Semoga keseruan cerita ini menjadi teman keseharian. . Terima kasih dan bahagia selalu.
Nyaris aku menyerah. Bagaimana tidak, jari-jari itu menyentuh dengan gerakan menggoda. Tidak hanya berhenti di sela kancing, gerakannya mulai terasa gemas dan membuat perutku mual. Tangan ini hanya bisa mengepal erat, manahan kesal dengan perlakuan menjijikkan ini.Aku tersentak saat kemeja direnggut paksa. Udara dingin seketika menyelusup seiring dengan terhamburnya kancing-kancing yang terlepas. Ini pertahananku yang terakhir, kugerakkan tubuh ini kesegala arah, menghindar dari rabaan kurang ajar yang semakin liar.“Auw!”Terdengar suara yang berbeda, bersamaan dengan jatuhnya diriku yang masih terikat dengan kursi. Ujung kakiku merasakan, tadi sempat mendorong tubuh pemilik tangan sialan itu.Kumpulan debu menyergap penciuman ini, bersamaan lenganku yang nyeri dengan sangat. Sendi ini seakan terlepas dari tempatnya. Ingin berteriak mengaduh, tapi mulut ini terekat rapat. Kurapatkan gigi untuk menahan sakit yang tak terkira. Ini benar sakit yang tidak pernah aku alami.Akankah in
Kemampuanku sekarang diuji. Jangan sampai kemalangan ini menenggelamkan kapal yang dibangun dan dinahkodai suamiku selama ini.Rapat direksi mengukuhkan aku sebagai pengganti Mas Suma untuk sementara. Meleluasakan langkah sekaligus memberiku kaki dan tangan untuk mengusut kejadian yang menimpa Mas Suma. Aku yakin, ini tidak hanya masalah pribadi, tetapi ada hubungannya dengan perusahaan.Setelahnya, aku langsung mengumpulkan semua pimpinan staff, untuk merumuskan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Jangan sampai roda perusahaan terhenti. Pak Tiok memang tidak masuk di jajaran perusahaan, dia lebih mendampingiku. Di ujung sana, dia menyimak jalannya pertemuan ini.“Saya tidak ada pengalaman memimpin perusahaan sebesar ini. Terima kasih atas kepercayaan dan kesempatan untuk memimpin kalian. Atas dasar cinta kepada perusahaan dan keluarga, mari kita bersatu demi kemajuan bersama.” Ucapku menekankan kalau kami adalah setara. Perjuangan dengan bersama-samalah yang menjadi tujuanku.Satu
POV KusumaEntah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Mata ini aku kerjapkan untuk mengumpulkan kesadaran. Aku terbaring di ranjang sempit. Sudah tidak ada lagi penutup mata dan merekat mulut. Tangan dan kaki pun terbebas dari ikatan. Kugerakkan lengan, rasa nyeri sudah berkurang.Dalam cahaya temaram, mata ini mengedarkan pandangan. Ruangan sempit dengan jendela tinggi berjeruji. Tidak ada perabotan lain selain ranjang yang aku duduki ini.‘Dimana aku sekarang?’ Aku melonjakkan kaki dan yang kudapati hanya kegelapan.Aku dudukkan diri di tepi ranjang, meremas rambut dan mengusap kasar wajah. Siapa tahu ini hanya mimpi dan akan luruh? Lagi-lagi, yang kudapati tidak berubah. Ini kenyataan yang harus aku hadapi.Seorang Kusuma disekap di ruangan sempit tanpa perabotan, bahkan tanpa makanan. Aku harus cari akal. Jangan sampai aku seperti tikus yang masuk perangkap dan mati karena kelaparan.Ada dua pintu, pasti itu jalan keluar.Daun pintu terbuka, dan yang aku dapati justru kamar mandi
Kenapa suara langkah kaki itu lebih terasa mengerikan dibandingkan sikap kasar para penjaga? Terlebih setelah bunyi pintu ditutup, dan suara hening melingkupi ruangan ini.Tak…tak…tak….Suara itu mendekat dan tanpa aku harus bisa melihat, kupastikan dia berdiri tepat di depanku. Parfum yang sama, aroma citrus bercampur dengan mawar. Tubuh ini begidik seketika, saat belaian mengusap pipi dan leher ini. Kemudian menyelusup di sela-sela rambut dengan menggerak-gerakkan ibu jari.Tangan ini terkepal keras, apalagi saat bobot badannya berpindah di pangkuanku. Aku berusaha berontak, tapi dia semakin memperlakukanku dengan liar. Sudah dipastikan, benar perkiraanku. Orang ini adalah perempuan.Tubuhnya yang wangi menghimpit dengan gerakan yang erotis. Dengus napasnyapun berkali-kali menerpa leher ini. Kepala ini mencoba menghidar, dan kedua tangannya menangkup pipi ini dan bisikannya membuatku tersentak.“I love you, Mas Suma. Kamu sekarang milikku.”Perut ini semakin mual, saat kulit ini mer
