Yue Tiānyin berdiri di teras Shuǐyùn Tíng, Paviliun Harmoni Air, kediaman pribadinya. Tempat paling sunyi di Kediaman Aroma Wisteria. Pandangannya tertuju pada langit malam yang seolah dipenuhi samudra bintang. Bulan menggantung terang, meski masa purnama telah lewat. Sinarnya masih menerangi seluruh paviliun, memantul samar di permukaan kolam yang tenang.Dia adalah Tuan Muda Kedua Yue, murid kesayangan Hé Yùn Dàshī, guru besar dari Sekte Musik Abadi. Sejak kecil, Tiānyin selalu menjadi teladan. Sikapnya yang disiplin, bakatnya yang tiada tanding dalam seni musik, membuatnya dijuluki Dewa Musik Lanyin, bersama sang kakak, Yue Lingyin. Namun malam ini, sebuah insiden kecil meruntuhkan segala ketenangan yang selama ini ia jaga."Dasar mesum! Kau meremas bokongku!" teriakan histeris itu terus terngiang dalam benaknya.Wajahnya memanas setiap kali ia mengingatnya. Sebuah tuduhan tak masuk akal yang tak pernah terbayangkan akan ia alami.Seumur hidupn
Malam di Kediaman Aroma Wisteria terasa begitu sunyi. Tidak ada lagi kesibukan para murid sekte yang terdengar. Hanya ada desau angin malam yang membelai lembut bunga wisteria di luar jendela.Di salah satu kamar, Jian Huànyǐng dan Jian Lei duduk bersisian di depan jendela, menatap bulan yang bersinar terang di langit.“Sepi sekali,” gumam Jian Lei sambil menguap lebar. Ia menyandarkan tubuh pada kusen jendela, tampak setengah mengantuk.Jian Huànyǐng menatap kakaknya dengan sebal. Ia mendorong tubuh Jian Lei agar menjauh darinya. “Jangan menguap di dekatku! Aku tidak suka melihatmu mengantuk lebih dulu. Kalau kau tidur, siapa yang akan menemaniku begadang?”Jian Lei tertawa kecil, meski ia enggan membuka mata. “Huànyǐng, kau tidak tahu nikmatnya tidur lebih awal.”Jian Huànyǐng mendengus, melipat tangan di dada. Setelah beberapa saat ia berkata dengan nada penuh keluhan, “Bagaimana kalau kita berjalan-jalan saja? Aku bosan setengah mati
Malam merayap tenang di atas Istana Langit Biru di Kota Xiāoyún, tempat penguasa Kekaisaran Bìxiāo bertakhta. Suasana begitu sunyi, hanya ditemani gemerisik dedaunan yang tertiup angin. Istana ini berbeda dari bayangan kebanyakan orang tentang tempat tinggal seorang kaisar. Tidak ada kemegahan berlebihan atau menara emas yang menjulang.Sebaliknya, Istana Langit Biru lebih menyerupai kompleks kediaman sekte. Sekumpulan bangunan dengan arsitektur yang sederhana tetapi anggun. Dinding-dindingnya dihiasi ukiran seni yang rumit, mencerminkan nilai-nilai luhur para leluhur. Tak lebih megah dari Kediaman Aroma Wisteria milik Sekte Musik Abadi, Teluk Laut Biru milik Sekte Pemecah Langit atau Istana Roh Suci milik Sekte Aliran Roh Suci. Istana ini adalah perpaduan antara keindahan dan fungsi. Mencerminkan harmoni alih-alih kemewahan.Di bawah sinar rembulan yang redup, salah satu bangunan utama di pusat kompleks istana tampak memancarkan aura kebesaran. Di dalamnya, seoran
Kediaman Aroma Wisteria, seperti pagi-pagi sebelumnya, diselimuti keheningan yang nyaris mistis. Cahaya lembut matahari menerobos melalui celah-celah dedaunan wisteria, menciptakan bayangan abstrak di atas jalan setapak batu. Semua murid bergerak tanpa suara, seperti kabut yang melayang. Langkah-langkah mereka terukur, sopan santun mereka terjaga, menciptakan suasana yang hampir menyerupai harmoni.Hanya sebuah rutinitas membosankan yang terbungkus dalam keheningan. Setidaknya, itu yang dirasakan oleh Jian Huànyǐng. Setelah rutinitas yang hampir sama setiap pagi, di mana Jian Lei dan Jian Xia berusaha membangunkannya tepat jam lima pagi, hanya untuk menemukan adiknya masih tenggelam dalam tidur yang dalam. Bukan hanya gagal terbangun tepat waktu, tetapi Jian Huànyǐng bahkan berhasil membuat mereka semua hampir terlambat mengikuti acara pertama di Aula Harmoni."Huànyǐng! Kalau kau tidak bisa bangun pagi, lebih baik kau tidak tidur sama sekali selama tinggal di sini
