Mendengar ucapan Dirga yang mengatakan akan tidur bersama, membuat Wina langsung menarik kakinya yang sedang diobati. Ia menatap ngeri pada pria yang masih sibuk mengurus kakinya yang terluka akibat jatuh dan terkena kayu balok di gudang kotor.Entah dari mana pria itu mendapatkan kotak P3K. Lengkap pula isinya."Kenapa? Kita bukan baru pertama kali tidur bareng, lho." Dengan entengnya Dirga mengatakan hal itu. Ya, meskipun faktanya begitu."Lagian kamu mau tidur dimana lagi coba?"Ya, gak salah sih. Wina membenarkan dalam hati. Memang di rumah itu baru kamar Dirga ini yang layak huni. Wina juga tidak mungkin tidur di lantai bawah, di tengah tumpukan sofa baru. Tak ada AC atau kipas angin juga di sana."Atau, aku pulang aja ya. Pesen ojol.""Mau tidur atau aku tidurin?""Om!"Dirga malah terkekeh melihat ekspresi panik Wina.***Akhirnya setelah berembug, Wina mengalah dan memilih tidur di kamar yang sama, ranjang yang sama. Tentu dengan guling sebagai pembatas di tengah mereka."Mau
Malam semakin larut. Sunyi tak bisa dihindari. Hanya suara bising kipas angin yang mengiringi kedua insan itu. Dua manusia berbeda jenis kelamin itu masih terlalu dalam aktifitasnya. Mata keduanya sama-sama terpejam, menikmati rasa hangat yang menjalar di seluruh tubuh.Tautan bibir belum juga terlepas. Namun kali ini berbeda. Jika sebelumnya pria berahang kokoh itu menciumnya dengan nafsu, kini ciuman itu justru sangat lembut. Awalnya hanya sebuah kecupan. Hingga pria itu enggan menyudahi. Telapak tangan besarnya menahan tengkuk Wina. Perlahan bibirnya bergerak lembut.Menyecap bibir manis itu dengan sangat hati-hati. Kelembutannya mampu meluluhkan pemilik bibir tipis berwarna merah muda. Perlahan gadis itu pun terbuai, hingga ia membalas ciuman itu sebisanya.Ah, keduanya memang amatir dalam berciuman. Tapi keduanya sama-sama menikmati.Tak ingin bertindak lebih, pria itu menyudahi tautan bibir mereka.Napas keduanya terengah. Tubuhnya memanas. Merasa perputaran kipas angin di sudut
Berawal dari pertemuan randomnya di taman rumah sakit. Ia menjalin garis takdirnya dengan Dirga melalui sebuah obrolan absurd. Ah, mungkin lebih tepatnya tipuan. Sebuah tipuan yang tidak disengaja.Awalnya ia juga tidak ingin menipu, tapi karena Dirga terlanjur memandangnya remeh sebagai bocah SMP yang bolos sekolah. Sebenarnya itu bukan pertama kalinya ia dianggap anak kecil oleh orang yang baru ditemuinya. Mungkin karena fisiknya yang tidak seperti orang dewasa pada umumnya.Hallo, umur Wina sudah di penghujung 22 tahun, lho!Setelah pertemuannya di taman kala itu, Wina tak berpikir akan bertemu lagi dengan dokter bertubuh gagah itu. Hingga Rizal menemuinya di malam hari. Lalu terciptalah sebuah kerjasama gila, namun cukup menguntungkannya.Memang ia sedang beruntung karena tubuhnya yang kecil bisa dimanfaatkan untuk mendekat Dirga atas perintah Rizal.Kesan pertama bertemu dengan Dirga dan Riza, ia pikir mereka adalah orang-orang jahat. Terutama Rizal. Namun setelah lebih mengenal,
