"Di parkiran caffe Kak Rizal."Kata-kata Wina membuat Dirga tertawa sumbang. Kepalanya terus menggeleng pertanda tak setuju. Lalu diperhatikannya lagi rekaman CCTV itu.Nampak Wina berjalan santai dengan tangan menenteng kantong kresek hitam. Tiba-tiba dari arah belakang, muncul pengendara motor Kawasaki Ninja 250 SE LTD melaju sedikit cepat. Tepat di sebelah Wina, pengendara motor yang mengenakan pakaian serba hitam itu menabrakkan motonya ke arah Wina.Sayangnya mereka tak bisa mengenali wajah pengendara tersebut karena memakai helm full face. Mereka juga tak mungkin menemukan pelakunya hanya dengan menilai bentuk tubuhnya saja.Diperhatikan lagi rekaman CCTV tersebut. Dirga mengernyit saat melihat pengendara motor itu berhenti sejenak setelah menyerempet Wina. Seakan memastikan kondisi Wina, lalu pergi begitu saja. Di matanya, bukan seperti tabrak lariApakah niat pelaku itu hanya untuk memberi peringatan pada Wina, bukan untuk melukai?"Percuma kan, Om? Gak bakal ketemu juga siapa
"Enak banget ya kamu. Bisa datang dan pergi kerja sesuka hati."Mendengar teman-teman kerjanya yang sedang mengobrol di dapur, membuat Wina menghentikan cuciannya. Mereka gak sedang nyindir aku kan? Batinnya."Iya, dong. Apalagi dengan gaji full. Atau malah lebih banyak dari karyawan senior?" Sahut karyawan lainnya.Telinga Wina semakin panas. Ia tak bisa lagi menghibur hatinya dengan mengatakan 'itu bukan untukku'. Dibersihkannya busa sabun cuci yang menempel di tangan. Ia meraih lap yang tergantung dekat bak cuci untuk mengeringkan tangannya. Kemudian Wina membalikkan badannya. Menatap teman-teman kerjanya yang tengah beristirahat di dapur."Kalian ngomongin aku?"Tidak. Wina bukannya mau nantangin mereka. Ia hanya ingin meluruskan semuanya. Wina tidak mau prasangka mereka semakin jauh. Karena tuduhan mereka tidak hanya menjelekkan namanya, tapi juga nama baik Rizal. Bagaimana pun Rizal adalah boss-nya. Dokter Umum itu sudah banyak membantunya dalam berbagai hal."Menurut lo?" Tanya
[Flashback sebelum terungkap]Rizal berangkat ke rumah sakit dengan perasaan gamang saat membiarkan Wina dan sepupunya pergi menyelidiki kecelakaan itu. Tanpa mereka ketahui, diam-diam pria berwajah oriental itu juga sudah menyedilikinya diam-diam. Ia tidak bisa berpangku tangan dan hanya menunggu sampai Dirga selesai bakti sosial.Awalnya Rizal yakin bisa memecahkan masalah ini sendiri karena waktu kecelakaan terjadi, ia ada di sekitar TKP. Dengan berat hati Rizal mengakui.Rizallah yang menabrak Wina dengan motornya.Sore itu, tumben sekali Rizal ingin berjalan-jalan dengan si Kancil, sebutan untuk sepeda motor kesayangannya. Hingga pada sebuah pertigaan jalan, ia harus terhenti karena gantungan kunci motornya lepas. Suasana memang cukup lengang karena sudah memasuki waktu maghrib.Saat turun dan mengambil gantungan kunci miliknya, tepat di sebelahnya berhenti sebuah mobil SUV. Rizal awalnya tidak memperhatikan sebelum ia mendengar percakapan dari dalam mobil. Beruntung kaca mobil t