Pintu aula tiba-tiba terbuka. Seorang murid sekte Musik Abadi berusaha mencegah beberapa orang yang mencoba menerobos masuk. Para murid terbelalak menatap ke arah orang-orang yang mengganggu suasana kelas yang tenang.Hanfu putih dan jubah biru langit cerah dengan bordiran benang emas bermotif naga membuat semua murid menahan napas. Naga emas adalah lambang dari Klan Jing, yang merupakan klan penguasa Kekaisaran Bìxiāo. Kehadiran mereka di Aula Harmoni sekte Musik Abadi jelas bukan kunjungan biasa, mengingat mereka tidak pernah menghadiri festival dari klan berlambang kupu-kupu biru itu selama beberapa dekade."Sungguh suatu kehormatan Anda berkenan mengunjungi Kediaman Aroma Wisteria, Pangeran Jing Jūnlán!" Sebuah suara lembut nan merdu menyejukkan hati menenangkan suasana aula yang terganggu oleh kedatangan para tamu tak diundang itu.Jing Jūnlán, pemimpin rombongan Klan Jing, menoleh ke arah sumber suara. Para murid di aula pun ikut memalingkan pandanga
Mo Chen menggerakkan tangannya perlahan, setiap gerakan seakan mengalir penuh perhitungan. Tatapannya semakin tajam dan dingin, seiring dengan perubahan yang terlihat jelas di bola matanya. Pendar keemasan muncul, perlahan memancar dari mata hitam pekat yang sebelumnya seperti kolam giok yang sunyi.Setelah beberapa saat yang tegang, dia menjentikkan jarinya dengan sangat pelan. Seketika, jeritan ketakutan menggema di seluruh aula, menembus ketenangan yang sempat tercipta. Para prajurit kekaisaran Bìxiāo, murid-murid Sekte Pemecah Langit dan lainnya yang memegang pedang, segera melemparkan senjata mereka yang seketika berubah menjadi ular yang menjalar liar.Bahkan Jian Lei, yang biasanya pemberani, melemparkan pedangnya. Satu-satunya yang tetap tenang adalah Jian Huànyǐng, yang memegang pedangnya dengan penuh keyakinan, karena pedangnya tak terpengaruh ilusi yang diciptakan oleh Mo Chen."Cukup!" Hé Yùn Dàshī berseru dengan suara tegas. Suasana yang semul
Suasana di Kediaman Aroma Wisteria selalu sejuk meskipun di siang yang terik. Angin lembut berhembus membawa aroma bunga wisteria yang memenuhi udara, menambah ketenangan yang terasa seperti pelukan alam. Jian Huànyǐng dan kedua kakaknya duduk bersantai di salah satu sudut taman yang rindang setelah pelajaran mereka selesai. Di sekitar mereka, dedaunan hijau yang mengalir indah, sementara bunga-bunga wisteria yang menggantung di atas menggambarkan keselarasan yang sempurna.Tiba-tiba, sebuah suara memecah keheningan, memanggil nama kakak-beradik itu. "Jian Si Gōngzǐ! Jian Wu Gōngzǐ!" Seru seorang pemuda yang berlari sambil melambaikan tangan, mendekati mereka dengan langkah cepat.Pemuda tampan dengan senyum ceria menghiasi wajahnya, mengenakan hanfu putih yang terbuat dari kain lembut dengan pola yin-yang transparan, mencerminkan kemewahan yang tak terbantahkan. Keanggunan pakaiannya menandakan bahwa dia berasal dari klan yang cukup terpandang dan kaya raya.