Sudah berapa kali dan berapa banyak orang yang mengatakan ia menyia-nyiakan ketampanan dan hartanya yang tak pernah digunakan untuk menggaet cewek. Oke, Dirga akui. Perempuan yang dekat dengannya hanyalah ibunya dan Sheryl, sahabatnya sedari kecil.Hingga suatu hari di taman rumah sakit, ia bertemu gadis yang membuatnya kesal.Bocil penipu. Begitu ia menjuluki Wina kala itu.Setelah ia ditipu lebih dari dua kali, Dirga merasa julukan yang ia berikan sangat tepat. Entah suatu keberuntungan atau kesialan ketika ia memutuskan gadis mungil itu menjadi ART sementaranya. Awalnya ia merasa sangat iba kala tahu bahwa dia adalah bocah SMP yang terpaksa putus sekolah karena masalah ekonomi.Bahkan saat mencarikan SMP itu serius, lho!Dirga pikir tak ada salahnya sedikit membantu perekonomian gadis itu. Sehingga Dirga tak pelit memanjakan Wina dengan kerap membelikan apa yang diinginkan gadis itu. Lagian barang yang dibeli adalah hal receh. Duit Dirga tak akan habis hanya dengan itu.***Hubunga
Wina menatap serius pada layar laptop yang baru menampilkan dua baris di halaman kerja Microsoft Word. Sedang berusaha ngebut mengerjakan skripsi ceritanya. Beruntung, Bab satu kemarin tak banyak revisi. Jadi ia langsung lanjut Bab dua.Sudah terhitung 5 hari dari hari itu. Wina merasa semuanya seperti mimpi. Rutinitasnya pun berubah. Tak ada lagi apartemen, tak ada lari pagi di taman, tak ada rumah baru, dan tak ada yang menyuruhnya membuat sarapan. Oh ya, tak ada juga kulkas berisi es krim gratis.Wina pikir, calon dokter bedah itu bercanda. Ternyata tidak. Pria itu benar-benar menganggapnya orang asing. Pernah saat berpapasan di loby rumah sakit, Wina yakin pria itu sudah melihatnya. Bahkan tatapan mata mereka bertemu. Tapi layaknya orang asing, Dirga justru berlalu begitu saja. Tanpa sapaan, tanpa senyuman.Pernah satu kali mereka berpapasan di parkiran mobil--Wina numpang sama Rizal--cucu kesayangan kakek Hermanto itu juga tak meliriknya barang sedikit. Padahal Wina yakin, Dirga
Mulai sekarang, Aldo enggan jika terus bersembunyi. Ia tidak ingin diremehkan kakeknya lagi hanya gara-gara ia suka main perempuan. Bukankah yang penting hasil kerjanya?Jika diperlukan, Aldo siap beperang terang-terangan dengan sepupunya yang selalu dibanggakan oleh sang kakek. Maka dari itu, Aldo memilih memasuki ruangan yang mirip ruang persidangan itu.Ruang Pribadi Hermanto.Sang kakek sedikit terkejut dengan kedatangan cucunya yang terkenal paling badung. Mirip papanya, begitu kata anggota keluarga Hermanto lainnya.Jika biasanya anak-cucunya hanya akan memasuki ruang pribadinya setelah dipanggil, tapi kini cucunya justru datang tanpa diundang. Ia tak mendengar cucunya meraih prestasi apapun. Jadi tujuannya kali ini pasti penawaran."Kakek punya waktu kurang dari 10 menit," peringatnya begitu Aldo duduk di hadapannya."Singat saja, Kek. Lima menit cukup, kok."Melihat kakeknya hanya mengangguk, pria itu tersenyum. "Foto yang kemarin saya dapatkan tidak gratis."Puluhan tahun ber
Dirga menatap kemeja biru yang menggantung di lemarinya. Kemeja yang pernah Wina pakai dengan terpaksa. Seutas senyum tipis terbit di wajahnya mengingat bagaimana lucunya gadis itu dengan kemeja besarnya.Ditutupnya kembali lemari itu setelah mengambil kemeja yang ada di sebelah kemeja biru itu. Pria itu tengah bersiap untuk ke rumah sakit. Karena mendapat shift siang, ia sedikit santai berangkatnya.Tiba-tiba ponselnya berdenting. Menampilkan pesan dari Kepala Desa tempatnya survey kemarin. Beliau mengirimkan pesan gambar, foto-foto dirinya dan Wina bersama para warga waktu itu.Ah, Dirga jadi rindu.Sudah berapa hari ini ia tidak berkomunikasi sedikitpun dengan si mungil itu. Sekuat hati ia menahan diri untuk tidak menemui Wina. Meski banyak kesempatan saat di rumah sakit. Dirga bahkan kerap pura-pura mengabaikan keberadaan Wina. Cucu Hermanto itu lebih memilih curi-curi pandang dari kejauhan.Dirga jadi suka ke kantin, padahal dulu sangat jarang menginjakkan kaki di sana.Dirga ja
