Melihat keadaan Wina yang tak bisa dikatakan baik-baik saja, membuat Dirga semakin gusar. Ia takut apa yang dikhawatirkan terjadi. Ia takut jika kecelakaan yang menimpa Wina bukanlah ecelakaan biasa. Dirga sangat takut jika anak buah kakeknya sudah turun tangan.Malam itu juga, Dirga langsung bergegas menuju tempat yang bisa dipercaya. Dipercaya untuk menitipkan gadis mungilnya selama ia pergi bakti sosial. Terpaksa, sih. Memang pada dasarnya Dirga kurang akur dengan orang ini. Tapi menurutnya dia bukan orang jahat. Jadi Dirga rasa, ia bisa menitipkan Wina sementara."Ngapain malam-malam ke sini, Om?" Wina menatap heran saat mereka tiba di parkiran caffe milik Rizal."Kamu tidur di sini sementara," jawabnya sambil melepas sabuk pengaman."Ngapain? Aku bisa tidur di rumah sakit, kok. Biasanya juga gitu." Tolak Wina."Kamu tidur di rumah sakit kalau Rizal juga shift malam." Dirga keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk."Om, gak mau gendong aku gitu? Biar so sweet!" Teriak Win
Dirga rasa, tak ada salahnya ia menceritakan pada sepupunya terkait kakeknya. Ia merasa kisahnya dengan orangtua Rizal sedikit mirip. Jadi mungkin sepupunya itu akan bisa membantunya."Terus kamu lagi curiga sama kakek?" Tanya Rizal mengambil kesimpulan."Ya, waspada saja.""Eh, bukannya kamu lagi marahan ya sama Wina?" Rizal ingat beberapa hari lalu Wina bercerita tentang dipecatnya ia sebagai ART dan memohon-mohon untuk diangkat sebagai karyawan tetap."Ya siapa yang gak marah coba dibohongin gitu?!" Jawab Dirga kesal. Ia jadi ingat kembali kesalahan Wina yang satu itu."Eh bentar." Dirga menyondongkan tubuhnya ke depan. Melihat dengan seksama wajah sepupunya. "Jangan bilang kamu udah tahu siapa Wina sebenarya dari awal kalian kenal?"Rizal memalingkan wajahnya. Diteguknya minuman bersoda itu untuk menghilangkan rasa gugupnya."Ya, dia kan karyawan aku. Pasti tahu, lah." Kilahnya.Dirga semakin murka. "Sialan kalian. Selama ini kompak nipu ternyata!"Melihat sepupunya sudah keluar t
Tubuh indah bak biola Spanyol itu meliuk anggun memasuki sebuah ruangan. Ruangan bernuansa ceria, tak sebanding dengan aura dari penghuni ruang tersebut. Wanita cantik dengan make-up tebal itu perlahan menurunkan kacamata hitamnya. Duduk di sofa tunggal empuk. Dipangkunya tas tangan kecil bernilai puluhan juta itu."Selamat datang, Nona Sheryl." Sambut pemilik ruangan tersebut dengan mengulurkan tangannya. Sayang, uluran tangan bertato tengkorak itu tak juga disambut oleh tamunya.Sejenak, wanita cantik memicingkan mata. Tak percaya dengan pria di depannya yang berpenampilan bak mafia adalah pemilik ruangan yang ia kunjungi. Sungguh sangat kontras.Sekali lagi, Sheryl mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan. Ruangan yang terkesan hangat dengan dominasi warna lylac dan peach. Bagi yang belum tahu, pasti mengira penghuni ruangan ini adalah gadis manja penggemar barbie."Nona manis tenang saja. Tugas sudah kami laksanakan. Sesuai perintah, kami hanya melukai. Tidak sampai membnunu
