Hari selasa adalah hari yang ditunggu-tunggu Caca. Hari ini adalah hari yang istimewa dimana dia mengajar kelasnya Indra. Hari ini akan menjadi lebih istimewa karena dia akan menjalankan rencananya mendekati Indra.Setelah menghabiskan sekitar lima belas menit untuk memilih pakaian. Bahkan Caca juga mengaplikasikan riasan wajah yang lebih daripada biasanya. Setelah merasa puas dengan riasan wajahnya dan bajunya, Caca segera turun.Tidak ada siapapun di meja makan. Akhirnya, Caca memutuskan untuk tidak sarapan meskipun perutnya perih minta ampun. Ditambah lagi, jantungnya yang berdebar-debar menunggu kelas nanti siang. Rasanya Caca mempunyai energi lebih meskipun tidak ada sarapan.Sesaat sebelum mengajar kelas Indra, keraguan menyisip pelan-pelan. Hati kecilnya menanyakan berbagai pertanyaan seperti, bagaimana kalau ternyata Indra sakit hati atas penolakan kemarin? Bagaimana kalau ternyata karena sakit hati itu, Indra tidak mau membantunya? Apa lebih baik tidak meminta bantuan dari In
“Se.. Sebenarnya, saya mau mengajak kamu bekerja sama.” ujar Caca dengan suara yang masih gelagapan.Dalam hati Caca mengumpat. Caca benci dirinya sendiri yang tidak bisa menguasai dirinya sendiri.Indra menatapnya. Tatapan mata Indra seolah-olah menelanjanginya. Lutut Caca sudah menyerah tidak mampu menahan berat badannya sendiri.“Bekerja sama?” mata Indra menyipit, dahinya berkerut.“Ya. Sebelumnya, apakah kamu sudah menjalani seminar akademik atau proceeding sebagai salah satu syarat kelulusan?”“Belum Bu. Saya berencana untuk menerbitkan jurnal saya di jurnal internasional. Saya tidak berniat untuk ikut seminar atau proceeding karena butuh persiapan yang lama dan kemungkinan juga dilaksanakan di luar kota atau bahkan luar negeri. Lagipula waktu pelaksanaannya proceeding sudah ditentukan, tidak sepanjang tahun seperti publikasi jurnal. Jadi saya berpikir publikasi di jurnal saja lebih cepat daripada ikut proceding.”“Kebetulan sekali kalau begitu, saya mau menawarkan bagaimana jik
Senin dini hari, dua hari yang lalu.Satrio sedang makan roti bakar dan menyeruput cappuccino di ruang tunggu eksekutif maskapai Emirates di Bandara Internasional Dulles, Washington D.C. yang tenang dan nyaman. Makanan dan minuman tersedia gratis bagi penumpang kelas bisnis dan kelas satu di ruang tunggu itu. Satrio menunggu pesawatnya akan berangkat jam lima pagi menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta.Selama itu pula, pikiran Satrio mengarah pada Caca.Selama hampir seminggu Satrio berada di negeri adidaya itu. Satrio diundang sebagai pembicara ahli di sebuah konferensi medis internasional yang diadakan di kampusnya, Johns Hopkins University. Kampusnya yang membiayai semua akomodasi Satrio.Seminggu itu pula, intensitas komunikasinya dengan Caca berlangsung baik. Caca sering membalas pesan pendeknya.Jam lima tepat, pesawatnya berangkat. Untunglah Satrio ada di kelas bisnis, perjalanan selama dua belas jam ke Dubai, menjadi tidak masalah karena dia bisa meluruskan kaki
Satrio mengetuk pintu ruangan Direktur Rumah Sakit. Tak sampai semenit, Satrio sudah duduk di hadapan Sang Direktur.“Wah, Mas Satrio, kapan pulang dari Amerika?” sambut Pak Bondan, sang direktur rumah sakit.“Tadi dini hari Pak.”Pak Bondan terlihat sedikir terhenyak. “Mas Satrio langsung ke sini?”Satrio mengatakan bahwa dirinya sempat ke tempat prakteknya terlebih dahulu sebelum ke rumah sakit.“Bagaimana presentasinya? Lancar?”Satrio mengangguk. Dengan sopan, Satrio menerangkan secara ringkas kegiatannya selama seminggu di Amerika.Setelah berbasa-basi, Satrio berkata, “Saya mau bertanya perihal surat tugas penelitian yang terbaru Pak.”“Iya Mas ada apa dengan surat tugas itu?”“Dokter Irene, dokter residen bimbingan saya, tidak ada di surat tugas tersebut sebagai peneliti di tim saya. Penelitian ini penting bagi dokter Irene karena penelitian ini adalah salah satu syarat kelulusan dokter Irene. Ada apa Pak?”“Oh,” Pak Bondan mengibaskan tangannya sambil melemparkan tawa konyol.