Yue Tiānyin menatap keceriaan Jian Huànyǐng dari kejauhan. Tawa renyah pemuda itu terdengar bak lonceng takdir yang terikat di pinggangnya. Merdu dan menggoda. Membuatnya sejenak terbuai dalam lamunan."Tiānyin, kau ingin bergabung bersama mereka?" Suara yang sangat dikenalnya itu membuyarkan kesunyian, memaksanya mengalihkan perhatiannya sejenak.Di sampingnya, Héxié Zhìzūn, sang kakak, berdiri bersama ketiga tuan muda lainnya. Mereka menatapnya dengan senyum tipis yang penuh makna. Yue Tiānyin tidak langsung menyahut. Ia hanya membungkukkan tubuh dengan sopan, memberikan penghormatan pada mereka berempat.Jian Wei mengangguk dengan tenang, matanya menatap Tiānyin dengan seksama. Sementara Mo Chen, dengan senyum tipis di bibirnya, hanya memperhatikannya dalam diam. Hanya Ling Zhi dari klan Ling, yang memperhatikan arah yang sama pada sesuatu yang sedari tadi menarik perhatian Yue Tiānyin."Yue Èr Gōngzǐ, mungkin mereka bertiga akan sedikit merepo
Yuè Huā Lóu, Rumah Bunga Bulan, adalah salah satu rumah hiburan paling terkenal di Lingxiao. Bahkan, namanya tak kalah tersohor dibandingkan rumah-rumah bordil di Xiāoyún, ibu kota Kekaisaran Bìxiāo. Tempat ini bukan sekadar sarang para wanita cantik, tetapi juga pusat hiburan kelas atas yang dipenuhi musisi berbakat dan penari-penari anggun yang mampu memikat siapa pun yang datang.Bau harum dupa bercampur dengan aroma arak memenuhi udara, berpadu dengan denting kecapi yang mengalun lembut di antara suara gelak tawa para tamu. Cahaya lentera merah menggantung di sepanjang lorong, berpendar samar di atas lantai kayu yang mengilap. Para gadis berhanfu warna-warni berjalan anggun, melayani tamu dengan senyum menggoda dan tatapan penuh arti."Jian Wu Xiōng, aku sangat gugup," bisik Ling Qingyu, suaranya nyaris tenggelam oleh riuh rendah sekeliling mereka. Jemarinya mencengkeram erat lengan Huànyǐng, seolah mencari pegangan di tengah atmosfer yang terasa begitu asing b
Ling Qingyu mengendap-endap di sepanjang koridor Yè Jū, langkahnya ringan seperti bayangan. Cahaya lentera temaram memantulkan siluetnya di dinding, bergetar seiring hembusan angin malam yang merayap melalui celah-celah bangunan. Tujuannya sudah jelas, kamar Jian Huànyǐng. Sejak siang, mereka telah berencana untuk menikmati malam ini dengan sedikit hiburan.Begitu tiba di depan pintu, Ling Qingyu mengangkat tangannya, bersiap mengetuk. Namun, sebelum sempat jarinya menyentuh kayu pintu, sesuatu yang dingin menyentuh bahunya.Ia tersentak, tubuhnya menegang seketika. Rasa terkejut membuat napasnya tertahan, hampir saja ia berteriak. Tetapi belum sempat satu suara pun keluar, sebuah tangan sudah lebih dulu membekap mulutnya, meredam segala kemungkinan."Ling Xiōng, ini aku," sebuah suara lirih berbisik di telinganya.Ling Qingyu hanya bisa melotot, berusaha meronta dari cengkeraman itu. Ketika tekanan di tangannya mengendur, ia langsung menepis tang
