Share

BAB 4

Ya-Bon agak seperti raksasa, kulitnya sewarna batu bara mengilap, dengan kepala bagian wol, dan sedikit bulu-bulu ikal di dagu. Lengan baju yang kosong diikatkan ke bahu kirinya dan dua medali yang tersemat di jaketnya. Salah satu pipi Ya-Bon, satu sisi rahangnya, setengah bagian mulut, dan seluruh langit-langit mulutnya hancur oleh pecahan peluru. Setengah bagian mulutnya yang lain terbelah sampai telinga sehingga dia tampak seperti sedang tertawa tanpa henti dan itu menambah kejanggalan karena bagian wajahnya yang cedera, yang ditambal sebaik mungkin dan ditutupi dengan kulit yang dicangkokkan, tetap tanpa ekspresi.

Setelah itu, Ya-Bon kehilangan kemampuan berbicaranya. Hal yang bisa dilakukannya hanyalah mengeluarkan serangkaian geraman tidak jelas dan dari sanalah julukan"Ya-Bon" senantiasa dipakainya.

Ya-Bon menggeram dengan sikap puas,  menatap bergantian dari tuan ke korbannya, seperti anjing pemburu yang baik berdiri di atas burung yang dipungutnya.

"Bagus," kata si perwira. "Tapi, lain kali, lakukan pekerjaanmu dengan lebih lembut."

Dia membungkuk di atas laki-laki itu, meraba jantungnya dan, setelah tahu laki-laki itu hanya pingsan, bertanya kepada perawat, "Apa kau kenal dia?"

"Tidak," jawab Coralie.

"Apa kau yakin? Pernahkah kau melihat kepala itu di suatu tempat?"

Kepala itu sangat besar, berambut hitam, diminyaki, dan janggut lebat. Pakaian wol tebal berwarna biru tua dan berpotongan bagus yang dikenakan laki-laki itu menunjukkan bahwa dia berkecukupan.

"Tidak pernah... tidak pernah,"tandas Coralie.

Kapten Belval menggeledah saku-saku si laki-laki. Tak ada surat keterangan apa pun.

"Baiklah," katanya, sambil bangkit berdiri, "kita akan menunggu sampai dia sadar, lalu menanyainya. Ya-Bon, ikat tangan dan kakinya dan tunggu di sini, di aula. Kalian yang lain, pulanglah, sudah waktunya kalian berada dalam rumah. Aku bawa kunci. Ucapkan selamat tinggal kepada Bunda Coralie, lalu pergilah."

Setelah kata perpisahan diucapkan, dia mendorong mereka keluar, lalu kembali mendatangi si perawat, membimbingnya ke ruang duduk dan berkata, " Sekarang mari kita bicara, Bunda Coralie. Pertama sebelum kita mencoba menjelaskan segala sesuatunya, dengarkan aku. Tidak akan lama."

Mereka duduk di depan perapian yang menyala riang. Patrice Belval menyelipkan kursi bulat di bawah kaki Bunda Coralie, memadamkan lampu yang tampak membuatnya terganggu, dan setelah yakin perempuan itu nyaman, dia memulai.

"Seperti yang kau tahu, Bunda Coralie, aku meninggalkan rumah sakit seminggu yang lalu dan tinggal di Boulevard Maillot, di Neuilly, di rumah yang disediakan untuk pasien rumah sakit yang berada dalam masa penyembuhan. Aku tidur di sana malam hari dan luka-lukaku mendapat perawatan pada pagi hari. Sisa waktu kuhabiskan dengan berleha-leha. Aku berjalan-jalan, makan siang, dan makan malam sesuka hati dan pergi mengunjungi teman-teman. Nah, pagi ini, sewaktu aku sedang menunggu salah satu dari mereka di sebuah restoran-kafe besar di jalan utama, tak sengaja kudengar akhir sebuah percakapan."

"Tapi, aku harus menceritakan, tempat itu terbagi dua oleh partisi yang tingginya sekitar seratus delapan puluh senti, dengan pengunjung kafe di satu sisi dan pengunjung restoran di sisi yang lain. Aku sendirian di restoran, kedua orang itu memunggungiku sehingga aku tidak melihat mereka, mungkin mereka juga menyangka tidak ada orang lain di sana, karena mereka berbicara lebih keras daripada yang diperlukan, mengingat apa isi pembicaraan yang kudengar tanpa sengaja itu, dan setelah itu kutuliskan di dalam buku catatan kecilku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status