Caca menghela nafas panjang dengan pelan-pelan supaya Mbah tidak mendengarnya. Kakinya dan otaknya berseberangan. Kakinya menginginkan dirinya untuk segera pergi. Sedangkan otaknya menyuruhnya untuk menuruti kemauan Mbah.Kaki Caca ternyata lebih tahu daripada otaknya bahwa bencana dan badai sedang mengintai. Mbah pasti akan memarahinya atas sesuatu yang Caca tidak tahu.Caca menuruti kemauan otaknya karena tak sanggup membayangkan konsekuensi yang akan dihadapinya kalau tidak menuruti kemauan Mbah.“Kamu mau kemana?” tanya Mbah yang sedang menghisap rokoknya.“Mau keluar Mbah, ada acara dengan teman-teman kampus.” kata Caca sembari dengan sengaja mengambil duduk di seberang Mbah dengan meja di tengah-tengah.Caca selalu membenci Mbah yang merokok. “Apa kata Mas Satrio kalau tahu Mbah merokok?”“Kamu sama dokter Satrio sudah sejauh mana? Mbah perhatikan, dokter Satrio jarang kesini. Ada apa?” ujar Mbah tidak mempedulikan pertanyaan Caca.Jantung Caca berhenti untuk sepersekian detik.
Wajah masam Caca langsung berubah ceria ketika melihat Indra sudah duduk menunggunya di salah satu meja di Neal’s. Caca duduk di kursi seberang Indra. Di sebelah kanan Caca, terhampar pemandangan lampu kota di bawah sana berkelip-kelip dan berwarna-warni. Tempat duduk yang sempurna untuk makan malam.Caca tampil dengan setelan hem warna krem bermotif bunga-bunga dan rok mekar panjang berkerut bawah lutut dengan warna krem yang lebih tua. Caca benar-benar percaya diri dengan penampilannya malam itu. Terlebih lagi, Caca mengenakan sandal model square toe tinggi.Indra sendiri tidak kalah menarik. Dengan paduan hem putih lengan panjang yang digulung sesiku dan jeans warna biru, Indra tampak mempesona. Caca tidak kuat menahan dirinya yang meleleh karena terpesona.“Ibu mau pesan apa?”Mata Caca menyipit. “Kamu panggil aku apa? Ibu? Kamu mau buat aku terlihat tua?”Indra melongo.“Panggil Caca.” terang Caca dengan senyuman manis.Indra menggeleng, “Saya akan panggil dengan Tante saja.”“Ka
Tidak ada hal yang hebat di Rabu pagi untuk Izzy. Tapi siang nanti, dia punya rencana memisahkan Indra dan Bu Syasmala. Izzy berencana untuk menemui seorang saudara jauhnya, lebih tepatnya mas keponakan. Izzy yakin mas keponakannya mampu membantunya.Meski begitu, sebelum jam empat dirinya sudah bangun. Izzy turun ke dapur. Ada hasrat tak tertahankan di hatinya untuk memasak sarapan untuk Papa dan Mama. Sudah lama mereka tidak pernah sarapan bersama.Izzy meolak bantuan dari beberapa asisten rumah tangganya. Izzy bersikeras ingin menghidangkan sarapan untuk Papa Mamanya. Izzy memasak sayur pedas atau orang Malang biasanya menyebut sebagai “jangan pedes”. Banyak versi dari jangan pedes ini. Tetapi, versi favorit Papa adalah olahan sayur yang terdiri dari kepala ikan tongkol, tahu, tempe, petai, dengan kuah kental yang terbuat dari gilingan kacang tanah.Tak lupa juga Izzy membuat tempe mendol. Olahan dari tempe yang sudah agak basi. Tempe tersebut dihaluskan, diberi bumbu-bumbu, lalu d
