"Kura-kura!" teriak kami bersamaan.Nyonya besar memberi hadiah sepasang kura-kura ukuran besar. Sekitar panjang 60cm, berwarna coklat kekuningan kotak-kotak mengkilat. Cantik.Ada dua, katanya ini adalah sepasang.Oh, yang dimaksud lambang keberuntungan yang abadi ini. Nyonya Besar kalau mengekspresikan sesuatu diluar dugaan, ya. Aku tersenyum senang dan haru atas perlakuan mertuaku ini.Kata Pak Sutar, ini kura-kura darat jenis Sulcata dari Africa. Mereka gampang dipelihara. Nanti akan ada yang datang secara berkala untuk merawat mereka."Papi, ini lucu, lo. Adik bayi nanti bisa naik ini! Bisa jadi temannya Amel!" teriaknya girang. Dia mengajak bicara kura-kura itu. Membuat kami tertawa geli."Mami ini ada-ada saja, ya," ucap Mas Suma sambil merangkulku dan mencium sekilas rambut ini."Iya Mas Suma. Aku seneng banget, kok. Ibu sangat memperhatikanku," ucapku menatap ke arahnya sambil tersenyum.Kebahagiaanku terasa lengkap, mendapatkan suami, mertua dan anak sambung yang menerimaku
"Tenang, aku bersamamu. Ini saatnya, kita menghadapi kenyataan," ucapnya sambil tersenyum mencoba memberi kekuatan kepadaku.Aku mengikuti langkah panjang Mas Suma, dia menggenggam erat tangan ini untuk menambah keberanian di hati. Entah kenapa, jalan berbatu yang aku lalui seakan berubah menjadi jalan yang terjal.Di ujung sana, lelaki itu tidak menyadari sedari tadi mata kami tertuju kepadanya. Dia masih sibuk menenangkan gadis kecil yang merengek manja di gendongannya. Ya, Mas Bram dengan anaknya dari istri barunya, Wulan. Laki-laki yang pernah aku titipkan hati ini sepenuhnya untuknya, sekaligus yang menghancurkan hatiku tanpa sisa.Untunglah, di sampingku sudah ada seseorang yang sudah merengkuh dan memulihkan hatiku untuk kembali mencinta.Mas Kusuma.Yang sudah kuyakini menjadi satu-satunya penghuni di hati ini. Menjadi temanku untuk melangkah menyambut indahnya dunia. Dan, yang menjadi kekuatanku menghadapi kenyataan yang harus kuhadapi.Seperti sekarang, ini."Pak Bram!" pa
"Mas Suma, kita antar Elena, ya. Sekalian aku ingin menyapa Wulan," ucapku berusaha tenang. Kamipun menuju pondok tempat mereka berteduh. Dari jauh terlihat seorang wanita sibuk mengejar anaknya yang berjalan kesana-sini. Sesekali anak itu terjatuh dan bangun kembali.Dia terlihat kaget ketika melihat kedatangan kami."Mbak Rani?" serunya.Dia langsung menggendong putrinya dan menghampiri kami. Elena yang di gendonganku minta turun untuk bermain di rumput."Kebetulan sekali, kita bertemu di sini. Apakah Wisnu juga ikut?" tanyanya setelah kami bersalaman. "Iya, Wisnu ikut, dia bersama Amelia di taman samping. Nanti saya kasih tahu, untuk dia ke sini. Dia belum kenalan sama adik-adiknya kan, Mas?" Mas Bram mengangguk dan tersenyum. Terlihat sekali, dia berusaha bersikap sewajarnya. "Sudah dua putri ya, Pak Bram?" tanya Mas Suma sambil mengarahkan pandangan ke kedua gadis kecil itu."Iya, Pak. Masih kecil-kecil," jelas Mas Bram."Kami juga pingin ngebut kayak Pak Bram. Yah minimal dua
Bab 80. Sangu"Tuan Kusuma. Maaf mengganggu. Ada Nyonya Besar di bawah. Beliau menunggu," ucap Pak Maman."Mas Suma, Mami?!" ucapku bergegas bersiap turun menemui mertuaku itu.'Tumben pagi-pagi kesini. Apa mau melihat kura-kuranya? Atau, ada hal lain yang penting?' pikirku was-was.Mertuaku duduk di single sofa di ruang tamu dengan penampilan seperti biasa. Rambut disasak tinggi dan fashion yang cetar dari atas sampai bawah. Ada Anita sekertarisnya dan beberapa orang berjas hitam berpakaian rapi ala Men in Black, tapi tanpa kaca mata. Pak Sutar, orang kepercayaannya tergopoh masuk ruangan dengan badan membungkuk menyerahkan tas branded ke Nyonya Besar, mertuaku itu.Di sofa satunya, duduk seorang wanita berdandan super rapi dengan memegang map terbuka yang berisi beberapa kertas, entah apa itu.Aku, Amelia dan Wisnu langsung menghampiri Nyonya Besar, mengambil tangannya untuk salim cium tangan, secara bergantian. Beliau, tersenyum sambil mengusap kepala Amelia dan Wisnu.Budaya in
