Kepala ini terasa berat. Aku berusaha membuka mata dan mengingat apa yang terjadi.“Tuan! Tuan Kusuma sudah sadar?” ucap supir perusahaan langsung menghampiriku.Aku mengerjapkan mata dan berusaha mendudukkan diri. Pandangan aku edarkan ke sekeliling. Ini seperti di kamar. Iya, terakhir aku melakukan pertemuan dengan penanam modal. Apakah ini masih di hotel?“Tuan Kusuma pingsan. Tapi dari pihak hotel memberitahu saya di bawah. Saya juga bertemu dengan tamunya Tuan Kusuma,” jelasnya dengan masih menunjukkan wajah kawatir.Aku menyingkap selimut, berniat akan turun dari ranjang. Betapa terkejutnya aku melihat baju yang aku kenakan berantakan. Ikat pinggang terbuka dan kancing kemejapun terlepas.“Kok saya begini?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Aku tidak mengerti, kenapa aku sampai pingsan?“Ta-tadi ada dokter yang memeriksa Tuan Kusuma. Bapak-bapak tadi memanggilnya untuk memeriksa keadaan Tuan. A-apa ada yang hilang, Tuan? Dompet atau handphone?” tanyanya dengan menunjukkan wajah
“Ran, kamu pasti terkejut dengan kedatanganku, kan? Kangen, ya?”Mas Suma menunjukkan senyuman, dan melakukan gerakan yang akan meraih pinggang ini. Aku segera menjauh dengan menutup gerbang, mengelak pada kebiasaan dia yang mencium kening ini.Huuft!Seberapa kuat aku mencoba menerima, tapi membayangkan dia sudah menyentuh wanita lain….“Masuk, Mas. Pasti belum makan pagi, kan?” ucapku kemudian melangkahkan kaki mendahuluinya.Sekilas aku melihat tatapan keheranan. Sesekali aku mengembuskan napas, tidak memedulikaan apa yang dia pikirkan. Toh, aku tidak mencecarnya dengan pertanyaan apapun. Aku hanya minta waktu untuk berusaha menerima bahwa suamiku tidak lebih seperti lelaki di luar sana.Aku menyibukkan diri dengan menyiapkan makanan untuknya. Ini lebih baik daripada berhadapan dengannya, dan membuat hati ini semakin sakit.Masih jelas diingatan. Setiap detail foto aku amati tadi malam, untuk meyakinkan itu adalah Mas Suma. Berkali-kali aku zoom untuk mencari celah kalau itu foto
Tubuh ini luruh ke lantai. Tak kuasa menahan sesak di dada, dan air mata pun berderai. Aku bagaikan daun kering yang tanpa tenaga dan hanya bisa terkulai. Tidak kuhiraukan gedoran pintu dan panggilan dari Mas Suma. Niatku untuk memendam rasa sakit seperti wanita kuat di luar sana, gagal. Saat dia menyentuhku, di dalam kepala ini seperti berputar film kebersamaan dia dengan wanita itu. Diri ini tidak kuat membayangkan mereka saling berpagut, dan berbagi peluh di dalam lautan gairah. Sungguh, aku menyerah dan kembali pada ketidakrelaan. Perlahan aku membuka pintu kamar mandi. Mengedarkan kesekeliling dan tidak aku dapati sosok suamiku. Mungkin dia sudah lelah, atau sudah bosan menghadapi wanita tua sepertiku. Toh, yang masih muda siap sedia melebarkan tangan dan kaki untuknya.\ “Ran, kamu kenapa, sih?!” suara Mas Suma setelah pintu kamar terbuka. Aku menoleh sekilas dan kembali membuang pandangan ke arah lain. Tidak kupedulikan raut wajahnya yang mengetat. Biarlah dia semarah-marahn
“Kamar hotel..,” gumam Mas Suma lirih. “Iya, kamar hotel. Sekarang Mas Suma ingat, kan?” sahutku dengan melempar senyuman sinis. Pasti ingat, lah. Bagaimana rasanya pun pasti masih lekat di ingatan. Melihat dia yang terdiam termangu, aku semakin yakin kalau sekarang Mas Suma berpikir keras untuk mengingkarinya. Secepatnya aku beranjak dari duduk. Berlama-lama dengan penghianatan membuatku semakin mual. “Ran, tunggu!” ucapnya sembari mencekal tangan ini, dan aku pun terduduk kembali. “Apalagi sih, Mas?! Semua sudah jelas sekarang. Biarkan aku sendiri. Tenang saja, aku akan diam dan tidak membuat masalah yang menyebabkan nilai saham perusahaan turun. Aku bukan wanita yang ‘doyan’ dengan harta ataupun skandal!” seruku memberikan tatapan kebencian. “Tunggu sebentar. Darimana kamu mendapat cerita konyol ini? Aku tidak pernah melakukan seperti yang kamu tuduhkan!” ucapnya bersikukuh dengan tatapan terlihat serius. “Jawab, Ran. Darimana kamu tahu hal seperti itu!” Wajah dan tatapan Mas
