"Ibu, harusnya ibu percaya. Aku denger kalau Flora memang sedang hamil anak Abian."
"Mana buktinya, Winda? Kamu gak punya bukti tapi kekeuh mengatakan hal itu? Kelakuan kamu ini bikin Ibu malu!" Ucap Ranti dengan keras, dia benar-benar malu rasanya."Bu..""Cukup, Winda. Apa yang kamu lakukan barusan itu mempermalukan dirimu sendiri, kalau belum memiliki bukti yang cukup, jangan sembarangan melapor!""Tapi Ibu..""Diam!" Tegas Ranti di teras rumah, membuat Abian yang baru saja keluar dari kamar itu segera mendekat ke arah luar, dimana Ranti dan Winda ada disana. Keduanya terlibat percekcokan yang entah apa sebabnya."Ibu sudah pulang?" Tanya Abian membuat Ranti menoleh. Wanita itu hanya menganggukan kepalanya."Ibu malu karena dia.""Kenapa memangnya, Bu?" Pria itu mengernyitkan keningnya sambil melirik ke arah Winda yang tengah menatapnya tajam, tapi Abian tidak takut akan tatapan itu. Justru dia menyunggingkanFlora pun masuk ke kamarnya dan memutar matanya dengan jengah ketika melihat Arifin yang tengah duduk di sisi ranjang."Flo.." Panggil Arifin ketika melihat Flora masuk."Apa? Mau jelasin semua yang sudah kamu perbuat, Mas?" Tanya Flora dengan nada menyindir, membuat Arifin bungkam seketika."Dia perempuan yang aku temui satu tahun setelah pernikahan kita, aku tidak sengaja menabraknya lalu atas dasar kemanusiaan aku menolongnya dan membiayai pengobatannya karena kakinya patah. Tapi Mas gak ada niatan untuk berselingkuh awalnya, tapi semakin lama dia semakin menarik dan cantik hingga membuat Mas tergoda.Mas khilaf..""Khilaf? Haha, alasan. Khilaf itu di lakukan secara tidak sengaja dan hanya satu kali, lalu ini? Berarti sudah hampir dua tahun kamu mengkhianati aku, Mas. Pantas saja selama ini gaji mu tidak pernah sampai padaku, rupanya kamu memiliki wanita lain yang harus kau biayai." Ucap Flora dengan tawa hambarnya. Wanita itu kini men
"Selamat datang kehidupan baruku, aku datang. Gumam Flora sambil membuka pintu rumah mewah yang di belikan oleh Arifin. Dia mendudukan tubuhnya di sofa ruang tamu rumah itu, Abian benar-benar menepati ucapannya. Dia gerak cepat untuk mengisi rumah ini dengan berbagai macam perabotan yang super duper mewah, bahkan sofa yang dia duduki saat ini sangat empuk dan nyaman."Sofa yang nyaman, aku bisa tidur disini." Gumamnya sambil tersenyum, tapi hal itu hanya berlangsung beberapa detik saja karena di detik berikutnya, wanita itu beranjak dengan membawa tas yang dia jinjing dan masuk ke kamarnya.Lagi-lagi, senyumnya terbit dengan begitu cerahnya ketika melihat ranjang besar dengan kasur yang nyaman. Interior kamarnya juga terasa sangat nyaman, sesuai dengan apa yang dia inginkan."Kasurnya empuk sekali, ini pasti Mas Abian yang memilihnya." Wanita itu duduk di sisi ranjang dan mengambil ponsel dari tas yang dia sampirkan di pundaknya.'Bagaimana, sayan
Flora menoleh ketika ponsel miliknya berdering cukup nyaring. Dia tersenyum saat melihat kalau Abian lah yang menghubunginya."Hallo, Mas."'Mas sudah di depan, sayang. Ucap pria itu di seberang telepon. Flora pun segera berlari keluar untuk membukakan pintu, dia sangat antusias ketika mendengar kalau pria itu sudah datang. Entah kenapa, dia sendiri tidak tahu apa alasannya.Flora membuka pintu, dia mengembangkan senyumannya ketika melihat Abian datang dengan menenteng beberapa kresek di tangannya, dia juga membawa buket bunga untuk Flora."Hai, sayang.""Masuk, Mas." Ucap Flora sambil membukakan pintu agar Abian bisa masuk ke dalam rumah."Ini untukmu, sayang." Abian memberikan buket bunga itu dan di terima dengan senang hati oleh Flora. Dia memang sangat menyukai bunga, apalagi bunga mawar. Mau berwarna apapun, selama itu bunga mawar dia pasti suka."Terimakasih, Mas." Flora menghirup aroma bunga itu dalam-dalam, rasan
Flora menatap cemas dengan sebuah benda kecil yang ada di tangannya. Ya, Flora tengah menunggu hasil testnya, dia di paksa untuk memeriksanya segera agar dia maupun Abian bisa bersiap-siap ke depannya.Beberapa menit berlalu, hingga akhirnya Flora memberanikan diri untuk melihat hasilnya."Jangan dulu, aku belum siap." Lirihnya lalu membuka kedua matanya dan melihat hanya ada satu garis disana. Artinya, dia tidak hamil bukan? Lalu apa yang dia alami belakangan ini karena apa?"Satu garis? Kalau hamil harusnya ada dua garis disini kan?" Gumamnya, membuat Flora menggelengkan kepalanya."Terus, tanda-tanda itu apa? Muntah-muntah setiap pagi. mual-mual, ngidam makanan kayak orang hamil muda. Aku kenapa ya?" Flora tak habis pikir. Ada apa dengan dirinya?Dengan cepat, Flora mengambil ponselnya dan memotret testpack itu dan mengirimkannya pada Abian yang sudah pergi dari rumahnya karena urusan pekerjaan katanya.Flora pun menyimpan ben