H-1 sebelum berangkat bakti sosial, Dirga dibuat kaget saat mendapat chat dari Wina. Terakhir kali ia melihatnya yaitu kemarin siang. Hari ini Dirga tidak melihat batang hidung gadis itu di rumah sakit. Padahal sejak pagi sekali ia sudah stand by di rumah sakit. Hingga malam menjelang pun Dirga belum pulang. Memastikan persiapan untuk penerjunan rekan nakes nya pada Bakti sosial keesokan hari.Namun malam ini, tanpa diduga Wina justru mengajaknya bertemu di rumah sakit. Katanya ia mau menitipkan sesuatu untuk warga di desa tempat baksos. Wina mengajaknya ketemu di tangga darurat.Awalnya Dirga menolak, dan menyarankan untuk menitipkan pada resepsionis saja. Wina langsung menolak karena Ia juga ingin mengatakan sesuatu yang penting.Ya, sudah. Dirga akhirnya mengalah.***Jam 21.15, waktu yang sudah Wina janjikan untuk ketemuan. Dirga sengaja datang lebih awal. Tidak mau Wina sampai kemalaman.Tak lama kemudian, ia mendengar suara langkah kaki mendekat.Wina datang, batinnya.Pintu tan
“Kita mau kemana, Om?” Tanya Wina begitu mereka beranjak dari kawasan rumah sakit. Gadis itu menoleh kanan-kiri karena merasa asing dengan jalanan di sekitarnya. Ini bukan jalan menuju apartemen, rumahnya, atau rumah baru ‘Om Dokternya’ alias pacar barunya.Ehm, Wina jadi tersipu sendiri dengan status baru mereka.“Makan dulu, gimana?”Berbeda dengan Wina yang ekspresif, Dirga memang nampak lebih tenang. Tapi di balik wajah kalemnya, hatinya tengah meletup-letup bahagia. Hatinya yang mulanya berwarna monochrom kini berubah warna-warni.“Oke, mau makan dimana?” Wina bertanya antusias. Sebenarnya makan dimana saja pasti mau, kok. Apalagi disaat kasmaran, makanan apapun juga akan terasa enak.“Delivery Order saja, ya?” Tanya Dirga hati-hati. Ia melirik sekilas pada gadis mungil yang duduk manis di sampingnya. Sedikit was-was saja jika gadis yang baru beberapa menit lalu dipacari akan ngamuk.“Oke, terus mau dimakan dimana?” lagi-lagi Wina bertanya. Ia penasaran saja. Mau dibawa kemana si
“Wina, gimana kalau mulai hari ini kita pacaran?”Gadis mungil itu menoleh. Menatap horor pada pria di sampingnya yang baru saja melontarkan entah sebuah pertanyaan atau ajakan. Tak mau ke-geeran, Wina bertanya untuk memastikan. Siapa tahu tadi hanya halusinasinya saja.“Maksudnya?”Dirga tersenyum. Wajahnya terlihat sangat tenang. Padahal jantungnya sudah deg-degan heboh. Tangannya bertaut untuk mengurangi kegugupannya. Sungguh ini tidak ada dalam rencananya. Benar-benar dadakan.“Ya, kita pacaran.” Kali ini suaranya lebih mantap dari ajakannya yang pertama tadi.Oke, Dirga memang selama ini belum pernah mengajak gadis manapun kencan. Justru dari dulu ia malah lebih sering mendapatkan surat cinta, pengakuan langsung, dan serba-serbi ajakan kencan lainnya.Dirga juga sadar, kok. Bahwa ajakannya kali ini terdengar sangat tidak niat. Apalagi ‘nembak’ di halter seperti ini. Tanpa bunga, tanpa coklat, tanpa kata-kata manis. Sungguh tidak ada romantis-romantisnya sedikitpun.Seratus persen
