Malamnya Danu dan Permata beristirahat di sebuah bukit yang jauh dari pemukiman warga. Suasana tenang, bintang-gemintang telah bertahta di atas sana, bersama dengan rembulan dan rombongan awan yang berarak-arakan, sungguh indah sekali malam itu seandainya keadaan normal-normal saja.
“Bagaimana kalau kita tidak menemukan Diana, Danu?” tiba-tiba Permata bertanya, mereka tengah duduk-duduk santai di atas sebuah batu besar, di sebelah mereka ada pohon tumbang, sepertinya baru beberapa hari yang lalu.
“Aku yakin sekali akan menemukan dia, Permata!” jawaban Danu.
Itu adalah sebuah jawaban yang sebenarnya tidak terlalu Permata inginkan. Bukan karena ia enggan bertemu dengan Diana, atau ia benci dengan Diana, bukan, bukan itu alasannya. Tapi ia tahu jika suatu saat Danu menemukan Permata, maka ia akan meninggalkan Permata dan hidup bersama dengan Diana. Itu sudah pasti, maka Permata tidak terlalu bahagia mendengar jawaban Danu.
“Tuha
Sosok wanita itu, yang sekarang mengambang di belakang Danu, mengenakan pakaian serba putih namun kusam, berambut panjang namun tidak beraturan, sosok itulah yang membuat Permata tidak berani membuka mata sama sekali, walaupun ia sekarang berada di dalam selimut. Sebenarnya pinggang Permata dengan gerakan-gerakan tangan Danu, namun menahannya, menikmatinya. Danu sendiri sengaja menggunakan kejadian itu untuk mengambil kesempatan, meskipun sebenarnya dia juga benar-benar takut dengan kedatangan hantu tanpa undangan itu.“Apakah sudah pergi, Danu?” tanya Permata tanpa membuka mata. Napasnya terdengar ngos-ngosan.“Sepertinya belum!” sahut Danu cepat.Mendengar jawaban Danu itu, Permata semakin mengeratkan pelukan, hingga sekarang tubuh mereka benar-benar menjadi satu, tidak ada jarak sama sekali. Danu merasakan napas dan detak jantung Permata yang tidak beraturan, meskipun napasnya sendiri tidak kalah ngos-ngosannya.“Aku benar
Angin berembus kencang, sayup-sayup hewan malam saling bersahutan mengisi suasana, bersaing dengan suara angin. Suara khas daun pisang yang terembus angin terdengar, menambah syahdu perjalanan malam itu.“Mereka tadi sore masih berada di pinggiran desa, bermain layang-layang bersama teman yang lain!” ucap salah seorang pemuda, dia mengingat lagi apa yang dilakukan oleh adik mereka sebelum akhirnya hilang. “Layangan putus, setelah mereka mengejarnya, dan sampai sekarang tidak kembali pulang. Aku takut mereka tersesat dan mendapatkan bahaya!”“Semoga saja mereka cepat ditemukan!” Permata selalu berharap.“Semoga saja!” sahut Danu.Mereka menaiki bukit-bukit terjal, sesekali berteriak memanggil nama sang kedua anak.“Rama, di mana kamu?” Suara tua itu memecah keheningan, kemudian beberapa saat berikutnya hilang disapu angin.Orang tua lainnya ikut menimpali, “Basta, ke mana kamu?
Daun-daun beterbangan, sungguh pandangan yang eksotis, seandainya saja keadaannya tidak demikian. Hawa mendadak menjadi dingin, sugesti manusia yang memainkannya.“Setan, setan, setan...!” pemuda itu berteriak ketakutan, dia tidak bisa berjalan apalagi berlari. Sungguh tidak bisa, ia tidak bisa lagi mengontrol dirinya.“Kenapa, Kasiang?” Orang tua menyebutnya dengan nama Kasiang. Iya, namanya adalah Kasiang.Dia tidak bisa menjawab, beberapa saat kemudian dia jatuh pingsan, ambruk di atas daun-daun yang berguguran. Danu melangkah maju, mendekati pemuda yang pingsan itu, tapi Permata melarangnya. “Jangan, Danu!”“Kenapa?” tanya Danu bingung, wajahnya antara tidak terima dan penasaran kenapa Permata melarang.“Kita belum tahu apa yang membuatnya menjadi seperti itu!” ujar Permata, ia sangat hati-hati. Ia tidak ingin Danu menjadi seperti pemuda itu, meskipun Permata tahu bahwa Danu mempunyai
Tubuh itu mengambang setengah meter dari tanah, jari-jarinya mengeluarkan kuku yang sejak tadi tidak terlihat. Bukan hanya kaki, kuku juga keluar dari jari-jari tangannya, sebuah kesan yang menunjukkan bahwa hantu itu benar-benar seram dan mematikan. Wajar saja jika pemuda pertama sampai pingsan ketika melihatnya, dan sampai saat ini belum sadarkan diri.“Kita belum mengetahui kelemahan hantu itu, Danu!” ujar Permata. Dia adalah cerminan wanita yang sangat hati-hati dan teliti.“Benar, dan kita harus segera menemukan kelemahannya!” sahut Danu.Permata menyerahkan lilin itu kepada pemuda yang tidak bisa bertarung, dua orang tua yang lain hanya diam mematung, menunggu apa yang akan terjadi berikutnya. Keadaan benar-benar suram, baik suram dalam keadaan sesungguhnya atau suram dalam hal hati. Hantu itu marah, bahkan kepada dua manusia yang baru sekali ini ia temui. Ia benar-benar tidak pilih kasih dalam memandang manusia, semua dianggapnya s
