“Masih ngambek, Kak?” tanya Kevin sambil mendekatkan diri kepadaku. Dia tahu Rima cemberut, walaupun tetap tertawa bersama dengan Amelia dan Kevin.Aku tersenyum kepada Kevin. Anak ini terlihat dewasa dibandingkan usianya. Wajahnya memang terlihat imut, tetapi saat diajak bicara dia bisa nyambung. Kelihatan sekali dia memiliki wawasan yang tidak sempit.Yang membuatku salut padanya, kesabaran menghadapi Amelia.“Nanti pasti akan hilang sendiri,” jawabku sambil mendudukkan diri di balai bambu.Kami singgah di warung khas Bali. Satu arah ke tujuan berikutnya. Walaupun warung, jangan salah di parkiran mobil berbagai merk berjajar. Mulai pick-up ala proyek, sampai mobil mewah keluaran luar negeri.Walaupun masa kecilku di sini, tetapi Mama dan Papa belum pernah mengajakku ke tempat ini. Makanannya pun sederhana, serba ikan: sate lilit ikan, pepes ikan, sup ikan, dan sayurannya plecing kangkung. Di sebelah sana, Amelia dan Rima kompak berburu jajanan.“Jangan begitu, Kak Wisnu. Memang wak
Sempat kesal kepada Rima yang terlihat lapar mata melihat laki-laki bermain surfing. Katanya ini seperti di film-film barat, Baywatch atau Kissed by God.Memang asyik, melihat mereka yang seakan kejar-kejaran dengan ombak. Keseruan melihat ini lebih menyita perhatianku, daripada mereka yang berlalu lalang dengan menggunakan bikini warna menyolok. Rima pun tidak permasalahkan itu dan tidak sibuk seperti tadi yang berusaha menutup mata ini.“Kak Wisnu mau turun?”“Surfing?” tanyaku ke Kevin. Dia mengangguk sambil menyajikan senyuman.“Itu ada yang aku kenal. Kita bisa gabung sama mereka,” ucapnya sambil menunjuk ke arah sana. Dan mereka melambaikan tangan ke arah Kevin.“Aku tidak bisa surfing. Lebih tepatnya tidak pernah belajar. Kamu bisa?”“Sedikit, Kak,” jawabnya membuatku terkejut. Penyuka surfing biasanya berkulit coklat dan berwajah sangar, lain dengan lelaki di depanku ini. Wajahnya imut dan kulit putih.“Hai, Kevin!” Satu temannya menghampiri. Tubuhnya tinggi dengan badan berot
Senyum yang awalnya tersungging, lama-lama mulai pudar digantikan dahi yang semakin berkerut. Kenapa apa-apa aku yang disalahkan? Seakan aku nenek sihir jahat yang serakah pada harta. Bukankah lebih baik dia bertanya dengan baik-baik? [Kamu berharap Amelia hamil?] [Pintar!] Hati mulai panas dan jari-jari mulai bergetar terpantik amarah. Rencana balasan yang berjubal di kepala, aku urungkan. Untuk apa menanggapi orang yang merusak hari? Hanya akan menjadikan liburanku tidak sempurna. Dia hanya melemparkan umpan supaya aku marah. Balasan yang paling tepat, dengan tidak meladeni keinginannya. Aku meletakkan kembali ponsel di meja kecil sebelahku. Kembali menyilangkan kaki sambil menikmati minuman segar dan pemandangan indah yang terpampang di depanku. Niat ingin memusatkan pikiran untuk istirahat, tapi lagi-lagi ponsel menyala pertanda ada pesan masuk kembali. [Sebelumnya Kusuma yang bertekuk lutut kepadamu. Apa yang kamu katakan dia selalu berkata iya. Apa sebenarnya yang kamu laku
Ketakutan berasal dari ketidaktahuan.Itu benar.Namun, jangan dijadikan alasan untuk berpikir overthingking. Jatuhnya justru berujung dugaan yang jauh dari kata positif thingking.Anak-anak datang dengan selamat dan tidak kurang suatu apa. Sengaja aku menunggunya di restoran depan, ingin melihat langsung kedatangan mereka. Aku tersenyum lega melihat Kevin di bangku depan bersama Wisnu, sedangkan para gadis di belakang.Lega karena dugaan Dewi ternyata salah. Mereka tidak mengumbar kemesraan seperti yang dia takutkan. Lebih lega lagi, ternyata mereka terlihat akrab. Ini harapanku sebagai orang tua, mereka nantinya akan akrab seperti saudara, walaupun sebatas ipar, atau ipar dengan ipar. Bukankah itu kebanggaan orang tua.Aku melambaikan tangan, dan mereka melihat dan menghampiriku.“Hai, Ma! Tumben makan di sini?” seru Amelia sambil mengambil tempat duduk di sebelahku. Kevin tanggap, dia mengajak Wisnu untuk menggabungkan meja kecil dengan mejaku. Dan, sekarang kami berlima di satu me
