Dibantu oleh salah seorang tentara, dengan lembut dia membantu Coralie masuk ke rumah yang dia tinggalkan tiga perempat jam yang lalu. Coralie membiarkan lelaki itu melakukan apa yang dia suka. Mereka semua memasuki apartemen di lantai dasar dan pergi ke ruang duduk, di sana api dari kayu perapian menyala terang. Lelaki itu menyalakan lampu listrik.
"Duduklah." Katanya.
Coralie mengempaskan diri ke sebuah kursi, dan kapten langsung memberikan perintah, "Kau, Poulard, pergi dan ambil gelas di ruang makan. Dan kau Ribrac, ambil kendi air dingin di dapur. Chatelain, kau cari sebotol rum di ruang penyimpan makanan. Atau, tunggu, dia tidak suka rum. Kalau begitu..."
"Kalau begitu," ujar perempuan itu, tersenyum, "segelas air saja."
Pipi yang memang pada dasarnya pucat itu sedikit pulih kehangatannya. Darah mengalir kembali ke bibirnya dan senyum di wajahnya penuh percaya diri. Wajah memesona dan lembut itu memiliki raut sempurna, lekukan-lekukannya nyaris terlalu halus, kulit putih dan ekspresinya lugu seperti kanak-kanak yang takjub menatap hidup dengan mata yang selalu terbuka lebar. Dan semua keelokan dan kejelitaan yang pada saat-saat tertentu memancarkan energi ini tak diragukan lagi berkat mata hitamnya yang berbinar, dan helaian rambut hitam lembut yang tergerai di kedua sisi wajahnya dari bawah topi putih yang mengurung kening.
"Aha!" seru Si Kapten dengan riang, ketika perempuan itu meminum air. "Kau merasa lebih baik, bukan, Bunda Coralie?"
"Jauh lebih baik."
"Bagus. Tapi, kita baru saja melewati menit-menit yang buruk! Petualangan yang luar biasa! Kita harus membahasnya dan mencari penjelasannya, bukan begitu? Sementara itu, anak-anak,beri hormat kepada Bunda Coralie. Teman-teman, siapa sangka, sewaktu dia memanjakan kalian dan menepuk-nepuk bantal kalian supaya kepala kalian bisa terbenam dalam kelembutannya, suatu hari kita akan merawatnya dan anak-anak bisa memanjakan bunda mereka?"
Mereka semua berdesakan mengelilingi perempuan itu, yang bertangan satu dan berkaki satu, yang cacat dan yang sakit, semua gembira melihatnya. Coralie menjabat tangan mereka dengan penuh kasih sayang,
"Nah, Ribrac, apa kabar tungkaimu?"
"Aku sudah tidak merasakannya lagi, Bunda Coralie."
"Dan kau, Vatinel? Luka di pundakmu?"
"Sama sekali tidak terasa bekasnya,Bunda Coralie."
"Dan kau, Poulard? Dan kau, Jorisse?"
Emosinya memuncak karena bertemu mereka lagi, orang-orang yang dia sebut sebagai anak-anaknya.
Patrice Belval berseru, "Ah, Bunda Coralie, sekarang kau menangis! Bunda, Bunda, begitulah caramu menaklukkan hati kami. Saat kami berusaha sekuat tenaga untuk tidak berteriak, di ranjang penderitaan kami, kami sering melihat matamu digenangi air. Bunda Coralie menangisi anak-anaknya. Lalu, kami semakin kencang mengertakkan geraham."
"Dan air mataku semakin deras mengalir," timpal Coralie, "hanya karena kalian takut membuatku sedih."
"Hari ini kau melakukannya lagi. Hatimu memang terlalu lembut! Kau mencintai kami. Kami mencintaimu. Tidak ada yang ditangisi. Ayolah, Bunda Coralie, mana senyumanmu... Nah, itu Ya-Bon datang, dan Ya-Bon selalu tertawa."
Tiba-tiba Coralie bangkit.
"Apa menurutmu dia bisa mengalahkan salah satu dari kedua orang itu?"
Apa menurutku bisa? Aku menyuruh Ya-Bon membawa pulang satu orang dengan membekuk lehernya. Dia tidak akan gagal. Aku hanya mengkhawatirkan satu hal..."
Mereka pergi ke aula. Si orang Senegal sudah berada di tangga. Dengan tangan kanannya dia mencengkram leher seorang laki-laki, lebih tepatnya buntalan kain lunglai, yang dipegangnya sejauh rentangan tangan, seperti boneka wayang.
"Lepaskan dia," kata Kapten.
Ya-Bon mengendurkan cengkramannya. Laki-laki itu jatuh ke ubin aula.
