Pagi di Chén Hóng Jū, Griya Fajar Pelangi, yang biasanya tenang, kini dipenuhi jeritan kesakitan dari empat bocah nakal yang tengah menjalani hukuman.
"Kalian melanggar peraturan Akademi Bìxiāo. Keluar dari asrama setelah jam istirahat, pukul sembilan malam. Pukul mereka masing-masing sepuluh kali," perintah Zhēn Wēn Jīng dengan suara dingin.Tongkat kayu tebal berayun tanpa ampun, menciptakan suara pukulan yang tajam di udara. Ling Qingyu menangis tersedu, terus memohon ampun dengan suara bergetar. Namun, Huànyǐng dan Lei tetap diam, meskipun tubuh mereka sesekali bergetar saat pukulan mengenai punggung mereka. Wajah Lei sedikit memucat, tapi sorot matanya tetap teguh. Hanya sesekali bibirnya menyeringai menahan sakit.Di kejauhan, Yāo Yu memperhatikan dengan tatapan datar. Seorang pemuda di sampingnya ikut menyaksikan pemandangan itu sebelum akhirnya bertanya dengan nada santai, "Yāo Gūniang, bagaimana bisa saudaramu terseret masalah bersama trio bodoh iArc 1. Hidup Dan Mati (Bab 1 -20) Tahun ke-15 Jing, Kekaisaran Bìxiāo, di Aula Cahaya Biru di Istana Langit Biru Jian Huanying, pemuda berusia dua puluh dua tahun itu, berdiri di tengah-tengah aula yang megah dan tertawa getir, suaranya bergema di antara dinding marmer yang berkilauan. Dia menyeka darah di sudut mulutnya, merasa asin dan hangat bercampur dengan udara dingin yang menusuk. "Apakah kalian ingin membunuhku?" desisnya penuh kemarahan. Meski tubuhnya telah terluka, tidak satu pun dari orang-orang yang mengelilinginya berani menyerang seorang diri. Jian Huanying, Tuan Muda Kelima dari Klan Jian, Sekte Aliran Pemecah Langit. Kultivator muda terkuat di klan setelah kakaknya, Jian Wei sang Tiānyù Jiànzhàn. Dia tahu bahwa jika harus berhadapan satu lawan satu, mereka tidak akan mampu membunuhnya. "Jian Huanying, menyerahlah! Yang Mulia pasti akan mengampunimu!" Seorang pria muda membujuknya dengan ucapan yang terdengar sangat bijaksana. Namun, Jian Yi tahu itu hanya ti
Kamar itu sunyi senyap, begitu tenang hingga seolah dunia telah melupakannya. Suasana dingin dan tak bersahabat melingkupi ruang sempit yang kacau dan berantakan itu. Dinding-dinding yang lusuh dan bernoda bercak darah kering menjadi saksi bisu dari penderitaan yang tak terucapkan. Tak ada angin yang berani menyelinap, apalagi cahaya kehidupan. Tempat ini lebih mirip penjara daripada kamar seorang manusia. Terdengar erangan pelan, nyaris seperti bisikan di tengah hening. Sesosok tubuh yang meringkuk di sudut kamar itu menggeliat, gerakannya lemah, seperti dilanda kelelahan yang amat sangat. Perlahan, sepasang mata yang sayu terbuka, hanya untuk segera menyipit karena cahaya matahari yang menyelinap dari celah atap terasa terlalu terang. Sosok itu, Jian Huanying ,mencoba mengerjap, menyesuaikan diri dengan kenyataan yang mendadak terasa asing. Ketika pandangannya mulai jelas, ia mendapati sesuatu yang mengusik. Tepat di hadapannya, sebuah lingkaran mantra berwarna merah darah, terl
Jian Huànyǐng kembali berjalan menelusuri jalan setapak berlapis batu bata yang mulai ditumbuhi lumut. Angin sepoi-sepoi berhembus membawa aroma dedaunan basah dan tanah yang lembap. Suasana di kediaman ini sungguh sepi, kontras dengan kenangan tentang kediaman keluarga Jian di Kota Shuifeng. Di Teluk Laut Biru, Kediaman Klan Jian, setiap sudutnya menawarkan kegembiraan dan kebersamaan, meski mereka harus berlatih pedang dan kultivasi setiap hari dengan kesungguhan hati. "Eh, Kau!" Lagi-lagi ada seseorang yang memanggilnya, membuat Jian Huànyǐng terpaksa menghentikan langkahnya. Dia menoleh dan melihat seorang pelayan pria berlari ke arahnya, diikuti oleh seorang pemuda yang tampak seumuran dengannya. "Aku?" Jian Huànyǐng menunjuk pada dirinya sendiri, seakan tidak yakin bahwa dirinya yang dipanggil. "Tentu saja kau! Hantu gentayangan!" Pria itu berteriak dan melemparinya dengan sepotong kayu yang tergeletak di tanah. Tentu saja Jian Huànyǐng sangat terkejut dan berteriak, "Aiyo,