Wina berjalan lesu menuju kamar inap ayahnya. Langkah ringannya berubah berat setelah mendengar rumor tentang Dirga dan Sheryl. Apalagi banyak perawat yang bilang mereka sangat cocok karena sama-sama dokter spesialis lah, sama-sama orang kaya lah, sama-sama cerdas, dan ‘sama-sama’ lainnya.Ya, memang serasih sih, mereka.Wina menatap pantulannya di cermin yang terpasang di dinding. Lihatlah penampilannya! Ia menoleh ke kanan, membayangkan Dirga berdiri di sampingnya.Ya, memang sangat tidak cocok, sih.Wina yang semoengil itu, Dirga yang segede itu. Si kaya dan si miskin. Si cerdas dan si gak pinter. Si pewaris dan si beban keluarga. Si tampan dan si... si..., si imut! Iya Wina gak jelek, cuma Sheryl aja yang kelewat cantik. Begitulah Wina menghibur diri.Puas memandangi dirinya di cermin, Wina melanjutkan perjalannya ke tujuan awal. Kamar inap ayahnya. Seperti sebelumnya, setiap membuka kamar ayahnya, ia selalu berharap sang ayah akan membuka mata dan menyambutnya. Meski hanya sekeda
“Perkenalkan, Tuan Johan. Ini Dirga, PACAR saya!”Pacar? Dirga menoleh horor pada sahabatnya. Seingatnya ia tidak pernah mengajak sahabatnya untuk berpacaran atau diajak berpacaran. Tadi dokter kandungan berparas cantik itu hanya menyuruhnya datang ke ruangannya saat istirahat. Katanya ada hal yang penting.Jadi, apakah ini yang dimaksud penting?Sedangkan Johan, pria itu tak gentar sedikitpun dengan perkenalan Sheryl. Ia maju selangkah ke arah pria berseragam dokter dan mengulurkan tangannya. “Kenalkan, saya Johan. Calon TUNANGAN Sheryl,” ucapnya dengan menekankan kata ‘tunangan’.Oh, jangan lupa senyum ramah yang terpatri di wajah pria berambut cepak itu. Dirga seperti tidak asing dengan ekspresi wajah seperti itu. Aaah, Dirga ingat. Ia biasa melihat itu pada wajah sepupunya, Aldo.Lalu dengan menahan tawa, Dirg pun menyambut uluran tangan tersebut. “Perkenalkan saya dokter Dirga, saya_”Belum selesai Dirga memperkenalkan diri, Sheryl tiba-tiba merapatkan tubuhnya dan menggamit erat
Rumah sakit pada saat menjelang jam istirahat masih sangat ramai. Termasuk pada Poli Obgyn, dimana Sheryl sedang bertugas. Namun, belum waktunya beristirahat asistennya memberitahu bahwa ada orang yang mencarinya. “Siapa? Pasien?” Tanya Sheryl pada wanita berseragam perawat itu. Asistennya menggeleng, “Katanya penting. Orangnya ganteng, Dok.” Seloroh sang asisten dengan senyum menggoda. “Namanya kalau tidak salah Johan,” imbuhnya. Sheryl langsung menegakkan duduknya kala mendengar nama itu. Nama yang akhir-akhir ini membuatnya berantakan dan bertindak tak biasa. Hatinya mendadak tak tenang. Apa sebenarnya tujuan pria itu datang ke tempat kerjanya? Tak cukupkah teror yang selama ini ia berikan pada pria itu? “Suruh nunggu saja, Sus. Nanggung sebentar lagi istirahat,” perintah Sheryl pada sang asisten. Setelah asistennya pergi, buru-buru ia mengirimkan pesan pada sahabatnya untuk segera datang ke poli obgyn saat istirahat. *** Tak perlu menunggu lama, dokter kandungan cantik itu b
Wina merebahkan tubuhnya di kasurnya yang tak begitu empuk. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Pikirannya kembali pada pertemuannya dengan Dirga tadi pagi di pemakaman. Ingin rasanya tadi memeluknya atau sekedar menyapa memberi semangat. Tapi ia sadar, tadi bukan waktunya untuk ikut campur. Mungkin lain kali?“Nduk, makan dulu!” Ajak ibunya dari arah dapur. Ya, tadi selesai jam kerjanya di caffe, gadis itu memilih pulang ke rumah. Kangen rumah, kangen keluarga kecilnya juga. Sedikit jenuh juga dengan suasana malam di rumah sakit.“Iya, Bu!” Sahutnya sedikit berteriak. Kemudian ia bangkit. Melepaskan hoodienya yang sedari tadi masih menempel di tubuh mungilnya.Aroma opor ayam yang lezat langsung menyeruak di indra penciumnnya begitu kakinya tiba di dapur. Ibunya sibuk memindahkan hasil masakannya dari panci ke meje makan. Tidak ada meja makan mewah di rumah sederhana itu, hanya meja kecil dengan empat kursi yang sama-sama terbuat dari kayu.“Adek mana, Bu?” Tan