Yue Tiānyin melirik meja di sebelahnya. Ia baru saja selesai bermeditasi ketika seorang murid yunior mengantarkan makanan, teh, serta beberapa perlengkapan lainnya. Semua diletakkan rapi di atas meja di samping tempatnya bermeditasi. Namun, dari sekian banyak hal yang ada di sana, pandangan Tiānyin hanya tertuju pada satu benda yang tampak mencolok.Matanya menyipit. "Lampion?" gumamnya pelan, keningnya berkerut. Mengapa ada lampion di antara menu sarapan paginya?Dengan gerakan tenang, ia turun dari tempat tidurnya. Cahaya lembut pagi menembus kisi-kisi jendela, menerpa wajahnya yang selalu tampak tenang namun tak pernah kehilangan pesona. Ia mendekati meja, tatapannya tertuju pada lampion yang diletakkan tepat di tengah, dikelilingi oleh nampan berisi hidangan, teko teh, cangkir porselen berwarna giok, serta dupa beraroma cendana hitam yang masih mengepulkan asap tipis. Sebuah lilin kecil di sudut meja telah padam, menyisakan sedikit jejak lelehan lilin di duduka
Jian Lei terpaku menatap keranjang bambu di atas meja. Uap tipis mengepul dari tumpukan bāozi yang masih hangat, menyebarkan aroma lembut tepung dan daging berbumbu. Ada juga beberapa hidangan lain yang tersusun rapi di dalam wadah bambu. Pagi itu, udara di kamarnya masih mengandung sisa dingin dari embun malam, tetapi kehadiran makanan-makanan ini membawa kehangatan yang ganjil.Dia mengernyit. Ini bukan dari dapur Akademi Bìxiāo. Setiap murid hanya mendapat jatah makanan sederhana, jauh dari kemewahan seperti ini. Apalagi, ia sama sekali tidak memesan apa pun.Dengan hati-hati, Jian Lei melangkah ke jendela, jari-jarinya menyentuh bingkai kayu yang terasa sedikit lembap oleh udara pagi. Didorongnya jendela perlahan, membiarkan angin sejuk menerobos masuk. Pandangannya menyapu halaman di luar, mencari sosok yang mungkin baru saja menyelinap dan meninggalkan semua ini di mejanya. Namun, yang ada hanya bayangan pohon pinus yang bergoyang lembut diterpa angin.
Untuk beberapa saat, Huànyǐng tetap terdiam membeku. Tatapannya kosong menembus keramaian yang berlalu-lalang di pusat kota. Cahaya lampion menggantung di sepanjang jalan, menerangi wajah-wajah riang para pedagang dan pejalan kaki. Namun, di matanya, semua itu seolah hanya bayangan samar yang berpendar tanpa makna.“Huànyǐng!” Suara yang akrab itu memecah lamunannya.“Èr Gē...” Huànyǐng bergumam lirih. Suara itu sangat dikenalnya, Jian Xue, kakak keduanya.Kesadarannya perlahan kembali. Ia mengerjapkan mata dan kini dapat melihat dengan jelas sosok yang berdiri hanya beberapa langkah darinya. Jian Xue, dengan senyum kecil di wajahnya, dan di sampingnya berdiri Héxié Zhìzūn, menatapnya dengan tatapan hangat dan lembut seperti biasanya.“Èr Gē!” Seketika, Huànyǐng berlari menghambur ke dalam pelukan sang kakak.Jian Xue terkekeh pelan, sementara Héxié Zhìzūn hanya tersenyum lembut. Kedua kakak beradik itu saling berpelukan erat, seolah ingi
Malam di Yè Jū, Asrama Malam, salah satu asrama bagi murid Akademi Bìxiāo, terasa sunyi. Sejak lonceng malam berdentang sembilan kali, tak satu pun murid yang masih berkeliaran di luar. Mereka semua telah kembali ke kamar masing-masing, membiarkan kesunyian menyelimuti bangunan asrama yang dikelilingi taman batu dan pohon pinus menjulang.Namun, di salah satu kamar, suasananya tidak setenang di luar. Huànyǐng bertumpu pada kedua tangannya, tubuhnya terbalik dalam posisi handstand. Di hadapannya, gulungan kertas terbuka, berisi salinan hukuman dari Zhēn Wēn Jīng siang tadi. Cahaya lentera berkelip samar di atas meja, menciptakan bayangan bergerak di dinding. Meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan dan kegelisahan, Huànyǐng menolak larut dalam perasaan itu."Chénxī," gumamnya pelan. Setiap kali berlatih handstand, sosok pemuda bermata biru itu selalu terlintas dalam benaknya. "Kau pasti sedang bermeditasi sekarang," lanjutnya, suaranya nyaris tertelan heningnya ma
