Camille melangkah masuk ke dalam ruangan Dokter wanita yang tersenyum hangat menyambutnya.
“Hallo …” sapa Camille sopan pada Dokter yang tersemat nama Elma pada dada jas Dokternya.
Dokter Elma mengangguk pada Camille dan mempersilakan gadis muda di depannya untuk duduk.
“Abraham?”
“Itu nama saudaraku. Bagaimana, apakah saya bisa mendapatkan vitaminnya di klinik ini?” tanya Camille hati-hati dan berdoa di dalam hatinya, berharap mendapatkan vitamin untuk Abraham.
Dokter Elma kembali mengangguk, “Bagaimana kondisinya? Jika memungkinkan, bawalah ke sini. Kebetulan saya juga bekerja pada yayasan kemanusiaan yang berfokus membantu penderita ODHA. Kalian bisa mendapatkan diskon harga untuk vitamin juga pengobatan khusus penderita ODHA,” ucap Dokter Elma sedikit meneliti keadaan Camille yang sederhana namun kecantikannya seperti mengingatkannya pada seorang sahabat lama.
“Yang saya lihat, keadaannya baik-baik aja. Apakah siang ini Dokter masih berada di Klinik ini, saya bisa pulang ke rumah untuk menjemput dan membawanya ke sini,”
“Ya, itu ide bagus! Pergilah jemput dia dan aku akan melihat kesiapan vitamin untuknya,” cetus Dokter Elma ikut antusias melihat semangat gadis muda di depannya tersebut.
Camille segera permisi untuk menjemput Abraham untuk membawanya ke klinik Giovanna. Wajahnya yang semula letih terlihat gembira keluar dari ruangan Dokter Elma dan langkah kakinya sangat cepat berjalan mencari taksi yang bisa mengantarnya pulang.
Camille tidak memperhatikan di depan ruangan Dokter Elma ada Luciano sedang duduk dan terus memperhatikannya.
Luciano segera masuk ke dalam ruangan Dokter Elma dan bertanya tentang keluhan dari gadis yang baru saja keluar dari ruangan Dokter tersebut. Tetapi Dokter Elma bergeming, tidak mau memberitahukan pada Luciano mengenai pembicaraannya dengan Camille.
“Aku bisa membuat Anda kehilangan profesi ini, Dokter Elma!” ancam Luciano menatap tajam pada mata Dokter Elma.
“Kamu sangat mengenal majikanku! Dia dengan mudah akan menghentikan donasinya jika apa yang menjadi keinginannya tidak dapat Anda penuhi!” tambah Luciano sengit.
Dokter Elma akhirnya mengalah, kepalanya mengangguk cepat beberapa kali lalu menjelaskan tujuan Camille datang ke klinik Giovanna.
“Anda yakin, jika bukan gadis itu yang sakit?” desis Luciano masih tetap dengan suaranya yang dingin menatap tajam pada Dokter Elma.
“Gadis itu sedang pulang sekarang untuk menjemput saudaranya yang ODHA. Kamu bisa ikut menunggu di dalam ruangan sana, silakan dengarkan baik-baik jika nanti gadis itu bersama saudaranya datang ke sini,” tukas Dokter Elma mengangkat dagunya menantang Luciano.
Luciano mendengkus sinis lalu dia pergi berjalan ke bilik yang tertutup tirai dan merupakan ruang istirahat Dokter Elma jika tidak ada pasien yang perlu dia bantu.
Sementara itu, Camille yang terburu-buru memberhentikan taksi tidak melihat ke jalanan kiri dan kanannya sehingga sebuah mobil sedan mewah yang sedang melaju kencang langsung mengerem mendadak sampai rodanya berdencit tercetak di aspal.
“Brengsek!” gerutu Patrick kesal sambil memukul setir.
Martin yang duduk di kursi belakang, tubuhnya terdorong maju menyentuh sandaran kursi di depannya. Komputer di pangkuan Martin terjatuh ke lantai mobil dimana dia sedang memeriksa pekerjaan dan laporan dari anak buahnya di perkebunan lemon yang mengalami kerugian.
Mulut Patrick kembali akan menggerutu namun segera dihentikan oleh Martin yang matanya langsung melihat Camille berdiri pucat pada tepi jalan. Tangan Camille berulang kali mengusap dadanya yang berdentam-dentam karena dirinya hampir menjadi korban tabrakan mobil yang sedang melaju kencang.
