Akhirnya setelah melalui perdebatan panjang, Aldo bersedia untuk membawa Nia ke hotel. Tentunya ia akan sendirian di kamar tersebut. Nia ingin menenangkan dirinya sejenak dari semua permasalahan yang baru saja menimpanya.Sejak mengetahui kalau ada nyawa di rahimnya Nia sudah bertekad untuk melupakan pria itu. Ia akan berusaha membesarkan anak itu dengan kasih sayang dan perhatian yang banyak sehingga tidak akan berpengaruh kalau tanpa kehadiran Bara di sampingnya. Toh, pria itu juga sudah jijik dengannya jadi buat apa mengharapkan orang yang sudah membuang kita.Dan untuk Aldo, Nia hanya menganggap ucapan pria itu tadi hanya sebagai candaan saja. Untuk sekarang ia tidak ingin memikirkan pernikahan lagi karena fokusnya untuk anak yang ada di dalam kandungannya kini.“Yakin akan bermalam di sini?” tanya Aldo yang entah sudah yang keberapa kalinya. Pria itu tidak tega kalau harus membiarkan Nia sendirian dengan kondisi hancur seperti itu meskipun kehancuran itu karena ulahnya sendiri.“
“Mbok, tolong bereskan semua pakaian Nia dan semua barang-barang miliknya karena saya tidak mau melihat ada barang dia di rumah saya!” ucap Bara pada sambungan telepon pada Mbok Ijah, ART di rumah Bara.“Ba-baik, Tuan!” balas Mbok Ijah gugup. Meski ia ingin sekali memburu tanya pada sang Tuannya itu, untuk menanyakan alasannya dari semua ini. Tetapi mengingat hubungan keduanya tidaklah sedekat itu hingga mampu melakukan keinginan itu.“Ya, sudah kerjakan sekarang,” putus Bara kemudian. “Dua jam lagi, Alif akan datang dan mengambil barang-barang itu.”“Baik, Tuan,” balas Mbok lagi. Memangnya Mbok bisa berkata apa selain itu. Argh ... ART itu mengeram tertahan karena tidak bisa mengeluarkan pendapatnya.Dari awal bertemu Nia, wanita tua itu sudah menyukai gadis ceria seperti Nia meski sedikit polos kala itu. Namun, memang sejak awal sang Tuan Mudanya itu selalu bersikap kurang baik pada wanita yang sekarang menjadi istrinya itu. Mbok Ijah lah saksi hidup yang tahu perjalanan kehidupan m
“Nia ...!” seru gadis cantik sambil merentangkan kedua tangannya agar Nia dapat menghampiri dan memeluknya.Dan yang dilakukan Nia adalah berhambur dalam dekapan itu, memeluknya erat dan menyandarkan dagunya pada bahu sang sahabat. Tina, gadis cantik yang menjadi sahabat Nia itu harus pindah kampus karena keinginan kedua orang tuanya. Dan hal itu yang membuat terputusnya hubungan kedua orang itu.“Aku kangen banget sama kamu, Tin!” desis Nia tanpa mau melepas pelukan tersebut. Detik selanjutnya tangisnya pecah dan Tina sampai terharu ternyata kangen sang sahabat sampai diiringin tangisan padahal tangisan Nia itu karena beban berat dalam hidupnya.“Sudah, gak usah nangis begitu,” olok Tina mengurai pelukan dan memandangi wajah cantik seraya menghapus jejak airmata Nia. Gadis itu masih memperlakukan Nia seperti temannya sebayanya meski telah berstatus seorang istri. “Btw, Pak Bara gak ikut?” tanyanya lagi setelah celingukan mencari sosok Rektornya dahulu.Tanpa bersuara, Nia hanya menge