Dirga mengemudikan roda empatnya dengan laju. Tangannya masih mecengkeram erat stir mobl untuk menyalurkan amarahnya. Bekas darah Rizal masih menempel di jari-jarinya. Ini memang bukan pertama kali suasana mobil yang ditumpangi dua manusia beda gender itu hening. Namun kesunyian kali ini diliputi aura kemarahan dan kegelisahan yang sama-sama terpendam pada diri masing-masing.Mobil terus melaju. Hingga tanpa Wina sadari, mereka sudah tiba di sebuah rumah yang masih terlihat baru. Rumah rahasia milik calon dokter bedah tampan."Om, kita dengerin penjelasan Kak Rizal dulu, yuk!" Pinta Wina saat Dirga hendak membuka pintu mobil. Sebenarnya, Wina belum bisa percaya sepenuhnya apa yang Dirga tuduhkan tentang pelaku sesungguhnya kecelakaan waktu itu.Dirga masih diam. Sedari tadi ia mengunci mulutnya."Om. Kalau Kak Rizal niat mau nyelakain aku, ada banyak kesempatan untuk melakukan itu. Tapi selama aku sama Kak Rizal, semua baik-baik saja, kok." Wina terus menjelaskan. Ia tidak ingin hubun
Setelah keributan yang terjadi kemarin antara ia dan Dirga, serta kericuhan di dapur antar karyawannya, Rizal mengunpulkan semua karyawannya sebelum caffe beroperasi. Awalnya pria berwajah oriental itu tak mau ikut campur urusan pribadi karyawannya. Namun kemarin sore, Farid—koki yang paling dekat dengannya—menceritakan tentang penyebab keributan Wina dan karyawan lainnya.Rizal akui, sebelumnya ia tidak pernah mempertimbangkan hal ini. Mulanya, ia juga tak ada niatan memperkerjakan Wina dalam waktu lama. Tapi semua terjadi begitu saja. Jalan yang ia tempuh tidak mulus. Seiring berjalannya waktu, ketika ia sudah terbiasa dengan Wina di dekatnya, ia dilema. Tidak tega membiarkan Wina kembali berhadapan dengan masalah ekonomi yang baginya tidak seberapa itu.Pria berkulit putih itu juga tidak ingin Wina dipandang buruk oleh karyawan lain. Maka dari itu, ia mengumpulkan karyawannya. Bermaksud untuk menjelaskan sikapnya yang selama ini terlihat terlalu mengistimewakan Wina.“Ehm!” Rizal m
“Untuk bisa melihat jenis kelaminnya, Bapak dan Ibu bisa datang lagi bulan depan.” Ucap Sheryl ramah pada pasiennya. Tangannya sibuk menulis resep.“Obatnya jangan lupa diminum terus ya, Bu.”Sepasang suami-istri di depannya mengangguk. Setelah semua pemeriksaan selesai, keduanya pamit.“Selanjutnya!” Ucap Sheryl pada asistennya.Tak ada sahutan. Dokter kandungan itu mendongak. Namun yang di dapati bukanlah asistennya melainkan laki-laki yang paling ia benci kehadirannya. Amarahnya kembali bangkit. Mengingat kembali kebodohannya yang mempercayai manusia berotak kadal yang berani-beraninya menipunya.Si tamu tersenyum manis dengan tatapan seolah mereka bersahabat. Berbanding terbalik dengan dokter cantik yang masih anteng di kursi kerjanya, balas menatap dengan tatapan benci. Diletakkan pulpen dengan kasar, tangannya bersedekap di dada.“Siapa yang kamu hamili kali ini, Tuan Aldo?” Tanyanya mengejek.Pria yang baru saja menerobos antrian para pasien itu hanya mengedikkan bahunya. Tanpa
Dengan langkah berat, mata mengantuk, dan baju yang berantakan, Rizal berjalan lesu memasuki caffe-nya yang masih sepi. Belum ada satupun karyawannya yang berangkat karena maih terlalu pagi. Begitu selesai shift malamnya, pria itu langsung pulang ke caffe.Sebenarnya hari ini ia berniat untuk pulang ke rumahnya. Mamahnya sudah merengek memintanya pulang. Namun terpaksa harus ke caffe dulu untuk mengambil sesuatu.Ia mengedarkan pandangannya pada caffe yang masih sepi. Beberapa kursi masih nangkring di atas meja, listrik yang masih belum nyala, dan lantai yang masih sedikit kotor. Semalam caffe tutup lebih malam karena malam minggu.Kemudian ia berjalan menuju dapur. Tempat para koki dan staff dapur bekerja keras untuk mempersembahkan hidangan lezat para customer. Dari kejauhan, ia melihat secarik kertas tertempel di pintu kulkas. Rizal mendekat, mengambil kertas yang berisi coretan tinta hitam.Siapa lagi pelakunya kalau bukan Farid. Karena hari ini koki itu libur, Farid mencatat apa