"Itulah yang kukhawatirkan,"gumam perwira itu. "Ya-Bon hanya punya tangan kanan, tapi, saat tangan itu mencengkram siapa saja di bagian leher, sungguh suatu keajaiban orang itu tidak tercekik. Orang-orang Jerman sudah tahu itu."
Ya-Bon agak seperti raksasa, kulitnya sewarna batu bara mengilap, dengan kepala bagian wol, dan sedikit bulu-bulu ikal di dagu. Lengan baju yang kosong diikatkan ke bahu kirinya dan dua medali yang tersemat di jaketnya. Salah satu pipi Ya-Bon, satu sisi rahangnya, setengah bagian mulut, dan seluruh langit-langit mulutnya hancur oleh pecahan peluru. Setengah bagian mulutnya yang lain terbelah sampai telinga sehingga dia tampak seperti sedang tertawa tanpa henti dan itu menambah kejanggalan karena bagian wajahnya yang cedera, yang ditambal sebaik mungkin dan ditutupi dengan kulit yang dicangkokkan, tetap tanpa ekspresi.Setelah itu, Ya-Bon kehilangan kemampuan berbicaranya. Hal yang bisa dilakukannya hanyalah mengeluarkan serangkaian geraman tidak jelas dan dari sanalah julukan"Ya-Bon" senantiasa dipakainya.Ya-Bon menggeram dengan sikap puas, menatap bergantian dari tuan ke korbannya, seperti anjing pemburu yang baik berdiri di atas bur
Dia mengeluarkan buku catatan dari saku dan melanjutkan, "Kalimat-kalimat yang menarik perhatianku ini, alasannya akan segera kau mengerti, didahului oleh Kalimat-kalimat lain yang membicarakan tentang bunga api, hujan bunga api yang telah terjadi dua kali sebelum perang, semacam sinyal malam hari yang kemungkinan akan terulang dan rencananya akan mereka lihat, agar dapat segera mengambil tindakan begitu bunga api itu muncul. Apakah semua ini ada artinya bagimu?""Tidak. Mengapa?"Nanti kau akan mengetahuinya. Omong-omong, aku lupa mengatakan kepadamu bahwa kedua orang itu berbicara dalam bahasa Inggris, dengan cukup baik, tapi dengan aksen yang membuatku yakin mereka bukan orang Inggris. Inilah yang mereka bincangkan, setelah di terjemahkan, 'Jadi, kesimpulannya,' kata yang satu,' semuanya sudah diputuskan. Kau dan dia akan berada di tempat yang telah ditetapkan malam ini sebelum pukul tujuh.' 'Kami akan berada di sana, Kolonel. Kami sudah
Kapten diam sejenak, lalu melanjutkan, "Kalau begitu, satu-satunya harapan kita mengetahui permasalahan ini hanyalah dengan menanyai tawanan kita. Kalau dia menolak menjawab, aku akan menyerahkannya kepada polisi, mereka pasti tahu bagaimana cara menyelesaikan urusan ini sampai ke akar-akarnya."Coralie terkejut,"Polisi?""Nah, tentu saja. Memangnya kau mau kuapakan orang itu? Dia bukan milikku. Dia milik polisi.""Tidak, tidak, tidak!" seru Coralie dengan khawatir. "Sama sekali tidak! Apa jadinya nanti...? Harus menghadap hakim...? Namaku terlibat dalam semua ini...?""Tapi, Bunda Coralie, tidak bisa...""Oh, kumohon, aku memohon dengan sangat kepadamu, sebagai temanku, carilah jalan keluar dari masalah ini, tapi jangan biarkan aku dibicarakan orang! Aku tidak mau dibicarakan orang!"Kapten menatap Coralie, agak terkejut melihatnya gelisah seperti itu, dan b
"satu lagi bajingan berkurang di dunia, Bunda Coralie!" Teriak Patrice Belval, setelah dia membawa perempuan itu kembali ke ruang duduk dan melakukan penyelidikan cepat dengan Ya-Bon. "Ingat namanya--aku menemukannya terukir di arlojinya--Mustapha Rovalaiof, nama seorang bajingan!"Dia berbicara dengan riang, tanpa emosi dalam suaranya, dan melanjutkan, sambil berjalan mondar-mandir di ruangan itu."Kau dan aku, Bunda Coralie, yang telah menjadi saksi mata begitu banyak tragedi dan melihat begitu banyak rekan yang baik meninggal,tak perlu menyia-nyiakan air mata atas kematian Mustapha Rovalaiof atau pembunuhan atas dirinya yang dilakukan antek-anteknya. Bahkan pidato pemakaman juga tidak usah, bukan begitu? Ya-Bon berhasil meringkus laki-laki itu, menunggu sampai alun-alun sepi dan membawanya ke Rue Brignoles, dengan perintah untuk melemparkan laki-laki itu melewati pagar ke kebun Musee Galliera. Pagar tinggi. Tapi, tangan kanan Ya-Bon tidak
