Nasib manusia memang tidak ada yang tahu. Tapi, manusia harus percaya bahwa Tuhan menciptakan manusia tetaplah dengan sebuah tujuan. Tidak akan ada manusia yang mengetahui nasib, sekali pun dia adalah seseorang yang bisa menebaknya, ia hanya bisa menebak tapi tidak bisa memastikan. Namun di antara itu semua ada sebuah hal yang bisa manusia pastikan, bahwa kebenaran akan selalu menang bagaimana pun caranya. Jika tidak menang di dalam dunia, maka ia akan menang di hari kebangkitan kelak.
Wajah Danu pucat sekali, namun ia masih bisa bertahan dan memberikan perlawanan bersama tiga orang temannya. Permata benar-benar khawatir, tapi ia tahu diri juga tidak bisa berbuat banyak untuk membantu, para prajurit telah mengepung gua dari depan, mereka benar-benar terkurung di dalamnya. Sesekali mereka menarik busur dan meluncurkan anak panah, dan empat orang itu mati-matian menghindar.
“Jika harus mati di sini, maka aku sangat bersyukur sekali bisa mengenal kalian berdua!&rdqu
Tuk... tuk... tuk... Terdengar suara tumbukan menggema di seisi ruangan gua. Itu adalah suara Permata yang menumbuk dedaunan menggunakan batu sebagai ramuan untuk luka Danu. Wajah Danu pucat dan semakin pucat, sepertinya itu bukan saja akibat dari luka diperutnya, tapi ada luka lain yang Danu sembunyikan dari Permata. Permata membubuhkan tumbukan itu pada perut Danu yang mengalami luka, sedikit gugup Permata melakukannya. Ini adalah kali kedua Permata menyentuh langsung perut Danu dan yang pertama adalah beberapa hari lalu, ketika Danu baru terluka. Danu sendiri berusaha menahan geli yang ia rasakan, sebab tangan lembut Permata menyentuhnya dengan halus. Danu pandangi mata Permata yang begitu serius memandang lukanya, tangannya cekatan bak seorang ibu yang tak ingin anaknya menangis. “Semoga cepat sembuh, Danu!” kata Permata sembari mengipasi luka Danu dengan daun jati yang sudah mengering, warnanya coklat tua. “Semoga saja!” sahut Danu, ia meringis b
“Danu, ayolah aku inginkanmu malam ini!” Permata merajut, wajahnya dibuat semenawan mungkin.“Tidak, Permata! Aku tidak berani melakukannya!” sahut Danu, ia berusaha memalingkan wajah.Namun Permata tidak membiarkan Danu lepas begitu saja, ia menghadkan kembali wajah Danu padanya. Permata benar-benar kehilangan kendali dalam dirinya, dia menginginkan Danu malam ini.“Aku takut jika kamu akan hamil, Permata!” Danu menjelaskan apa yang membuat dirinya tidak berani.“Tidak akan. Aku akan membuat ramuan yang bisa membuat aku tidak hamil!” jelas Permata.“Tidak, Permata! Itu adalah sebuah perbuatan gila dan akan membahayakan dirimu!” terang Danu.Beberapa saat diam, Permata kembali merayu dan meremas-remas telapak tangan Danu, mengelus-elusnya.“Danu, aku sungguh tidak tahan lagi!” Permata merayu, matanya menyipit, mulutnya dibulatkan agar Danu tergoda.“G
“Sepertinya aku sudah bisa melanjutkan perjalanan sendiri, Permata!” kata Danu dengan begitu semangatnya.“Syukurlah. Tapi aku rasa apa tidak lebih baik kau hanya duduk di belakangku?” Mata Permata menyelidik.“Aku rasa aku sudah lebih dari sehat untuk mengendarai kuda sendiri!” sahut Danu, ia tidak ingin lagi Permata mengkhawatirkannya, ia berlari-lari kecil sebagai bukti kepada Permata bahwa ia benar-benar sudah sehat.“Baiklah, kalau begitu sekarang kita berangkat!” ajak Permata, dia naik kuda terlebih dahulu.Dua kuda itu masih sangat sehat, lebih dari cukup untuk perjalanan selama satu bulan lebih, kuda mereka adalah kuda yang memang biasa digunakan untuk berkelana dan bertempur.Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan, kini memasuki wilayah hutan yang sepertinya jarang sekali diambah manusia. Iya, hutan itu adalah sebuah hutan yang hanya digunakan untuk menyimpan dan menghasilkan oksigen, m