Satu minggu kemudian, sidang pertama gugatan perceraian itu berjalan dengan lancar. Arifin dan Flora hadir di sidang itu, keduanya terlihat seperti orang asing yang seolah tidak pernah saling mengenal satu sama lain. Padahal, mereka pernah berumah tangga selama dua tahun.Pengacara yang di sewa oleh Abian benar-benar yang terbaik, sungguh dia bisa membalikkan semua tuduhan yang di tujukkan pada Flora hingga pengacara Arifin bungkam.Satu minggu dari sekarang, sidang akan berlanjut dan jika sudah ketuk palu, maka Arifin dan Flora akan resmi bercerai. Selama satu minggu ini, Flora merasa nyaman tinggal di rumahnya. Tapi hari ini, di pengadilan dia malah bertemu dengan Winda yang ikut bersama Arifin. Tentunya karena wanita itu memaksa ikut, lebih tepatnya."Ohh, begini ya sekarang penampilan kamu, Flo." Ucap Winda dengan nada ejekan."Ada apa memangnya dengan penampilanku, Mbak?""Mewah sekali, perhiasan disana sini, wajahmu juga terlihat ja
Flora keluar lebih dulu dengan wajah yang di tekuk, dia berjalan dengan perlahan karena bagian paha dalamnya terasa sedikit perih karena Abian terlalu bernafsu ketika menggempurnya."Mas, mau makan sama apa?" Tanya Flora setelah dia memakai pakaian lengkap."Terserah kamu aja, di tawarin makan kamu juga Mas gak bakalan nolak." Ucap Abian dari dalam kamar mandi."Dih, emangnya aku makanan apa? Nyebelin, dua ronde apa gak kenyang?" Gerutu Flora sambil berjalan menjauh ke luar kamar.Wanita itu mengambil panci dan beberapa bahan dari dalam kulkas. Hari ini, dia ingin memasak udang tepung saus asam manis. Sudah lama dia tidak memasak itu untuk Abian dan dia tahu kalau menu itu adalah menu kesukaan pria tampan itu.Dengan hati-hati, Flora membersihkan udang itu dengan pisau dan air mengalir, hingga bersih dan membalutnya dengan telur dan tepung. Setelahnya menggoreng hingga kecoklatan lalu mengaduknya dengan bumbu yang sudah dia buat.
Cukup lama kemudian, mobil yang di kendarai oleh Abian pun berhenti di sebuah restoran yang mewah. Wanita itu bahkan tidak percaya kalau pria itu mengajaknya ke tempat ini hanya untuk makan malam.Bahkan dari luar pun, tempat itu sudah terlihat benar-benar mewah. Sudah pasti kalau menu makanan disana pasti mahal-mahal."Mas, gak salah kamu ngajak aku kesini?""Enggak, kenapa memangnya?" Tanya pria itu sambil membuka seatbeltnya."Makanan disini pasti mahal-mahal.""Gapapa, mas punya uang." Jawab Abian sambil menatap wajah cantik wanitanya."Makanannya dikit, Mas. Mendingan makan di cafe atau di warung nasi aja, biar kenyang.""Haha, astaga. Gapapa cobain makan di restoran mahal, sayang. Sekali-kali..""Awas aja kalo aku gak kenyang, aku bakalan ngajakin kamu makan pecel ayam!" Rengeknya yang membuat Abian terkekeh.Restoran bintang lima berdiri kokoh di depan mata, tapi Flora malah mengajaknya makan di
"Mas, jelasin kenapa kamu bisa kenal sama Papa?" Tanya Flora pada Abian. Pria itu mengulum senyumnya, lalu menggenggam tangan wanitanya. Saat ini, keduanya sudah berada di rumah setelah Flora puas melepas rindu pada sang ayah "Sebelum kamu luluh dan mau berhubungan dengan Mas, Mas sudah lebih dulu meminta restu pada ayahmu, sayang." Jawab Abian yang membuat Flora menganga.Artinya, pria itu sudah meminta restu sang ayah sebelum dia setuju untuk menjalin hubungan dengannya? Astaga, kenapa pria itu terlihat sangat gentle? Flora terdiam mencerna semuanya, ini terlalu tiba-tiba baginya."Mas sudah bilang kan, kalau Mas serius sama kamu. Ini salah satu buktinya, sayang. Maaf kalau saat itu Mas sangat lancang, tapi Mas tidak ingin kehilangan kesempatan begitu kesempatan itu ada, sayang." Jelas Abian yang membuat Flora tersenyum, dia menghambur memeluk Abian."Terimakasih, Mas.""Sama-sama, sayang." Jawab Abian sambil membalas pelukan sang pria
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.