Dua hari Parta malang melintang membagi diri untuk menyiapkan ujian semester yang tinggal sebentar lagi dan juga mengurusi permasalahannya terkait dengan proyek yang sedang dikerjakan bersama Robi. Permasalahan tempo hari tidak bisa ia terima secara mentah. Di belakang Robi, ia mencari tahu penyebab kegagalan pengiriman barang yang sudah dia pesan dengan detail dan teliti.
Tak ada perjuangan yang sia-sia. Dengan bantuan Bela akhirnya Parta menemukan akar kejanggalan yang membuat diplomasinya tak berjalan sesuai kenyataan.
“Lihat, nih!” Parta meletakkan dengan asal beberapa foto dan lembar bukti pembayaran yang dipalsukan.” Semua itu ulah anak buah kamu!”
“Dapat dari mana?” Robi melirik dan mencermati kertas-kertas di atas meja itu. Ia tak menyentuh sedikit pun, tapi sudah bisa memastikan keabsahannya.
“Itu bukan poin yang harus kita bicarakan saat ini. Kenyataannya pemesanan ulang sudah dilakukan dan proyek akan selesai dalam beberapa hari la
Terima kasih sudah membaca. :)
Beberapa hari yang padat dengan ujian semester sudah berhasil dilewati dan tidak terasa sudah hampir satu tahun Nyla menyandang status mahasiswa. Ia merasa waktu berjalan begitu cepat, suka dan duka yang sudah dirasakannya seperti angin berlalu. Sebagian besar merupakan hal yang patut disyukuri, bukan karena berupa hal yang menggembirakan namun lebih pada keberhasilan Nyla dalam menjalaninya. Suatu penghargaan pada diri sendiri yang terkadang cukup bias untuk dirasakan. Bersyukur dan ikhlas bisa menjadi jalan untuk mendamaikan hati dan melanjutkan hari dengan lebih percaya diri. Jika pada liburan semester sebelumnya Nyla memilih untuk mengambil mata kuliah tambahan, kali ini–di masa senggang sebelum menerima hasil ujian—Nyla lebih memilih membaca beberapa literatur untuk mempersiapkan semester mendatang. Beberapa kali ia ke luar dan masuk perpustakaan untuk mencari buku referensi, membaca dan menyalinnya. Ia sudah menyesuaikan kebutuhan bacaan dengan materi kuliah yang akan
Kini Parta sudah berada di undakan paling bawah. Dengan setelan celana panjang berwarna gelap, kaos berwarna putih, outer berwarna biru donker, dan sepatu semikasual berwarna gelap. Rambutnya disisir dengan belahan yang rapi dan tentu saja aroma mint berpadu geranium dan patchouli yang menguar membuatnya semakin menarik. Sebelumnya, dari dalam kamarnya di lantai dua samar-samar ia sudah mendengar obrolan panjang ayahnya dan Nyla. Hingga ia selesai bersiap dan turun menemui keduanya. Ia melihat ayahnya berdiri di dekat Nyla dan menyodorkan paper bag bermotif batik kepada gadis itu. Nyla seolah menunjukkan penolakan. Enggan dan takut menerimanya. Apalagi dirinya baru pertama kali bertemu dengan ayah Parta, rasanya kurang pantas jika harus menerima suatu pemberian dan terlintas di pikiran Nyla kecemasan akan tujuan pemberian itu. “Tenang saja, Papa orang baik. Andai seluruh dunia setuju dengan peribahasa ‘buah jatuh tak jauh dari pohonnya’
“Lepas!” Parta meradang. Teriaknya lantang tertahan. Suaranya dalam. Ia mencengkeram erat kursi roda. Di atasnya ada tangan rapuh nenek yang menahannya agar tak berjalan mendekati dua sosok itu. “Tenang, Par. Aku hanya mencoba membantu Nyla.” Yoga melepaskan tangan Nyla. “Iya, kan, Ny?” Yoga menoleh pada Nyla yang terdiam karena terkejut dengan kedatangan Parta. Pandangan Parta tak lepas dari Yoga. Sementara itu Yoga melangkah mendekat dengan senyum yang mengembang. Pemuda itu bertumpu di depan kursi roda dan mencium tangan keriput nenek yang sudah kembali berada di pangkuan. “Nenek tahu, kan, kalau aku tidak akan berani mengambil milik Parta.” Yoga berkata seolah tidak terjadi apa pun. Ia mendongak menatap neneknya dengan tersenyum. Senyum yang semakin membuat Parta ingin melempar kepalan tangan. “Nenek merindukan kalian berdua yang akur, yang rukun. Nenek ini sudah tua, jangan kalian menambah beban pikiran nenek yang sakit-sakitan ini.” Nenek menepu