Pria berkaki jenjang itu berlari sekencang-kencangnya. Langkah panjangnya terus melaju menuju stasiun kereta. Meski napas sudah tersengal-sengal, ia tak memelankan larinya sedikitpun. Ia tidak mau kehilangan gadis yang belakangan ini tak enyah dari pikirannya. Tergenggam sepucuk surat yang sudah mulai lecek.Suara peluit kondektur yang melengking semakin menambah kecepatan larinya. Ia tidak mau terlambat. Ia harus sampai sebelum gerbong-gerbong kereta itu membawa gadisnya.Terlihat banyak calon penumpang yang memenuhi peron stasiun. Di antara kerumanan itu, ia melihat seseorang yang dicarinya berdiri di tengah-tengah. Tenggelam di kerumunan tersebut karena postur tubuhnya yang kecil.Larinya semakin cepat. Saat gadisnya sudah di depan mata, langkahnya langsung terhenti tatkala beberapa laki-laki berjas hitam berdiri di sekitar gadis itu.Tak hanya itu, langkahnya juga terhalangi oleh beberapa laki-laki bertubuh besar. Napasnya memburu, dadanya naik-turun menahan emosinya."Maaf, Tuan
Seminggu sudah kegiatan Bakti Sosial berlangsung. Beban Dirga sedikit terangkat. Beruntung baksos yang dipimpinnya berjalan dengan lancar. Hukuman dari kakeknya sudah selesai. Meskipun kegiatan berjalan tanpa kendala, namun tak seharipun Dirga lalui dengan hati tenang.Setiap hari ia selalu merecoki sepupunya untuk mengetahui kabar Wina."Kenapa gak nanya sendiri aja, sih?!" Protes Rizal setiap kali Dirga meneleponnya dengan pertanyaan yang sama.Dirga pun selalu menjawab hal yang sama berkali-kali. "Aku gak mau kakek dan mata-matanya tahu."Begitu alibinya.Tcih, Rizal dibuat risih sendiri sama sepupunya yang seperti anak puber kasmaran."Kalian bisa gak sih, sehari aja gak usah ngrecokin aku?" Winapun tak luput dari omelan Rizal setiap ia menanyakan kapan calon dokter bedah itu pulang."Terus mau sampai kapan ruang kerjaku jadi tempat kamu ngiler?"Wina meringis melihat kemurkaan boss-nya. "Makanya aku tanya. Kapan Om Dirga pulang, karena aku udah pingin balik ke rumah!"Gadis itu m
Seperti rencananya sejak ia masih di tempat bakti sosial. Dirga langsung mengajak Wina untuk menyelidiki kecelakaannya waktu itu. Mereka terpaksa bergerak berdua saja karena Rizal tidak mau. Lebih tepatnya tidak bisa karena sudah harus ke rumah sakit. Ia mendapat shift siang."Kamu yakin di sini?" Tanya Dirga memastikan kala mereka sampai di jalan raya dengan ruko dan aneka outlet di tepi kanan-kirinya.Wina mengangguk. "Lebih tepatnya disini, Om." Tunjuk Wina pada trotoar yang mendekati perempatan jalan."Aku inget banget. Ada tempat sampah gak jauh dari tempat aku jatuh." Ingatnya lagi. Dirga mencebik, menggerutu dalam hati. Kenapa ingatnya malah tempat sampah, sih?"Terus apa lagi yang kamu ingat?"Gadis mungil itu berpikir sejenak. Kemudian ia berteriak, "es krim!""Pelakunya bawa es krim?" Tanya Dirga tak yakin. Sumpah mana ada penjahat makan es krim sebelum beraksi?Wina menggeleng. Tangannya menyeret ujung kaos Dirga. "Tuh, kedai es krim, Om." Telunjuk kecil itu menunjuk sebuah
"Di parkiran caffe Kak Rizal."Kata-kata Wina membuat Dirga tertawa sumbang. Kepalanya terus menggeleng pertanda tak setuju. Lalu diperhatikannya lagi rekaman CCTV itu.Nampak Wina berjalan santai dengan tangan menenteng kantong kresek hitam. Tiba-tiba dari arah belakang, muncul pengendara motor Kawasaki Ninja 250 SE LTD melaju sedikit cepat. Tepat di sebelah Wina, pengendara motor yang mengenakan pakaian serba hitam itu menabrakkan motonya ke arah Wina.Sayangnya mereka tak bisa mengenali wajah pengendara tersebut karena memakai helm full face. Mereka juga tak mungkin menemukan pelakunya hanya dengan menilai bentuk tubuhnya saja.Diperhatikan lagi rekaman CCTV tersebut. Dirga mengernyit saat melihat pengendara motor itu berhenti sejenak setelah menyerempet Wina. Seakan memastikan kondisi Wina, lalu pergi begitu saja. Di matanya, bukan seperti tabrak lariApakah niat pelaku itu hanya untuk memberi peringatan pada Wina, bukan untuk melukai?"Percuma kan, Om? Gak bakal ketemu juga siapa