“Terima kasih Bibi dan Paman juga Abram, berkat doa kalian, aku selamat!” gumam Camille berulang kali.
Mata Camille kembali melirik ke arah taksi yang masih berhenti di sebrang jalan, Camille sebelumnya sudah menghentikan taksi tersebut namun bodohnya dia malah menyeberangi jalanan bukannya meminta taksi mendekatinya.
Camille melambaikan satu tangannya ke arah taksi agar mendekatinya. Tetapi belum sempat tangan Camille membuka pintu taksi untuk naik, sebuah lengan besar sudah terulur dan mencekal pangkal lengan ramping Camille untuk berhenti.
Martin memberikan beberapa lembar uang kertas pada sopir taksi lalu memanggil Patrick untuk menghampirinya.
“Kamu tunggu aku di perkebunan!” perintah Martin pada Patrick sambil menunjuk pintu taksi pada asisten sekaligus sahabatnya tersebut.
Mulut Patrick terbuka lebar, mengerjapkan matanya berkali-kali. Pemandangan di depannya bagaikan mimpi baginya. Martin yang memiliki alergi sentuhan wanita, kini sedang mencekal lengan seorang wanita?
“Simpan pertanyaanmu dan jangan lancang mengatakannya pada siapapun!” tegur Martin yang paham Patrick kaget melihat alerginya tidak kambuh saat memegangi lengan Camille.
Patrick segera masuk ke dalam taksi, “Tidak, itu taksiku! Aku harus segera pulang!” pekik Camille kembali ingin masuk ke dalam taksi dari arah pintu berseberangan dengan Patrick masuk.
Martin menarik lengan Camille sedikit lebih kencang, “Ikut denganku, aku akan mengantarkanmu pulang!” cetusnya seraya mendudukkan Camille di kursi penumpang mobilnya, sebelah sopir.
Martin berjalan mengelilingi mobil dari arah depan dan duduk pada kursi pengemudi di bawah tatapan Patrick yang terkejutnya masih belum hilang.
“Kamu sakit? Ada apa ke klinik?” cecar Martin pada Camille setelah beberapa saat mereka berdiam diri tanpa bicara.
Camille mendelik sinis pada Martin, mulutnya sedikit mengerucut maju lalu matanya memperhatikan jalanan di depannya.
“Berhenti di depan!” ucap Camille yang langsung membuat Martin mengerem mendadak mobil mewahnya.
Camille melepaskan sabuk pengamannya lalu membuka pintu untuk keluar.
“Maafkan aku! Kamu sungguh bukan wanita suruhan Ayahku, Gabriel Jakovsky?” Martin mencengkeram pergelangan tangan Camille dengan cepat, matanya yang berwarna coklat terlihat lebih terang saat dia ingin tahu siapa sebenarnya Camille.
“Aku tidak mengenal Gabriel Jakovsky!” sahut Camille lalu menepiskan tangan Martin dan turun dari mobil dengan cepat.
Martin mengejar Camille dan tanpa sadar pria tampan itu memeluk tubuh Camille dari belakang.
“Aku tidak akan bertanya apa-apa lagi. Masuklah ke mobil, aku akan mengantarkanmu pulang ke rumahmu,” bisik Martin dekat telinga Camille yang langsung bersemu merah dan menjalar ke wajahnya yang juga ikut jadi memerah.
Camille akhirnya menurut didudukkan kembali ke kursi penumpang oleh Martin dan pria itu segera melajukan mobilnya kembali setelah dia duduk pada kursi pengemudi.
“Arah mana yang menuju rumahmu?” Di depan Martin saat ini ada tiga persimpangan jalan. Saat itu Martin hanya mengikuti Camille tidak melewati jalanan yang sampai di sini ditempuhnya.
“Terus ke bawah,” ucap Camille singkat.
“Waktu itu maafkan aku! Aku …uhm situasinya mendukung untuk kita melakukan itu dan …” Martin tiba-tiba kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya pada Camille akan kejadian dia mencium bibir Camille di mobil saat dia alergi.
Camille hanya diam tidak menanggapi ucapan Martin yang meskipun terdengar sungguh-sungguh di telinganya.
“Sebenarnya aku menderita alergi aneh, tidak bisa bersentuhan dengan lawan jenis. Tetapi, alergiku seakan hilang saat berdekatan denganmu dan aku juga bisa menyentuhmu. Bukan hanya itu, kamu bahkan menyembuhkan alergiku saat kita berciuman,” ujar Martin jujur berterus terang.