Sekarang hewan itu jumlahnya tidak kurang dari seratus ekor, semakin bertambah dan semakin bertambah lagi. Bagaimana pun sekarang walaupun hewan itu tidak terlalu kuat, namun jika jumlah mereka begitu banyak, maka manusia bukanlah tandingannya. Sekarang tidak ada jalan lagi untuk Danu dan Permata untuk berlari, hewan mirip monyet itu telah mengepung mereka dengan membentuk sebuah lingkaran mengepung. “Ini akan menjadi cerita terbaru kita, Permata!” Danu berusaha menyikapinya dengan tenang. Permata juga berusaha untuk tetap mengeluarkan senyumnya. Hewan -hewan itu memegang anak panah dari kayu bakar, setiap ekor memegangnya erat-erat menunggu kesempatan terbaik untuk melepasnya. Danu mengamati cara hewan itu melemparkan kayunya. Pertama-tama tangan mereka ditarik ke belakang, sedang tangan yang tidak memegang apa-apa diayunkan santai. Kaki mereka membentuk sebuah sudut yang tidak terlalu besar, namun tidak terlalu sempit, semua itu Danu amati dengan baik, menc
Sekarang ruang menghindar mereka semakin sempit, bahkan hampir tidak ada ruang gerak. Belum habis akal untuk memikirkan bagaimana cara menghindar dari anak panah kayu bakar, sekarang hewan yang menjadi pemimpin memberikan instruksi kepada anak buahnya.“Uwu... uw...”Sontak belasan hewan mirip dengan monyet itu mengirimkan batu-batu kecil yang sedari tadi dipegangnya. Danu dan Permata tidak mengira bahwa strategi mereka benar-benar matang. Sekarang mereka tidak hanya menyerang dengan anak panah, akan tetapi sekarang juga menggunakan batu, bahkan ada yang menyerang secara langsung menggunakan kuku tajamnya. Danu tidak tinggal diam menyikapi para monyet yang menyerang dari jarak dekat, Danu menyabetnya dengan pedang hingga kepala mereka berpisah dengan tubuh.Satu hal lagi yang membuat Danu dan Permata terperangah, darah hewan itu berwarna hijau menyala, berbeda dengan beberapa waktu lalu yang masih berwarna merah normal. Benar-benar sebuah makhluk yan
Malamnya Danu dan Permata beristirahat di sebuah bukit yang jauh dari pemukiman warga. Suasana tenang, bintang-gemintang telah bertahta di atas sana, bersama dengan rembulan dan rombongan awan yang berarak-arakan, sungguh indah sekali malam itu seandainya keadaan normal-normal saja.“Bagaimana kalau kita tidak menemukan Diana, Danu?” tiba-tiba Permata bertanya, mereka tengah duduk-duduk santai di atas sebuah batu besar, di sebelah mereka ada pohon tumbang, sepertinya baru beberapa hari yang lalu.“Aku yakin sekali akan menemukan dia, Permata!” jawaban Danu.Itu adalah sebuah jawaban yang sebenarnya tidak terlalu Permata inginkan. Bukan karena ia enggan bertemu dengan Diana, atau ia benci dengan Diana, bukan, bukan itu alasannya. Tapi ia tahu jika suatu saat Danu menemukan Permata, maka ia akan meninggalkan Permata dan hidup bersama dengan Diana. Itu sudah pasti, maka Permata tidak terlalu bahagia mendengar jawaban Danu.“Tuha
Sosok wanita itu, yang sekarang mengambang di belakang Danu, mengenakan pakaian serba putih namun kusam, berambut panjang namun tidak beraturan, sosok itulah yang membuat Permata tidak berani membuka mata sama sekali, walaupun ia sekarang berada di dalam selimut. Sebenarnya pinggang Permata dengan gerakan-gerakan tangan Danu, namun menahannya, menikmatinya. Danu sendiri sengaja menggunakan kejadian itu untuk mengambil kesempatan, meskipun sebenarnya dia juga benar-benar takut dengan kedatangan hantu tanpa undangan itu.“Apakah sudah pergi, Danu?” tanya Permata tanpa membuka mata. Napasnya terdengar ngos-ngosan.“Sepertinya belum!” sahut Danu cepat.Mendengar jawaban Danu itu, Permata semakin mengeratkan pelukan, hingga sekarang tubuh mereka benar-benar menjadi satu, tidak ada jarak sama sekali. Danu merasakan napas dan detak jantung Permata yang tidak beraturan, meskipun napasnya sendiri tidak kalah ngos-ngosannya.“Aku benar
Angin berembus kencang, sayup-sayup hewan malam saling bersahutan mengisi suasana, bersaing dengan suara angin. Suara khas daun pisang yang terembus angin terdengar, menambah syahdu perjalanan malam itu.“Mereka tadi sore masih berada di pinggiran desa, bermain layang-layang bersama teman yang lain!” ucap salah seorang pemuda, dia mengingat lagi apa yang dilakukan oleh adik mereka sebelum akhirnya hilang. “Layangan putus, setelah mereka mengejarnya, dan sampai sekarang tidak kembali pulang. Aku takut mereka tersesat dan mendapatkan bahaya!”“Semoga saja mereka cepat ditemukan!” Permata selalu berharap.“Semoga saja!” sahut Danu.Mereka menaiki bukit-bukit terjal, sesekali berteriak memanggil nama sang kedua anak.“Rama, di mana kamu?” Suara tua itu memecah keheningan, kemudian beberapa saat berikutnya hilang disapu angin.Orang tua lainnya ikut menimpali, “Basta, ke mana kamu?