Pak Warek berdecak, “Memangnya kenapa dengan Bu Syasmala dan temanmu itu?”“Sepertinya Bu Syasmala orang yang sulit untuk diajak bekerja sama. Bu Syasmala mempersulit thesis temanku.”Pak Warek menggelengkan kepalanya. Senyum kemenangan tipis tersungging di bibirnya. Beliau berkata, “Mempersulit bagaimana?”“Panjang ceritanya Mas.”“Kamu bisa bawa teman kamu itu menghadapku?”“Eh, memangnya harus menghadap Mas?”“Ya kalau mau diteruskan pengaduannya, yang bersangkutan harus menghadap sendiri dan mengatakannya kepadaku. Kamu bilang pada temanmu, Aku bisa bantu apa saja. Aku bisa menggantikan Bu Syasmala dengan siapapun yang dia kehendaki asalkan dia mau menghadapku dan menyatakan keberatannya.”“Dia ketakutan Mas. Mas ‘kan bisa langsung mengganti Bu Syasmala dengan siapapun. Izzy yakin, dia tidak keberatan dengan siapapun asalkan bukan Bu Syasmala. Dengan surat rekomendasi dari Mas sekarang, Izzy bisa langsung ke kantor jurusan dan mengganti Bu Syasmala.”“Kamu tidak mengerti Izzy, kal
“Aku tidak mengerti, seharusnya Adik senang. Aku akan memperlakukan Adik dengan baik. Aku mau Adik di rumah tidak terbebani dengan pekerjaan dan stress karena pekerjaan di luar rumah. Aku ingin Adik fokus merawat dan mendidik anak-anak kita nantinya. Lagipula, seperti yang aku bilang tadi, seorang ibu rumah tangga adalah sebuah pekerjaan penuh waktu. Seorang ibu adalah sebuah pekerjaan yang mulia.”Nada Satrio terdengar sangat tenang ketika itu.“Mas, perempuan tidak harus selalu ada di rumah. Perempuan bisa bekerja di luar. Budaya patriarki yang selama ini dianut harus dirubah. Perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan lelaki. Perempuan juga bisa melebihi lelaki dalam pencapaian-pencapaian apapun. Perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata. Bukankah kemarin Mas juga sudah bilang bahwa pekerjaan rumah adalah tanggung jawab bersama? Kenapa sekarang Mas menyuruhku untuk berdiam di rumah dan juga mengurusi rumah?”Nada Caca ter
Awal bulan Desember, kebahagiaan Caca terus menerus menyumber.Caca merasakan energi yang dahsyat setiap harinya. Caca merasakan semangat yang membakar dan membara di dalam tubuhnya. Semangat itu memberinya energi yang luar biasa. Bisa saja dengan energi dan adrenalin yang meluap-luap tersebut, Caca mampu mewujudkan perdamaian dunia sekaligus mengatasi kelaparan di negara dunia ketiga.Tiada hari tanpa senyuman tersungging di bibirnya. Semua yang Caca idamkan akan terwujud dalam waktu dekat. Caca akan menikah bulan depan, Ratu tidak jadi melangkahinya. Caca juga berhasil menjalankan program kerjanya di kampus dengan berhasil mewujudkan program pertukaran doktor ke Australian National University, yang juga akan terwujud bulan depan setelah pernikahannya. Semua sudah siap, tinggal berangkat.Kerja keras yang akan terbayar lunas.Caca juga sudah melupakan permasalahannya dengan Indra. Mau bagaimanapun juga, apa yang difitnahkan Indra kepadanya terbu
