Maaf pendek. Ikutan kesel sama si Bram.
Lama aku menimbang apa yang seharusnya aku katakan ke ayah kandungku ini. Aku mengerti posisinya sekarang. Papa Bram yang terbiasa di posisi di atas. Tidak hanya uang, kekuasaanpun ada di tangannya. Apa yang dia perlukan tersedia. Bahkan dibilang berlebih. Aku tahu ini. Saat masih bersama Mama pun, secara material semua tercukupi. Perusahaan berkembang pesat. Begitu juga saat bersama dengan Tante Wulan. Pernah aku berkunjung ke rumah mereka. Adik-adik tiriku mendapatkan fasilitas yang semuanya ada. Tante Wulan berasal dari keluarga yang terpandang dan cukup berlebih. Pernah ada acara keluarga, aku pun diundang, berkenalan dengan keluarga besar yang ternyata juga tidak mengabaikan aku sebagai anak bawaan Papa Bram. Dari yang aku amati, perusahaan yang dijalankan Papa itu adalah milik keluarga Tante Wulan. Pantas saja, sekarang saat ada masalah pada keduanya, Papa Bram seakan dilucuti. Aku enggan bertanya banyak. Aku hanya menyiapkan telinga untuk mendengar saat Papa beberapa waktu
Hubungan darah itu tidak akan terhapus oleh apapun. Baik sebagai anak, saudara, ataupun orang tua. Ada mantan teman, mantan pasangan, tetapi hubungan darah tidak bisa menjadi mantan. Jadi terima bagaimanapun mereka.Semua pasti ada hikmahnya. Perbedaan kenyataan dengan kesempurnaan merupakah tantangan, yang patut disyukuri. Kalau seperti ini, kepala harus ditundukkan. Masih banyak di luar sana yang jauh dari kata beruntung. Dengan begitu, pasti puji syukur akan terlantun.Sekarang kami di meja makan yang dipesan khusus oleh Mama. Set-up meja tidak jauh dari kolam. Semua anggota keluarga berkumpul termasuk calon anggota-Kevin dan Rima.Ting! Ting! Ting!Papi Kusuma mengetuk gelas dengan sendok. Semua mata tertuju kepadanya.“Dalam kesempatan ini, Papi akan menyatakan kalau Papi dan Mama sangat bahagia. Kalian berkumpul dengan lengkap dan tidak kurang suatu apa,” ucap Papa sambil menebarkan senyuman.Tangannya meraih tangan Mama, menggenggam erat yang dipertunjukkan di atas meja.“Yang
Pertanyaan yang meletakkan aku di persimpangan. Sempat terbersit, darimana Papi Kusuma tahu tentang kedatangan Papa Bram. Aku lupa kalau Papi orang yang mempunyai koneksi luas. Minuman aku teguk, kemudian menyangga dagu sambil mencari kata yang tepat.“Itulah yang menjadi pikiran Wisnu, Pi. Sungguh, Wisnu sangat bulat tekadnya untuk mensegerakan proyek itu. Tapi__”“Tapinya Papa kamu?” sahut Papi Kusuma dan aku jawab dengan anggukan.“Seberapa parah keadaan Pak Bram? Mungkin Papi bisa meringankan sedikit.”Aku menatap ragu kearah ayah tiriku ini. Mulutku ingin segera bercerita, tapi ini apakah pantas? Namun, kepalaku mulai merasa pecah dengan masalah orang-orang dewasa ini. Ingin bercerita dengan Mama, itu tidak mungkin. Mama sudah mewanti-wanti tidak mau mendengar cerita tentang mantan suaminya.“Cerita saja. Papi akan keep silent,” ucap Papi dengan menggerakkan ibu jari terkatup dengan telunjuk. Dia juga mengangguk menyakinkan keraguanku.Aku segera menceritakan tentang keadaan P
Seandainya cara dia bersama Papa Bram dengan jalan yang indah, pasti aku akan menyayanginya seperti sikapku terhadap Papi Kusuma.Sempat aku membencinya. Mengutuknya sebagai wanita kurang hati, karena merebut kebahagiaanku dan membuat Mama menangis. Akan tetapi seiring waktu, aku mulai mengerti urusan orang dewasa yang terkadang tidak sesuai dengan jalan pikiran.Selama aku mengenalnya, Tante Wulan wanita yang baik dan pintar. Tidak jauh dari Mama, yang membedakan Mama orang yang pintar memasak dan mengurus rumah. Sedangkan Tante Wulan lebih menjadi wanita karir.Dia tidak pernah melontarkan kata tidak tepat, bahkan terkesan menspesialkan aku. Sikap awalnya memang terlihat canggung, tetapi dari sikapnya itu menunjukkan kalau dia merasa berbuat keliru. “Tante tidak akan memaksa Wisnu memanggil mama atau semacamnya. Bagi Tante, kamu sudah mau berkunjung dan bercengkrama dengan adik-adikmu, itu sudah lebih dari cukup,” ucapnya kala itu. Perkataannya menunjukkan dia bukan wanita yang pi
