetapi ia menahan diri mengingat pertarungan itu adalah urusan pribadi meraka masing-masing.Rupanya Citradani masih kuat walau telah menyemburkan darah segar dari mulutnya. Terbukti ia segera berbalik menghadap ke arah lawannya dengan pedang dicabut dari sarungnya.Sraaang...! Rupanya Tandak Ayu tak mau kalah serang, ia pun mencabut
"Kkkau... kau jelmaan kelinci buruanku yang dulu pernah kutangkap itu?""Benar. Sekarang kau tahu wujudku, karena... karena kau telah menyuruhku mencium pipimu, Pemuda Tampan."Baraka semakin malu dan tersipu. Untuk menutupi rasa malunya ia tertawa bagaikan orang menggumam. Wajahnya dipalingkan ke arah lain sesaat, lalu kembali lagi memandang Tandak Ayu ketika gadis itu mendekatinya. "Apakah sekarang kau masih berani menggelitik perutku?"Baraka semakin salah tingkah. Rasa sesal dan malu bercampur menjadi satu, menimbulkan rasa geli sendiri di dalam hatinya."Kalau kau masih ingin menggelitikku, silakan!" Tandak Ayu menantang dengan semakin maju. Matanya memandang nakal, penuh godaan yang mendebarkan hati setiap lelaki. Senyumnya pun merupakan senyum pemikat, yang hampir-hampir membuat Baraka nekat mendekati wajah itu."Maaf, aku tak tahu kalau kau kelinci jelmaan," kata Baraka sambil melangkah ke batang pohon. Pundak dan lengannya disandarkan di b
SEKALIPUN Baraka mengetahui bahwa Raja Maut pergi ke Pulau Blacan, tapi Wiratmoko sarankan tak perlu mengejarnya ke sana. Menurut Wiratmoko lebih baik cari dulu Ki Bwana Sekarat, siapa tahu membawa pesan lebih penting dari mengejar Raja Maut ke Pulau Blacan."Biarkan dia berhadapan dengan Nyai Demang Ronggeng di Pulau Blacan. Dia pasti akan dikubur hidup-hidup oleh Nyai Demang Ronggeng!" kata Wiratmoko yang membuat Baraka sempat terperanjat."Jadi, Nyai Demang Ronggeng bersemayam di Pulau Blacan?""Ya. Dan aku tahu bahwa Nyai Demang Ronggeng punya kesaktian yang mampu membuat Raja Maut tumbang atau melarikan diri terbirit-birit.""Seberapa dekat kau mengenal Nyai Demang Ronggeng?""Tidak terlalu dekat. Hanya mendengar ceritanya dari mulut ke mulut!""Pantas jika Iblis Raja Naga ingin membunuh Ki Bwana Sekarat, rupanya Raja Maut yang bergelar Iblis Raja Naga itu juga mengkincar kematian Nyai Demang Ronggeng. Padahal Nyai Demang Ronggeng dan K
"Apa salahku pergi dengan gadis itu?""Dia kekasihku! Dia calon istriku?" sentak Raden Udaya mulai menampakkan kemarahannya. Tetapi Baraka justru tersenyum geli. Ia garuk-garuk kepalanya bagai tak peduli kemarahan lawannya. Ia kelihatan tak khawatir sedikit pun walau telah dikepung oleh Gandra dan Rangku yang masing-masing telah mencabut senjatanya berupa trisula dan kapak dua mata."Paman Gandra, hajar dia! Beri pelajaran supaya tahu adat!"Gandra ingin maju menyerang, tapi tiba-tiba punggungnya bagaikan ada yang menendang dengan sangat kuat. Pukulan jarak jauh dilepaskan seseorang dari tempat persembunyian. Pukulan itu membuat Gandra terhentak dengan napas tertahan dan badan melengkung ke depan. Ketika badan itu kembali tegak, tahu-tahu darah mengalir dari mulut lelaki berkumis lebat itu."Paman Gandra! Kenapa kau!" Raden Udaya kaget dan menjadi tegang."Keparat! Mau coba-coba melawan orang kadipaten kamu, hah! bentak Rangku kepada Baraka.