“Mbah, kok merokok disini? Nanti kalau aku bau rokok bagaimana?” protes Caca.Mbah tidak bergeming atas protes Caca. Bahkan, Mbah menghisap kuat-kuat rokok kreteknya dan mengeluarkan asapnya yang mengepul ke atas.Caca mengambil nafas panjang, “Mas Satrio tahu kalau Mbah masih merokok?”“Jangan bilang-bilang dokter Satrio kalau Mbah masih merokok. Dokter Satrio bisa-bisa marah nanti.” jawab Mbah bersungut-sungut.Sekarang justru Caca yang terdiam. Caca menatap Mbah menunggu jawaban atas pertanyaan yang dia ajukan. Mbah masih menghindari kontak mata dengan Caca.Setelah menghabiskan setengah dari rokoknya, Mbah berkata, “Nduk, yang membuat Mbah dan Papamu bertengkar saat itu ya soal Papamu yang tidak mau merestui kamu menikah kemarin.”Caca tahu betul Mbah berbohong. Maka Caca kembali bertanya, “Terus apa yang Mbah maksud dengan hanya Mbah dan Papa yang tahu soal itu? Yang aku tanyakan Mba
Tak terasa hari ini adalah hari Caca lamaran. Dua bulan terakhir ini dia disibukkan dengan kegiatan kampus yang membombardirnya tanpa henti bagaikan serangan tantara Jerman ke Perancis pada perang dunia kedua. Kegiatan yang dilakukan cukup menyita waktu Caca. Mendapatkan empat belas sks mengajar di semester genap ini dan melakukan pengabdian masyarakat juga menjalankan tugas sebagai Kepala Biro Urusan Luar Negeri berhasil melupakan masalah yang dihadapinya baik di kampus.Maka Caca sekarang sedang duduk di depan cermin rias yang ada di kamar Papa dan Mama. Dipandangi wajahnya yang sudah didandani oleh seorang make-up artist pilihan Mama. Caca bisa melihat jelas wajahnya yang berseri-seri kemarahan, yang mana rona kemerahan itu diyakini dari kebahagiaan yang timbul dari dalam dirinya. Senyuman kecil juga selalu tersungging manis di bibir Caca. Tulang pipinya yang sedikit menyembul menjadi semakin jelas karena senyuman tersebut.Badannya juga terlihat sangat ril
Sore itu, Caca pulang dengan hati yang masih mendongkol. Seperti ada batu besar yang teronggok malas ditaruh di dalam dadanya, membebani dan membuat efek mengganjal dan dongkol. Jam empat lewat tiga puluh, Caca sudah sampai di rumahnya. Mobilnya diparkir tepat di samping mobil Papa.Caca menemukan Mamanya sedang duduk di meja makan. Mamanya sedang khusyuk menghadapi setoples keripik singkong dan menatap layar ponselnya.“Papa sudah pulang tah Ma?” tanya Caca sambil mencium tangan kanan Mama.Mama mengangguk dan masih khusyuk dengan keripik dan ponselnya.“Terus dimana Papa?”Mamanya menelan keripik singkong terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Caca, “Itu ada di belakang, di gazebo sama Mbah.”Caca mengambil duduk di sebelah Mama. Dipeluknya Mama dengan erat dari samping. Kepala Caca menyandar di lengan kiri Mama yang ramping. Satu hal yang Caca tidak pernah mengerti adalah bagaimana Mamanya
Penyesalan memang selalu datang di akhir. Semalam penuh Caca menyesali perbuatannya pada Indra. Perutnya terasa kaku dan keras. Dadanya sesak hingga berkali-kali Caca mengelus dadanya mencoba mengurangi sakitnya, tapi nihil hasil. Kepalanya sakit.Tak hanya itu, berkali-kali Caca mengusap air mata yang menetes, menghela nafas panjang. Caca sadar, dia telah melakukan kesalahan besar. Tidak seharusnya Caca melontarkan kata-kata kasar yang menyakiti Indra. Caca menyesal karena menuruti hawa nafsu dan menyerang Indra.Seharusnya, Caca pergi saja saat itu dan tidak melayani tantangan Indra. Akan lebih baik jika Caca pergi saja dan membiarkan Indra. Seharusnya cinta Caca pada Indra berhasil meredam emosinya.Niat awal Caca pagi itu adalah mengirim pesan pada Indra sebagai dosen pembimbingnya. Caca mau melanggar idealismenya selama ini yang tidak mau mencampurkan masalah pribadi dan masalah professional. Tapi dipikirnya, kali ini, masalah ini membutuhkan perlakuan khus