“Papa membantu teman yang kemarin karena teringat kalian dulu saat tidak bersama Papa,” ucapnya dengan menunjukkan wajah sendu. Kami sekarang sudah di apartemen. Aku letakkan bawaan Papa di kamar tidur satunya. Setelahnya kami berbincang sambil menikmati nasi padang kotakan yang aku pesan lewat online. Lauk rendang daging, rendang jengkol, dan tidak lupa rebusan daun singkong dengan sambal hijau berlimpah. Ini kesukaan kami berdua. Dulu Mama sering memasak ini, sampai sekarang. Kecuali rendang jengkol yang dulu selalu di-request oleh Papa. Aku menatap Papa tidak mengerti. Apa hubungannya membantu teman dan diriku? “Teman Papa itu adik kelas, baru ditinggal suaminya menikah kembali. Dia yang murni ibu rumah tangga, pontang-panting mencari penghidupan. Sedangkan kedua anaknya masih sekolah. Dia yang sebelumnya hanya tulang rusuk, sekarang dipaksa keadaan menjadi tulang punggung,” ucapnya kemudian terdiam kembali. Papa menyeruput air putih kemudian ke dapur untuk membasuh tangan. Kemu
Menjaga apa yang sudah ada di tangan, itu tidak gampang. Jauh lebih mudah saat meraihnya, padahal itu pun memerlukan upaya. Terlebih kalau itu berkaitan dengan hati. “Ada Mas Suma? Kok berpikir sampai dahinya berkerut begitu. Pak Presiden saja sampai kalah, lo,” celetuk Maharani sambil duduk di sebelahku. Setiba di rumah, rasa kangen dengan suasana biasanya begitu lekat. Setelah berbincang, kami pun masuk kamar masing-masing. Rima jadi ikut ke sini, dia sekarang bersama Amelia. Mereka terlihat akrab, mungkin ini menjawab kerinduan anakku dengan kakak perempuan. Pertanda baik, bukankah saudara dan ipar menjalin keakraban adalah sesuatu yang membanggakan? Aku dan Maharani bersantai di teras privat depan kamar kami. Seperti biasa, dia datang membawa teh hangat dan camilan. Kebiasaan yang menyebabkan perutku tidak se-sexy dulu. Kalau aku protes, istri selalu melempar kesalahan kepadaku. “Siapa suruh menghabiskan minuman dan camilan satu toples. Aku kan hanya menyediakan, tidak memaksa
Ingin aku igh!Dia memang tidak langsing atau ber-body bak gitar Spayol. Namun, kebersamaan dengannya membuat diri ini segar kembali. Harum dan hangat tubuh yang mampu melemparkan aku berenang di atas awan, mendaratkan ke taman indah yang tidak mampu menghentikan senyuman.“Selalu aku merindukan kamu,” bisikku sambil menarik tubuhnya yang masih lembab karena gerakan yang berlebih. Rambut ikal hitam menguar keharuman, tidak menyurutkan aku untuk menciumnya.“Kenapa?” Aku mengernyit saat dia beringsut memberi jarak. Dia meraih satu selimut untuk memberi batas.“Supaya tidak bersentuhan langsung,” jawabnya setelah menyelesaikannya.“Kamu takut?”“Kebiasaannya gitu, kan? Kalau deketan lagi, minta nambah.”Aku tertawa melihat matanya yang membulat sambil menggerakkan dagu. Terbersit untuk menggodanya. Kaki aku kalungkan di pinggangnya, membuatnya tidak bisa bergerak dan hanya bisa mendengus.“Mas lepaskan.”“Tidak,” ucapku sambil tersenyum dan menariknya ke dalam pelukan.“Kamu tidak malu?
“Kamu cuci dulu, kemudian kupas, baru dipotong-potong dadu untuk wortel dan kentangnya. Kalau buncis dipotong senada.” Aku menyerahkan satu baskom ukuran sedang ke Rima. Ceritanya sekarang ini, kami sedang praktek membuat masakan praktis. Sop daging. Setelah kejadian semalam, ternyata Rima pesan makanan di luar. Katanya itu restoran tempat langganan keluarga Lee. Rasanya enak dan patut dijadikan langganan.Gadis itu tidak hanya meminta layanan antar, dia juga meminta untuk menyiapkan makanan langsung di meja makan. Pantas saja penyajiannya terlihat standar restoran.Aku tidak bisa protes, karena kegagalan menyiapkan makanan karena si pengajar-aku-justru bergelung di balik selimut.“Maafkan Tante, ya. Tidak jadi praktek masak,” ucapku, kemudian menyenggol kaki Mas Suma sambil mendengus ke arahnya. Dia hanya tersenyum dan asyik melanjutkan menikmati sup tofu.“Rima yang minta maaf, Tante. Rima tidak bisa masak.” Gadis itu mengerjap dengan sorot mata menyesal.“Besok saja kita praktek