Tidak ada yang membahagiakan, melebihi saat didampingi orang yang kita sayangi. Tidak ada yang menguatkan, yang mengalahkan semangat dari orang terdekat. Ini memang terlihat ungkapan sederhana, tetapi aku yakin Rima membutuhkan ini. Terlebih saat semua itu tertuang di benda ini.Pilihanku sudah mantap. Kalau aku memberikan kejutan bunga, itu hanya indah dalam hitungan waktu. Selebihnya akan layu dan hanya berbekas kalau diabadikan di kamera. Tapi, kedua benda ini akan menjadi penguat antara aku dan dia.“Rima kemana, Mel?” Aku melongokkan kepala ke kamarnya yang masih terlihat rapi. Tidak ada bekas dia berbaring di ranjang. Kain sprei masih terlihat kencang, dan selimutpun tetap di tempatnya.“Eh, Kak Wisnu. Tadi Kak Rima mencari Kakak ke rentoran. Katanya dia akan di tempat tadi saat bertemu Mama. Terus, pesannya lagi, dia ada catatan di kamar Kak Wisnu,” jawab Amelia yang melongokkan kepala dari dalam kamarnya.Segera, aku menuju kamarku. Tidak aku pedulikan teriakan dia yang menany
“Bagaimana? Sudah tenang, Sayang?”Rima aku baringkan di sunbed. Napasnya mulai teratur setelah dia berbaring dan aku pasangkan ear phone di telinganya.Benda ini yang aku persiapkan untuknya. MP3 player yang berisi lagu-lagu kesukaan kami. Karenanya, aku menghabiskan waktu untuk memilah lagu yang membangkitkan semangat dan kenangan manis kami berdua.Dia membuka mata dan mengangguk menjawab pertanyaanku. Namun, kenapa matanya justru mengeluarkan buliran air mata?“Kenapa, Rima? Aku tadi keterlaluan, ya? Maafkan aku, ya?”Dia menggeleng, kemudian beranjak duduk dan memelukku erat. Dia menangis sambil mengucapkan kata maaf, terima kasih, dan menyatakan bahagia.Ada apa ini? Benar yang dikatakan Papi Kusuma, wanita itu makhluk yang membingungkan. Sedih nangis, dan sekarang bahagia, masih tetap mengeluarkan air mata. Benar-benar aku membutuhkan kamus atau primbon rahasia wanita.“Rima. Jangan menangis. Nanti dipikir aku menganiaya kamu, lo.”“Mas Wisnu. Ini bukan air mata kesedihan, tet
“Mas Suma apa-apa, sih!” Aku mengibaskan tangan untuk melepaskan dari cengkeramannya.Suamiku ini benar-benar tidak mau melepat tanganku kalau belum tiba di villa. Di jalan tidak dilepaskan sedetikpun genggamannya, bahkan semakin dipererat saat aku meronta.Aku menghempaskan diri di atas ranjang, kesal pada semua orang. Ya Wisnu, Rima, dan juga Mas Suma. Mereka bermesraan seakan tidak mendengar apa yang sudah aku katakan selama ini. Kesalku masih membuncah.“Mas Suma. Aku itu juga pernah muda. Pernah juga jatuh cinta. Tapi tidak sampai bermesraan seperti mereka itu. Keterlaluan!” seruku dengan tangan meremas lipatan selimut.“Ran. Mereka itu baru baikan. Sama-sama melepas kerinduan setelah mengalami masalah berat. Aman, kok,” ucap Mas Suma santai.“Aman bagaimana? Kalau mereka kebablasan bagaimana, Mas? Huft, Mas Suma tidak mikir jauh sampai sana. Aku yang sebagai ibunya ketar-ketir. Kalau Wisnu sampai merusak anak orang bagaimana?”Aku mendengus kesal. Orang yang aku ajak bicara just
Liburan itu apa, sih? Sekadar tidak bekerja dan tidak melakukan kegiatan rutinitas? Kegiatan pergi jauh dari rumah ke tempat yang belum dikunjungi, dan berakhir dengan tubuh penat. Makan-makan dan belanja, kemudian berujung pada tagihan kartu kredit yang over limit. Atau …. tidur seharian menikmati nyamannya peraduan serta merajut beberapa episode mimpi. *** “Akhirnya kita benar-benar liburan!” seru Mas Suma. Dia berdiri dengan merentangkan kedua tangan, matanya terpejam dengan kepala menengadah. Tidak ketinggalan senyuman, seakan bersiap menerima angin laut yang mengibarkan anak-anak rambut. Baju setelan berpotongan lebar, berkibar menguarkan kenyamanan. Aku berkedip kepada Amelia yang juga memperhatikan Papinya itu. Aku dan Amelia sedang menyiapkan makanan di meja yang diletakkan di tengah-tengah alas lebar. Di atas pasir. Kami sekeluarga berencana seharian menikmati kebersamaan di pantai yang masih wilayah dari villa. Harapannya, pikiran ini re-fresh setelahnya. “Ma!” Amelia
