"Permisi, maaf bukannya saya mengganggu tapi ini pesanan anda, Tuan." Ucap Kalandra sambil memberikan kresek berisi beberapa testpack yang baru saja dia beli.
"Bisa ketuk dulu?""Maaf, saya pikir Nona Flora belum bangun, Tuan.""Hmm, terimakasih." Ucap Abian lalu menerima nya."Saya permisi, Tuan.""Hmm.." Abian hanya menjawab dengan deheman singkat, semudah itu mood seorang Abian berubah."Apa itu, Mas? Makanan ya?""Testpack, sayang. Tadi dokter mengatakan coba dulu di test, nanti kalau benar hamil, kita periksa ke dokter kandungan." Jawab Abian sambil mengeluarkan benda itu dari dalam wadahnya."Coba dulu, sayang.'"Mas, bagaimana kalau ternyata prediksi dokter tadi salah? Mas gak bakalan marah atau membenci aku kan?" Tanya Flora yang membuat Abian tersenyum, dia mengusap wajah cantik istrinya lalu mengecup mesra keningnya."Sayang, jika ada kita anggap sebagai rezeki. Tapi, jika ternyata prPagi harinya, Flora terbangun dari tidurnya. Dia merasa terusik ketika merasakan ranjang di sampingnya telah kosong, padahal ini masih sangat pagi bahkan untuk Abian yang biasanya bangun pagi di hari kerja. Tapi ini hari Sabtu, weekend perusahaan libur."Mas Abi, kemana ya?" Gumam Flora sambil meraba ranjang di sampingnya. Dia mendudukan tubuhnya dengan hati-hati, lalu celingukan mencari keberadaan sang suami. Kasur di sampingnya benar-benar kosong.Huek.. huekk..Terdengar seperti orang yang tengah muntah-muntah, Flora pun beranjak dari duduknya lalu mengecek ke kamar mandi yang lampunya menyala. Benar, ternyata suaminya ada disana."Mas, kamu kenapa?" Tanya Flora sambil mendekati sang suami yang tengah mengeluarkan semua isi perutnya di wastafel."S-sayang, kamu kebangun? Maaf ya kalau Mas berisik.""Enggak kok, kamu kenapa, Mas? Ada salah makan?" Tanya Flora sambil memijit tengkuk leher sang suami dengan pelan."Ke ka
Sudah beberapa hari berlalu, tapi keadaan Abian masih sama. Pagi buta, dia sudah sibuk sendiri di kamar mandi dengan keadaan yang tidak bisa di katakan baik-baik saja. Bahkan tubuhnya terlihat kurus sekarang, wajahnya terlihat sangat pucat, membuat Flora khawatir."Bu, gimana ini? Mas Abi kita bawa ke rumah sakit aja ya?" Tanya Flora pada ibu mertuanya, dia menghubunginya dan memberitahu kalau Abian tengah sakit. Dia juga memberitahukan kalau dirinya tengah mengandung saat ini, jadi Ranti memutuskan untuk tinggal sementara di rumah menantunya untuk membantunya mengurus Abian."Flora khawatir banget sama Mas Abi, Bu. Wajahnya pucat, badannya juga mengurus sekarang.""Iya, sebaiknya juga bawa dia ke rumah sakit agar mendapatkan perawatan yang lebih baik." Jawab Ranti.Dia juga sama khawatirnya dengan Flora, putranya ini tergolong orang yang jarang sakit, tapi sekalinya sakit sudah pasti parah, bahkan hanya flu saja bisa membuat tubuhnya lemah."
"Mas, makan dulu ya. Biar cepat sembuh." Ucap Flora sambil membawakan sekotak bubur dan perintilannya."Gak mau, sayang. Buburnya bau..""Lho, bau gimana? Buburnya wangi bubur kok, mana ada bau?" Tanya Flora dengan heran. Bukannya aroma bubur memang seperti ini? Wangi kuah kaldu yang bercampur dengan aroma rempah seperti daun salam?"Bau, yang. Mas gak suka.""Ya harus di paksain, makan bubur tuh bukan karena suka, Mas." Ucap Larissa sambil membuka kotak sterofoam berisi bubur itu. Sontak saja aroma bubur itu merebak memenuhi ruangan, kening Abian mengernyit lalu tak lama kemudian dia merasa mual, perutnya seketika tak nyaman.Abian mengambil kresek dan memuntahkan isi tubuhnya disana. Flora langsung menutup kembali kotak bubur itu dan menyimpannya. Dia memijat tengkuk sang suami dan mengoleskan minyak angin di lehernya agar terasa lebih lega."Mas..""Lemas.." Lirihnya sambil kembali merebahkan tubuhnya. Flora membuang
Flora dan Santi berjalan pelan ke sebuah ruangan dan masuk ke dalam antrian yang terlihat sudah mengular disana."Bagian obygn?""Iya, Mbak. Aku penasaran pingin lihat anak aku di dalam sana, kalo nunggu Mas Abi, kelamaan. Hehe." Jawab Flora sambil tersenyum. Santi pun ikut tersenyum kecil, senang saja rasanya bisa menemani Flora periksa kandungan. Dia akan melihat keponakannya yang lucu-lucu di dalam kandungan Flora.Hanya membutuhkan waktu satu jam, kini nama Flora di panggil dan wanita itu langsung masuk ke dalam ruangan dokter kandungan, tentunya bersama Santi yang terlihat antusias. Bahkan di bandingkan Flora, Santi jauh lebih antusias untuk bisa melihat keponakannya."Selamat siang, Dok.""Nona Flora?" Tanya nya sambil tersenyum lalu di angguki oleh Flora."Iya, Dok.""Ada keluhan apa?""Sebenarnya tidak ada, hanya ingin melihat janin saya.""Ohh, boleh. Mari kita lakukan pemeriksaan ultrasonograf
