Air muka Belval terbuka, warna kulitnya agak gelap, terbakar matahari dan kecoklatan karena cuaca, dengan ekspresi yang tulus, ceria, dan kocak. Usianya dua puluh delapan sampai tiga puluh tahun. Sikapnya menunjukkan perilaku para perwira dari kekaisaran Pertama, yang menunjukkan kekhasan kehidupan mereka di kamp yang pantas dibawa kedalam ruang duduk perempuan.
Dia berhenti untuk memandang Coralie, yang sosok rupawannya tampak menonjol diterpa sinar perapian. Dia lalu duduk di samping perempuan itu.
"Aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu," desahnya. "Di rumah sakit para dokter dan perawat memanggilmu Madame Coralie. Para pasienmu lebih suka memanggilmu Bunda. Siapa nama pemberian suami atau nama gadismu? Apa kau punya suami atau sudah janda? Di mana kau tinggal? Tidak ada yang tahu. Kau datang setiap hari pada jam yang sama dan pulang melewati jalan yang sama. Terkadang seorang pelayan tua, berambut kelabu panjang dan janggut jabrik, dengan syal wol melilit leher dan kacamata kuning bertengger di hidungnya, mengantar atau menjemputmu. Kadang-kadang dia juga menunggumu, selalu duduk di atas kursi yang sama di halaman. Dia sering ditanyai, tapi tidak pernah menjawab."
"Oleh karena itu, aku hanya tahu satu hal tentangmu, yaitu kau sangat baik hati dan juga--bolehkah aku mengatakannya?--sangat cantik. Dan mungkin karena aku tidak tahu apa pun tentang hidupmu itulah, Bunda Coralie, aku jadi membayangkan kau begitu misterius, dan dalam beberapa hal, sangat menyedihkan. Kau memberi kesan hidup di tengah kesedihan dan kecemasan, perasaan bahwa kau sendirian. Tak ada orang yang mengabdikan diri untuk membuatmu bahagia dan mengurusmu. Jadi, kupikir--sudah lama aku berpikir dan menunggu kesempatan untuk memberitahu--kupikir kau pasti membutuhkan teman, kakak laki-laki, yang bisa memberimu nasihat dan melindungimu. Apaaku benar, Bunda Coralie?"
Sementara Belval berbicara, Coralie tampak menciutkan dirinya dan membuat jarak lebih besar di antara mereka, seolah-olah tidak ingin Belval menembus wilayah rahasia yang dibicarakannya.
"Cukup," katanya, "kau keliru. Kehidupanku sangat sederhana. Aku tidak perlu dilindungi."
"Kau tidak perlu dilindungi?" seru Belval, dengan semangat meninggi. "Bagaimana dengan orang-orang yang mencoba menculikmu? Rencana jahat terhadapmu? Rencana yang begitu dirahasiakan oleh para penyerangmu sampai-sampai mereka bersedia membunuh orang yang membuat dirinya tertangkap? Apa itu tidak berarti apa-apa? Apakah aku sekedar berkhayal ketika kukatakan bahwa kau dikelilingi bahaya, kau punya musuh-musuh nekat, dan kau harus dilindungi dari mereka dan, kalau kau menolak tawaran bantuanku, aku... Yah, aku..."
Perempuan itu bersikeras sambil membisu, bersikap semakin menjauh dan menjauh, nyaris bermusuhan. Si perwira menghantam marmer di rak perapian dengan tinjunya, dan, sambil membungkuk di hadapan Coralie, menyelesaikan kalimatnya dengan nada tegas, "kalau kau menolak tawaran bantuanku, aku akan memaksanya kepadamu."
Coralie menggeleng.
"Aku akan memaksakannya kepadamu," ulang Belval tegas. "Itu sudah menjadi kewajiban dan hakku."
"Tidak," sanggah Coralie lirih.
"Hak mutlakku," tandas Kapten Belval, "untuk alasan yang melampaui semua alasan lain dan bahkan seharusnya aku tidak perlu meminta pertimbanganmu."