Senyuman ini tidak mampu lepas dari wajah ini. Aku menatap mereka yang mengelilingi meja makan. Denish enggan terpisah dari Wisnu, sedangkan Anind tidak mau kalau tidak makan bersama Rima. Sedangkan Amelia tidak bosan-bosannya mengganggu Mas Suma. Kami makan bersama sambil berbincang. Sesekali terdengar gelak tawa saat banyolan dilontarkan.“Kak Rima dan Kak Wisnu harus jaga mereka seharian, ya. Sampai mereka tidur. Sekalian untuk latihan,” celetuk Amelia.“Kalau Kak Rima asyik asyik saja bersama Anind. Dari dulu pingin punya adik, tapi tidak keturutan,” jawab Rima sambil menyuapi Anind.“Iya. Nanti kita bikin sendiri,” ucap Wisnu disambut wajah merah padam gadis berwajah oriental itu. Dia menyenggolkan siku sambil melotot ke arah Wisnu.Debur ombak di sebelah sana, dan suara burung yang beriringan dengan angin semilir, seakan ikut merayakan kebersamaan ini. Makan bersama di alam terbuka ternyata mendatangkan suasana lain. Kebahagiaannya lebih terasa. Anak-anak bercengkrama, dan sese
Aku merasa sudah memenuhi apa yang dibutuhkan wanitaku, Maharani. Materi, keluarga, dan juga fasilitas pribadinya. Apa yang ingin dia lakukan asal bertanggung jawab, aku persilakan. Bahkan aku mendukung penuh.Namun pertanyaannya, apakah dia bahagia?Tidak bosan-bosannya aku bertanya kepadanya. Tingkat kebahagiaan seseorang dari hari ke hari berbeda. Dulu saat mendapatkan Denish, itu adalah kebahagiaan karena buah cinta kami. Sekarang setelah anak-anak besar, rujukan kebahagiaan mulai bergeser. Terlebih setelah Wisnu dan Amelia beranjak dewasa.Dahulu, keduanya adalah tanggung jawab Maharani, sekarang dilimpahkan kepadaku terutama Wisnu. Karenanya, setelah makan bersama kami mencari tempat berdua, menjauh dari mereka yang berseda gurau di pantai.“Rupanya kamu sudah mantap dengan Rima,” ucapku membuka percakapan.Mata Wisnu yang sedari tadi tidak lepas dari gadis yang berkulit putih itu, menoleh ke arahku. Wajahnya menunjukkan senyuman malu-malu. Terlihat jelas, dia benar-benar sedang
Papi Suma seakan tahu apa yang bergejolak di hati ini. Perkiraanku, dia akan marah bahkan menghujat karena ketidaktegasanku yang terkesan tidak mengupayakan cita-cita. Aku sudah siap menerima itu. Karena selain sebagai pengganti posisi sebagai ayah, dia juga menjadi sponsor yang membiayai proyek yang aku cita-citakan. Namun yang aku dapati, dia justru tersenyum dan mengusap punggung ini.“Yang dirasakan Pak Bram itu wajar. Orang tua mana yang tidak ingin bersama dengan anak yang dicintainya. Kamu harus mengeti itu. Posisikan dia di tempat yang seharusnya. Walaupun kalian selama ini terpisah, tetapi tetap dahulukan dia karena dia ayah kandungmu.”“Papi?!”Dia mengangguk dan tersenyum. “Papi tidak apa-apa. Sepeti kehidupan pribadimu sekarang. Apakah kamu sudah sempat mengenalkan Rima ke Pak Bram?”Aku menggeleng.Bukannya malu atau bagaimana, posisi Papa yang sedang banyak pikiran karena perkerjaan dan perkawinannya membuatku menunda. Walaupun sebenarnya ada kekawatiran kalau Rima goyah
“Tidak! Pokoknya tidak, Wisnu! Rima harus kembali bersama Mama.”“Tapi, Ma. Waktu dia juga masih ada.” Memang aku menginginkan dia mengundur kepulangan dua hari setelahnya. Toh, dosen pembimbing skripsi yang dia tunggu juga masih liburan, dan aku juga ada waktu kosong.“Kalau begitu, Rima di rumah Tante dulu saja, ya? Kan ada Amelia juga?” ucap Mama sambil menoleh ke arah Rima. Memunculkan ide yang tidak bisa dibantah. Gadisku itu hanya bisa tersenyum dan mengangguk.“Mama. Amelia kan masih ada janji sama Kevin,” sahut Amelia. Bibirnya mencembik dengan mata menyorotkan keberatan. Tidak hanya itu, dia juga menendang kakiku sambil matanya melotot. Mungkin dia merasa rencananya gagal karena diriku.Mama melipat tangan di depan dada, memandang aku dan Amelia dengan bergantian. Seakan kompak, aku dan Amelia menatap Mama dengan memohon.“OK! Kalau begitu, kita mundur satu hari lagi. Setelahnya tidak ada kata mundur dengan alasan apapun!” ucap Mama kemudian beranjak dari tempat duduk, mening