Parta membanting tas ke bangku yang selalu menjadi tempat duduknya ketika jam kuliah. Wajahnya muram menunjukkan kekesalan karena beberapa kali handphonenya tidak berhenti bergetar. Ayahnya. Parta mendengus, “Ada apa sih, Pa. Aku baru saja sampai kampus. Buat apa aku ke sana? Aku ada janji sama teman kuliah hari ini. Ok, nanti jam pulang kantor aku mampir ke sana.” Parta menutup panggilannya. Parta mendekati teman-temannya yang sedang berdiskusi. Mereka sedang merencanakan pembuatan proposal untuk pengajuan kegiatan praktik kerja pertama yang menjadi mata kuliah wajib di semester lima. Lama berdiskusi hingga mereka memutuskan untuk menjalani praktik kerja bersama di dalam kota. Proposal sudah rapi dan siap diberikan pada dosen pengampu. Pembagian tugas selama praktik kerja juga sudah ditentukan. Usai bertemu dengan teman-temannya, Parta mencoba ke basecamp. Berharap bisa bertemu Nyla karena sejak peristiwa makan malam
“Mengapa kamu selalu seperti itu? Kamu sangat benci melihat aku selalu lebih baik dari kamu?” Mereka berdua keluar dari ruangan yang sama setelah mendengar banyak kata yang menyudutkan. Tak sekali pun mereka berani menjawab dan memperlihatkan muka. Semua menunduk dalam diam, hanya mengangguk dan dengan pelan mengatakan ya. Meski pujian dan terima kasih didapat Yoga, ia juga tak berani banyak bertingkah di situasi semacam itu. Sementara Parta yang dianggap sebagai biang keladi tentu saja diam seribu bahasa setelah berlutut meminta maaf. Berjalan berdua setelah sekian lama berjarak tentu rasanya tidak akan nyaman. Mereka kini berhenti di ujung lorong, tepatnya balkon kecil tempat menikmati pemandangan untuk sekadar mengistirahatkan mata, yang letaknya tak jauh dari elevator khusus di lantai itu. “Aku menginginkan Nyla. Aku tidak pernah benar-benar menginginkan milikmu seperti saat ini. Aku sangat ingin mendapatkannya, tapi kebiasaanku untuk selalu meng
“Ny, mungkin semester ini kita bisa laksanakan program yang ada. Pertama, tentu rekrutmen anggota baru. Kamu masih ingat kan dengan tahun lalu. Ya, kurang lebih seperti itu. Tapi, nanti akan ada sedikit tambahan sesuai dengan evaluasi yang ada. Lalu …” Parta menghela napas, “kemungkinan semester depan aku akan menyerahkan sebagian besar tugas sama kamu.” Nyla meletakkan buku yang sedari tadi menjadi incaran kedua bola matanya. “Mengapa seperti itu?” tanyanya sembari memicingkan kedua matanya. “Semester depan itu aku sudah semester enam. Aku ada SKS buat kerja praktik.” “Berapa lama?” tanya Nyla dengan nada ingin tahunya. “Kebijakan program sih kurang lebih tiga sampai empat bulan.” “Lama banget, sih. Sepertinya di programku tidak selama itu. Setidaknya tidak terus-terusan selama empat bulan.” Nyla menggerutu. Ia menyambar lagi bukunya dan pura-pura membaca. “Mengapa? Gak tahan kangen, ya?” goda Parta. “Terlalu percaya diri. Aku
“Berani apa kamu bilang?” Parta memegang kemudi dengan kuatnya. Dagunya menantang Nyla untuk menjawab seberani dia sebelumnya. “Coba katakan lagi!” Nyla menjawab dengan nada tinggi, “Berani untuk mengancam kamu!” “Mengancam apa?” Parta masih saja menantang. Dari sekian banyak amarah, luka yang terdalam adalah luka yang tertoreh dari orang yang paling disayangi. Orang yang diharapkan tidak pernah melukai dan mengecewakan. Orang yang dalam pikiran kita akan selalu mendukung dan selalu memeluk dengan membelai punggung, lembut dan menenangkan. Orang yang selalu menggenggam tangan kita dan menganggukkan kepala memberi kekuatan. “Pembunuh,” Nyla mengatakannya dengan suara lirih tapi penuh penekanan. Parta tak begitu mendengar, tapi gerak bibir Nyla sudah sangat jelas untuk memahami kata yang dikeluarkannya. Tangan kiri Parta yang bebas dari kemudi langsung melayang membuat pipi Nyla merona kemerahan. Gadis itu menunduk memegangi pipinya, antara peri
“Mengapa?” tanya Nyla dengan gamang sekaligus tak percaya. “Mengapa kamu melakukan semua itu?” Setiap hal pasti ada alasannya. Baik atau pun buruk yang dilakukan orang akan selalu ada dasar yang menyertainya. Selalu ada pertimbangan meski tak semuanya bisa diterima oleh akal orang lain. Terkadang untuk kepentingan diri sendiri. Terkadang untuk orang lain. Terkadang memang terpaksa harus dilakukan. Nyla ingin tahu alasan Parta hingga membuat sepupunya kehilangan sosok seorang ibu. Jika memang benar semua berawal dari kesalahan Parta, ia ingin tahu permasalahan apa yang membuat dia melakukan semua itu. Pada akhirnya, Nyla berharap alasan itu bisa menjadi sebuah pembenaran. Pembenaran yang sedikit melegakan hatinya. “Aku menginginkannya,” jawab Parta tanpa ekspresi membuat hati Nyla semakin mencelus. Kata-kata ringan itu terasa menusuk, tidak perih tapi menyakitkan. Untuk beberapa saat Parta memikirkan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia tidak punya