“Kalian tidak akan bisa mengalahkan kami berdua. Majulah kalian semua! Bahkan jika kalian mengundang semua manusia kampungan itu, kalian tidak akan bisa!” kata hantu pertama, dia terlalu percaya diri dengan kekuatan dirinya.
“Apakah kalian tidak mempunya kelemahan?” tanya Danu dengan bodohnya.
“Tidak, kami sama sekali tidak mempunyai kelemahan!” Hantu kedua menjawab dengan pongah.
Danu menyahuti, “Kesombonganmu itulah yang akan menjadi kelemahanmu!” Danu marah, tangannya mengepal. Kali ini pertarungan akan menjadi semakin sengit lagi.
Dua hantu itu tertawa, tidak ada lagi bekas luka bekas sabetan pedang Permata, juga tidak ada lebam dari pukulan Danu di pipinya, semua sembuh begitu saja dengan sekali usap.
“Ayo, Permata, kita hadapi dua bajingan itu!” ajak Danu dengan suara datar, semangatnya membara ketika Permata ada di sampingnya, berjuang bersama.
“Ayo!” sahut Danu.<
Danu berusaha mengulangi apa yang berhasil ia lakukan sebelumnya, yaitu membelokkan pukulan hantu menjadi menyasar tubuhnya sendiri. Tapi ternyata tidak semudah yang dibayangkan, hantu menyadari bahwa Danu telah mengerti kelemahannya. Dengan begitu hantu itu kini mengubah pola serangannya, menjadi tipuan berlapis, dan Danu belum bisa membaca pola serangan itu. Danu masih tertipu dengan pukulan kedua, dan pada pukulan ketiga pastilah mengenai dirinya.Bug...Pukulan ketiga mengenai perut Danu, ia meringis kesakitan. Itu bukan kali pertama Danu terkena pukulan, tapi sudah berulang-ulang. Darah mengalir dari ujung bibirnya, retak terkena pukulan yang kuat dari hantu. Demi satu kelemahan yang telah diketahui Danu bertahan, menunggu kesempatan yang paling ideal.Bug...Satu pukulan mengenai telinga Danu, mendengung telinga itu hingga tidak bisa digunakan untuk mendengar sampai beberapa saat. Akhirnya kesempatan yang ditunggu-tunggu itu datang pula. Danu sekara
Mata Danu hanya tertuju kepada Permata. Ia rela menjadi penebus nyawanya seandainya dibutuhkan. Dia rela melakukan apa pun asalkan Permata diberikan kesempatan hidup lagi. Tapi itu bukan cinta, itu adalah rasa seorang kakak kepada adiknya.“Danu, jangan mendekat!” teriak Permata sekali lagi.Akan tetapi Danu tidak mendengarnya sama sekali. Waktu baginya seakan berhenti, ruangan dan pandangan menjadi kosong, yang ada hanya angan-angan belaka. Danu menatap wajah Permata yang tempak lemas. Sekejap kemudian ia menatap hantu yang tubuhnya dipenuhi dengan sinar kemerah-merahan, matanya juga seluruh tubuhnya.“HA...!” teriak hantu sembari terbang melayang, sekejap lagi ia akan benar-benar meremukkan tubuh Permata, tapi masih ada Danu yang berusaha mengahadangnya, menjadi penebus untuk Permata.Tiba-tiba dari belakang muncullah seorang pemuda. Iya, itu adalah seorang pemuda yang menjadi buruh di pabrik gula. Ia mendekap Danu, tidak mengiji
Siang datang dengan panas sinar matahari yang menjadi penenang. Matahari di atas sana dengan gagahnya memberikan tanda kepada manusia bahwa hidup ini akan selalu berputar, sejalan di bawah, sejalan di atas, dan nanti akan datang waktunya hilang dan terlupakan, atau bakal ada yang menantikan datang. Siang itu mereka melanjutkan perjalanan dalam rangka mencari dua anak, yang bahkan Danu dan Permata belum pernah melihatnya, namun sudah yakin bahwa mereka berbuat yang terbaik.“Aku takut jika nanti teman-teman hantu itu akan marah!” ujar Danu ketika melewati sebuah bukit terjal, mereka lupa bahwa kuda mereka tertinggal jauh di belakang, dan nanti akan mengambilnya lagi dengan perjalanan panjang dan melelahkan.“Yeah, begitulah resiko yang harus kita tanggung!” sahut pemuda yang pingsan.Permata menggodanya, “Kenapa kamu tadi malam langsung berteriak pingsan?”Pemuda buruh pabrik gula tertawa keras-keras, berikutnya adalah d
Hawa dingin terasa, sampai-sampai setiap bibir bergerak bergemerutukan menahan dingin. Danu mendekapkan tangan di depan dada untuk menahan dinginnya udara berembun, berkabut, sembari menari tempat yang paling mungkin digunakan oleh hantu sebagai markas. Akhirnya Danu dan yang lain memutuskan bahwa gua pada dinding itu adalah tempat termungkin digunakan oleh hantu sebagai markas.“Kita akan masuk ke dalam gua itu!” ujar Danu sembari tangannya menunjuk gua yang tertutup kabut tipis.Pemuda buruh pabrik gula menyahuti, “Kami menurut saja denganmu!”“Benar, kita harus masuk ke dalam sana!” sahut pemuda yang pingsan, Permata meliriknya, ia menahan tawa. “Hai, kenapa kau memandangku seperti itu? Apakah kau mengira bahwa aku akan pingsan lagi?” Permata benar-benar tertawa dibuatnya.“Guanya di mana?” tiba-tiba orang tua yang rambutnya putih semua bertanya.“Oh, Tuhan! Apakah matamu benar-be