“Ada orang yang aku curigai.”Wina dan Rizal kompak menoleh ke arah Dirga. Menatap pria bermata coklat itu dengan penasaran. Pemilik caffe itu mendekat, “siapa?”Gadis mungil itu juga semakin merapatkan tubuhnya pada laki-laki yang sedari tadi sibuk menyuapkan jajan dan minuman padanya. Sebelum menjawab, laki-laki itu menyuapkan lagi roti sobek isi selai blueberry.“Aldo,” jawab Dirga singkat.Wina terjingkat, “wah, wah, wah. I know, i know. Tuh orang emang dendam kesumat sama aku, Om!” Seru gadis itu lantang, seolah menguatkan asumsi Dirga. Sampai-sampai roti yang sedang dikunyahnya muncrat kemana-mana. Tentu Dirga langsung sigap mengambilkan tisue dan membersihkan sekitar mulut Wina yang cukup belepotan.Wina sih nurut saja.Namun berbeda dengan Rizal, pria itu masih belum mengerti. “Memangnya apa alasan dia harus mencelakai kamu?”“Waktu aku jadi ART Om Dirga, dia tuh pernah mau ngelecehin aku. Terus selalu ngancem-ngancem—” perkataan Wina yang berapi-api langsung dipotong oleh Dir
“Kita mau kemana, Om?” Tanya Wina begitu mereka beranjak dari kawasan rumah sakit. Gadis itu menoleh kanan-kiri karena merasa asing dengan jalanan di sekitarnya. Ini bukan jalan menuju apartemen, rumahnya, atau rumah baru ‘Om Dokternya’ alias pacar barunya.Ehm, Wina jadi tersipu sendiri dengan status baru mereka.“Makan dulu, gimana?”Berbeda dengan Wina yang ekspresif, Dirga memang nampak lebih tenang. Tapi di balik wajah kalemnya, hatinya tengah meletup-letup bahagia. Hatinya yang mulanya berwarna monochrom kini berubah warna-warni.“Oke, mau makan dimana?” Wina bertanya antusias. Sebenarnya makan dimana saja pasti mau, kok. Apalagi disaat kasmaran, makanan apapun juga akan terasa enak.“Delivery Order saja, ya?” Tanya Dirga hati-hati. Ia melirik sekilas pada gadis mungil yang duduk manis di sampingnya. Sedikit was-was saja jika gadis yang baru beberapa menit lalu dipacari akan ngamuk.“Oke, terus mau dimakan dimana?” lagi-lagi Wina bertanya. Ia penasaran saja. Mau dibawa kemana si
“Wina, gimana kalau mulai hari ini kita pacaran?”Gadis mungil itu menoleh. Menatap horor pada pria di sampingnya yang baru saja melontarkan entah sebuah pertanyaan atau ajakan. Tak mau ke-geeran, Wina bertanya untuk memastikan. Siapa tahu tadi hanya halusinasinya saja.“Maksudnya?”Dirga tersenyum. Wajahnya terlihat sangat tenang. Padahal jantungnya sudah deg-degan heboh. Tangannya bertaut untuk mengurangi kegugupannya. Sungguh ini tidak ada dalam rencananya. Benar-benar dadakan.“Ya, kita pacaran.” Kali ini suaranya lebih mantap dari ajakannya yang pertama tadi.Oke, Dirga memang selama ini belum pernah mengajak gadis manapun kencan. Justru dari dulu ia malah lebih sering mendapatkan surat cinta, pengakuan langsung, dan serba-serbi ajakan kencan lainnya.Dirga juga sadar, kok. Bahwa ajakannya kali ini terdengar sangat tidak niat. Apalagi ‘nembak’ di halter seperti ini. Tanpa bunga, tanpa coklat, tanpa kata-kata manis. Sungguh tidak ada romantis-romantisnya sedikitpun.Seratus persen
