POV MaharaniAku buka lagi kotak hitam yang diberikan oleh Nyonya Besar. Satu set perhiasan emas bermata mutiara, kalung, giwang, cincin dan gelang.Modelnya sederhana dengan aksen emas pahatan, anggun dan cantik. Kalung emas kecil agak panjang dengan liontin susun bola emas pahatan dan mutiara. Giwangnya juga mutiara dengan sedikit aksen emas. Cincin bermata mutiara dan bola pahatan emas yang terputus. Cantik lagi, gelangnya, mutiara dan bola emas pahatan di susun bergantian dan ada sisa tali emas yang menjuntai.Kenapa perhiasan ini ada ditanganku? Aku bingung menghadapi Nyonya Besar. Dia bilang, perhiasan ini dipinjamkan untuk dipakai ketika ulang tahun Amelia. Namun, kenapa? Iya, dipinjamkan. Jadi, harus aku simpan di tempat terkunci. Mungkin ini tes kejujuran seperti yang di cerita sinetron. Menghadapi Nyonya Besar harus sabar. Sikapnya yang judes, memang gaya orang kaya pada umumnya. Namun, ada sesuatu yang menarik dari sikapnya, entah apa. Kadang-kadang membuatku tersenyu
Mas Suma, panggilan baru untuk Tuan Kusuma dariku. Merubah status hubungan dari sahabat menjadi orang dekat. Itu, istilah yang kami pakai.Kami sepakat untuk melandasi hubungan ini dengan kasih sayang, bukan dengan hasrat semata. Hari-hari kami lalui seperti biasanya, bedanya ada ikatan bahwa kami saling memiliki. Yang paling antusias adalah Amelia, dia sangat senang. Sering kali dia menggodaku dengan panggilan calon mama. Wisnupun demikian, bahkan sering kali dia dihubungi Tuan Kusuma hanya untuk sekedar mengobrol.Tak terasa, aku sudah tiga bulan bekerja di sini. Banyak sekali yang aku lewati di tempat ini. Tadi pagi aku cek rekening, sudah masuk gajiku dengan jumlah lebih besar 50% dari biasanya. Ini berarti aku sudah lolos dari masa percobaan. Lumayan untuk tambahan membeli lap top baru untuk Wisnu. [Kak, Mama transfer untuk laptop sore ini. Besuk pagi, kamu beli ya][l love you]Aku kirim pesan ke dia. Tugas kuliahnya semakin banyak, jurusan arsitek membutuhkan lap top yang le
Tuan Kusuma tidak memberi penjelasan apapun tentang Jenifer.Mungkin, dia sudah sibuk dengan pekerjaannya. Akupun juga berusaha tidak mengingat kejadian itu, sudah tertumpuk dengan kesibukan sehari-hari berikutnya.Apalagi, Amelia yang baru masuk sekolah langsung disibukkan dengan tugas-tugas. Ada saja tugas yang harus dikerjakan di rumah. Seperti sekarang ada tugas IPA tentang fermentasi."Tante, bantu Amelia dong. Ada tugas tentang fermentasi. Buat apa, ya? Nanti harus ada videonya untuk presentasi. Pusing!" keluhnya sambil garuk-garuk kepala."Tugasnya kapan dikumpul?" tanyaku sambil merapikan tumpukan baju di lemarinya. Anak-anak dimanapun sama, kalau ambil baju suka ditarik, jadinya berantakan."Dua hari lagi, Te. Tugasnya sudah dikasih lama, tetapi Amelnya bingung. Jadinya kelupaan," katanya sambil nyengir."Tante bantu. Tapi, tante mau tanya dulu. Fermentasi itu apa? Cari tahu di buku atau di internet. Nanti jelaskan ke tante. Percobaannya, tante bantu. OK!?" kataku sambil meni
Hari minggu yang paling mendebarkan.Kali pertama, akan diperkenalkan sebagai calon istri Tuan Kusuma. Dan, langsung di Club 21 perkumpulan crazy rich di kota ini.Tidak kebayang sama sekali.Aku dibebas tugaskan dari urusan rumah. Bik Inah, yang ditugaskan dengan catatan yang sudah aku siapkan. Tuan Kusuma mengawasiku untuk hal ini. Tidak ada seorangpun diperbolehkan menggangguku, termasuk Amelia. "Papi, Amel kan mau ditemenin sama Tante!" rajuk Amelia."Amel, Papi cuma minta waktu satu hari ini saja! Jangan ganggu Tante!" kata Tuan Kusuma menbujuknya."Bilangnya hari ini saja! Tadi malam juga bilang gitu! Trus, sama Amelnya kapan!?" sanggahnya dengan muka cemberut."Ya, udah. Sore nanti, ambil Tante Rani buat kamu. Pokoknya, sekarang sama Papi!" tegasnya. Amelia segera masuk kamar dengan bergumam tidak jelas.Tuan Kusuma menunjukkan foto-foto kegiatannya di club itu, sambil memperkenalkan nama, profesi sampai sifat masing-masing anggota. Mereka mempunyai bidang usaha dan profesi