Caca tersentak karena kaget. Sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Caca bahwa Indra akan berani mendekatinya dan mengatakan hal yang begitu menyakiti hatinya.Bahkan karena terlalu kagetnya, Caca hanya sanggup melihat Indra. Caca menangkap rona kesedihan di wajah Indra namun siratan kesedihan di mata Indra.Kata-kata yang dilontarkan Indra terlalu sakit untuk didengar oleh Caca. Karena terlalu sakitnya, mulut Caca menganga dan lidahnya terasa kelu tidak sanggup berkata apapun.Untuk beberapa saat Caca hanya memandangi Indra, begitu pula sebaliknya. Dalam beberapa saat itu pula, Caca tidak bisa berpikir, apa yang harus dia lakukan.Pikiran Caca kembali bekerja normal. Saat itu pula, hatinya terbelah menjadi dua. Sebelah hatinya memintanya untuk segera pergi dari sisi Indra. Sakit hatinya tak terperi. Caca hanya ingin lari dari sana dan tidak mau melihat tampang Indra lagi.Tetapi, di sisi lain hatinya, Caca tidak terima dengan perlakuan tersebut
Mata Indra melotot pada Izzy.“Kamu bicara apa tadi?” tanya Indra tidak percaya atas apa yang masuk ke dalam telinganya. Matanya melotot pada Izzy.“Itu Bu Syasmala ‘kan?” tanya Indra menegaskan. Nada suaranya tidak sengaja meninggi.Indra melihat wajah Izzy yang tampak lugu dan kaget di saat yang bersamaan. Tatapan mata Indra yang tajam hanya bisa membuat Izzy membeku di tempatnya. Indra menyadari hal itu. Maka, dengan nada yang lebih rendah, meskipun dengan tatapan yang tajam, Indra bertanya sekali lagi, “Calon suaminya Bu Syasmala?”Izzy mengangguk, “Iya Mas. Itu tadi lo yang berjalan di depannya Bu Syasmala, lelaki yang memakai jas hitam tanpa dasi.”Izzy berusaha memanjang-manjangkan lehernya mencoba mencari seseorang di barisan depan. Memang ada beberapa lelaki sedang berdiri berkumpul di dekat taman buatan.“Itu lo Mas, yang berdiri di depan Bu Syasmala.” tangan Izzy me
“Iya Irene.” Jawab Satrio enteng tanpa ada rasa bersalah sama sekali.Darah Caca mendidih. Suasana hati yang tadi sudah membaik, kini memburuk kembali.Caca mencoba mengendalikan emosinya, “Siapa Irene Mas?”“Dia adalah dokter residen di bawah bimbinganku. Mas merasa kasihan sekali dengan Irene ini. Dia berasal dari keluarga yang kurang beruntung. Dia berhasil sampai sejauh ini murni karena otaknya dan kegigihannya. Dia tidak berasal dari keluarga darah murni, yang mana bapak ibunya bukan dokter. Karena keadaan itulah Pak Bondan berusaha menyingkirkan dia.”Caca menatap Satrio. Yang ditatap masih konsentrasi dengan jalan yang ada di depannya.Satrio menarik nafas panjang sebelum melanjutkan, “Pak Bondan pikir, seseorang yang bukan berasal dari darah murni tidak pantas menjadi dokter. Menurut Mas, semua itu hanyalah kebangaan atas sesuatu yang semu dan abstrak. Semua orang yang kompeten dan mampu boleh menja