Kukerjapkan mata berkali-kali mencoba mempercayai apa yang aku lihat. Mas Suma terkulai lemas didalam gulungan berwarna hitam kecoklatan. Matanya terpejam dengan kepala mendongak ke atas. Wajahnya meringis seakan menahan rasa sakit.Aku mengernyitkan dahi dan menajamkan penglihatanku. Gulungan itu bergerak dan terlihat kepala menyeringai ke arahku. Kepala dengan rambut berwarna merah, mendesis dan matanya menyorot tajam. Sontak aku terkejut dan menjerit, sekilas aku melihat Mas Suma yang tersengal-sengal.Tidak! Ini tidak boleh terjadi pada suamiku. Makhluk apa ini? Manusia bukan, ular pun bukan. Segera aku mencari senjata dan menyerangnya dengan menepis rasa takut. Yang ada di pikiranku hanya keselamatan Mas Suma. Bagaimana anak-anak kalau Mas Suma celaka? Aku tidak mau kedua balitaku kehilangan sosok ayah.Dengan menyingsingkan lengan baju, aku meraih tongkat dan menghujam tepat ke mulutnya yang sedang menyeringai. Seketika lilitannya melonggar, dan secepatnya aku menarik tangan Ma
Tanpa bekal dariku sebagai istri, Mas Suma kembali ke kota. Aku belum bisa memberikan nafkah batin sebelum semuanya jelas. Hati ini belum iklas mendapatkan sentuhannya, apalagi di kepala ini masih mencatat kalau dia sudah menyentuh wanita lain. Memang, sopir Mas Suma datang pagi-pagi memberikan penjelasan sebagai saksi. Namun, itu tidak mewakili kejadian seutuhnya. Dia hanya tahu setelah semuanya terjadi. “Sa-saya datang ke kamar saat Tuan Kusuma sudah tidur di ranjang. Dan, orang-orang itu sudah bersiap pergi.” Itu yang dikatakan setelah aku mencecarnya dengan banyak pertanyaan. Sebenarnya bisa saja aku menunjukkan foto mesra itu, tapi semarah-marahnya aku, tidak mungkin menurunkan harga diri suamiku. Kalau orang lain tahu tentang foto ini, bukankah akan menimbulkan gosip skandal yang hanya merugikan keluargaku saja. “Sudah percaya dengan saya, kan? Kalau ada komplotan yang berniat menjebak dan merusak nama baikku?” ucap Mas Suma setelah bersiap akan pergi. Aku menarik kedua uju
“Mama! Mama kenapa nangis!?” Suara tiba-tiba terdengar dari arah pintu. Amelia berdiri di tengah pintu sambil menatap kami dengan penuh pertanyaan. Segera aku sembunyikan wajah dan hapus air mata, kemudian menghampirinya. Dia masih memberikan tatapan menyelidik dengan kening berkerut. “Mama menangis?” “Tidak, Sayang. Mata Mama cuma kena kemasukan serangga di luar tadi. Kak Wisnu yang bantu__” “Tuh, matanya Mama merah dan ada airnya,” ucapnya memotong penjelasanku, kemudian dia meraba pipiku yang masih terasa lembab karena air mata. Aku tersenyum sambil mengusap rambutnya. Sama dengan Wisnu, dia mempunyai kenangan buruk tentang pernikahan Mas Suma dan Maminya. Lebih baik aku menyembunyikan masalah ini darinya. Kalau dia mendengar ada yang mengusik pernikahan kami, bisa jadi anak ini terluka. Apalagi, satu alasan kuat terjadinya penikahanku dengan Mas Suma adalah memberi keluarga yang utuh untuk Amelia. “Mama nangis, Mel,” seru Wisnu dari tempat duduknya. Sontak aku kaget dan sege
POV KUSUMA “Baiklah. Jaga anak-anak, ya. Doakan semua masalah selesai dengan baik,” ucapku sembari mengecup keningnya. Dia mengangguk, tapi aku mengerti sikapnya hanya sekadar untuk menenangkanku. Maharani istriku ini memang berhati keras kalau ada sesuatu yang belum di terima di otaknya. Aku sadar, kalau aku di posisinya pun, mungkin aku akan bersikap seperti itu. Bahkan, bisa jadi lebih. “Maaf Tuan, apakah yang saya katakan ke Nyonya salah? Sa-saya kawatir justru membuat Nyonya semakin marah.” Sopirku menoleh sekilas ke belakang, pasti dia ini karena melihat reaksi istriku yang tanpa senyuman tadi. Dia dicecar berbagai pertanyaan, dan berakhir dengan rasa tidak puas. Itu yang aku tangkap dari raut wajah Maharani. “It’s OK. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Tapi ingat yang saya katakan sebelumnya. Jangan sekali-sakali peristiwa ini bocor! Ini masih dalam tahap penyelidikan. Mengerti?” “Siap, Tuan Kusuma.” Tujuanku sekarang bertemu Pak Tiok. Hanya dia yang bisa aku percaya dan