Wina berjalan lesu menuju kamar inap ayahnya. Langkah ringannya berubah berat setelah mendengar rumor tentang Dirga dan Sheryl. Apalagi banyak perawat yang bilang mereka sangat cocok karena sama-sama dokter spesialis lah, sama-sama orang kaya lah, sama-sama cerdas, dan ‘sama-sama’ lainnya.Ya, memang serasih sih, mereka.Wina menatap pantulannya di cermin yang terpasang di dinding. Lihatlah penampilannya! Ia menoleh ke kanan, membayangkan Dirga berdiri di sampingnya.Ya, memang sangat tidak cocok, sih.Wina yang semoengil itu, Dirga yang segede itu. Si kaya dan si miskin. Si cerdas dan si gak pinter. Si pewaris dan si beban keluarga. Si tampan dan si... si..., si imut! Iya Wina gak jelek, cuma Sheryl aja yang kelewat cantik. Begitulah Wina menghibur diri.Puas memandangi dirinya di cermin, Wina melanjutkan perjalannya ke tujuan awal. Kamar inap ayahnya. Seperti sebelumnya, setiap membuka kamar ayahnya, ia selalu berharap sang ayah akan membuka mata dan menyambutnya. Meski hanya sekeda
“Perkenalkan, Tuan Johan. Ini Dirga, PACAR saya!”Pacar? Dirga menoleh horor pada sahabatnya. Seingatnya ia tidak pernah mengajak sahabatnya untuk berpacaran atau diajak berpacaran. Tadi dokter kandungan berparas cantik itu hanya menyuruhnya datang ke ruangannya saat istirahat. Katanya ada hal yang penting.Jadi, apakah ini yang dimaksud penting?Sedangkan Johan, pria itu tak gentar sedikitpun dengan perkenalan Sheryl. Ia maju selangkah ke arah pria berseragam dokter dan mengulurkan tangannya. “Kenalkan, saya Johan. Calon TUNANGAN Sheryl,” ucapnya dengan menekankan kata ‘tunangan’.Oh, jangan lupa senyum ramah yang terpatri di wajah pria berambut cepak itu. Dirga seperti tidak asing dengan ekspresi wajah seperti itu. Aaah, Dirga ingat. Ia biasa melihat itu pada wajah sepupunya, Aldo.Lalu dengan menahan tawa, Dirg pun menyambut uluran tangan tersebut. “Perkenalkan saya dokter Dirga, saya_”Belum selesai Dirga memperkenalkan diri, Sheryl tiba-tiba merapatkan tubuhnya dan menggamit erat
Rumah sakit pada saat menjelang jam istirahat masih sangat ramai. Termasuk pada Poli Obgyn, dimana Sheryl sedang bertugas. Namun, belum waktunya beristirahat asistennya memberitahu bahwa ada orang yang mencarinya. “Siapa? Pasien?” Tanya Sheryl pada wanita berseragam perawat itu. Asistennya menggeleng, “Katanya penting. Orangnya ganteng, Dok.” Seloroh sang asisten dengan senyum menggoda. “Namanya kalau tidak salah Johan,” imbuhnya. Sheryl langsung menegakkan duduknya kala mendengar nama itu. Nama yang akhir-akhir ini membuatnya berantakan dan bertindak tak biasa. Hatinya mendadak tak tenang. Apa sebenarnya tujuan pria itu datang ke tempat kerjanya? Tak cukupkah teror yang selama ini ia berikan pada pria itu? “Suruh nunggu saja, Sus. Nanggung sebentar lagi istirahat,” perintah Sheryl pada sang asisten. Setelah asistennya pergi, buru-buru ia mengirimkan pesan pada sahabatnya untuk segera datang ke poli obgyn saat istirahat. *** Tak perlu menunggu lama, dokter kandungan cantik itu b
Wina merebahkan tubuhnya di kasurnya yang tak begitu empuk. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Pikirannya kembali pada pertemuannya dengan Dirga tadi pagi di pemakaman. Ingin rasanya tadi memeluknya atau sekedar menyapa memberi semangat. Tapi ia sadar, tadi bukan waktunya untuk ikut campur. Mungkin lain kali?“Nduk, makan dulu!” Ajak ibunya dari arah dapur. Ya, tadi selesai jam kerjanya di caffe, gadis itu memilih pulang ke rumah. Kangen rumah, kangen keluarga kecilnya juga. Sedikit jenuh juga dengan suasana malam di rumah sakit.“Iya, Bu!” Sahutnya sedikit berteriak. Kemudian ia bangkit. Melepaskan hoodienya yang sedari tadi masih menempel di tubuh mungilnya.Aroma opor ayam yang lezat langsung menyeruak di indra penciumnnya begitu kakinya tiba di dapur. Ibunya sibuk memindahkan hasil masakannya dari panci ke meje makan. Tidak ada meja makan mewah di rumah sederhana itu, hanya meja kecil dengan empat kursi yang sama-sama terbuat dari kayu.“Adek mana, Bu?” Tan