"Apa maksudmu?"
"Aku cinta kepadamu."
Dia mengungkapkan kata-kata itu dengan gamblang, bukan seperti seorang kekasih yang memberanikan diri membuat pernyataan malu-malu, melainkan seperti seorang laki-laki yang bangga dengan keyakinan yang dirasakannya dan dengan senang hati mengungkapkannya. Coralie menurunkan pandangannya dan tersipu.
Belval berseru penuh kemenangan, "Kau boleh yakin, Bunda. Tidak ada ledakan penuh gairah, tidak ada desahan, tidak ada lambaian tangan, tidak ada tepukan tangan. Hanya tiga kata pendek, yang kukatakan kepadamu tanpa berlutut. Dan itu lebih mudah bagiku karena kau mengetahuinya. Ya, Madame Coralie, tidak mengapa merasa malu, tapi kau tahu rasa cintaku kepadamu dan kau sudah lama mengetahuinya, sama sepertiku. Kita bersama-sama melihatnya lahir saat tangan mungilmu yang penuh kasih sayang menyentuh kepalaku yang babak belur. Tangan perawat lain menyiksaku. Denganmu, tidak ada yang lain selain belaian. Begitu juga rasa iba di matamu dan air mata yang menetes karena aku sangat kesakitan. Tapi, bisakah siapa pun melihatmu tanpa mencintaimu? Ketujuh pasienmu yang baru saja berada di sini semuanya jatuh cinta kepadamu, Bunda Coralie. Ya-Bon memuja tanah yang kau injak. Hanya, mereka prajurit. Mereka tidak bisa bicara. Aku perwira dan aku bicara tanpa keraguan atau merasa malu, percayalah kepadaku."
Coralie menempelkan tangan ke pipi yang membara dan tak bersuara, sambil membungkukkan badan.
"Kau mengerti yang kumaksud, bukan," Belval melanjutkan, dengan suara lantang, "saat kubilang bahwa aku berbicara tanpa keraguan dan rasa malu? Seandainya sebelum perang aku adalah diriku yang sekarang, seorang laki-laki cacat, kepercayaan diriku tidaklah sama dan aku pasti menyatakan cintaku kepadamu dengan kerendahan hati dan memohon maaf atas kelancanganku. Tapi, sekarang! Percayalah, Bunda Coralie, ketika aku duduk di sini bertatap muka dengan perempuan yang kupuja, aku tidak memikirkan kecacatanku. Tak sekejap pun aku mendapat kesan di matamu aku akan tampak konyol atau sombong."
Dia berhenti, seolah-olah untuk mengambil napas, dan kemudian, sambil bangkit, melanjutkan, "Dan memang harus begitu. Orang harus mengerti bahwa mereka yang menjadi dalam perang ini tidak menganggap diri mereka sebagai orang terbuang, bebek timpang, atau penderita kusta, melainkan sebagai manusia yang benar-benar normal. Ya, normal! Kekurangan satu kaki? Mengapa memangnya? Apa itu membuat seorang laki-laki terampas otak atau hatinya? Lagi pula, apakah karena perang telah mengambil satu kaki dariku, atau satu tangan, atau bahkan kedua kaki atau kedua tangan, aku tidak punya hak lagi untuk mencintai seorang perempuan, kecuali dengan risiko mengalami penolakan atau membayangkan dia mengasihaniku? Mengasihani!""Tapi, kami tidak mau dikasihani perempuan, atau terpaksa dicintai perempuan, atau bahkan berpikir bahwa dia sedang beramal karena memperlakukan kami dengan ramah. Apa yang kami inginkan, dari perempuan dan dari dunia pada umumnya, dari mereka yang kami jumpa