"Mas Suma, Jenifer gimana? Kasihan dia ditinggal begitu saja," kataku mengingat bagaimana ekspresi Jenifer di parkiran tadi.Aku bisa merasakan, bagaimana kesalnya dia, apalagi tadi dari kaca spion aku lihat dia teriak-teriak memanggil Tuan Kusuma. Laki-laki di sebelahku ini, benar-benar sadis. Aku lihat dia yang memandang lurus ke depan tanpa menghiraukan pertanyaanku. Wajahnya kelihatan serius seperti memikirkan sesuatu."Mas, Mas Suma," panggilku sekali lagi."Iya Ran. Kita bicara sebentar, saya cari tempat berhenti," katanya sambil menoleh ke arahku sebentar.*"Ran, kamu pasti kaget melihat saya tadi. Saya seperti itu, karena tahu sifat Jenifer seperti apa. Dia suka sekali emosional, kalau ada sesuatu yang tidak sesuai dengan yang diinginkan, dia akan kumat. Kami semua tahu. Di sana pasti dia di handle sama Elisya dan Sintha, tadi kita sudah calling. Nanti kalau sudah reda, baru saya bicara dengannya. Tetapi sebenarnya saya malas, karena Jenifer kalau ada maunya, susah!" jelas Tu
"Amelia! Amelia! Dengar kata, Papi!" teriak Tuan Kusuma berlari ke atas mengejar Amel. Aku dan Bik Inah yang baru masuk rumah kaget melihat mereka. Kami saling perpandangan mencari tahu apa yang terjadi. Aku berikan keranjang belanjaan ke Bik Inah dan bergegas lari mengikuti mereka. Amelia menangis membelakangi Tuan Kusuma yang berusaha menenangkannya. Melihat aku mendekati mereka, Amelia langsung lari memelukku sambil menangis sesenggukan."Amelia, menangis saja. Tidak apa-apa," bisikku kepadanya. Dia menangis tanpa bicara apapun. Aku menatap Tuan Kusuma minta penjelasan apa yang terjadi. Dia menjawab dengan gerakan mulut tanpa suara, "Mami". O, aku mengerti. Pasti dia membicarakan tentang rencana pertemuan dengan Dewi, mamanya Amelia. Pasti anak ini kaget, karena mami yang selama ini dianggap tidak ada bahkan dibilang meninggal, ternyata baik-baik saja. Brian, sepupu Dewi yang menfasilitasi kami. Selama ini, Dewi tinggal di Belanda bersama keluarga barunya. Dia memiliki dua ana
"Pokoknya, Kak Wisnu besuk harus datang!" teriak Amelia. Dia dari pagi mencoba menghubungi Wisnu, tetapi tidak diangkat, kadang-kadang nada di ponsel bertanda sibuk dipakai. "Sayang, Kak Wisnu mungkin sibuk kuliah. Sekarang lagi banyak-banyaknya tugas. Tapi kan, dia sudah janji kalau besuk pasti datang. Ditunggu saja, ya" jelasku mencoba menenangkannya."Tante, hubungi terus, ya. Pokoknya harus datang!" katanya memastikan. Aku mengangguk dan kasih kode ok. Dia tersenyum senang dan, langsung berlari ke dalam kamarnya. Bapak sama anak sama aja, kalau sudah keluar kata 'pokoknya', tidak bisa diganggu gugat. Dia, sampai tidak ikut kegiatan esktra sekolah untuk menyiapkan acara ulang tahunnya. Dan, hari besuk dia ijin tidak masuk sekolah, khusus untuk persiapan acara ini. Tadi, dia langsung ke Claudia untuk ngepas baju yang akan dipakai. Besuk sore, team Claudia akan datang untuk mengantar baju sekaligus make-up kami bertiga, eh berempat dengan Wisnu. "Atau, Wisnu dijemput Pak Maman s
"Membeli kado untuk orang kaya adalah sesuatu yang sulit. Mereka sudah mempunyai semuanya, kecuali sesuatu yang tidak bisa dibeli" *** Pesta kejutan berhasil, bahkan sangat berhasil. Kami semua merasa senang. "Ini, pertama kali saya membuat kejutan seperti ini. Ternyata, rasanya luar biasa, ya! Seperti pekerjaan yang tidak berguna, tetapi efeknya membuat kita bahagia," kata Tuan Kusuma setelah semuanya selesai. Amelia dan Wisnu sudah kembali ke kamar. Mereka harus istirahat untuk acara pesta besuk malam. "Tolong buatkan saya teh. Saya belum bisa tidur." Tuan Kusuma meminta secangkir teh, kami duduk di teras atas sambil mengobrol. "Sudah lama, saya ingin membuat sesuatu yang istimewa buat Amel. Tetapi, saya tidak tahu, apa. Perayaan ulang tahun bentuk apapun sudah saya adakah dari pesta kebun sampai pesta mewah, tetapi tidak membuat dia tersenyum dan tertawa lepas seperti hari ini," katanya sambil menatap kerlip bintang di langit. "Yang Amelia dambakan bukan kemewahan, tetapi k
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan