Semalam, setelah berhasil kabur dari Dirga Wina langsung bersembunyi ke caffe Rizal. Meski sebentar lagi tutup, Wina memohon pada bossnya itu untuk mengizinkannya menginap barang semalam. Sepertinya itu lebih baik daripada harus ke rumah sakit. Ia masih jika harus bertemu Dirga di sana.Sementara si empunya caffe sebenarnya tak masalah jika Wina mau tidur di sofa. Karena pria berwajah oriental itu tak menyediakan ruangan khusus untuk tidur di tempatnya berbisnis. Ia hanya menyediakan sofa bed dan selimut tipis yang kadang ia gunakan ketika lelah sehabis shift malam di rumah sakit.Wina tentu tidak masalah. Tempat tidurnya di rumah sakit saat menemani ayahnya juga tak lebih baik dari tempat tidur yang ditawarkan bossnya. Setidaknya hatinya akan tenang karena tidak mungkin Dirga menyusulnya di caffe milik sepupunya.***Sialnya semalam Wina sulit untuk tidur. Ia hanya bisa tertidur ketika pagi menjelang. Jadi mohon dimaklumi jika sampai matahari terbit ia masih betah terlelap. Bahkan ke
Wina membenturkan kepalanya pelan pada dinding lift yang akan mengantarnya menuju unit apartemen majikannya. Ah, bukan. Mungkin mulai malam itu, ia bukan ART bagi pria bertubuh atletis itu. Gadis mungil itu meratapi nasibnya yang ditimpa kemalangan gara-gara obat laknat yang merasuki Dirga.Ah, sial. Padahal belum lama ia merasa dimanja sebagai bocil oleh Dirga.Bye-bye Wina bocah SMP!Di kotak mesin yang mengangkut manusia itu Wina terus mengibas-kibaskan tangannya. Ia mulai gerah karena kaos turtle neck yang ia pakai. Atas saran Rizal, ia harus menggunakan pakaian yang menutupi lehernya. Risih katanya melihat merah-merah di leher Wina.Tadi pagi ia mendapat pesan dari mantan majikannya bahwa dompet Wina beserta isinya tertinggal di kamar hotel. Apesnya lagi, kini dompet lusuh miliknya ada di tangan orang nomor satu yang ia hindari.***Setelah tragedi semalam, Wina sadar diri, kok. Ia tidak bisa lagi bebas keluar-masuk apartemen Dirga seperti kemarin-kemarin. Oleh karena itu, dengan
"Jadi ini kandang macan barunya?" gumam Wina lirih begitu mereka sampai di sebuah rumah yang berdiri di atas lahan seluas 180 meter persegi. Terlihat jelas bahwa tersebut merupakan rumah baru. Bau cat nya masih bis sedikit tercium dari luar.Rumah yang terdiri dari dua lantai ini tidak terlalu besar, tapi juga tidak kecil. Meskipun nampak sederhana, namun terlihat sangat asri. Di bagian depan, belakang, dan sebelah kanannya terdapat taman serta ruang terbuka hijau. Kontras dengan rumahnya yang terlihat baru selesai dibangun, pepohonan di taman tersebut justru terlihat lebih tua dari rumah barunya.Satu lagi, rumah tersebut masih terlihat sangat berantakan dan kotor. Ah, Wina jadi tahu maksud dan tujuan Dirga membawanya ke rumah ini."Biar saya tebak!" Teriaknya dari atas teras. Ia berbalik, menatap Dirga yang baru saja menutup gerbang besi setinggi tombak."Pasti saya disuruh bersih-bersih, kan?" Ujarnya lantang."So, tipical. Balas dendam yang norak! Dari jaman jadi Wina SMP, Wita,