"Enak banget ya kamu. Bisa datang dan pergi kerja sesuka hati."Mendengar teman-teman kerjanya yang sedang mengobrol di dapur, membuat Wina menghentikan cuciannya. Mereka gak sedang nyindir aku kan? Batinnya."Iya, dong. Apalagi dengan gaji full. Atau malah lebih banyak dari karyawan senior?" Sahut karyawan lainnya.Telinga Wina semakin panas. Ia tak bisa lagi menghibur hatinya dengan mengatakan 'itu bukan untukku'. Dibersihkannya busa sabun cuci yang menempel di tangan. Ia meraih lap yang tergantung dekat bak cuci untuk mengeringkan tangannya. Kemudian Wina membalikkan badannya. Menatap teman-teman kerjanya yang tengah beristirahat di dapur."Kalian ngomongin aku?"Tidak. Wina bukannya mau nantangin mereka. Ia hanya ingin meluruskan semuanya. Wina tidak mau prasangka mereka semakin jauh. Karena tuduhan mereka tidak hanya menjelekkan namanya, tapi juga nama baik Rizal. Bagaimana pun Rizal adalah boss-nya. Dokter Umum itu sudah banyak membantunya dalam berbagai hal."Menurut lo?" Tanya
“Kita mau kemana, Om?” Tanya Wina begitu mereka beranjak dari kawasan rumah sakit. Gadis itu menoleh kanan-kiri karena merasa asing dengan jalanan di sekitarnya. Ini bukan jalan menuju apartemen, rumahnya, atau rumah baru ‘Om Dokternya’ alias pacar barunya.Ehm, Wina jadi tersipu sendiri dengan status baru mereka.“Makan dulu, gimana?”Berbeda dengan Wina yang ekspresif, Dirga memang nampak lebih tenang. Tapi di balik wajah kalemnya, hatinya tengah meletup-letup bahagia. Hatinya yang mulanya berwarna monochrom kini berubah warna-warni.“Oke, mau makan dimana?” Wina bertanya antusias. Sebenarnya makan dimana saja pasti mau, kok. Apalagi disaat kasmaran, makanan apapun juga akan terasa enak.“Delivery Order saja, ya?” Tanya Dirga hati-hati. Ia melirik sekilas pada gadis mungil yang duduk manis di sampingnya. Sedikit was-was saja jika gadis yang baru beberapa menit lalu dipacari akan ngamuk.“Oke, terus mau dimakan dimana?” lagi-lagi Wina bertanya. Ia penasaran saja. Mau dibawa kemana si
“Wina, gimana kalau mulai hari ini kita pacaran?”Gadis mungil itu menoleh. Menatap horor pada pria di sampingnya yang baru saja melontarkan entah sebuah pertanyaan atau ajakan. Tak mau ke-geeran, Wina bertanya untuk memastikan. Siapa tahu tadi hanya halusinasinya saja.“Maksudnya?”Dirga tersenyum. Wajahnya terlihat sangat tenang. Padahal jantungnya sudah deg-degan heboh. Tangannya bertaut untuk mengurangi kegugupannya. Sungguh ini tidak ada dalam rencananya. Benar-benar dadakan.“Ya, kita pacaran.” Kali ini suaranya lebih mantap dari ajakannya yang pertama tadi.Oke, Dirga memang selama ini belum pernah mengajak gadis manapun kencan. Justru dari dulu ia malah lebih sering mendapatkan surat cinta, pengakuan langsung, dan serba-serbi ajakan kencan lainnya.Dirga juga sadar, kok. Bahwa ajakannya kali ini terdengar sangat tidak niat. Apalagi ‘nembak’ di halter seperti ini. Tanpa bunga, tanpa coklat, tanpa kata-kata manis. Sungguh tidak ada romantis-romantisnya sedikitpun.Seratus persen
