Ya-Bon agak seperti raksasa, kulitnya sewarna batu bara mengilap, dengan kepala bagian wol, dan sedikit bulu-bulu ikal di dagu. Lengan baju yang kosong diikatkan ke bahu kirinya dan dua medali yang tersemat di jaketnya. Salah satu pipi Ya-Bon, satu sisi rahangnya, setengah bagian mulut, dan seluruh langit-langit mulutnya hancur oleh pecahan peluru. Setengah bagian mulutnya yang lain terbelah sampai telinga sehingga dia tampak seperti sedang tertawa tanpa henti dan itu menambah kejanggalan karena bagian wajahnya yang cedera, yang ditambal sebaik mungkin dan ditutupi dengan kulit yang dicangkokkan, tetap tanpa ekspresi.
Setelah itu, Ya-Bon kehilangan kemampuan berbicaranya. Hal yang bisa dilakukannya hanyalah mengeluarkan serangkaian geraman tidak jelas dan dari sanalah julukan"Ya-Bon" senantiasa dipakainya.
Ya-Bon menggeram dengan sikap puas, menatap bergantian dari tuan ke korbannya, seperti anjing pemburu yang baik berdiri di atas burung yang dipungutnya.
"Bagus," kata si perwira. "Tapi, lain kali, lakukan pekerjaanmu dengan lebih lembut."
Dia membungkuk di atas laki-laki itu, meraba jantungnya dan, setelah tahu laki-laki itu hanya pingsan, bertanya kepada perawat, "Apa kau kenal dia?"
"Tidak," jawab Coralie.
"Apa kau yakin? Pernahkah kau melihat kepala itu di suatu tempat?"
Kepala itu sangat besar, berambut hitam, diminyaki, dan janggut lebat. Pakaian wol tebal berwarna biru tua dan berpotongan bagus yang dikenakan laki-laki itu menunjukkan bahwa dia berkecukupan.
"Tidak pernah... tidak pernah,"tandas Coralie.
Kapten Belval menggeledah saku-saku si laki-laki. Tak ada surat keterangan apa pun.
"Baiklah," katanya, sambil bangkit berdiri, "kita akan menunggu sampai dia sadar, lalu menanyainya. Ya-Bon, ikat tangan dan kakinya dan tunggu di sini, di aula. Kalian yang lain, pulanglah, sudah waktunya kalian berada dalam rumah. Aku bawa kunci. Ucapkan selamat tinggal kepada Bunda Coralie, lalu pergilah."
Setelah kata perpisahan diucapkan, dia mendorong mereka keluar, lalu kembali mendatangi si perawat, membimbingnya ke ruang duduk dan berkata, " Sekarang mari kita bicara, Bunda Coralie. Pertama sebelum kita mencoba menjelaskan segala sesuatunya, dengarkan aku. Tidak akan lama."
Mereka duduk di depan perapian yang menyala riang. Patrice Belval menyelipkan kursi bulat di bawah kaki Bunda Coralie, memadamkan lampu yang tampak membuatnya terganggu, dan setelah yakin perempuan itu nyaman, dia memulai.
"Seperti yang kau tahu, Bunda Coralie, aku meninggalkan rumah sakit seminggu yang lalu dan tinggal di Boulevard Maillot, di Neuilly, di rumah yang disediakan untuk pasien rumah sakit yang berada dalam masa penyembuhan. Aku tidur di sana malam hari dan luka-lukaku mendapat perawatan pada pagi hari. Sisa waktu kuhabiskan dengan berleha-leha. Aku berjalan-jalan, makan siang, dan makan malam sesuka hati dan pergi mengunjungi teman-teman. Nah, pagi ini, sewaktu aku sedang menunggu salah satu dari mereka di sebuah restoran-kafe besar di jalan utama, tak sengaja kudengar akhir sebuah percakapan."
"Tapi, aku harus menceritakan, tempat itu terbagi dua oleh partisi yang tingginya sekitar seratus delapan puluh senti, dengan pengunjung kafe di satu sisi dan pengunjung restoran di sisi yang lain. Aku sendirian di restoran, kedua orang itu memunggungiku sehingga aku tidak melihat mereka, mungkin mereka juga menyangka tidak ada orang lain di sana, karena mereka berbicara lebih keras daripada yang diperlukan, mengingat apa isi pembicaraan yang kudengar tanpa sengaja itu, dan setelah itu kutuliskan di dalam buku catatan kecilku."