“Mungkin ini terdengar aneh, omong kosong dan dalam pikiranmu mungkin juga seperti kebodohan. Tapi, aku serius untuk mengajakmu menikah denganku.”
Camille menoleh menatap Martin yang juga sesaat beradu tatapan dengannya sebelum pria itu memperhatikan jalanan.
“Berhenti di depan, aku tinggal di ruko itu!” ucap Camille sambil menunjuk ruko tempat tinggalnya yang terlihat sangat sederhana dibandingkan pakaian yang di pakai Martin saat ini.
Martin segera menghentikan mobilnya, tangannya kembali meraih telapak tangan Camille.
“Camille, maukah kamu menikah denganku?”
“Aku bukan gadis yang pantas untuk Anda lamar, Tuan Martin! Aku adalah gadis miskin yang harus bekerja agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk keluargaku. Maaf, aku tidak bisa!” tolak Camille lalu menarik telapak tangannya dari genggaman tangan Martin.
“Oh, Camille …untung kamu pulang! Abraham, dia ...tiba-tiba batuk dan berkata perutnya nyeri. Dari tadi dia sudah tiga kali muntah-muntah!” Solenne berkata cepat saat melihat Camille datang.
Dari kejatuhan Martin yang masih memandangi Camille dan Ibunya sedang berbicara, melihat kepanikan pada wajah mereka, segera dia turun dari mobilnya menuju ke tempat tinggal Camille.
“Aku akan membawanya, cepatlah masuk ke dalam mobil!” ucap Martin yang mengagetkan Solenne dan Dylan apalagi pria tampan dan terlihat kaya di depan mereka itu sudah langsung membopong tubuh Abraham yang terduduk lemas bersandar pada kursi, menuju mobil sedan mewah yang terparkir tidak jauh dari tempat tinggal mereka.
“Pergilah bersamanya, aku akan menutup toko kita dulu,” cetus Dylan pada Solenne sambil melirik Camille yang mengikuti pria tampan di depannya tanpa ragu. Ada berbagai macam pertanyaan dalam benak Dylan dan Solenne mengenai pria yang datang membantu Abraham tersebut tetapi mereka akan memendamnya dulu, sampai Camille bisa terbuka untuk bercerita pada mereka. Martin membukakan pintu kursi penumpang depan untuk Solenne duduk karena Camille dan Abraham duduk di kursi belakang. “Apakah kepalamu pusing?” Camille bertanya kuatir dan menyandarkan kepala Abraham pada bahunya. Martin sudah melajukan mobilnya menuju rumah sakit besar yang ada di Sorrento. “Aku sudah berjanji pada Dokter Elma di klinik Giovanna untuk membawa saudaraku ke sana,” ucap Camille saat melihat arah mobil Martin tidak menuju ke klinik Giovanna. “Aku bisa menghubunginya untuk datang ke rumah sakit.” sahut Martin yang langsung melakukan panggilan ke Dokter Elma melalui ponselnya untuk datang ke rumah sakit tanp
Martin keluar dari kamar mandi dengan rambut di kepalanya masih lembab dan tangan Camille memegang gulungan tisu yang dia bawa keluar dari ruangan menuju Solenne. Wajah Solenne terlihat sangat kuatir. Dia masih berjalan bolak-balik, entah jika kalau direntangkan dan diukur sudah berapa meter jalanan yang sudah dia tempuh saat bolak balik di lorong rumah sakit lantai VIP tersebut, menunggu Camille dan pria tampan yang membawa putrinya itu ke kamar mandi sebelumnya. Inginnya Solenne masuk mendobrak pintu kamar mandi tetapi itu akan menunjukkan dirinya adalah seorang Ibu yang bodoh untuk putrinya. Sehingga dia memutuskan menunggu dengan berjalan bolak-balik."Kalian baik-baik aja?" Solenne bertanya cemas melihat Camille terlebih dahulu lalu menatap ke arah pria di samping putrinya tersebut. "Uhm, kami baik-baik aja. Dia jatuh saat di kamar mandi dan dia memiliki alergi aneh sehingga aku perlu menyiram kepalanya dengan air kran," sahut Camille yang terdengar cukup meyakinkan. Camille ha
