Rumah gubernur ramai seperti pasar. Rakyat berkumpul di depan gerbang utama rumah, berbisik-bisik. Mereka yang di belakang berjinjit untuk mengintip ke dalam rumah.
"Ada apa ini?" tanya Bian yang menguasai tubuh Zhou.
Alih-alih mendapat jawaban, dia di dorong kasar oleh seorang pasukan.
Pasukan lain membelah kerumunan. Ketika Zhou lewat, pandangan sinis dari para warga tercipta.
"Dasar pembunuh!"
"Eksekusi saja!"
Tomat busuk, sayuran, semua melayang ke badan Zhou, tapi dia diam tak membalas. Dia tak mengerti dan penasaran ada apa?
Setibanya di ruang utama, Zhou kaget melihat Tao Qian terkapar di lantai. Darah kering menodai pakaian jug
Zhou enggan, tapi keadaan memaksa. Dia menyandera Yosa dengan merangkul dari belakang sambil mengancam akan menggorok lehernya."Sekarang kembalikan uang, juga gulungan itu kepadaku!""Zhou, apa yang kamu lakukan?" sentak Huo Tuo.Semua orang di ruang itu menjadi seperti pepohonan tertarik angin topan. Mereka tak bergerak, tapi berusaha mendekat."Ayo kalau berani maju, akan ku gorok lehernya," ancam Zhou. "Cepat, mana kantong uangku juga gulungan itu!"Dasar bedebah, sudah aku tebak, dari awal kamu mengincar sesuatu!" bentak Zhang Fei. "Sini, biar aku potong-potong kamu--"Dari samping Guan Yu menarik lengan Zhang Fei."Tenang s
Setelah sampai di kota Xuchang, Cao Cao tidak membuang waktu. Dia langsung menyuruh pasukan yang menjaga kota untuk membuat camp-camp pantau. Sementara pasukan yang baru tiba bersamanya dari Xiao Pei, beristirahat.Dia juga enggan melakukan serangan langsung ke kota, karena ingin kota kembali tanpa lecet.Sekarang para punggawa berkumpul di gedung gubernur kota Xuchang."Katakan pada mereka, pakai kuda terbaik. Cukup bantai para pasukan Lu Bu di luar tembok," perintah Xun You pada pasukan.Pasukan itu pergi tergesa keluar dari gedung."Satu minggu sudah, kapan kita serang mereka?" tanya Xiahou Dun.Cao Cao malah asik mengupas kacang tanah rebus. Dia makan sambil minum arak.&
Di bawah taburan bintang, Guo Jia bertemu Xun You. Nyala obor yang Guo Jia bawa menjadi penerang tunggal setelah Xun You menyuruh pasukan pengawalnya pergi."Ada apa?" tanya Xun You."Apa menurutmu Cao Cao setia pada Han?""Tentu. Dia punya janji pada banyak orang untuk setia pada Han. Kenapa?"Guo Jia melangkah pelan menuju aliran sungai. Di seberang jauh, cahaya dari arah kam pasukan Yuan Shao menantang langit."Jika Cao Cao menyuruh pasukan membunuh Kaisar Xian, apa pasukan akan menurut?""Tentu. Pasukan setia pada Jenderal, dan Jendral setia pada kaisar."Guo Jia menunjuk kam pasukan Yuan Shao.
Cao Cao paling suka mengamati wajah-wajah punggawa yang bingung. Dia merasa puas ketika tiada satupun orang yang mampu membaca pikirannya. Karena mereka yang bisa membaca pikiran majikan, berpotensi menggantikan posisinya kelak. "Apa kalian punya rencana?" Semua yang hadir berdiskusi, tapi tiada jawab tercipta. Xun You memutuskan maju ke tengah ruang, memberi hormat Cao Cao. "Apa rencanamu, Gubernur. Kami menanti." Cao Cao terkekeh, setengah meledek suara tawanya. "Jadi para cendikia tidak bisa menyelesaikan masalah ini, heh?" Cao Cao berdiam diri sesaat, menenangkan tawanya. "Pancing Lu Bu untuk keluar Puyang." "Akan muda
"Jangan gegabah, ini pasti jebakan." Chen Gong berusaha menghalangi Lu Bu, tapi tiada hasil. "Jangan halangi langkahku!" bentak Lu Bu. Lu Bu menunggang kuda merah, memacu kencang kuda menuju gerbang selatan. Di matanya hanya ada Xiahou Yuan. "Zhang Liao!" teriak Chen Gong. Pendekar berkumis tipis datang. Badannya kurus jangkung, berpakaian perang perak kusam. Dia memakai helm berpahat hiasan giok bentuk kepala singa. Jubahnya pun berbahan kulit singa putih. Dia Zhang Liao, pendekar bawahan Chen Gong. "Ada apa, Tuan?" "Bantu Jendral Lu Bu. Bawa pasukan utama, habisi Cao Cao kalau bisa."
Waktu melayang bak daun kering tertiup angin. Tak terasa nyaris sebulan berlalu semenjak terakhir kali Zhou menginjakkan kaki di Huasan.Sekarang Zhou menguasai tubuhnya, hendak melangkah mendaki ke puncak.Suara gaduh membuatnya urung. Tiga serangkai Bu datang menyapa. Mereka memakai pakaian bangsawan, menunggang kuda kekar. Bu Bi terkekeh menunjuk Zhou sambil menarik tali kuda."Haiya, lihat siapa pengemis di depan kita? Satu bulan tiada perubahan. Eh, mana dua pengemis lainnya?""Haa liat siapa ini, tiga penjudi sabung ayam? Habis menang judi, ya?" balas Zhou.Seperti kucing dan guguk mereka cekcok menuju gunung. Karena itu pula mereka tak sadar jika telah tiba di halaman utama perguruan.
Suara api membakar arang di obor mendominasi ruang remang. Cahaya hanya berada di sekitar obor, banyak tempat gelap di belakang pilar-pilar besar berpahat naga.Zhou tak berani mendahului guru untuk berkata. Untuk tenang susah, karena kaki kesemutan, tapi dia bertekad duduk tenang.Akhirnya, pecah juga suasana mencekam."Apa tua bangka itu tidak menitipkan sesuatu kepadamu? Beri tahu semuanya, Nak."Zhou bangkit tertunduk-tunduk memberi gulungan yang menjadi wasiat. Dia kembali duduk."Guru, boleh selonjor, kakiku--""Bebas," sahut Tao Jin lebih fokus pada gulungan.Aura putih muncul dari badan Tao Jin, telunjuk dan jari tengah menyatu
Tao Jin menggeleng, kembali duduk di tempat guru kepala biasa duduk. Dia berusaha mengalihkan perhatian."Zhou, makam asli Liu Bang berada di kota Ye, di bukit Tandus. Ke sanalah dan segera ambil pedang itu. Ikuti legenda, beri kedamaian pada rakyat."Zhou semakin tidak tenang karena Bian yang berada di dalam tubuhnya berteriak-teriak tidak jelas, memaksa Zhou untuk membuat Tao Jin bicara."Jika tidak bisa, biar aku saja! Segera tidur, kita bertukar posisi!" teriak Bian. "Cepat paksa dia! Pakai namaku kalau perlu!""Sabar Bian," sahut Qiu dari dalam tubuh Zhou. "Beri kesempatan Zhou menyusun kalimat."Zhou menghampiri Tao Jin dengan wajah memohon. "Tolong Kek, beritahu kenapa Lu Xun pergi dari Huasan."