Dia mengeluarkan buku catatan dari saku dan melanjutkan, "Kalimat-kalimat yang menarik perhatianku ini, alasannya akan segera kau mengerti, didahului oleh Kalimat-kalimat lain yang membicarakan tentang bunga api, hujan bunga api yang telah terjadi dua kali sebelum perang, semacam sinyal malam hari yang kemungkinan akan terulang dan rencananya akan mereka lihat, agar dapat segera mengambil tindakan begitu bunga api itu muncul. Apakah semua ini ada artinya bagimu?""Tidak. Mengapa?"Nanti kau akan mengetahuinya. Omong-omong, aku lupa mengatakan kepadamu bahwa kedua orang itu berbicara dalam bahasa Inggris, dengan cukup baik, tapi dengan aksen yang membuatku yakin mereka bukan orang Inggris. Inilah yang mereka bincangkan, setelah di terjemahkan, 'Jadi, kesimpulannya,' kata yang satu,' semuanya sudah diputuskan. Kau dan dia akan berada di tempat yang telah ditetapkan malam ini sebelum pukul tujuh.' 'Kami akan berada di sana, Kolonel. Kami sudah
Kapten diam sejenak, lalu melanjutkan, "Kalau begitu, satu-satunya harapan kita mengetahui permasalahan ini hanyalah dengan menanyai tawanan kita. Kalau dia menolak menjawab, aku akan menyerahkannya kepada polisi, mereka pasti tahu bagaimana cara menyelesaikan urusan ini sampai ke akar-akarnya."Coralie terkejut,"Polisi?""Nah, tentu saja. Memangnya kau mau kuapakan orang itu? Dia bukan milikku. Dia milik polisi.""Tidak, tidak, tidak!" seru Coralie dengan khawatir. "Sama sekali tidak! Apa jadinya nanti...? Harus menghadap hakim...? Namaku terlibat dalam semua ini...?""Tapi, Bunda Coralie, tidak bisa...""Oh, kumohon, aku memohon dengan sangat kepadamu, sebagai temanku, carilah jalan keluar dari masalah ini, tapi jangan biarkan aku dibicarakan orang! Aku tidak mau dibicarakan orang!"Kapten menatap Coralie, agak terkejut melihatnya gelisah seperti itu, dan b
"satu lagi bajingan berkurang di dunia, Bunda Coralie!" Teriak Patrice Belval, setelah dia membawa perempuan itu kembali ke ruang duduk dan melakukan penyelidikan cepat dengan Ya-Bon. "Ingat namanya--aku menemukannya terukir di arlojinya--Mustapha Rovalaiof, nama seorang bajingan!"Dia berbicara dengan riang, tanpa emosi dalam suaranya, dan melanjutkan, sambil berjalan mondar-mandir di ruangan itu."Kau dan aku, Bunda Coralie, yang telah menjadi saksi mata begitu banyak tragedi dan melihat begitu banyak rekan yang baik meninggal,tak perlu menyia-nyiakan air mata atas kematian Mustapha Rovalaiof atau pembunuhan atas dirinya yang dilakukan antek-anteknya. Bahkan pidato pemakaman juga tidak usah, bukan begitu? Ya-Bon berhasil meringkus laki-laki itu, menunggu sampai alun-alun sepi dan membawanya ke Rue Brignoles, dengan perintah untuk melemparkan laki-laki itu melewati pagar ke kebun Musee Galliera. Pagar tinggi. Tapi, tangan kanan Ya-Bon tidak
Air muka Belval terbuka, warna kulitnya agak gelap, terbakar matahari dan kecoklatan karena cuaca, dengan ekspresi yang tulus, ceria, dan kocak. Usianya dua puluh delapan sampai tiga puluh tahun. Sikapnya menunjukkan perilaku para perwira dari kekaisaran Pertama, yang menunjukkan kekhasan kehidupan mereka di kamp yang pantas dibawa kedalam ruang duduk perempuan.Dia berhenti untuk memandang Coralie, yang sosok rupawannya tampak menonjol diterpa sinar perapian. Dia lalu duduk di samping perempuan itu."Aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu," desahnya. "Di rumah sakit para dokter dan perawat memanggilmu Madame Coralie. Para pasienmu lebih suka memanggilmu Bunda. Siapa nama pemberian suami atau nama gadismu? Apa kau punya suami atau sudah janda? Di mana kau tinggal? Tidak ada yang tahu. Kau datang setiap hari pada jam yang sama dan pulang melewati jalan yang sama. Terkadang seorang pelayan tua, berambut kelabu panjang dan janggut jabrik, dengan