Saat seseorang terbiasa di posisi puncak dan tiba-tiba jatuh, dunia seperti mengucilkannya. Sebelumnya dunia seperti berada digenggaman, dan tiba-tiba yang didapati hanyalah ruang hampa. Keadaan inilah yang sering memaksa seseorang butuh pengakuan. Seperti Papa Bram saat ini. [Maaf, Pa. Untuk apa Papa membutuhkan uang segitu? Apa bisa Wisnu mentransfer lima juta dan sisanya sesampai di sini?] Aku bertanya sehati-hati mungkin. Jangan sampai Papaku ini merasa tersinggung. [Duh! Bagaimana, ya? Soalnya Papa sudah janji kepada teman.] [Teman? Papa punya hutang?] tanyaku penasaran. Papa justru mengirim emoticon tertawa terbahak-bahak. [Dia ini temanku SD, Wis. Tidak mungkinlah aku meminjam uang kepada teman yang tidak beruntung seperti dia] [Terus untuk apa?] Dahiku semakin mengernyit. Maksud Papa apa? Dia tidak membutuhkan uang untuk membayar hutang. Terus untuk apa? Mata ini tidak sabar melihat layar yang bertuliskan 'typing'. Penasaran menunggu apa yang ditulis, tapi ini terasa
Lama aku menimbang apa yang seharusnya aku katakan ke ayah kandungku ini. Aku mengerti posisinya sekarang. Papa Bram yang terbiasa di posisi di atas. Tidak hanya uang, kekuasaanpun ada di tangannya. Apa yang dia perlukan tersedia. Bahkan dibilang berlebih. Aku tahu ini. Saat masih bersama Mama pun, secara material semua tercukupi. Perusahaan berkembang pesat. Begitu juga saat bersama dengan Tante Wulan. Pernah aku berkunjung ke rumah mereka. Adik-adik tiriku mendapatkan fasilitas yang semuanya ada. Tante Wulan berasal dari keluarga yang terpandang dan cukup berlebih. Pernah ada acara keluarga, aku pun diundang, berkenalan dengan keluarga besar yang ternyata juga tidak mengabaikan aku sebagai anak bawaan Papa Bram. Dari yang aku amati, perusahaan yang dijalankan Papa itu adalah milik keluarga Tante Wulan. Pantas saja, sekarang saat ada masalah pada keduanya, Papa Bram seakan dilucuti. Aku enggan bertanya banyak. Aku hanya menyiapkan telinga untuk mendengar saat Papa beberapa waktu
Hubungan darah itu tidak akan terhapus oleh apapun. Baik sebagai anak, saudara, ataupun orang tua. Ada mantan teman, mantan pasangan, tetapi hubungan darah tidak bisa menjadi mantan. Jadi terima bagaimanapun mereka.Semua pasti ada hikmahnya. Perbedaan kenyataan dengan kesempurnaan merupakah tantangan, yang patut disyukuri. Kalau seperti ini, kepala harus ditundukkan. Masih banyak di luar sana yang jauh dari kata beruntung. Dengan begitu, pasti puji syukur akan terlantun.Sekarang kami di meja makan yang dipesan khusus oleh Mama. Set-up meja tidak jauh dari kolam. Semua anggota keluarga berkumpul termasuk calon anggota-Kevin dan Rima.Ting! Ting! Ting!Papi Kusuma mengetuk gelas dengan sendok. Semua mata tertuju kepadanya.“Dalam kesempatan ini, Papi akan menyatakan kalau Papi dan Mama sangat bahagia. Kalian berkumpul dengan lengkap dan tidak kurang suatu apa,” ucap Papa sambil menebarkan senyuman.Tangannya meraih tangan Mama, menggenggam erat yang dipertunjukkan di atas meja.“Yang
Pertanyaan yang meletakkan aku di persimpangan. Sempat terbersit, darimana Papi Kusuma tahu tentang kedatangan Papa Bram. Aku lupa kalau Papi orang yang mempunyai koneksi luas. Minuman aku teguk, kemudian menyangga dagu sambil mencari kata yang tepat.“Itulah yang menjadi pikiran Wisnu, Pi. Sungguh, Wisnu sangat bulat tekadnya untuk mensegerakan proyek itu. Tapi__”“Tapinya Papa kamu?” sahut Papi Kusuma dan aku jawab dengan anggukan.“Seberapa parah keadaan Pak Bram? Mungkin Papi bisa meringankan sedikit.”Aku menatap ragu kearah ayah tiriku ini. Mulutku ingin segera bercerita, tapi ini apakah pantas? Namun, kepalaku mulai merasa pecah dengan masalah orang-orang dewasa ini. Ingin bercerita dengan Mama, itu tidak mungkin. Mama sudah mewanti-wanti tidak mau mendengar cerita tentang mantan suaminya.“Cerita saja. Papi akan keep silent,” ucap Papi dengan menggerakkan ibu jari terkatup dengan telunjuk. Dia juga mengangguk menyakinkan keraguanku.Aku segera menceritakan tentang keadaan P