Hari ini adalah hari yang paling tidak ingin Dirga ingat. Saat hari peringatan itu tiba, rasanya pundak pria menjadi sangat berat. Meski tak ada yang mengatakan secara langsung, ia merasa semua orang menyalahkannya atas kepergian Dira, adik perempuannya.Kejadian naas yang menimpa adiknya dulu masih meninggalkan luka dan trauma baginya dan juga orang tuanya hingga saat ini. Rasa bersalahnya tak juga sirna meski sudah lebih dari 2 dekade adiknya menyatu dengan tanah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun inipun ia pergi ke tempat istirahat terakhir sang adik. Andai diberi kesempatan sekali untuk bertemu adiknya, ia ingin sekali mengucapkan maaf.Maaf karena tidak bisa menjaganya.Maaf karena tidak bisa menyelamatkan.Terlebih lagi saat melihat wajah sedih mamanya kala itu. Bagaimanapun kehadiran Dira sangat diharapkan oleh kedua orang tuanya. Setelah melahirkan Dirga, mamanya pernah hamil lagi dua kali. Namun dikehamilan itu mamanya keguguran. Keduanya pula adik dirga berjenis kelamin
Saat Rizal sibuk menabur bunga di atas sebuah makam, Wina hanya diam. Matanya melirik pada Dirga yang hari itu nampak tak ada semangat. Selain gagalnya sidang tesis waktu itu, ini kali pertama Wina melihat cucu emas Hermanto itu sangat muram. Ia seakan tak mengenali wajahnya. Mereka seolah orang asing yang berada di tempat yang sama.Tak mau mengganggu kekhidmatan pria yang belum lama masuk ke hidupnya, Wina memilih sedikit menjauh. Netranya menjelajah area pemakaman umum itu, hingga matanya melihat rombongan yang sama-sama mengenakan pakain serba hitam mendekat ke arah mereka.Laki-laki dan wanita yang Wina tebak adalah suami-istri berjalan dengan dipayungi pria-pria kekar di samping mereka. Dari kejauhan saja terlihat romobongan itu sangat berkelas, entah itu dari pakaiannya yang mahal atau cara berjalannya. Apalagi paras suami-istri itu sangat good looking.Saking fokusnya, Wina sampai tidak sadar rombongan tersebut mendekat ke arahnya.“Om, tante.” Sapa Rizal membuyarkan fokus Win
Wina melangkahkan kaki pendeknya memasuki caffe yang masih sepi. Hari ini ia memang berniat berangkat kerja pagi, karena sorenya ada bimbingan skripsi dengan Dospem-nya. Tapi ia terpaksa lebih pagi dari jam kerjanya karena si boss menyuruhnya ke caffe dua jam lebih awal. Jelas caffe masih sangat sepi.Di pelataran caffe, ia melihat mobil atasannya terparkir. Karena di lantai bawah tak ia temui siapapun, sudah pasti Rizal alias owner caffe itu berada di ruang kerjanya. Winapun memutuskan langsung ke atas. Di ketuknya pintu kayu itu. Setelah terdengar sahutan dari dalam yang menyuruhnya masuk, gadis itu segera membuka pelan daun pintu itu.Setelah melihat atasannya mengenakan pakaian dengan warna senada dengannya, Wina mengernyit heran. “Kak, ini kita mau ngelayat?” Tanyanya, sebab boss-nya itu tadi pagi menyuruhnya untuk memakai baju serba hitam dan tentunya pakaian yang sopan.Dari pantulan cermin besar yang tersandar di dinding ruangannya, Rizal dapat melihat jelas ekspresi Wina. “Bu