Sebelum tengah malam, Martin datang ke rumah sakit setelah sejak sore dia sibuk di perkebunan dan mengadakan rapat darurat dengan para leader para pekerjanya. Martin mendengarkan semua keluhan, saran serta pendapat para leadernya mengenai masalah yang terjadi pada panen lemon mereka.Martin memang seorang pemimpin yang sangat bijaksana dalam mengambil keputusan. Dia tidak ingin para pekerjanya bekerja lelah tanpa mendapatkan hak mereka, juga dia sangat loyal pada pelanggannya.Martin rela membeli buah lemon bagus sebagai ganti lemon pelanggan yang terlanjur membeli lemon gagal panen mereka. Hal tersebut membuat Martin mengalami kerugian tetapi dia adalah pria dewasa dengan pemikiran matang, berbisnis bukan hanya demi uang namun lebih kepada memberikan pelayanan terbaik. Tidak heran dengan pola pikir Martin tersebut, membuatnya menjadi pemilik perkebunan lemon yang sangat luas dan semakin meluas setiap tahunnya bukan hanya ada di Sorrento tetapi juga pada daerah lain di Italia. "Halo
Pierre segera meminta Luciano untuk membawa Carla yang terluka akibat jatuh dari tangga ke rumah sakit terdekat. "Kamu ga apa-apa?" Pierre menghampiri Camille yang wajahnya masih sedikit pucat saat melihat Carla terjatuh berguling di tangga batu. Jika Carla tidak menggantikan Camille membawa nampan berisi peralatan makanan kotor, mungkin dia lah yang akan terjatuh di sana. Atau seandainya Camille menuruni tangga terlebih dahulu, dia lah yang akan berguling-guling jatuh lebih dulu ke lantai bawah. "Uhm, aku ga papa!" sahut Camille tetapi suaranya sangat kecil seakan teredam dalam tenggorokannya yang masih merasa sedikit syok. Camille tidak mau menuduh Donna atau siapapun karena setelah Carla jatuh, Luciano berkata jika lantai tangga batunya basah juga licin. Camille lah yang bertugas membersihkan dan mengepel tangga batu pagi tadi dengan cairan yang biasa digunakan.Camille dan Martha serta tamu lain bisa naik ke lantai atas tanpa merasakan sesuatu pada tangganya, namun orang terakh
"Cammie," Luciano berdehem setelah memanggil Camille yang merapat duduk diboncengannya. "Ada apa?" sahut Camille dari atas bahu Luciano. "Pegangan erat, hehe ..."Spontan Camille memukul pundak pria muda yang sedang menggodanya tersebut. Namun dengan cepat tangan Luciano menarik kembali tangan Camille agar melilit pinggangnya. "Serius, ada yang ingin ku tanyakan padamu, boleh kita berhenti dulu sebentar di depan sana?" Tidak ada jawaban dari Camille, akhirnya Luciano berinisiatif pergi ke sebuah tebing tinggi, tempat banyak orang melihat pemandangan laut di malam hari dan terdapat beberapa kursi batu untuk tempat duduk bersantai."Kamu mau bertanya apa?" Camille menatap Luciano yang berjalan ke arahnya dari membeli dua botol kopi kemasan kaleng di salah satu penjual yang ada di dekat tebing tersebut.Luciano memberikan satu botol kopi dingin ke tangan Camille dan membuka botol miliknya untuk dia tenggak membasahi tenggorokannya. Lalu mendudukkan bokongnya di sebelah Camille duduk
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Luciano pada Camille melalui sambungan telpon radio di telinga Camille. "Deg-deg-an seperti olahraga bungee jumping!" sahut Camille berbisik yang dilirik Pierre dengan senyuman. "Aku akan mengajakmu bungee jumping nanti," cetus Pierre tertawa kecil di balik topeng masker transparan yang di pakainya. Brangkas besi berisi penuh dengan uang kertas pecahan 100 Euro, di depan Camille sudah terbuka oleh Luca dan Pierre, menggunakan alat khusus yang bisa membentuk lubang seukuran diameter 15cm."Ayuk pindahkan cepat, sisakan sedikit saja," ucap Pierre memberikan tas kantong kain berwarna hitam dari bahan sutra terbaik pada Camille. Dengan semangat Camille meraup memindahkan uang-uang kertas di brangkas masuk ke dalam tas kain di tangannya, sementara Pierre dan Luca melanjutkan membobol brangkas lainnya secara acak. Mereka berada di dalam gedung sebuah bank swasta milik seorang pengusaha kaya di Roma, David Carle. Bukan tanpa alasan Pierre memilih aset David