Bahkan ketika matahari bersinar di puncaknya, udara terasa dingin. Mereka berkumpul bersama di sebuah ruang yang terletak di antara bebatuan. Dua orang tua terbatuk-batuk menahan dingin udara, dua pemuda tampak bermain dan beradu kasih dengan dua adiknya. Danu dan Permata menikmati hangatnya minuman yang mereka siapkan sebelumnya. Dan dua orang lagi, siapakah dia? Oh, ternyata mereka adalah dua penjaga yang sebelumnya mengurung dia anak kecil itu di dalam penjara. Kenapa mereka berada dan berkumpul bersama dengan mereka yang lain?“Aku merasa hidupku akan berakhir di dalam lembah dan gua ini, Permata!” ujar penjaga perempuan kepada Permata.“Oh, iya? Menjadi sebuah kehormatan bertemu dengan kalian! Aku merasa senang sekali bisa bertemu dengan kalian dan menemukan sebuah makna kehidupan baru!” ujar Permata, dia hari ini penuh dengan senyuman.Satu hari yang lalu mereka bertarung dengan ganasnya dan tidak akan pernah terbayangkan bahwa akan
Sungai itu mengalirkan air dengan landai, tidak terlalu cepat. Airnya dingin, ketika kaki menginjaknya terasa sebuah nikmat dalam dekapan. Permata menanggalkan pakaiannya satu per satu. Danu mengawasinya Danu kejauhan, maksudnya menjaga Permata. Danu tidak mandi, dia sudah nyaman dengan dirinya yang sekarang.Meskipun Danu berusaha tidak melihatnya, namun jiwa yang terdalam mengatakan ia harus melihatnya. Akhirnya Dari atas batu itu Danu memandang Permata, dari kejauhan. Permata tampak anggun sekali, meskipun Danu hanya memandang leher ke atas yang tidak terendam air. Kadang-kadang dada Permata menyembut ke atas, dan saat itulah Danu mengambil napas dalam-dalam. Indah sekali tubuh Permata, batin Danu.Beberapa saat kemudian Permata telah selesai mandi, rambutnya basah dan ia mengeringkan dengan sebuah kain yang dijadikan handuk.“Kau benar-benar tidak mandi, Danu?” tanya Permata menghampiri Danu.Danu masih menahan hasratnya beberapa waktu lal
Malam hari Permata terbangun ketika mendengar langkah kaki yang berat berjalan mendekat. Permata dengan segera membangunkan Danu. Danu bangun dan segera menyadari apa yang terjadi, ia menangkan Permata. Pandangan Danu jelas lebih tajam dari pada Permata meskipun dalam hal pendengaran sebaliknya. Itu adalah dua kemampuan yang mereka asah ketika mendatangi rumah Kosala, bapak dari Rumana.“Siapa yang datang, Danu?” tanya Permata, matanya berusaha memandang siapa yang tengah berjalan mendekat, namun percuma, pandangannya tidak setajam Danu. Ia hanya bisa mendengar langkah kaki yang kian mendekat itu.“Aku melihatnya, tapi hanya sosok hitam yang berdiri di bawah gelap malam. Malam ini benar-benar gelap, Permata,” ujar Danu. Ia melanjutkan sembari tidak melepas bayangan di kejauhan sana. “Yang bisa aku pastikan sekarang ini bahwa dia tidak satu orang, ada tiga orang atau empat!”“Apa yang harus kita lakukan?” Permata se
Malam itu Danu dan Permata bermalam tidak jauh dari empat mayat yang mereka bunuh. Ketika angin berhembus, maka bau amis darah tercium, tersampaikan kepada hidung mereka. Danu dan Permata dengan hati was-was dan waspada bergantian berjaga malam itu. Ketika Danu tidur Permata dibangunkan, ketika Permata tidur Danu dibangunkan, begitu seterusnya hingga pagi menjelang.Pagi datang, sinarnya menerobos dedaunan yang hijau. Mayat-mayat itu tampak dikerubung oleh semut, kucing, bahkan ada beberapa anjing yang datang dari kejauhan. Satu di antara empat mayat itu yang paling mengenaskan, ialah mayat yang mengenakan baju berwarna biru tua, wajahnya tercabik-cabik cakar anjing, ususnya keluar semua, bahkan matanya kini telah tiada. Mereka ngeri sendiri menyaksikan pemandangan itu, hampir saja Permata muntah dibuatnya.“Ayo kita segera pergi, Danu!” ajak Permata setelah benar-benar tidak kuat.“Ayo!” sahut Danu.Mereka melanjutkan perjalanan,