"Di dalam wujud baru kemanusiaan yang tengah dipersiapkan untuk masa depan, akan ada laki-laki dengan dua tangan dan laki-laki dengan satu tangan saja, sebagaimana halnya ada laki-laki berkulit putih dan gelap, laki-laki berjanggut dan bercukur licin. Dan semua itu akan tampak sangat alami. Setiap orang akan menjalani hidup yang dikehendakinya, tanpa merasa perlu memiliki anggota tubuh yang lengkap. Dan, karena hidupku terpusat kepadamu, Bunda Coralie, dan karena kebahagiaanku tergantung kepadamu, kupikir aku tak perlu menunda lagi menyampaikan pidato kecilku kepadamu. Nah! Sudah selesai! Masih banyak yang ingin kukatakan tentang topik ini, tapi semua itu tidak bisa dikatakan dalam satu hari, bukan?"Dia berhenti, terpecah konsentrasinya oleh kebisuan Coralie. Perempuan itu tidak bergerak sejak kata pertama tentang cinta diutarakan. Tangannya meraba kening dan pundaknya agak gemetar.Belval membungkuk, dan dengan sangat lembut, menyingkirkan jemari lentik itu, membuat
Waktu hampir menunjukkan pukul setengah tujuh dan bayang-bayang senja semakin pekat ketika dua orang tentara di ruang terbuka kecil yang ditanami pepohonan, di seberang Musee Galliera, tempat pertemuan antara Rue de Chaillot dan Rue Pierre-Charron. Tentara yang satu memakai mantel panjang khas pasukan infanteri berwarna biru langit: yang lainnya, orang Senegal mengenakan pakaian dari bahan wol yang tidak dicelup,berupa celana gombrong dan jaket bersabuk---jenis pakaian yang dipakai Resimen Zouave dan tentara pribumi Afrika sejak peperangan. Salah seorang dari mereka kehilangan kaki kanannya, yang lainnya lengan kiri.Mereka berjalan mengitari tempat terbuka, yang di tengah-tengahnya terdapat sekelompok patung indah Silenus itu, dan berhenti. Si tentara infanteri membuang rokoknya. Orang Senegal memungutnya, mengisapnya beberapa kali dengan cepat, lalu mematikan dengan cara meremas di antara ibu jari dan telunjuk lalu menjejalkannya ke dalam sakunya. Semua itu be
Sementara itu, si perawat berjalan tanpa menoleh. Perwira menyeberangi jalan dan mempercepat langkahnya, terlebih lagi karena dia lihat taksi itu juga menambah kecepatannya saat si perempuan semakin dekat menuju area di depan museum.Dari posisinya berada, perwira bisa melihat hampir keseluruhan alun-alun sempit itu, dan walaupun berusaha mengamati dengan tajam, dia tak melihat apa-apa yang bisa mengungkapkan keberadaan tujuh laki-laki cacat yang terselubung kegelapan. Apalagi tak seorang pun melintas, dengan berjalan kaki atau berkendara. Dari kejauhan, di persimpangan lebar yang terbalut senja, dua kereta listrik dengan tirai tertutup mengusik keheningan.Perempuan itu juga tampaknya tidak melihat sesuatu yang membuatnya cemas, seandainya dia memerhatikan jalan. Dia sama sekali memperlihatkan keraguan. Dan tampaknya dia juga tidak menyadari ada taksi yang membuntutinya, karena dia sama sekali tidak menoleh.Namun, taks
Dibantu oleh salah seorang tentara, dengan lembut dia membantu Coralie masuk ke rumah yang dia tinggalkan tiga perempat jam yang lalu. Coralie membiarkan lelaki itu melakukan apa yang dia suka. Mereka semua memasuki apartemen di lantai dasar dan pergi ke ruang duduk, di sana api dari kayu perapian menyala terang. Lelaki itu menyalakan lampu listrik."Duduklah." Katanya.Coralie mengempaskan diri ke sebuah kursi, dan kapten langsung memberikan perintah, "Kau, Poulard, pergi dan ambil gelas di ruang makan. Dan kau Ribrac, ambil kendi air dingin di dapur. Chatelain, kau cari sebotol rum di ruang penyimpan makanan. Atau, tunggu, dia tidak suka rum. Kalau begitu...""Kalau begitu," ujar perempuan itu, tersenyum, "segelas air saja."Pipi yang memang pada dasarnya pucat itu sedikit pulih kehangatannya. Darah mengalir kembali ke bibirnya dan senyum di wajahnya penuh percaya diri. Wajah memesona dan lembut it