Suasana mereda setelah Nyonya Tua meminta semua orang untuk bubar dan kembali pada tugas mereka masing-masing. Jian Huànyǐng dibawa kembali ke halaman tempatnya tinggal, yang terpencil di sudut kediaman yang cukup luas itu. Dua orang pelayan Nyonya Tua mengantarkannya, lalu berkeliling melihat kondisi halaman itu. Wajah mereka terlihat kecewa melihat kondisi tempat tinggal yang tidak sepantasnya untuk seorang tuan muda. "Dà Gōngzǐ, bagaimana selama ini Anda tinggal di halaman seperti ini?" Pelayan wanita bertanya dengan nada prihatin, suaranya bergetar halus menambah kesan kesedihan. Jian Huànyǐng yang terduduk di teras hanya menggelengkan kepalanya. Ia menatap wanita itu dengan mata yang memelas. "Sungguh, saya pun tidak mengerti," gumamnya pelan, mengenang kehidupan Murong Yi yang penuh penderitaan. "Mereka mencuri barang-barangku. Bahkan mengambil seruling milik niang," keluhnya sambil menahan tangis. Sesaat ia teringat akan apa yang dialami Murong Yi sebelum pemuda malang i
Beberapa hari setelah hidup lagi di tubuh Murong Yi, Jian Huànyǐng mulai terbiasa dengan suasana di kediaman Murong. Bangunan megah dengan taman yang indah dan udara yang sejuk membuatnya sedikit lebih nyaman, meskipun kepribadian Murong Yi yang jauh berbeda dengan dirinya kerap membuatnya canggung. Namun, Jian Huànyǐng tidak menganggapnya sebagai masalah besar. Akhir-akhir ini, di kediaman tampak lebih sibuk dari biasanya. Hiruk-pikuk pelayan yang berlalu-lalang, mengangkat berbagai barang, membuatnya sedikit penasaran. Namun, Jian Huànyǐng memilih untuk tidak terlalu ambil pusing, merasa bahwa semua itu tak ada sangkut pautnya dengan dirinya. "Hei, Hantu!" Sebuah suara keras tiba-tiba memecah lamunannya. Seseorang memanggil dari belakang ketika dia sedang berjalan santai, menikmati suasana manor seperti biasa. Usai mengunjungi Nyonya Tua setiap pagi, Jian Huànyǐng memiliki kebiasaan berkeliling manor, bertemu dengan para penghuni dan pelayan lainnya. Meskipun tidak semua orang
Jian Huànyǐng terpaku dan bergeming dari tempatnya berdiri, seperti patung yang terukir dari kesedihan dan kehampaan. Rombongan itu terus berjalan hingga hampir melewatinya. Mereka melintasinya tanpa sedikit pun menyadari kehadirannya, seperti bayangan yang tak terlihat di bawah matahari. Kenangannya pun berputar kembali ke masa-masa akhir hidupnya, saat setiap detik dipenuhi dengan pengkhianatan dan derita. Di antara rombongan yang baru saja melewatinya, terdapat seseorang yang dikenalinya dengan jelas sebagai salah satu dari sekian banyak orang yang menginginkan kematiannya. "Rupanya, dia Murong Wei. Seharusnya ayah dari Murong Yi," gumamnya pelan, teringat akan ucapan A Shu saat menceritakan tentang Murong Yi. Tatapan matanya masih terpaku pada rombongan yang kini memasuki aula utama, hatinya bergetar antara kebencian dan kepiluan. Perlahan dia mengikuti mereka dari kejauhan. Namun, baru beberapa langkah, dia melihat rombongan lain. Jian Huànyǐng kembali terpaku dan berhenti
Seorang pria tampan mengenakan hanfu biru cerah yang mewah berjalan dengan anggun melewati orang-orang yang berlutut dengan langkah pelan, tetapi mantap berwibawa. Jian Huanying tersenyum masam, merasa miris melihat pemandangan itu. Hidup kembali sebagai Murong Yi yang berasal dari keluarga bangsawan biasa benar-benar sebuah kesialan baginya. Sebagai putra dari Ketua Klan Jian, dia tidak harus berlutut seperti ini jika ada anggota keluarga kerajaan. Mereka hanya perlu bersalam kowtow saling menghormati. "Sungguh sial nasibku," gumamnya dalam hati seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Pemuda tampan yang mungkin lebih tua darinya tiga atau lima tahun itu memasuki aula. Lagi-lagi terdengar suara renyah penuh sanjungan menyambut kedatangannya. Jian Huanying berdiri tegak kembali bersama orang-orang di luar aula. Dengan hati-hati dia mendekati pintu aula dan mengintip ke dalam. "Ehm, para junior si pria kaku itu memang sungguh sesuai reputasi," gumamnya seraya tersenyum geli.
Jian Huànyǐng menangis keras, isak tangisnya mengguncang aula yang sunyi. Setiap isakan terdengar memilukan, tetapi di balik tangisnya, ada kilat kejenakaan yang tersembunyi dalam matanya. "Gōngzǐ, apakah benar kau Murong Yi Gōngzǐ?" suara lembut seorang murid Sekte Musik Abadi terdengar menenangkan, penuh perhatian. Jian Huànyǐng menganggukkan kepalanya, mencoba berdiri tegak meski masih terisak. Pemuda itu tersenyum, menepuk bahunya dengan lembut. Kemudian dia ber-kowtow kepada Tuan Murong Wei dengan sikap penuh hormat. "Tuan Murong, jika Anda tidak keberatan, biarkan Murong Yi Gōngzǐ kembali ke Lanyin bersama kami. Di sana ada kerabat yang pasti bersedia merawatnya," katanya sopan, dengan pandangan tulus. Tuan Murong Wei dan Selir Ying saling berpandangan, ketidaksetujuan jelas terlihat di wajah mereka. "Tetapi ..." gumam Tuan Murong Wei, suaranya hampir tidak terdengar. Tangan-tangannya terkepal di atas lututnya, menahan perasaan yang bergejolak. "Tuan Murong Wei, ini ti
Pagi di Chén Hóng Jū, Griya Fajar Pelangi, yang biasanya tenang, kini dipenuhi jeritan kesakitan dari empat bocah nakal yang tengah menjalani hukuman."Kalian melanggar peraturan Akademi Bìxiāo. Keluar dari asrama setelah jam istirahat, pukul sembilan malam. Pukul mereka masing-masing sepuluh kali," perintah Zhēn Wēn Jīng dengan suara dingin.Tongkat kayu tebal berayun tanpa ampun, menciptakan suara pukulan yang tajam di udara. Ling Qingyu menangis tersedu, terus memohon ampun dengan suara bergetar. Namun, Huànyǐng dan Lei tetap diam, meskipun tubuh mereka sesekali bergetar saat pukulan mengenai punggung mereka. Wajah Lei sedikit memucat, tapi sorot matanya tetap teguh. Hanya sesekali bibirnya menyeringai menahan sakit.Di kejauhan, Yāo Yu memperhatikan dengan tatapan datar. Seorang pemuda di sampingnya ikut menyaksikan pemandangan itu sebelum akhirnya bertanya dengan nada santai, "Yāo Gūniang, bagaimana bisa saudaramu terseret masalah bersama trio bodoh i
Angin malam berembus lembut, membawa aroma embun dan dedaunan yang basah. Di bawah sinar rembulan yang mengintip dari balik awan tipis,Yè Fēng Gé Paviliun Angin Malam, berdiri dengan megah. Diterangi lentera yang berpendar redup. Di tempat inilah para guru akademi berjaga saat giliran patroli malam.Zhēn Wēn Jīng dan Jīng Shī Mó berdiri tegap di serambi, memandang keempat bocah yang menundukkan kepala dengan sikap penuh penyesalan. Keheningan yang melingkupi mereka terasa berat, hanya sesekali terdengar suara dedaunan yang berdesir dihembus angin.Zhēn Wēn Jīng mengalihkan pandangannya ke Jian Wei dan kawan-kawannya, keempat kultivator senior yang telah membawa bocah-bocah itu kembali. Dengan sorot mata yang sulit ditebak, ia akhirnya membuka suara."Tiānyù Jiànzhàn, terima kasih sudah membawa mereka kembali ke akademi," ucapnya dengan tulus.Ia menghargai tanggung jawab yang ditunjukkan Jian Wei dan yang lainnya. Mereka tidak membiarkan adik-adik
Huànyǐng dan Lei menegang saat sosok tinggi tegap berdiri menjulang di depan meja mereka. Udara di sekitar mereka seolah mendadak menekan, membuat bulu kuduk meremang. Namun, belum sempat mereka mengatur napas, sosok lain yang tak kalah mengintimidasi berdiri di belakangnya, menambah tekanan tak kasatmata yang menyesakkan dada.Tanpa sadar, Ling Qingyu langsung berlindung di balik punggung tegap Huànyǐng, tubuhnya mengecil seperti kelinci ketakutan. Seolah berharap bisa menghilang dari pandangan. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya dan, demi langit dan bumi, dia jauh lebih takut pada hukuman kakaknya daripada apa pun. Sementara itu, Yāo Ming tampak santai, meskipun dalam hati ia merasa kasihan pada nasib teman-temannya."Dà Gē! Èr Gē!" seru Huànyǐng dan Lei bersamaan. Mereka memasang senyum lebar yang jelas dipaksakan, menampilkan gigi putih mereka seakan berharap itu cukup untuk meredakan amarah yang akan datang."Aiyo! Jian Wu Gōngzǐ dan Jian Si G
Yuè Huā Lóu, Rumah Bunga Bulan, adalah salah satu rumah hiburan paling terkenal di Lingxiao. Bahkan, namanya tak kalah tersohor dibandingkan rumah-rumah bordil di Xiāoyún, ibu kota Kekaisaran Bìxiāo. Tempat ini bukan sekadar sarang para wanita cantik, tetapi juga pusat hiburan kelas atas yang dipenuhi musisi berbakat dan penari-penari anggun yang mampu memikat siapa pun yang datang.Bau harum dupa bercampur dengan aroma arak memenuhi udara, berpadu dengan denting kecapi yang mengalun lembut di antara suara gelak tawa para tamu. Cahaya lentera merah menggantung di sepanjang lorong, berpendar samar di atas lantai kayu yang mengilap. Para gadis berhanfu warna-warni berjalan anggun, melayani tamu dengan senyum menggoda dan tatapan penuh arti."Jian Wu Xiōng, aku sangat gugup," bisik Ling Qingyu, suaranya nyaris tenggelam oleh riuh rendah sekeliling mereka. Jemarinya mencengkeram erat lengan Huànyǐng, seolah mencari pegangan di tengah atmosfer yang terasa begitu asing b
Ling Qingyu mengendap-endap di sepanjang koridor Yè Jū, langkahnya ringan seperti bayangan. Cahaya lentera temaram memantulkan siluetnya di dinding, bergetar seiring hembusan angin malam yang merayap melalui celah-celah bangunan. Tujuannya sudah jelas, kamar Jian Huànyǐng. Sejak siang, mereka telah berencana untuk menikmati malam ini dengan sedikit hiburan.Begitu tiba di depan pintu, Ling Qingyu mengangkat tangannya, bersiap mengetuk. Namun, sebelum sempat jarinya menyentuh kayu pintu, sesuatu yang dingin menyentuh bahunya.Ia tersentak, tubuhnya menegang seketika. Rasa terkejut membuat napasnya tertahan, hampir saja ia berteriak. Tetapi belum sempat satu suara pun keluar, sebuah tangan sudah lebih dulu membekap mulutnya, meredam segala kemungkinan."Ling Xiōng, ini aku," sebuah suara lirih berbisik di telinganya.Ling Qingyu hanya bisa melotot, berusaha meronta dari cengkeraman itu. Ketika tekanan di tangannya mengendur, ia langsung menepis tang
Yue Tiānyin melirik meja di sebelahnya. Ia baru saja selesai bermeditasi ketika seorang murid yunior mengantarkan makanan, teh, serta beberapa perlengkapan lainnya. Semua diletakkan rapi di atas meja di samping tempatnya bermeditasi. Namun, dari sekian banyak hal yang ada di sana, pandangan Tiānyin hanya tertuju pada satu benda yang tampak mencolok.Matanya menyipit. "Lampion?" gumamnya pelan, keningnya berkerut. Mengapa ada lampion di antara menu sarapan paginya?Dengan gerakan tenang, ia turun dari tempat tidurnya. Cahaya lembut pagi menembus kisi-kisi jendela, menerpa wajahnya yang selalu tampak tenang namun tak pernah kehilangan pesona. Ia mendekati meja, tatapannya tertuju pada lampion yang diletakkan tepat di tengah, dikelilingi oleh nampan berisi hidangan, teko teh, cangkir porselen berwarna giok, serta dupa beraroma cendana hitam yang masih mengepulkan asap tipis. Sebuah lilin kecil di sudut meja telah padam, menyisakan sedikit jejak lelehan lilin di duduka