Jalan berbatu menyulitkan pengejaran ini. Kecepatan yang ditambah tidak mengejar mobil jeep yang dilindungi kepulan debu. Bahkan, Pak Tiok sampai menghentikan motor karena pandangan mata terhalang dan aku yang tidak berhenti terbatuk-batuk.“Kenapa berhenti?”Aku menyorotkan tatapan kesal. Satu-satunya petunjuk hilang begitu saja di depan mata.“Jalan ini, jalan tunggal. Kita pasti akan menemuinya. Semakin kita kejar, dia akan semakin berusaha menghilangkan jejak. Bukankah lebih baik kita biarkan mereka lengah?” ucap Pak Tiok setelah membuka helm. Dia mengeluarkan dua botol kecil berisi minuman mineral dari tas ransel yang tertangkup di dadanya.“Minum dulu. Setelahnya kita lanjut.”Aku menerima dan menenggaknya sampai tandas. Kemudian memintanya bergegas melanjutkan perjalanan.Jejak roda mobil jeep terlihat jelas. Apalagi di jalan yang berlumpur. Jalan ini lurus terus dan kami mendapati jajaran gudang-gudang bekas. Seperti tempat perbaikan mesin-mesin pabrik. Tidak ada kegiatan, sep
Kecurigaan menyeruak seiring dengan mata yang memindahi bayangan di cermin. Rambut disisir rapi dan wajahku yang kotor tidak terlihat lagi, bahkan aku mencium jejak lotion di wajah ini. Memang aku tidak muda lagi, tetapi terlihat lain dengan tampilan seperti ini.Berapa lama aku tidak sadar, dan apa yang mereka perbuat sehingga aku tidak tahu apa yang mereka lakukan?Kepala ini meneleng memperhatikan tangan dan kaki. Luka akibat eratnya ikatan tali di pergelangan pun di plester. Sendi yang kemarin terasa nyeri juga sembuh. Tubuhku merasa baikan, akan tetapi perasaan ini semakin menaruh curiga.Perlakuan ini seperti menyiapkan hidangan. Dan, hidangan itu adalah aku.“Sudah bangun, Tuan?” Terdengar suara sedikit serak mendesah.Spontan, kepala ini menoleh ke arah suara. Seorang wanita bersendekap sambil bersandar di dinding. Entah berapa lama dia di sana.Keningku berkerut, melihat penampilannya. Dia mengenakan topeng berwarna emas yang berhias bulu-bulu. Hanya bibir yang dipoles ginc
Pemaklumanku selama ini ternyata sia-sia. Rasa sayang yang tersisa, ternyata diabaikan. Dan, justru yang dilakukan sekarang bentuk penghianatan dan penghinaan. Aku mendengus dan mengepalkan tangan penuh amarah, gigi ini pun menggeletuk bersama rasa geram yang semakin membuncah.Kerlingan mata dan senyuman yang ditampilkan wajah indah itu, terasa menjijikkan. Seperti berhadapan dengan setan betina yang akan menunjukkan kekejaman, aku bersiap saat dia melangkahkan kakinya.Tak…tak…tak….“Catherine! Ja-jadi kamu yang menculikku? Tega sekali melakukan ini. Kamu sudah aku anggap saudara justru berbuat jahat kepadaku!” teriakku tidak percaya. Suara langkah yang lekat di kepala ini, ternyata dia pemiliknya.Berkali-kali kenyataan dan dugaan orang sekitar merujuk kepadanya, dan aku justru berusaha tidak mempercayainya. Namun, sekarang terbukti. Dia yang kucoba percayai dan diberi kesempatan, ternyata menunjukkan tidak bisa berubah apalagi dimaafkan.Aku memundurkan langkah seiring dengan wan
Aku tidak ada pilihan lain, walaupun cara ini beresiko dan bisa menghilangkan nyawa.Kuhela napas dalam-dalam, memusatkan pikiran dan mengumpulkan tenaga. Satu kali lemparan, tempat sampah berbahan logam melayang tepat ke cermin lebar ini.PRANG!!!Suara keras semakin mematik keributan di luar sana. Teriakan Catherine terdengar menjadi-jadi, menandakan waktuku sudah hampir habis. Di ambang putus asa, pasti ada harapan. Dan, aku harus melakukannya.Kuraih pecahan cermin yang paling panjang. Genggaman kueratkan sambil menahan gemetar yang masih menguasahi tubuh ini.‘Rani, istriku. Aku minta maaf kalau aku tidak sempat bertemu kamu lagi. Jaga anak-anak,’ bisik hatiku sambil memusatkan pikiran. Kupejamkan mata sambil mengangkat tinggi-tinggi tangan ini. Mengarahkan tepat di perut yang aku tuju.CRESS!Seketika rasa menyayat seiring dengan potongan tajam ini menembus kulit perut. Darah merembes dari sela luka dengan potongan cermin yang masih tertancap. Bercampur dengan air yang menetes d