Hari ini adalah hari yang paling tidak ingin Dirga ingat. Saat hari peringatan itu tiba, rasanya pundak pria menjadi sangat berat. Meski tak ada yang mengatakan secara langsung, ia merasa semua orang menyalahkannya atas kepergian Dira, adik perempuannya.Kejadian naas yang menimpa adiknya dulu masih meninggalkan luka dan trauma baginya dan juga orang tuanya hingga saat ini. Rasa bersalahnya tak juga sirna meski sudah lebih dari 2 dekade adiknya menyatu dengan tanah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun inipun ia pergi ke tempat istirahat terakhir sang adik. Andai diberi kesempatan sekali untuk bertemu adiknya, ia ingin sekali mengucapkan maaf.Maaf karena tidak bisa menjaganya.Maaf karena tidak bisa menyelamatkan.Terlebih lagi saat melihat wajah sedih mamanya kala itu. Bagaimanapun kehadiran Dira sangat diharapkan oleh kedua orang tuanya. Setelah melahirkan Dirga, mamanya pernah hamil lagi dua kali. Namun dikehamilan itu mamanya keguguran. Keduanya pula adik dirga berjenis kelamin
Saat Rizal sibuk menabur bunga di atas sebuah makam, Wina hanya diam. Matanya melirik pada Dirga yang hari itu nampak tak ada semangat. Selain gagalnya sidang tesis waktu itu, ini kali pertama Wina melihat cucu emas Hermanto itu sangat muram. Ia seakan tak mengenali wajahnya. Mereka seolah orang asing yang berada di tempat yang sama.Tak mau mengganggu kekhidmatan pria yang belum lama masuk ke hidupnya, Wina memilih sedikit menjauh. Netranya menjelajah area pemakaman umum itu, hingga matanya melihat rombongan yang sama-sama mengenakan pakain serba hitam mendekat ke arah mereka.Laki-laki dan wanita yang Wina tebak adalah suami-istri berjalan dengan dipayungi pria-pria kekar di samping mereka. Dari kejauhan saja terlihat romobongan itu sangat berkelas, entah itu dari pakaiannya yang mahal atau cara berjalannya. Apalagi paras suami-istri itu sangat good looking.Saking fokusnya, Wina sampai tidak sadar rombongan tersebut mendekat ke arahnya.“Om, tante.” Sapa Rizal membuyarkan fokus Win
Wina melangkahkan kaki pendeknya memasuki caffe yang masih sepi. Hari ini ia memang berniat berangkat kerja pagi, karena sorenya ada bimbingan skripsi dengan Dospem-nya. Tapi ia terpaksa lebih pagi dari jam kerjanya karena si boss menyuruhnya ke caffe dua jam lebih awal. Jelas caffe masih sangat sepi.Di pelataran caffe, ia melihat mobil atasannya terparkir. Karena di lantai bawah tak ia temui siapapun, sudah pasti Rizal alias owner caffe itu berada di ruang kerjanya. Winapun memutuskan langsung ke atas. Di ketuknya pintu kayu itu. Setelah terdengar sahutan dari dalam yang menyuruhnya masuk, gadis itu segera membuka pelan daun pintu itu.Setelah melihat atasannya mengenakan pakaian dengan warna senada dengannya, Wina mengernyit heran. “Kak, ini kita mau ngelayat?” Tanyanya, sebab boss-nya itu tadi pagi menyuruhnya untuk memakai baju serba hitam dan tentunya pakaian yang sopan.Dari pantulan cermin besar yang tersandar di dinding ruangannya, Rizal dapat melihat jelas ekspresi Wina. “Bu