Jian Lei terpaku menatap keranjang bambu di atas meja. Uap tipis mengepul dari tumpukan bāozi yang masih hangat, menyebarkan aroma lembut tepung dan daging berbumbu. Ada juga beberapa hidangan lain yang tersusun rapi di dalam wadah bambu. Pagi itu, udara di kamarnya masih mengandung sisa dingin dari embun malam, tetapi kehadiran makanan-makanan ini membawa kehangatan yang ganjil.Dia mengernyit. Ini bukan dari dapur Akademi Bìxiāo. Setiap murid hanya mendapat jatah makanan sederhana, jauh dari kemewahan seperti ini. Apalagi, ia sama sekali tidak memesan apa pun.Dengan hati-hati, Jian Lei melangkah ke jendela, jari-jarinya menyentuh bingkai kayu yang terasa sedikit lembap oleh udara pagi. Didorongnya jendela perlahan, membiarkan angin sejuk menerobos masuk. Pandangannya menyapu halaman di luar, mencari sosok yang mungkin baru saja menyelinap dan meninggalkan semua ini di mejanya. Namun, yang ada hanya bayangan pohon pinus yang bergoyang lembut diterpa angin.
Untuk beberapa saat, Huànyǐng tetap terdiam membeku. Tatapannya kosong menembus keramaian yang berlalu-lalang di pusat kota. Cahaya lampion menggantung di sepanjang jalan, menerangi wajah-wajah riang para pedagang dan pejalan kaki. Namun, di matanya, semua itu seolah hanya bayangan samar yang berpendar tanpa makna.“Huànyǐng!” Suara yang akrab itu memecah lamunannya.“Èr Gē...” Huànyǐng bergumam lirih. Suara itu sangat dikenalnya, Jian Xue, kakak keduanya.Kesadarannya perlahan kembali. Ia mengerjapkan mata dan kini dapat melihat dengan jelas sosok yang berdiri hanya beberapa langkah darinya. Jian Xue, dengan senyum kecil di wajahnya, dan di sampingnya berdiri Héxié Zhìzūn, menatapnya dengan tatapan hangat dan lembut seperti biasanya.“Èr Gē!” Seketika, Huànyǐng berlari menghambur ke dalam pelukan sang kakak.Jian Xue terkekeh pelan, sementara Héxié Zhìzūn hanya tersenyum lembut. Kedua kakak beradik itu saling berpelukan erat, seolah ingi
Malam di Yè Jū, Asrama Malam, salah satu asrama bagi murid Akademi Bìxiāo, terasa sunyi. Sejak lonceng malam berdentang sembilan kali, tak satu pun murid yang masih berkeliaran di luar. Mereka semua telah kembali ke kamar masing-masing, membiarkan kesunyian menyelimuti bangunan asrama yang dikelilingi taman batu dan pohon pinus menjulang.Namun, di salah satu kamar, suasananya tidak setenang di luar. Huànyǐng bertumpu pada kedua tangannya, tubuhnya terbalik dalam posisi handstand. Di hadapannya, gulungan kertas terbuka, berisi salinan hukuman dari Zhēn Wēn Jīng siang tadi. Cahaya lentera berkelip samar di atas meja, menciptakan bayangan bergerak di dinding. Meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan dan kegelisahan, Huànyǐng menolak larut dalam perasaan itu."Chénxī," gumamnya pelan. Setiap kali berlatih handstand, sosok pemuda bermata biru itu selalu terlintas dalam benaknya. "Kau pasti sedang bermeditasi sekarang," lanjutnya, suaranya nyaris tertelan heningnya ma