Hēibīng Hùfú, Amulet Es Hitam, pada awalnya adalah Shén Cì, artefak suci yang merupakan anugerah dari dewa. Konon, Hēi àn Zhī Shén sendiri yang menghadiahkannya kepada pendiri Klan Àn Zú, klan yang menjadi akar dari Klan Mo dan Sekte Pedang Iblis. Berbeda dengan jimat biasa, Hēibīng Hùfú bukanlah benda fisik yang bisa digenggam atau disimpan dalam kotak pusaka. Sebaliknya, amulet ini bersemayam di dalam tubuh sang pewaris, menyatu dengan darah dan jiwanya. Sejak awal, Hēi àn Zhī Shén telah menyisipkannya ke dalam tubuh pendiri Klan Àn Zú dan sejak saat itu, ia diwariskan kepada keturunan yang terpilih. Namun, dalam sejarah ribuan tahun, Hēibīng Hùfú hanya benar-benar terbangkitkan dua kali. Dua kali yang membawa bencana besar. Kekaisaran Bìxiāo gemetar di ambang kehancuran, dan bahkan Benua Shényǔ hampir luluh lantak. Begitulah kisah yang diceritakan Mo Chen kepada Huànyǐng pada senja itu. "Mo Gēge, A Tie juga pernah menceritakan hal ini
Di bawah pohon plum tua yang bermekaran, Huànyǐng dan Mo Chen duduk berdampingan, menikmati hembusan angin yang membawa aroma samar bunga dan asap kayu bakar. Sungai di hadapan mereka mengalir tenang, memantulkan cahaya redup matahari yang mulai condong ke barat. Sesekali, Mo Chen melemparkan batu kecil ke air, menciptakan riak yang menyebar perlahan."Mo Gōngzǐ, kenapa kau begitu santai? Bukankah kau sedang dalam misi?" tanya Huànyǐng, tak mampu menahan rasa penasarannya.Di matanya, Mo Chen berbeda dari para tuan muda klan besar lainnya. Dia tidak seperti Héxié Zhìzūn yang lembut namun tegas, atau kedua kakaknya yang berwibawa. Bahkan dibandingkan Ling Zhì yang kaku dan Yue Tiānyin yang dingin, Mo Chen lebih terlihat bebas, seperti awan di langit yang berarak tanpa beban.Mo Chen tersenyum santai. Ia mengupas kulit udang bakar dengan tenang, jemarinya cekatan dan penuh perhitungan. "Misiku sudah selesai, sekarang aku hanya menunggu misi berikutnya." Ia m
Huànyǐng berlari riang di sepanjang koridor akademi yang lengang. Suasana begitu sepi karena hampir semua murid masih berada di kelas masing-masing, sibuk mempelajari teori atau menjalani latihan fisik dan meditasi. Tentu saja, Huànyǐng tahu itu. Namun, meski diperintahkan oleh Zhēn Wēn Jīng untuk pergi ke perpustakaan, ia justru memilih untuk berjalan-jalan lebih dulu.Saat tiba di persimpangan koridor, ia menghentikan langkahnya, mendongak sedikit, lalu menggumam, “Ke kanan atau ke kiri?”Di kanan, Qiū Fēng Lín, Hutan Maple Musim Gugur, terbentang dengan pohon-pohon maple menjulang tinggi. Angin bertiup membawa harum dedaunan basah, sementara warna merah dan jingga dari daun-daun maple yang gugur menciptakan pemandangan yang memanjakan mata. Ia bisa berburu kelinci di sana atau menangkap rubah kecil yang sering berkeliaran di antara akar-akar pohon yang menjulur.Sedangkan di kiri, Xiānlù Hé, Sungai Embun Abadi, mengalir jernih. Permukaannya berkilauan d