"Pak, sofa yang ini mau taruh dimana?"Mendengar suara yang asing, Wina langsung menoleh. Bersamaan dengan itu, Dirga langsung lari dan menyembunyikan Wina di belakang tubuh besarnya."Yang warna pastel taruh di ruang depan saja, Pak." Jawab Dirga sedikit berteriak. Kemudian ia berbalik dan melepaskan jaket tipis dari tubuhnya. Lalu melilitkan pada pinggang kecil Wina."Apaan sih, Om?" Meski bingung, Wina menurut saja."Bisa gak sih, pakai baju tuh yang sopan!" Protes Dirga.Baru Wina tersadar. Dari tadi ia hanya mengenakan kaos Dirga. Tanpa celana. Tapi tenang saja, Wina masih mengenakan legging short kok. Buru-buru ia mengeratkan lilitan jaket tersebut."Kalau sofa yang satunya, Pak?" Tanya Pak Darno, laki-laki yang tadi, setelah ia menyuruh anak buahnya menata sofa pertama di ruang tamu."Di sebelah sini, Pak." Jawab Dirga tanpa menjauh sedikitpun dari Wina. Seolah gadis itu tak boleh terlihat siapapun. Namun tingkahnya justru membuat laki-laki yang mengantar perabotan rumah tangga
Terakhir Dirga masuk ke ruangan pribadi kakeknya ketika sidang tesisnya gagal. Namun paniknya tak separah saat ini. Berkali-kali ia melihat pesan dari kakeknya. Memastikan matanya tidak salah lihat.Jika saat itu ia hanya mengkhawatirkan diri sendiri, sekarang ia lebih khawatir karena ada Wina dalam foto yang kakeknya kirim. Dalam hati ia bertanya-tanya, darimanakah kakeknya mendapatkan foto itu?Foto intim dirinya dan Wina di kamar hotel malam itu!Dirga tidak ingin orang yang tidak tahu apa-apa seperti Wina akan ikut terseret dalam masalahnya. Kakeknya bukanlah orang jahat. Beliau juga sangat baik terhadap orang-orang dengan strata sosial yang lebih rendah.Namun berbeda cerita jika menyangkut dengan citra keluarga dan masalah asmara keluarganya. Seperti peraturan tidak tertulis, keluarga Hermanto hanya boleh berhubungan dengan orang yang bebet, bobot, dan bibitnya setara atau lebih tinggi.Dan sekarang, Dirga memiliki firasat buruk. Entah buruk baginya, Wina, atau keduanya.Dirga y
"Win, bangun!" Dirga menepuk pelan pipi Wina. Air matanya sudah tumpah ruah. Pikiran-pikiran buruk tentang anak buah kakeknya tiba-tiba melintas."Om," panggil Wina lirih."Kamu nangis?" Meski cahayanya sangat temaram, Wina tetap bisa melihat wajah pria yang tengah memeluknya. Cahaya satelit bumi yang masuk melalui jendela kaca itu cukup menerangi bagian dalam rumah.Dirga langsung menghapus air matanya dengan tangan kanannya yang tak menumpu tubuh kecil Wina. Matanya meneliti Wina. Napasnya mulai teratur, merasa sedikit lega."Om, sakit," adu Wina."Mana yang sakit?" tanya Dirga antusias.Begitu Wina sadar, akal sehatnya pun kembali. Kelima indranya berfungsi lagi, termasuk indra penciuamannya. Hidung mancungnya menangkap bau menyengat. Berbarengan dengan itu, listriknya pun menyala.Kini Dirga bisa melihat dengan jelas keadaan Wina. Sejenak ia meratapi kebodohannya. Tanganya mengepal kesal dan menahan malu. Ternyata kondisi gadis di pelukannya tak sedramatis apa yang ada di otaknya.