Camille membuka roti yang dia bawa pulang dari tadi dibelikan oleh Pierre di pinggir jalan. Gadis muda itu berusaha bernapas pelan, sambil tersenyum tipis, "Kami lembur tidak di cafe, Paman. Tetapi di gudangnya bos. Terletak sedikit ke atas dari cafe. Untuk hari ini aku bekerja masuk siang," ujar Camille tenang yang sulit dideteksi kebohongannya oleh Dylan. Dylan sama sekali tidak menyadari jika Camille banyak belajar darinya yang bisa bicara sangat tenang untuk menenangkan Solenne setelah pekerjaan mencurinya. Dan kini Camille lakukan pada Dylan, berhasil membuat Ayah angkatnya itu percaya padanya. "Serius! Besok aku akan mengajak Paman ke gudangnya bos kalau Paman tidak percaya padaku," tambah Camille sambil mengunyah roti sampai mulutnya penuh dan kakinya spontan naik satu bertumpu pada alas kursi. "Paman percaya. Ingat, jika ada pria yang menyakitimu atau memperlakukan tidak sopan, katakan pada Paman. Paman dan Bibi bisa menjagamu jika kamu tidak ingin menikah. Pierre dan Mart
Camille sudah berdiri di depan meja Martin yang memilih duduk di balkon dan pria itu menolak pelayan lain yang ingin menawarkan bantuan padanya. "Kamu tidak punya pekerjaan, Tuan Martin?" sarkas Camille menyapa Martin. Martin tersenyum melihat gadis muda yang belum memiliki hubungan apa-apa dengannya, sudah dia rindukan. "Duduklah dulu, semua orang akan takut padamu, jika tatapanmu pada tamu seperti itu," Camille memang sedang menatap Martin sengit bercampur kesal yang dia sendiri tidak mengerti apa sumber kekesalannya pada pria yang sama sekali tidak bisa di bilang buruk tersebut. Martin terlalu tampan malah! Camille akhirnya duduk pada kursi di hadapan Martin dan pria itu langsung mengeluarkan ponsel keluaran terbaru, menyodorkannya ke depan Camille. "Itu untukmu sebagai bayaran makanku tempo hari," tutur Martin yang tidak menolak dirinya di traktir oleh Camille waktu itu. Sebaliknya, Martin melihat Camille tidak memiliki ponsel dan dia ingin bisa menghubungi gadis muda
Acara makan perayaan ulangtahun Richie berjalan hangat kekeluargaan. Meskipun Eve dan Jared belum sempat datang karena kesibukan pekerjaan, anak lelaki itu tetap terlihat ceria melakukan panggilan video di pelukan Pierre yang membingkainya penuh kasih. "Tidak apa-apa, Granty. Selesaikan pekerjaan Granty dulu, nanti segera datang kalau adik Richie lahir." "Tentu, Sayang. Granty pasti datang ke sana. Nanti hadiahnya Granty kirimkan, oke?" Eve menjawab dan menatap lembut cucu lelakinya yang terlihat semakin 'dewasa' karena sebentar lagi akan memiliki adik. "Terima kasih, Granty. I love you!" Jared yang datang ke ruangan Eve, turut memberikan kecupan jauh untuk Richie bersama Eve melambaikan tangan dan panggilan video dimatikan oleh Richie. "Apakah sekarang kamu sudah senang? Granty-mu tidak bisa datang karena sibuk. Tapi segera mereka akan ada di sini begitu pekerjaan bisa ditangani untuk di pantau secara online." Clea berjalan membawa dua gelas minuman di tangannya ke arah Richie d
Pierre sudah dalam perjalanan ke rumah pantai Barcelona ketika ponselnya di atas dasbor bergetar mendapat panggilan telpon yang tersambung ke earphone pada telinganya. "Paman ..." terdengar suara anak lelaki memanggil Pierre. "Paman sudah dalam perjalanan ke sini? Sudah di mobil?" Sudut bibir Pierre refleks merekahkan senyuman manis hingga matanya menyipit. "Ya. Paman sudah di dalam mobil, Tiga puluh menit lagi sampai di rumah. Richie ingin dibelikan sesuatu? Paman akan melewati tempat jajanan kue-kue lezat ..." "Tidak! Paman cepatlah mengemudikan mobilnya! Kata Mama, sebentar lagi akan ada badai salju." anak lelaki yang dipanggil Richie oleh Pierre segera menjawab tegas juga terdengar kuatir pada nada suaranya. "Baik. Paman matikan dulu telponnya, oke?" "Oke, Paman! I love you!" Pierre segera memutuskan sambungan telponnya dari panggilan atas nama Camille tersebut setelah balas mengucapkan 'I Love You' pada Richie. Pierre mengemudikan mobilnya semakin cepat dan hati-hati, karen