Wina berjalan lesu menuju kamar inap ayahnya. Langkah ringannya berubah berat setelah mendengar rumor tentang Dirga dan Sheryl. Apalagi banyak perawat yang bilang mereka sangat cocok karena sama-sama dokter spesialis lah, sama-sama orang kaya lah, sama-sama cerdas, dan ‘sama-sama’ lainnya.Ya, memang serasih sih, mereka.Wina menatap pantulannya di cermin yang terpasang di dinding. Lihatlah penampilannya! Ia menoleh ke kanan, membayangkan Dirga berdiri di sampingnya.Ya, memang sangat tidak cocok, sih.Wina yang semoengil itu, Dirga yang segede itu. Si kaya dan si miskin. Si cerdas dan si gak pinter. Si pewaris dan si beban keluarga. Si tampan dan si... si..., si imut! Iya Wina gak jelek, cuma Sheryl aja yang kelewat cantik. Begitulah Wina menghibur diri.Puas memandangi dirinya di cermin, Wina melanjutkan perjalannya ke tujuan awal. Kamar inap ayahnya. Seperti sebelumnya, setiap membuka kamar ayahnya, ia selalu berharap sang ayah akan membuka mata dan menyambutnya. Meski hanya sekeda
“Perkenalkan, Tuan Johan. Ini Dirga, PACAR saya!”Pacar? Dirga menoleh horor pada sahabatnya. Seingatnya ia tidak pernah mengajak sahabatnya untuk berpacaran atau diajak berpacaran. Tadi dokter kandungan berparas cantik itu hanya menyuruhnya datang ke ruangannya saat istirahat. Katanya ada hal yang penting.Jadi, apakah ini yang dimaksud penting?Sedangkan Johan, pria itu tak gentar sedikitpun dengan perkenalan Sheryl. Ia maju selangkah ke arah pria berseragam dokter dan mengulurkan tangannya. “Kenalkan, saya Johan. Calon TUNANGAN Sheryl,” ucapnya dengan menekankan kata ‘tunangan’.Oh, jangan lupa senyum ramah yang terpatri di wajah pria berambut cepak itu. Dirga seperti tidak asing dengan ekspresi wajah seperti itu. Aaah, Dirga ingat. Ia biasa melihat itu pada wajah sepupunya, Aldo.Lalu dengan menahan tawa, Dirg pun menyambut uluran tangan tersebut. “Perkenalkan saya dokter Dirga, saya_”Belum selesai Dirga memperkenalkan diri, Sheryl tiba-tiba merapatkan tubuhnya dan menggamit erat
Rumah sakit pada saat menjelang jam istirahat masih sangat ramai. Termasuk pada Poli Obgyn, dimana Sheryl sedang bertugas. Namun, belum waktunya beristirahat asistennya memberitahu bahwa ada orang yang mencarinya. “Siapa? Pasien?” Tanya Sheryl pada wanita berseragam perawat itu. Asistennya menggeleng, “Katanya penting. Orangnya ganteng, Dok.” Seloroh sang asisten dengan senyum menggoda. “Namanya kalau tidak salah Johan,” imbuhnya. Sheryl langsung menegakkan duduknya kala mendengar nama itu. Nama yang akhir-akhir ini membuatnya berantakan dan bertindak tak biasa. Hatinya mendadak tak tenang. Apa sebenarnya tujuan pria itu datang ke tempat kerjanya? Tak cukupkah teror yang selama ini ia berikan pada pria itu? “Suruh nunggu saja, Sus. Nanggung sebentar lagi istirahat,” perintah Sheryl pada sang asisten. Setelah asistennya pergi, buru-buru ia mengirimkan pesan pada sahabatnya untuk segera datang ke poli obgyn saat istirahat. *** Tak perlu menunggu lama, dokter kandungan cantik itu b
Wina merebahkan tubuhnya di kasurnya yang tak begitu empuk. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Pikirannya kembali pada pertemuannya dengan Dirga tadi pagi di pemakaman. Ingin rasanya tadi memeluknya atau sekedar menyapa memberi semangat. Tapi ia sadar, tadi bukan waktunya untuk ikut campur. Mungkin lain kali?“Nduk, makan dulu!” Ajak ibunya dari arah dapur. Ya, tadi selesai jam kerjanya di caffe, gadis itu memilih pulang ke rumah. Kangen rumah, kangen keluarga kecilnya juga. Sedikit jenuh juga dengan suasana malam di rumah sakit.“Iya, Bu!” Sahutnya sedikit berteriak. Kemudian ia bangkit. Melepaskan hoodienya yang sedari tadi masih menempel di tubuh mungilnya.Aroma opor ayam yang lezat langsung menyeruak di indra penciumnnya begitu kakinya tiba di dapur. Ibunya sibuk memindahkan hasil masakannya dari panci ke meje makan. Tidak ada meja makan mewah di rumah sederhana itu, hanya meja kecil dengan empat kursi yang sama-sama terbuat dari kayu.“Adek mana, Bu?” Tan