Mendengar ucapan Dirga yang mengatakan akan tidur bersama, membuat Wina langsung menarik kakinya yang sedang diobati. Ia menatap ngeri pada pria yang masih sibuk mengurus kakinya yang terluka akibat jatuh dan terkena kayu balok di gudang kotor.Entah dari mana pria itu mendapatkan kotak P3K. Lengkap pula isinya."Kenapa? Kita bukan baru pertama kali tidur bareng, lho." Dengan entengnya Dirga mengatakan hal itu. Ya, meskipun faktanya begitu."Lagian kamu mau tidur dimana lagi coba?"Ya, gak salah sih. Wina membenarkan dalam hati. Memang di rumah itu baru kamar Dirga ini yang layak huni. Wina juga tidak mungkin tidur di lantai bawah, di tengah tumpukan sofa baru. Tak ada AC atau kipas angin juga di sana."Atau, aku pulang aja ya. Pesen ojol.""Mau tidur atau aku tidurin?""Om!"Dirga malah terkekeh melihat ekspresi panik Wina.***Akhirnya setelah berembug, Wina mengalah dan memilih tidur di kamar yang sama, ranjang yang sama. Tentu dengan guling sebagai pembatas di tengah mereka."Mau
Malam semakin larut. Sunyi tak bisa dihindari. Hanya suara bising kipas angin yang mengiringi kedua insan itu. Dua manusia berbeda jenis kelamin itu masih terlalu dalam aktifitasnya. Mata keduanya sama-sama terpejam, menikmati rasa hangat yang menjalar di seluruh tubuh.Tautan bibir belum juga terlepas. Namun kali ini berbeda. Jika sebelumnya pria berahang kokoh itu menciumnya dengan nafsu, kini ciuman itu justru sangat lembut. Awalnya hanya sebuah kecupan. Hingga pria itu enggan menyudahi. Telapak tangan besarnya menahan tengkuk Wina. Perlahan bibirnya bergerak lembut.Menyecap bibir manis itu dengan sangat hati-hati. Kelembutannya mampu meluluhkan pemilik bibir tipis berwarna merah muda. Perlahan gadis itu pun terbuai, hingga ia membalas ciuman itu sebisanya.Ah, keduanya memang amatir dalam berciuman. Tapi keduanya sama-sama menikmati.Tak ingin bertindak lebih, pria itu menyudahi tautan bibir mereka.Napas keduanya terengah. Tubuhnya memanas. Merasa perputaran kipas angin di sudut
“Kita mau kemana, Om?” Tanya Wina begitu mereka beranjak dari kawasan rumah sakit. Gadis itu menoleh kanan-kiri karena merasa asing dengan jalanan di sekitarnya. Ini bukan jalan menuju apartemen, rumahnya, atau rumah baru ‘Om Dokternya’ alias pacar barunya.Ehm, Wina jadi tersipu sendiri dengan status baru mereka.“Makan dulu, gimana?”Berbeda dengan Wina yang ekspresif, Dirga memang nampak lebih tenang. Tapi di balik wajah kalemnya, hatinya tengah meletup-letup bahagia. Hatinya yang mulanya berwarna monochrom kini berubah warna-warni.“Oke, mau makan dimana?” Wina bertanya antusias. Sebenarnya makan dimana saja pasti mau, kok. Apalagi disaat kasmaran, makanan apapun juga akan terasa enak.“Delivery Order saja, ya?” Tanya Dirga hati-hati. Ia melirik sekilas pada gadis mungil yang duduk manis di sampingnya. Sedikit was-was saja jika gadis yang baru beberapa menit lalu dipacari akan ngamuk.“Oke, terus mau dimakan dimana?” lagi-lagi Wina bertanya. Ia penasaran saja. Mau dibawa kemana si
“Wina, gimana kalau mulai hari ini kita pacaran?”Gadis mungil itu menoleh. Menatap horor pada pria di sampingnya yang baru saja melontarkan entah sebuah pertanyaan atau ajakan. Tak mau ke-geeran, Wina bertanya untuk memastikan. Siapa tahu tadi hanya halusinasinya saja.“Maksudnya?”Dirga tersenyum. Wajahnya terlihat sangat tenang. Padahal jantungnya sudah deg-degan heboh. Tangannya bertaut untuk mengurangi kegugupannya. Sungguh ini tidak ada dalam rencananya. Benar-benar dadakan.“Ya, kita pacaran.” Kali ini suaranya lebih mantap dari ajakannya yang pertama tadi.Oke, Dirga memang selama ini belum pernah mengajak gadis manapun kencan. Justru dari dulu ia malah lebih sering mendapatkan surat cinta, pengakuan langsung, dan serba-serbi ajakan kencan lainnya.Dirga juga sadar, kok. Bahwa ajakannya kali ini terdengar sangat tidak niat. Apalagi ‘nembak’ di halter seperti ini. Tanpa bunga, tanpa coklat, tanpa kata-kata manis. Sungguh tidak ada romantis-romantisnya sedikitpun.Seratus persen