Dia berhenti, seolah-olah untuk mengambil napas, dan kemudian, sambil bangkit, melanjutkan, "Dan memang harus begitu. Orang harus mengerti bahwa mereka yang menjadi dalam perang ini tidak menganggap diri mereka sebagai orang terbuang, bebek timpang, atau penderita kusta, melainkan sebagai manusia yang benar-benar normal. Ya, normal! Kekurangan satu kaki? Mengapa memangnya? Apa itu membuat seorang laki-laki terampas otak atau hatinya? Lagi pula, apakah karena perang telah mengambil satu kaki dariku, atau satu tangan, atau bahkan kedua kaki atau kedua tangan, aku tidak punya hak lagi untuk mencintai seorang perempuan, kecuali dengan risiko mengalami penolakan atau membayangkan dia mengasihaniku? Mengasihani!""Tapi, kami tidak mau dikasihani perempuan, atau terpaksa dicintai perempuan, atau bahkan berpikir bahwa dia sedang beramal karena memperlakukan kami dengan ramah. Apa yang kami inginkan, dari perempuan dan dari dunia pada umumnya, dari mereka yang kami jumpa
"Di dalam wujud baru kemanusiaan yang tengah dipersiapkan untuk masa depan, akan ada laki-laki dengan dua tangan dan laki-laki dengan satu tangan saja, sebagaimana halnya ada laki-laki berkulit putih dan gelap, laki-laki berjanggut dan bercukur licin. Dan semua itu akan tampak sangat alami. Setiap orang akan menjalani hidup yang dikehendakinya, tanpa merasa perlu memiliki anggota tubuh yang lengkap. Dan, karena hidupku terpusat kepadamu, Bunda Coralie, dan karena kebahagiaanku tergantung kepadamu, kupikir aku tak perlu menunda lagi menyampaikan pidato kecilku kepadamu. Nah! Sudah selesai! Masih banyak yang ingin kukatakan tentang topik ini, tapi semua itu tidak bisa dikatakan dalam satu hari, bukan?"Dia berhenti, terpecah konsentrasinya oleh kebisuan Coralie. Perempuan itu tidak bergerak sejak kata pertama tentang cinta diutarakan. Tangannya meraba kening dan pundaknya agak gemetar.Belval membungkuk, dan dengan sangat lembut, menyingkirkan jemari lentik itu, membuat
Waktu hampir menunjukkan pukul setengah tujuh dan bayang-bayang senja semakin pekat ketika dua orang tentara di ruang terbuka kecil yang ditanami pepohonan, di seberang Musee Galliera, tempat pertemuan antara Rue de Chaillot dan Rue Pierre-Charron. Tentara yang satu memakai mantel panjang khas pasukan infanteri berwarna biru langit: yang lainnya, orang Senegal mengenakan pakaian dari bahan wol yang tidak dicelup,berupa celana gombrong dan jaket bersabuk---jenis pakaian yang dipakai Resimen Zouave dan tentara pribumi Afrika sejak peperangan. Salah seorang dari mereka kehilangan kaki kanannya, yang lainnya lengan kiri.Mereka berjalan mengitari tempat terbuka, yang di tengah-tengahnya terdapat sekelompok patung indah Silenus itu, dan berhenti. Si tentara infanteri membuang rokoknya. Orang Senegal memungutnya, mengisapnya beberapa kali dengan cepat, lalu mematikan dengan cara meremas di antara ibu jari dan telunjuk lalu menjejalkannya ke dalam sakunya. Semua itu be
Sementara itu, si perawat berjalan tanpa menoleh. Perwira menyeberangi jalan dan mempercepat langkahnya, terlebih lagi karena dia lihat taksi itu juga menambah kecepatannya saat si perempuan semakin dekat menuju area di depan museum.Dari posisinya berada, perwira bisa melihat hampir keseluruhan alun-alun sempit itu, dan walaupun berusaha mengamati dengan tajam, dia tak melihat apa-apa yang bisa mengungkapkan keberadaan tujuh laki-laki cacat yang terselubung kegelapan. Apalagi tak seorang pun melintas, dengan berjalan kaki atau berkendara. Dari kejauhan, di persimpangan lebar yang terbalut senja, dua kereta listrik dengan tirai tertutup mengusik keheningan.Perempuan itu juga tampaknya tidak melihat sesuatu yang membuatnya cemas, seandainya dia memerhatikan jalan. Dia sama sekali memperlihatkan keraguan. Dan tampaknya dia juga tidak menyadari ada taksi yang membuntutinya, karena dia sama sekali tidak menoleh.Namun, taks