"Habis dari mana?" Tanya Ranti. Dia terbangun ketika mendengar pintu ruangan terbuka perlahan."Dari dokter kandungan, Bu.""Kenapa hmm? Apa yang terjadi dengan cucu Ibu?" Tanya Ranti, dia terlihat khawatir karena ini adalah calon cucu pertamanya."Tidak terjadi apa-apa kok, Bu. Kandungan Flora baik-baik saja, tidak apa-apa. Jangan khawatir.""Lalu?""Hanya melakukan pemeriksaan rutin saja kok, Bu." Jawab Flora sambil tersenyum manis."Sayang, sudah kembali?" Tanya Abian dengan suara seraknya, dia mendudukkan tubuhnya lalu mengucek matanya. Dia menatap ke arah sang istri yang kini berjalan mendekat ke arahnya."Masih pusing atau mual, Mas?""Jam segini sih udah enggak, tapi pagi sama malem, pasti mual lagi.""Obat mualnya di minum, Mas. Biar gak mual lagi, kali ini jangan ngeyel coba. Biar sembuh, kasian badan kamu kalo terus-terusan kayak gini." Ucap Flora. Jiwa keibuannya meronta-ronta, inginnya dia m
Malam harinya, seperti biasa Flora akan memasak untuk makan malam. Malam ini menunya sederhana saja sesuai dengan apa yang ada di kulkas, beberapa hari di tinggalkan membuat kulkasnya kosong."Sayang, masak apa?""Cumi tepung saus asam manis, Mas. Cuma ada ini di kulkas, gapapa ya?""Tapi Mas pengen ayam goreng." Lirih Abian."Yaudah, nanti beli online aja.""Kamu gapapa?" Tanya Abian dengan raut wajah khawatirnya."Gapapa, kalau Mas mau makan ayam goreng ya masa aku paksain makan cumi?""Hehe, makasih ya.""Iya, Mas." Flora tersenyum, lalu memesankan ayam goreng untuk suaminya. Dia akan dengan cumi saja, rasanya sama-sama enak kok. Tapi mungkin Abian sedang ngidam makan itu hari ini, padahal cumi-cumi adalah salah satu makanan kesukaan pria itu.Setelah selesai masak, keduanya pun makan dengan lahap. Flora tersenyum kecil ketika melihat suaminya makan selahap itu, syukurlah dia tidak perlu membuang ten
"Mas, kamu kok bau sih?" Tanya Flora ketika suaminya baru saja pulang kerja, meskipun masih lemas tetap saja pria itu harus bekerja karena tak mungkin dia selalu mengandalkan Kalandra untuk semua aktivitas. Dia juga punya kehidupan sendiri, kabarnya dia juga telah resmi berpacaran dengan Hanna.Sejak Flora hamil, pria itu menjadi lebih posesif menjaga istrinya, dia bahkan melarang keras agar wanita itu pergi ke toko kue dan menyerahkan semuanya pada Santi. Dia yang menghandle semuanya saat ini, hubungannya dengan Robi juga membaik, dalam waktu dekat mereka akan melangsungkan pernikahan."Ohh, mungkin karena Mas belum mandi, sayang." Jawab Abian sambil membuka jasnya dan kemejanya sekalian, dia berdiri sambil memamerkan tubuhnya yang indah dengan deretan roti sobek yang berjejer rapi disana. Terlihat indah, tapi apa Flora tergoda? Tidak, sama sekali.Jika dia wanita lain, mungkin sudah ngiler sedari tadi. Mungkin juga dia akan histeris ketika melihat penamp
"Sayang.." Panggil Abian."Hmm, apa Mas?" Tanya Flora, dia keluar dari kamar dengan menggunakan masker. What? Ini bukan jaman covid."Kenapa pakai masker?""Biar aroma badan kamu gak tercium, soalnya bikin mual.""Tapi di maskernya bau parfum aku?""Hehe iya, parfumnya wangi, aku suka.""Mas pakai parfum itu, sayang. Apa iya masih bau?" Tanya Abian. Ajaib sekaligus membuat heran, bagaimana bisa? Dia menyukai aroma parfum miliknya, tapi berbeda ketika dirinya sudah memakai parfum itu."Bau, baunya aneh banget Mas. Bikin mual, aku gak tahan baunya." Jawab Flora yang membuat Abian semakin mengernyitkan keningnya. Apa iya tubuhnya sebau itu? Kalau iya, kenapa Flora tidak mengatakannya sejak dulu?"Sayang, di kulkas gak ada apa-apa. Belanja yuk? Kuat gak?" Tanya Abian dan membuat wajah Flora berbinar ketika mendengar kata belanja yang keluar dari mulut suaminya."Ayo, Mas. Aku siap-siap dulu.." Ucapnya lalu
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.