“Kalian tidak akan bisa mengalahkan kami berdua. Majulah kalian semua! Bahkan jika kalian mengundang semua manusia kampungan itu, kalian tidak akan bisa!” kata hantu pertama, dia terlalu percaya diri dengan kekuatan dirinya.“Apakah kalian tidak mempunya kelemahan?” tanya Danu dengan bodohnya.“Tidak, kami sama sekali tidak mempunyai kelemahan!” Hantu kedua menjawab dengan pongah.Danu menyahuti, “Kesombonganmu itulah yang akan menjadi kelemahanmu!” Danu marah, tangannya mengepal. Kali ini pertarungan akan menjadi semakin sengit lagi.Dua hantu itu tertawa, tidak ada lagi bekas luka bekas sabetan pedang Permata, juga tidak ada lebam dari pukulan Danu di pipinya, semua sembuh begitu saja dengan sekali usap.“Ayo, Permata, kita hadapi dua bajingan itu!” ajak Danu dengan suara datar, semangatnya membara ketika Permata ada di sampingnya, berjuang bersama.“Ayo!” sahut Danu.
Danu berusaha mengulangi apa yang berhasil ia lakukan sebelumnya, yaitu membelokkan pukulan hantu menjadi menyasar tubuhnya sendiri. Tapi ternyata tidak semudah yang dibayangkan, hantu menyadari bahwa Danu telah mengerti kelemahannya. Dengan begitu hantu itu kini mengubah pola serangannya, menjadi tipuan berlapis, dan Danu belum bisa membaca pola serangan itu. Danu masih tertipu dengan pukulan kedua, dan pada pukulan ketiga pastilah mengenai dirinya.Bug...Pukulan ketiga mengenai perut Danu, ia meringis kesakitan. Itu bukan kali pertama Danu terkena pukulan, tapi sudah berulang-ulang. Darah mengalir dari ujung bibirnya, retak terkena pukulan yang kuat dari hantu. Demi satu kelemahan yang telah diketahui Danu bertahan, menunggu kesempatan yang paling ideal.Bug...Satu pukulan mengenai telinga Danu, mendengung telinga itu hingga tidak bisa digunakan untuk mendengar sampai beberapa saat. Akhirnya kesempatan yang ditunggu-tunggu itu datang pula. Danu sekara
Mata Danu hanya tertuju kepada Permata. Ia rela menjadi penebus nyawanya seandainya dibutuhkan. Dia rela melakukan apa pun asalkan Permata diberikan kesempatan hidup lagi. Tapi itu bukan cinta, itu adalah rasa seorang kakak kepada adiknya.“Danu, jangan mendekat!” teriak Permata sekali lagi.Akan tetapi Danu tidak mendengarnya sama sekali. Waktu baginya seakan berhenti, ruangan dan pandangan menjadi kosong, yang ada hanya angan-angan belaka. Danu menatap wajah Permata yang tempak lemas. Sekejap kemudian ia menatap hantu yang tubuhnya dipenuhi dengan sinar kemerah-merahan, matanya juga seluruh tubuhnya.“HA...!” teriak hantu sembari terbang melayang, sekejap lagi ia akan benar-benar meremukkan tubuh Permata, tapi masih ada Danu yang berusaha mengahadangnya, menjadi penebus untuk Permata.Tiba-tiba dari belakang muncullah seorang pemuda. Iya, itu adalah seorang pemuda yang menjadi buruh di pabrik gula. Ia mendekap Danu, tidak mengiji
Siang datang dengan panas sinar matahari yang menjadi penenang. Matahari di atas sana dengan gagahnya memberikan tanda kepada manusia bahwa hidup ini akan selalu berputar, sejalan di bawah, sejalan di atas, dan nanti akan datang waktunya hilang dan terlupakan, atau bakal ada yang menantikan datang. Siang itu mereka melanjutkan perjalanan dalam rangka mencari dua anak, yang bahkan Danu dan Permata belum pernah melihatnya, namun sudah yakin bahwa mereka berbuat yang terbaik.“Aku takut jika nanti teman-teman hantu itu akan marah!” ujar Danu ketika melewati sebuah bukit terjal, mereka lupa bahwa kuda mereka tertinggal jauh di belakang, dan nanti akan mengambilnya lagi dengan perjalanan panjang dan melelahkan.“Yeah, begitulah resiko yang harus kita tanggung!” sahut pemuda yang pingsan.Permata menggodanya, “Kenapa kamu tadi malam langsung berteriak pingsan?”Pemuda buruh pabrik gula tertawa keras-keras, berikutnya adalah d