Aku merasa sudah memenuhi apa yang dibutuhkan wanitaku, Maharani. Materi, keluarga, dan juga fasilitas pribadinya. Apa yang ingin dia lakukan asal bertanggung jawab, aku persilakan. Bahkan aku mendukung penuh.Namun pertanyaannya, apakah dia bahagia?Tidak bosan-bosannya aku bertanya kepadanya. Tingkat kebahagiaan seseorang dari hari ke hari berbeda. Dulu saat mendapatkan Denish, itu adalah kebahagiaan karena buah cinta kami. Sekarang setelah anak-anak besar, rujukan kebahagiaan mulai bergeser. Terlebih setelah Wisnu dan Amelia beranjak dewasa.Dahulu, keduanya adalah tanggung jawab Maharani, sekarang dilimpahkan kepadaku terutama Wisnu. Karenanya, setelah makan bersama kami mencari tempat berdua, menjauh dari mereka yang berseda gurau di pantai.“Rupanya kamu sudah mantap dengan Rima,” ucapku membuka percakapan.Mata Wisnu yang sedari tadi tidak lepas dari gadis yang berkulit putih itu, menoleh ke arahku. Wajahnya menunjukkan senyuman malu-malu. Terlihat jelas, dia benar-benar sedang
Papi Suma seakan tahu apa yang bergejolak di hati ini. Perkiraanku, dia akan marah bahkan menghujat karena ketidaktegasanku yang terkesan tidak mengupayakan cita-cita. Aku sudah siap menerima itu. Karena selain sebagai pengganti posisi sebagai ayah, dia juga menjadi sponsor yang membiayai proyek yang aku cita-citakan. Namun yang aku dapati, dia justru tersenyum dan mengusap punggung ini.“Yang dirasakan Pak Bram itu wajar. Orang tua mana yang tidak ingin bersama dengan anak yang dicintainya. Kamu harus mengeti itu. Posisikan dia di tempat yang seharusnya. Walaupun kalian selama ini terpisah, tetapi tetap dahulukan dia karena dia ayah kandungmu.”“Papi?!”Dia mengangguk dan tersenyum. “Papi tidak apa-apa. Sepeti kehidupan pribadimu sekarang. Apakah kamu sudah sempat mengenalkan Rima ke Pak Bram?”Aku menggeleng.Bukannya malu atau bagaimana, posisi Papa yang sedang banyak pikiran karena perkerjaan dan perkawinannya membuatku menunda. Walaupun sebenarnya ada kekawatiran kalau Rima goyah
“Tidak! Pokoknya tidak, Wisnu! Rima harus kembali bersama Mama.”“Tapi, Ma. Waktu dia juga masih ada.” Memang aku menginginkan dia mengundur kepulangan dua hari setelahnya. Toh, dosen pembimbing skripsi yang dia tunggu juga masih liburan, dan aku juga ada waktu kosong.“Kalau begitu, Rima di rumah Tante dulu saja, ya? Kan ada Amelia juga?” ucap Mama sambil menoleh ke arah Rima. Memunculkan ide yang tidak bisa dibantah. Gadisku itu hanya bisa tersenyum dan mengangguk.“Mama. Amelia kan masih ada janji sama Kevin,” sahut Amelia. Bibirnya mencembik dengan mata menyorotkan keberatan. Tidak hanya itu, dia juga menendang kakiku sambil matanya melotot. Mungkin dia merasa rencananya gagal karena diriku.Mama melipat tangan di depan dada, memandang aku dan Amelia dengan bergantian. Seakan kompak, aku dan Amelia menatap Mama dengan memohon.“OK! Kalau begitu, kita mundur satu hari lagi. Setelahnya tidak ada kata mundur dengan alasan apapun!” ucap Mama kemudian beranjak dari tempat duduk, mening
“Masih ngambek, Kak?” tanya Kevin sambil mendekatkan diri kepadaku. Dia tahu Rima cemberut, walaupun tetap tertawa bersama dengan Amelia dan Kevin.Aku tersenyum kepada Kevin. Anak ini terlihat dewasa dibandingkan usianya. Wajahnya memang terlihat imut, tetapi saat diajak bicara dia bisa nyambung. Kelihatan sekali dia memiliki wawasan yang tidak sempit.Yang membuatku salut padanya, kesabaran menghadapi Amelia.“Nanti pasti akan hilang sendiri,” jawabku sambil mendudukkan diri di balai bambu.Kami singgah di warung khas Bali. Satu arah ke tujuan berikutnya. Walaupun warung, jangan salah di parkiran mobil berbagai merk berjajar. Mulai pick-up ala proyek, sampai mobil mewah keluaran luar negeri.Walaupun masa kecilku di sini, tetapi Mama dan Papa belum pernah mengajakku ke tempat ini. Makanannya pun sederhana, serba ikan: sate lilit ikan, pepes ikan, sup ikan, dan sayurannya plecing kangkung. Di sebelah sana, Amelia dan Rima kompak berburu jajanan.“Jangan begitu, Kak Wisnu. Memang wak