Persiapan pembukaan gallery sudah matang. Semua barang disusun seperti arahanku. Benar, kata Mas Suma, aku harus kasih nyawaku di sini. Setiap sudut mencerminkan tentang aku. Cafe pun sudah siap operasi. Menu-menu andalanku sudah dikuasai benar oleh Chef nya, begitu juga Bartendernya. Aku ingin semua berjalan sesuai rencana, zero mistake, itu yang aku tekankan ke Aitu. Semua rencana yang beresiko, aku tidak pakai. Buat apa pusing, kalau yang pasti-pasti saja ada. "Ibu Rani, jadwal wawancara dan foto shoot sudah disetujui pagi hari jam sepuluh. Ini majalah yang minta wawancara eksklusif. Mereka kasih note, minta keluarga mendampingi. Ini proposalnya," kata Aitu menyodorkan berkas. Deskripsinya, mereka ingin mengangkat bahwa seseorang wanitapun bisa berkarya. Tanpa meninggalkan keluarga, bahkan dukungan orang-orang terdekat adalah motivasinya. Bagus, sih. Bisa menginspirasi perempuan di luar sana. Aku jadi teringat tentang perjalananku, sampai Mas Suma terbersit ide memberiku mahar
Apa lagi yang harus dibicarakan oleh mantan suamiku ini?Membuat aku penasaran.*** Pov Tuan Kusuma Hari ini pembukaan Gallery Maharani, lega rasanya. Akhirnya, aku bisa memberikan binar di matanya. Awalnya, aku kesulitan memilih apa yang Maharani sukai. Emas, permata bahkan uang sekalipun, dia terlihat tidak tertarik.Tanggalannya, biasa saja. Dia spesial, tidak seperti wanita lain yang bersedia bersamaku karena apa yang ada di sekitarku. Bukan karena aku seorang Tuan Kusuma pemilik beberapa perusahaan.. Malah dia terang-terangan menolakku karena merasa dia tidak pantas. Usahaku untuk mengerti apa yang dia mau, akhirnya tercapai. Yang diinginkan dia adalah kesempatan. Ya, kesempatan untuk berkembang dan membuktikan bahwa dia bukan wanita biasa. Dan, dia sudah membuktikannya. "Pak Kusuma, maaf. Bisakah saya minta waktu untuk bicara dengan Maharani?" ujar Pak Bram, mantan suami Maharani, istriku. Terhenyak, aku melihat kedatangannya. Sikap Pak Bram, sering kali membuatku mera
"Mas Bram, hiduplah dengan bahagia. Kisah kita adalah bagian yang terindah yang kita miliki. Dan sekarang sudah usai, Mas. Lepaskan bayang-bayang salahmu. Kami sudah memaafkanmu. Bahagialah bersama Wulan dan anak-anak," ucapku mencoba memberi pengertiaan.Perkataanku bukan menenangkan, malah membuat Mas Bram semakin menangis. Luruh dari duduknya, kedua lututnya jatuh di lantai. Dia terduduk dan menangis tergugu di depan kami."Mas Bram!" teriakku.Wisnu langsung berdiri dan lari mendekat ke papanya. Dia langsung duduk memeluk Mas Bram. Anak dan bapak menangis bersama.Dadaku sesak seketika. Hati ini terulang sakitnya. Perpisahan keluarga selalu meninggalkan luka. Tidak hanya kami orang tua, anakpun akan tertoreh hatinya.Air mataku meluncur tak tertahankan. Aku seperti tertarik ke dunia lain yang hanya ada kami bertiga saja. Dan, kami tergugu bersama di sana."Aku minta maaf! Aku salah! Maafkan aku, Rani, Wisnu!" ucapnya memeluk erat Wisnu."Anakku, setiap malam aku selalu memikirkanm
Aku memandang gedung yang menjulang di depanku. Gedung ini sebagai mahar pernikahan, ini adalah monumen cinta kami. Kisah antara Maharani dan Kusuma terpatri di sini. Dia suami yang mengerti akan diriku. Berawal dari niatku untuk membuatnya bangga, aku mendapatkan penghargaan tingkat international. Mungkin dengan dasar itulah, Mas Suma memberiku kesempatan untuk berkarya dengan memberiku mahar satu unit gallery lengkap dengan karyawan dan semua operasional.Maharani Gallery and Cafe, nama terpahat indah di batu besar. Warna emas kontras dengan hitamnya batu kali. Air menyembur di sela batu besar ini, jatuh di kolam yang penuh bebatuan dan tumbuhan hijau disampingnya. Ikan warna-warni berlarian di sela gemericik air yang tumpah."Kamu senang, Honey?" ucap Mas Suma sambil memelukku dari belakang. Sengaja aku minta diantar pagi-pagi, sebelum karyawan datang. Ini hari pertama galeri. Aku ingin memuaskan menikmati hanya berdua dengan Mas Suma, suamiku.Tangannya mengusap lembut perut bun