Hari ini adalah hari yang paling tidak ingin Dirga ingat. Saat hari peringatan itu tiba, rasanya pundak pria menjadi sangat berat. Meski tak ada yang mengatakan secara langsung, ia merasa semua orang menyalahkannya atas kepergian Dira, adik perempuannya.Kejadian naas yang menimpa adiknya dulu masih meninggalkan luka dan trauma baginya dan juga orang tuanya hingga saat ini. Rasa bersalahnya tak juga sirna meski sudah lebih dari 2 dekade adiknya menyatu dengan tanah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun inipun ia pergi ke tempat istirahat terakhir sang adik. Andai diberi kesempatan sekali untuk bertemu adiknya, ia ingin sekali mengucapkan maaf.Maaf karena tidak bisa menjaganya.Maaf karena tidak bisa menyelamatkan.Terlebih lagi saat melihat wajah sedih mamanya kala itu. Bagaimanapun kehadiran Dira sangat diharapkan oleh kedua orang tuanya. Setelah melahirkan Dirga, mamanya pernah hamil lagi dua kali. Namun dikehamilan itu mamanya keguguran. Keduanya pula adik dirga berjenis kelamin
Saat Rizal sibuk menabur bunga di atas sebuah makam, Wina hanya diam. Matanya melirik pada Dirga yang hari itu nampak tak ada semangat. Selain gagalnya sidang tesis waktu itu, ini kali pertama Wina melihat cucu emas Hermanto itu sangat muram. Ia seakan tak mengenali wajahnya. Mereka seolah orang asing yang berada di tempat yang sama.Tak mau mengganggu kekhidmatan pria yang belum lama masuk ke hidupnya, Wina memilih sedikit menjauh. Netranya menjelajah area pemakaman umum itu, hingga matanya melihat rombongan yang sama-sama mengenakan pakain serba hitam mendekat ke arah mereka.Laki-laki dan wanita yang Wina tebak adalah suami-istri berjalan dengan dipayungi pria-pria kekar di samping mereka. Dari kejauhan saja terlihat romobongan itu sangat berkelas, entah itu dari pakaiannya yang mahal atau cara berjalannya. Apalagi paras suami-istri itu sangat good looking.Saking fokusnya, Wina sampai tidak sadar rombongan tersebut mendekat ke arahnya.“Om, tante.” Sapa Rizal membuyarkan fokus Win
Wina melangkahkan kaki pendeknya memasuki caffe yang masih sepi. Hari ini ia memang berniat berangkat kerja pagi, karena sorenya ada bimbingan skripsi dengan Dospem-nya. Tapi ia terpaksa lebih pagi dari jam kerjanya karena si boss menyuruhnya ke caffe dua jam lebih awal. Jelas caffe masih sangat sepi.Di pelataran caffe, ia melihat mobil atasannya terparkir. Karena di lantai bawah tak ia temui siapapun, sudah pasti Rizal alias owner caffe itu berada di ruang kerjanya. Winapun memutuskan langsung ke atas. Di ketuknya pintu kayu itu. Setelah terdengar sahutan dari dalam yang menyuruhnya masuk, gadis itu segera membuka pelan daun pintu itu.Setelah melihat atasannya mengenakan pakaian dengan warna senada dengannya, Wina mengernyit heran. “Kak, ini kita mau ngelayat?” Tanyanya, sebab boss-nya itu tadi pagi menyuruhnya untuk memakai baju serba hitam dan tentunya pakaian yang sopan.Dari pantulan cermin besar yang tersandar di dinding ruangannya, Rizal dapat melihat jelas ekspresi Wina. “Bu