"Sebenarnya Daniel mengajakku kencan ..." Clea berkata jujur seraya mengunyah potongan daging di dalam mulutnya. Gerakan tangan Pierre yang hendak menyendok soup hangat untuk Clea, langsung terhenti sejenak. Mata Pierre mengunci pandangan pada Clea, "Daniel asistennya Martin?" tanyanya sembari mengerjapkan kelopak mata menyunggingkan senyuman tipis. Clea mengangguk, "Uhm." "Daniel pria baik. Sepertinya cocok denganmu. Ku dengar, dia juga yang sebelumnya membantumu melakukan tes DNA Camille di Roma, bukan?" Pierre menyerahkan mangkuk soup ke depan Clea yang langsung diraih wanita muda itu, menyeruputnya lahap sembari memberikan anggukan sebagai tanggapan pertanyaan Pierre. "Daniel juga yang mendampingimu ketika kamu memberikan misi perampokan pada kami ..." Clea tergelak cerah melihat sinar mata bahagia di mata Pierre yang sangat jelas terlihat jika pria itu menyetujui Daniel bersama Clea. Memang tak ada cinta sebagai pria dewasa dari Pierre untuk Clea. "Aku juga sudah berkata 'y
Pierre semakin sibuk dengan pekerjaannya yang kembali mengelola Lemoncello. Pria tampan itu juga melakukan koordinasi bisnis cafe dengan Dylan, Solenne dan Christopher di Barcelona. Sebelumnya, semua urusan pasokan bahan baku untuk cafe di Barcelona, Pierre yang melakukannya. "Hari ini akan ada pasokan bahan baku, sayuran serta buah dari Toko A, besok untuk ikan segar dari Mister XX serta daging segar dari peternakan ..." "Maaf, selalu merepotkanmu, Pierre. Nanti saya akan coba menangangi dan melakukan pemesanan langsung ke orang yang biasa datang ke cafe." Dylan menyela perkataan Pierre yang menghubunginya melalui sambungan telpon. "Tak apa-apa, Paman. Pekerjaanku masih bisa dihandel oleh Luciano ..." "Pierre ..." Dylan memanggil, mendesah pelan tidak melanjutkan perkataannya. Pierre tertawa kecil, "Baiklah. Nanti aku akan pinta semua pemasok menghubungi Paman. Bagaimana kesehatan Paman dan Bibi? Ku dengar Abraham kembali ke Barcelona?"Pierre akhirnya membicarakan topik lain den
"Cammie ...ini tidak benar!"Pierre berusaha mendorong tubuh wanita yang beberapa saat lalu ia rengkuh masuk ke dalam pelukan dan lumat bibirnya penuh hasrat gairah. Clea yang dikira Camille oleh Pierre, tidak melepaskan pria itu yang ia dorong jatuh terlentang ke atas sofa. Secara sadar, Clea mengais bibir Pierre, memberikan kecupan dan hisapan pada pria yang sedang dalam pengaruh alkohol tersebut. Tiga puluh menit lalu, Pierre akhirnya sampai di kediamannya, sama sekali tidak menyadari ada sebuah mobil yang terus mengikutinya dari belakang, memastikan pria itu selamat sampai di rumah. Setibanya di dalam rumah, Pierre mengeluarkan koleksi minuman kerasnya yang biasanya ia nikmati bersama Luca. Satu-satunya sahabatnya yang ia pikir playboy namun bernasib nahas seperti dirinya karena tidak menemukan wanita yang cocok untuk menjadi pasangan. Ternyata Luca mengencani Martha yang terlanjur merasa sakit hati pada Pierre, mengira pria itu mengkhianatinya dengan Donna. Clea terus memper