Wina berjalan lesu menuju kamar inap ayahnya. Langkah ringannya berubah berat setelah mendengar rumor tentang Dirga dan Sheryl. Apalagi banyak perawat yang bilang mereka sangat cocok karena sama-sama dokter spesialis lah, sama-sama orang kaya lah, sama-sama cerdas, dan ‘sama-sama’ lainnya.Ya, memang serasih sih, mereka.Wina menatap pantulannya di cermin yang terpasang di dinding. Lihatlah penampilannya! Ia menoleh ke kanan, membayangkan Dirga berdiri di sampingnya.Ya, memang sangat tidak cocok, sih.Wina yang semoengil itu, Dirga yang segede itu. Si kaya dan si miskin. Si cerdas dan si gak pinter. Si pewaris dan si beban keluarga. Si tampan dan si... si..., si imut! Iya Wina gak jelek, cuma Sheryl aja yang kelewat cantik. Begitulah Wina menghibur diri.Puas memandangi dirinya di cermin, Wina melanjutkan perjalannya ke tujuan awal. Kamar inap ayahnya. Seperti sebelumnya, setiap membuka kamar ayahnya, ia selalu berharap sang ayah akan membuka mata dan menyambutnya. Meski hanya sekeda
“Perkenalkan, Tuan Johan. Ini Dirga, PACAR saya!”Pacar? Dirga menoleh horor pada sahabatnya. Seingatnya ia tidak pernah mengajak sahabatnya untuk berpacaran atau diajak berpacaran. Tadi dokter kandungan berparas cantik itu hanya menyuruhnya datang ke ruangannya saat istirahat. Katanya ada hal yang penting.Jadi, apakah ini yang dimaksud penting?Sedangkan Johan, pria itu tak gentar sedikitpun dengan perkenalan Sheryl. Ia maju selangkah ke arah pria berseragam dokter dan mengulurkan tangannya. “Kenalkan, saya Johan. Calon TUNANGAN Sheryl,” ucapnya dengan menekankan kata ‘tunangan’.Oh, jangan lupa senyum ramah yang terpatri di wajah pria berambut cepak itu. Dirga seperti tidak asing dengan ekspresi wajah seperti itu. Aaah, Dirga ingat. Ia biasa melihat itu pada wajah sepupunya, Aldo.Lalu dengan menahan tawa, Dirg pun menyambut uluran tangan tersebut. “Perkenalkan saya dokter Dirga, saya_”Belum selesai Dirga memperkenalkan diri, Sheryl tiba-tiba merapatkan tubuhnya dan menggamit erat
Rumah sakit pada saat menjelang jam istirahat masih sangat ramai. Termasuk pada Poli Obgyn, dimana Sheryl sedang bertugas. Namun, belum waktunya beristirahat asistennya memberitahu bahwa ada orang yang mencarinya. “Siapa? Pasien?” Tanya Sheryl pada wanita berseragam perawat itu. Asistennya menggeleng, “Katanya penting. Orangnya ganteng, Dok.” Seloroh sang asisten dengan senyum menggoda. “Namanya kalau tidak salah Johan,” imbuhnya. Sheryl langsung menegakkan duduknya kala mendengar nama itu. Nama yang akhir-akhir ini membuatnya berantakan dan bertindak tak biasa. Hatinya mendadak tak tenang. Apa sebenarnya tujuan pria itu datang ke tempat kerjanya? Tak cukupkah teror yang selama ini ia berikan pada pria itu? “Suruh nunggu saja, Sus. Nanggung sebentar lagi istirahat,” perintah Sheryl pada sang asisten. Setelah asistennya pergi, buru-buru ia mengirimkan pesan pada sahabatnya untuk segera datang ke poli obgyn saat istirahat. *** Tak perlu menunggu lama, dokter kandungan cantik itu b