Sempat kesal kepada Rima yang terlihat lapar mata melihat laki-laki bermain surfing. Katanya ini seperti di film-film barat, Baywatch atau Kissed by God.Memang asyik, melihat mereka yang seakan kejar-kejaran dengan ombak. Keseruan melihat ini lebih menyita perhatianku, daripada mereka yang berlalu lalang dengan menggunakan bikini warna menyolok. Rima pun tidak permasalahkan itu dan tidak sibuk seperti tadi yang berusaha menutup mata ini.“Kak Wisnu mau turun?”“Surfing?” tanyaku ke Kevin. Dia mengangguk sambil menyajikan senyuman.“Itu ada yang aku kenal. Kita bisa gabung sama mereka,” ucapnya sambil menunjuk ke arah sana. Dan mereka melambaikan tangan ke arah Kevin.“Aku tidak bisa surfing. Lebih tepatnya tidak pernah belajar. Kamu bisa?”“Sedikit, Kak,” jawabnya membuatku terkejut. Penyuka surfing biasanya berkulit coklat dan berwajah sangar, lain dengan lelaki di depanku ini. Wajahnya imut dan kulit putih.“Hai, Kevin!” Satu temannya menghampiri. Tubuhnya tinggi dengan badan berot
Senyum yang awalnya tersungging, lama-lama mulai pudar digantikan dahi yang semakin berkerut. Kenapa apa-apa aku yang disalahkan? Seakan aku nenek sihir jahat yang serakah pada harta. Bukankah lebih baik dia bertanya dengan baik-baik? [Kamu berharap Amelia hamil?] [Pintar!] Hati mulai panas dan jari-jari mulai bergetar terpantik amarah. Rencana balasan yang berjubal di kepala, aku urungkan. Untuk apa menanggapi orang yang merusak hari? Hanya akan menjadikan liburanku tidak sempurna. Dia hanya melemparkan umpan supaya aku marah. Balasan yang paling tepat, dengan tidak meladeni keinginannya. Aku meletakkan kembali ponsel di meja kecil sebelahku. Kembali menyilangkan kaki sambil menikmati minuman segar dan pemandangan indah yang terpampang di depanku. Niat ingin memusatkan pikiran untuk istirahat, tapi lagi-lagi ponsel menyala pertanda ada pesan masuk kembali. [Sebelumnya Kusuma yang bertekuk lutut kepadamu. Apa yang kamu katakan dia selalu berkata iya. Apa sebenarnya yang kamu laku
Ketakutan berasal dari ketidaktahuan.Itu benar.Namun, jangan dijadikan alasan untuk berpikir overthingking. Jatuhnya justru berujung dugaan yang jauh dari kata positif thingking.Anak-anak datang dengan selamat dan tidak kurang suatu apa. Sengaja aku menunggunya di restoran depan, ingin melihat langsung kedatangan mereka. Aku tersenyum lega melihat Kevin di bangku depan bersama Wisnu, sedangkan para gadis di belakang.Lega karena dugaan Dewi ternyata salah. Mereka tidak mengumbar kemesraan seperti yang dia takutkan. Lebih lega lagi, ternyata mereka terlihat akrab. Ini harapanku sebagai orang tua, mereka nantinya akan akrab seperti saudara, walaupun sebatas ipar, atau ipar dengan ipar. Bukankah itu kebanggaan orang tua.Aku melambaikan tangan, dan mereka melihat dan menghampiriku.“Hai, Ma! Tumben makan di sini?” seru Amelia sambil mengambil tempat duduk di sebelahku. Kevin tanggap, dia mengajak Wisnu untuk menggabungkan meja kecil dengan mejaku. Dan, sekarang kami berlima di satu me
Saat seseorang terbiasa di posisi puncak dan tiba-tiba jatuh, dunia seperti mengucilkannya. Sebelumnya dunia seperti berada digenggaman, dan tiba-tiba yang didapati hanyalah ruang hampa. Keadaan inilah yang sering memaksa seseorang butuh pengakuan. Seperti Papa Bram saat ini. [Maaf, Pa. Untuk apa Papa membutuhkan uang segitu? Apa bisa Wisnu mentransfer lima juta dan sisanya sesampai di sini?] Aku bertanya sehati-hati mungkin. Jangan sampai Papaku ini merasa tersinggung. [Duh! Bagaimana, ya? Soalnya Papa sudah janji kepada teman.] [Teman? Papa punya hutang?] tanyaku penasaran. Papa justru mengirim emoticon tertawa terbahak-bahak. [Dia ini temanku SD, Wis. Tidak mungkinlah aku meminjam uang kepada teman yang tidak beruntung seperti dia] [Terus untuk apa?] Dahiku semakin mengernyit. Maksud Papa apa? Dia tidak membutuhkan uang untuk membayar hutang. Terus untuk apa? Mata ini tidak sabar melihat layar yang bertuliskan 'typing'. Penasaran menunggu apa yang ditulis, tapi ini terasa