Setelah pergulatan panas di atas geladak, Martin membopong tubuh lemas Camille memasuki ruangan kamar mereka. "Istirahatlah, aku ambil makanan ke bawah." bisik Martin lembut seraya memberikan kecupan ke kening Camille yang mengangguk pelan. Camille langsung bergulung dalam selimut tipis, bibirnya tersenyum membayangkan betapa nikmatnya berada dalam pelukan panas Martin sewaktu mereka bergumul di geladak. Jantung dalam rongga dada Camille kembali berdebar-debar hanya membayangkan jika dirinya sudah kembali merindu ingin disesaki batang jantan suami tampannya. "Hei, tidak istirahat, kenapa senyum-senyum sendiri?"Martin telah meletakkan nampan berisi makanan malam mereka berdua ke atas meja, lalu menghampiri Camille yang sepertinya terkejut menyadari kedatangannya. "Sudah tidak perih?" Martin bertanya sambil duduk pada tepian ranjang, menjalarkan telapak tangannya mengusap permukaan kulit perut Camille dari balik selimut. Camille meraih tangan Martin yang membelai perutnya dan memb
Seminggu sudah berlalu,Dylan, Solenne dan Christopher kembali ke Barcelona menggunakan penerbangan pribadi bersama Clea yang masih ingin bersama kedua orangtua angkat barunya sekaligus membantu menjalankan bisnis cafe mereka. Keadaan Abraham semakin membaik. Gabriel membawanya ke Palermo dan Abraham akan berada dalam pengawasan langsung dokter terbaik dari keluarga Salvatore di kediamannya. "Tandatangani surat di atas meja dan segera angkat kaki dari kediamanku!" tegas Gabriel pada Lili yang terkejut melihat suaminya pulang ke Palermo membawa seorang anak lelaki remaja. "Gabriel ...aku minta maaf ..." Lili menjatuhkan tubuhnya berlutut di kaki Gabriel. Gabriel menarik mundur kakinya, "Kau tandatangani surat itu, maka kau mendapatkan uang pesangon dariku. Jika kau menolak menandatanganinya, bearti kau tak akan mendapatkan apa-apa dariku!" "Statusmu sudah bukan lagi istriku! Richard juga bukan darah dagingku dan aku tak memiliki kewajiban untuk terus memberikan nafkah pada putramu
Achilleo dan semua rekan bisnis Ralp Spencer telah meninggalkan kediaman Spencer. Tetapi itu sama sekali tidak mengurangi kemeriahan dan sahdunya acara pernikahan Camille dengan Martin. "Selamat, Camille dan Martin."Ralp yang pertama kali mengucapkan selamat pada Camille dan Martin begitu mereka dinyatakan sah sebagai pasangan suami istri oleh Pendeta. Luca dan Martha saling berpandangan melihat Ralp yang sepertinya telah menyadari kesalahannya. Tanpa Luca menyebutkan dua kali, jika Camille adalah 'adik perempuannya', Ralp sudah maju seperti seorang Ayah untuk mengucapkan selamat pada Camille. "Terima kasih, Paman ..." sahut Camille atas ucapan selamat dari Ralp. Ralp menepuk pelan punggung tangan Camille, "Luca menganggapmu adik perempuannya, jadi sungguh sangat tidak etis jika aku sebagai Papanya Luca menganggapmu tetap orang luar. Panggil aku, Papa, Camille. Karena kamu adalah putriku dan sekarang, sungguh aku sangat bahagia melihat anak-anakku menikah di sini."Dylan tersenyum
Camille ditarik oleh Martha, membawanya masuk ke lantai dua kediaman, setelah gadis muda itu menerima lamaran Martin di halaman. "Oh, kamu sangat cantik, Cammie!" puji Martha atas gaun yang baru dia bantu pakaikan ke tubuh Camille, mengganti gaun gadis muda tersebut sebelumnya. "Terima kasih, Martha. Tapi gaunmu lah yang indah. Kamu memang perancang busana berbakat!" Camille balas memuji dan meneliti gaun pengantin pada tubuhnya dengan tatapan berbinar kagum. Luciano dan Eve melakukan touch up untuk riasan Camille yang sebelumnya Luciano sudah mendandani gadis muda mereka tersebut sebelum datang ke kediaman Spencer. "Nyonya Eve, sepertinya aku sudah mendapatkan model untuk rancangan gaun-gaunku." Martha berkata melirik Eve yang tersenyum mengangguk samar. "Apakah kamu mau menjadi model, Cammie?" Luciano bertanya setelah ia memulas bibir Camille dengan lipstik berwarna pink muda. Tak ada yang menduga jika pria iseng, sering berperan menjadi sopir di kelompok Libra tersebut dalam