Wina merebahkan tubuhnya di kasurnya yang tak begitu empuk. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Pikirannya kembali pada pertemuannya dengan Dirga tadi pagi di pemakaman. Ingin rasanya tadi memeluknya atau sekedar menyapa memberi semangat. Tapi ia sadar, tadi bukan waktunya untuk ikut campur. Mungkin lain kali?“Nduk, makan dulu!” Ajak ibunya dari arah dapur. Ya, tadi selesai jam kerjanya di caffe, gadis itu memilih pulang ke rumah. Kangen rumah, kangen keluarga kecilnya juga. Sedikit jenuh juga dengan suasana malam di rumah sakit.“Iya, Bu!” Sahutnya sedikit berteriak. Kemudian ia bangkit. Melepaskan hoodienya yang sedari tadi masih menempel di tubuh mungilnya.Aroma opor ayam yang lezat langsung menyeruak di indra penciumnnya begitu kakinya tiba di dapur. Ibunya sibuk memindahkan hasil masakannya dari panci ke meje makan. Tidak ada meja makan mewah di rumah sederhana itu, hanya meja kecil dengan empat kursi yang sama-sama terbuat dari kayu.“Adek mana, Bu?” Tan
Hari ini adalah hari yang paling tidak ingin Dirga ingat. Saat hari peringatan itu tiba, rasanya pundak pria menjadi sangat berat. Meski tak ada yang mengatakan secara langsung, ia merasa semua orang menyalahkannya atas kepergian Dira, adik perempuannya.Kejadian naas yang menimpa adiknya dulu masih meninggalkan luka dan trauma baginya dan juga orang tuanya hingga saat ini. Rasa bersalahnya tak juga sirna meski sudah lebih dari 2 dekade adiknya menyatu dengan tanah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun inipun ia pergi ke tempat istirahat terakhir sang adik. Andai diberi kesempatan sekali untuk bertemu adiknya, ia ingin sekali mengucapkan maaf.Maaf karena tidak bisa menjaganya.Maaf karena tidak bisa menyelamatkan.Terlebih lagi saat melihat wajah sedih mamanya kala itu. Bagaimanapun kehadiran Dira sangat diharapkan oleh kedua orang tuanya. Setelah melahirkan Dirga, mamanya pernah hamil lagi dua kali. Namun dikehamilan itu mamanya keguguran. Keduanya pula adik dirga berjenis kelamin
Saat Rizal sibuk menabur bunga di atas sebuah makam, Wina hanya diam. Matanya melirik pada Dirga yang hari itu nampak tak ada semangat. Selain gagalnya sidang tesis waktu itu, ini kali pertama Wina melihat cucu emas Hermanto itu sangat muram. Ia seakan tak mengenali wajahnya. Mereka seolah orang asing yang berada di tempat yang sama.Tak mau mengganggu kekhidmatan pria yang belum lama masuk ke hidupnya, Wina memilih sedikit menjauh. Netranya menjelajah area pemakaman umum itu, hingga matanya melihat rombongan yang sama-sama mengenakan pakain serba hitam mendekat ke arah mereka.Laki-laki dan wanita yang Wina tebak adalah suami-istri berjalan dengan dipayungi pria-pria kekar di samping mereka. Dari kejauhan saja terlihat romobongan itu sangat berkelas, entah itu dari pakaiannya yang mahal atau cara berjalannya. Apalagi paras suami-istri itu sangat good looking.Saking fokusnya, Wina sampai tidak sadar rombongan tersebut mendekat ke arahnya.“Om, tante.” Sapa Rizal membuyarkan fokus Win
Wina melangkahkan kaki pendeknya memasuki caffe yang masih sepi. Hari ini ia memang berniat berangkat kerja pagi, karena sorenya ada bimbingan skripsi dengan Dospem-nya. Tapi ia terpaksa lebih pagi dari jam kerjanya karena si boss menyuruhnya ke caffe dua jam lebih awal. Jelas caffe masih sangat sepi.Di pelataran caffe, ia melihat mobil atasannya terparkir. Karena di lantai bawah tak ia temui siapapun, sudah pasti Rizal alias owner caffe itu berada di ruang kerjanya. Winapun memutuskan langsung ke atas. Di ketuknya pintu kayu itu. Setelah terdengar sahutan dari dalam yang menyuruhnya masuk, gadis itu segera membuka pelan daun pintu itu.Setelah melihat atasannya mengenakan pakaian dengan warna senada dengannya, Wina mengernyit heran. “Kak, ini kita mau ngelayat?” Tanyanya, sebab boss-nya itu tadi pagi menyuruhnya untuk memakai baju serba hitam dan tentunya pakaian yang sopan.Dari pantulan cermin besar yang tersandar di dinding ruangannya, Rizal dapat melihat jelas ekspresi Wina. “Bu