Air muka Belval terbuka, warna kulitnya agak gelap, terbakar matahari dan kecoklatan karena cuaca, dengan ekspresi yang tulus, ceria, dan kocak. Usianya dua puluh delapan sampai tiga puluh tahun. Sikapnya menunjukkan perilaku para perwira dari kekaisaran Pertama, yang menunjukkan kekhasan kehidupan mereka di kamp yang pantas dibawa kedalam ruang duduk perempuan.Dia berhenti untuk memandang Coralie, yang sosok rupawannya tampak menonjol diterpa sinar perapian. Dia lalu duduk di samping perempuan itu."Aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu," desahnya. "Di rumah sakit para dokter dan perawat memanggilmu Madame Coralie. Para pasienmu lebih suka memanggilmu Bunda. Siapa nama pemberian suami atau nama gadismu? Apa kau punya suami atau sudah janda? Di mana kau tinggal? Tidak ada yang tahu. Kau datang setiap hari pada jam yang sama dan pulang melewati jalan yang sama. Terkadang seorang pelayan tua, berambut kelabu panjang dan janggut jabrik, dengan
Dia berhenti, seolah-olah untuk mengambil napas, dan kemudian, sambil bangkit, melanjutkan, "Dan memang harus begitu. Orang harus mengerti bahwa mereka yang menjadi dalam perang ini tidak menganggap diri mereka sebagai orang terbuang, bebek timpang, atau penderita kusta, melainkan sebagai manusia yang benar-benar normal. Ya, normal! Kekurangan satu kaki? Mengapa memangnya? Apa itu membuat seorang laki-laki terampas otak atau hatinya? Lagi pula, apakah karena perang telah mengambil satu kaki dariku, atau satu tangan, atau bahkan kedua kaki atau kedua tangan, aku tidak punya hak lagi untuk mencintai seorang perempuan, kecuali dengan risiko mengalami penolakan atau membayangkan dia mengasihaniku? Mengasihani!""Tapi, kami tidak mau dikasihani perempuan, atau terpaksa dicintai perempuan, atau bahkan berpikir bahwa dia sedang beramal karena memperlakukan kami dengan ramah. Apa yang kami inginkan, dari perempuan dan dari dunia pada umumnya, dari mereka yang kami jumpa
"Di dalam wujud baru kemanusiaan yang tengah dipersiapkan untuk masa depan, akan ada laki-laki dengan dua tangan dan laki-laki dengan satu tangan saja, sebagaimana halnya ada laki-laki berkulit putih dan gelap, laki-laki berjanggut dan bercukur licin. Dan semua itu akan tampak sangat alami. Setiap orang akan menjalani hidup yang dikehendakinya, tanpa merasa perlu memiliki anggota tubuh yang lengkap. Dan, karena hidupku terpusat kepadamu, Bunda Coralie, dan karena kebahagiaanku tergantung kepadamu, kupikir aku tak perlu menunda lagi menyampaikan pidato kecilku kepadamu. Nah! Sudah selesai! Masih banyak yang ingin kukatakan tentang topik ini, tapi semua itu tidak bisa dikatakan dalam satu hari, bukan?"Dia berhenti, terpecah konsentrasinya oleh kebisuan Coralie. Perempuan itu tidak bergerak sejak kata pertama tentang cinta diutarakan. Tangannya meraba kening dan pundaknya agak gemetar.Belval membungkuk, dan dengan sangat lembut, menyingkirkan jemari lentik itu, membuat
Waktu hampir menunjukkan pukul setengah tujuh dan bayang-bayang senja semakin pekat ketika dua orang tentara di ruang terbuka kecil yang ditanami pepohonan, di seberang Musee Galliera, tempat pertemuan antara Rue de Chaillot dan Rue Pierre-Charron. Tentara yang satu memakai mantel panjang khas pasukan infanteri berwarna biru langit: yang lainnya, orang Senegal mengenakan pakaian dari bahan wol yang tidak dicelup,berupa celana gombrong dan jaket bersabuk---jenis pakaian yang dipakai Resimen Zouave dan tentara pribumi Afrika sejak peperangan. Salah seorang dari mereka kehilangan kaki kanannya, yang lainnya lengan kiri.Mereka berjalan mengitari tempat terbuka, yang di tengah-tengahnya terdapat sekelompok patung indah Silenus itu, dan berhenti. Si tentara infanteri membuang rokoknya. Orang Senegal memungutnya, mengisapnya beberapa kali dengan cepat, lalu mematikan dengan cara meremas di antara ibu jari dan telunjuk lalu menjejalkannya ke dalam sakunya. Semua itu be