Ya-Bon agak seperti raksasa, kulitnya sewarna batu bara mengilap, dengan kepala bagian wol, dan sedikit bulu-bulu ikal di dagu. Lengan baju yang kosong diikatkan ke bahu kirinya dan dua medali yang tersemat di jaketnya. Salah satu pipi Ya-Bon, satu sisi rahangnya, setengah bagian mulut, dan seluruh langit-langit mulutnya hancur oleh pecahan peluru. Setengah bagian mulutnya yang lain terbelah sampai telinga sehingga dia tampak seperti sedang tertawa tanpa henti dan itu menambah kejanggalan karena bagian wajahnya yang cedera, yang ditambal sebaik mungkin dan ditutupi dengan kulit yang dicangkokkan, tetap tanpa ekspresi.Setelah itu, Ya-Bon kehilangan kemampuan berbicaranya. Hal yang bisa dilakukannya hanyalah mengeluarkan serangkaian geraman tidak jelas dan dari sanalah julukan"Ya-Bon" senantiasa dipakainya.Ya-Bon menggeram dengan sikap puas, menatap bergantian dari tuan ke korbannya, seperti anjing pemburu yang baik berdiri di atas bur
Dia mengeluarkan buku catatan dari saku dan melanjutkan, "Kalimat-kalimat yang menarik perhatianku ini, alasannya akan segera kau mengerti, didahului oleh Kalimat-kalimat lain yang membicarakan tentang bunga api, hujan bunga api yang telah terjadi dua kali sebelum perang, semacam sinyal malam hari yang kemungkinan akan terulang dan rencananya akan mereka lihat, agar dapat segera mengambil tindakan begitu bunga api itu muncul. Apakah semua ini ada artinya bagimu?""Tidak. Mengapa?"Nanti kau akan mengetahuinya. Omong-omong, aku lupa mengatakan kepadamu bahwa kedua orang itu berbicara dalam bahasa Inggris, dengan cukup baik, tapi dengan aksen yang membuatku yakin mereka bukan orang Inggris. Inilah yang mereka bincangkan, setelah di terjemahkan, 'Jadi, kesimpulannya,' kata yang satu,' semuanya sudah diputuskan. Kau dan dia akan berada di tempat yang telah ditetapkan malam ini sebelum pukul tujuh.' 'Kami akan berada di sana, Kolonel. Kami sudah
Kapten diam sejenak, lalu melanjutkan, "Kalau begitu, satu-satunya harapan kita mengetahui permasalahan ini hanyalah dengan menanyai tawanan kita. Kalau dia menolak menjawab, aku akan menyerahkannya kepada polisi, mereka pasti tahu bagaimana cara menyelesaikan urusan ini sampai ke akar-akarnya."Coralie terkejut,"Polisi?""Nah, tentu saja. Memangnya kau mau kuapakan orang itu? Dia bukan milikku. Dia milik polisi.""Tidak, tidak, tidak!" seru Coralie dengan khawatir. "Sama sekali tidak! Apa jadinya nanti...? Harus menghadap hakim...? Namaku terlibat dalam semua ini...?""Tapi, Bunda Coralie, tidak bisa...""Oh, kumohon, aku memohon dengan sangat kepadamu, sebagai temanku, carilah jalan keluar dari masalah ini, tapi jangan biarkan aku dibicarakan orang! Aku tidak mau dibicarakan orang!"Kapten menatap Coralie, agak terkejut melihatnya gelisah seperti itu, dan b