"Oke, biarkan aku cerita yang sebenarnya sama Pak Bara!" putus Tina setelah mendengar cerita lengkapnya dari Nia.Nia mengeleng lemah tidak bersemangat. "Gak perlu, toh dia sudah mengucapkan talak padaku.""Tapi, Nia. Kalian kan masih bisa rujuk. Ingat ada nyawa lain di sini yang butuh pengakuan dari Ayahnya!" Tina mengusap pelan permukaan perut Nia setelah tahu kalau sahabatnya ini sedang hamil."Mas Bara, jijik sama aku, Tina! Tolong jangan paksa aku untuk kembali padanya. Aku akan membesarkan anak ini sendiri dan aku gak butuh dia."Tina bisa melihat manik Nia mulai berembun, wajahnya juga dipenuh dengan kesedihan, amarah dan kecewa.Tidak sanggup melihat sang sahabat bersedih, Tina langsung merengkuh tubuh bergetar Nia sembari mengusap punggungnya untuk menenangkannya. "Iya, iya. Aku tahu kekecewaan kamu. Sekarang aku cuman bisa berkata, kamu yang sabar ya!"Bibir Nia terlalu keluh untuk bisa menjawabnya. Namun, Tina bisa merasakan kalau sahabatnya itu menjawab dengan anggukan kep
“Nia, koq gak ngabarin dulu kalau mau pulang?”Belum juga menjawab pertanyaan sang Bunda, Nia sudah berhambur ke pelukannya dan menumpahkan tangisnya di sana. Wajah kebinggungan dari seorang wanita yang telah melahirkannya itu tampak jelas, bagaimana tidak mendadak melihat sang putri datang-datang langsung menangis.“Sayang, ada apa?” tanyanya namun, Nia masih bertahan tidak melepaskan pelukan wanita tersebut.Pandangan Maria pun beralih pada seorang gadis yang sedang berdiri di belakang sang putri.“Nak Tina, ada apa ini?”Tina tentu tidak mau menjawab pertanyaan itu. Ia ingin biarlah Nia sendiri yang menjelaskan karena takutnya nanti salah bicara, malah memperkeruh masalah. Pada akhirnya ia mengabaikan pertanyaan itu.“Nia, apa gak sebaiknya masuk dulu!” desis Tina pada Nia sembari mengusap punggung sang sahabat dengan lembut.Wanita bernama Maria itu sontak mengurai pelukan lalu menatap Tina dengan perasaan bersalah karena tidak tanggap menyuruh sang putri masuk ke dalam rumah.“Ah
“Kurang ajar!” maki Yusuf setelah mendengar cerita Nia. “Biar Ayah yang datangi suami kamu itu, dia harus bertanggung jawab untuk anak yang kamu kandung!”Nia langsung menahan langkah Yusuf sembari memeluk lengan sang Ayah. Ia sudah tidak ingin berurusan dengan Bara lagi. Semua sudah berakhir dan ia juga akan mengakhiri cintanya untuk pria itu. “Jangan lakukan itu, Yah! Aku tidak ingin memberitahukannya kalau hamil anaknya. Ini anakku dan sampai kapanpun Mas Bara tidak berhak atas anak ini karena aku yang akan membesarkan tanpa dirinya,” putus Nia dengan wajah frustasi. Tidak mudah menjalani kehidupan sebagai single parent, tapi ia akan berjuang untuk itu.“Kamu yakin, bisa menjalani semua itu tanpa dirinya?” tanya Yusuf yang geram juga dengan sikap Nia yang begitu mudahnya melepaskan lelaki berengsek seperti Bara itu.“Yakin!” jawab Nia dengan tegas tanpa keraguan sedikitpun. “Aku akan buktikan kalau aku dan anaknya bisa bahagia meski tanpa dirinya, Yah!” Yusuf bisa melihat senyum
Proses perceraian Nia dan Bara ternyata tidak mendapatkan kesulitan. Setelah Bara mengajukan gugatan cerai dan tanpa menunggu lama, Nia juga menyetujuinya.Tiga bulan berlalu. Nia menjalani proses kehamilan dengan ditemani oleh kedua orang tuanya. Perutnya kini sudah kelihatan membuncit. Beruntung sang calon bayi tidak rewel. Bahkan Nia juga tidak mengalami ngidam layaknya ibu-ibu hamil pada umumnya."Bun, aku mau dong dibelikan gado-gado," beritahu Nia sesaat setelah menghabiskan mie ayam yang dibelinya di depan rumah.Ya, nafsu makan wanita itu bertambah banyak. Sehingga Nia mengalami kenaikan berat badan yang drastis."Anak Bunda, sudah ya makannya. Stop dulu, bukannya gak boleh tapi lihat tuh kamu sulit mengatur nafas," nasehat Maria menyentuh lengan sang putri kemudian mengusapnya pelan. "Tapi anakku yang mau, Bun!" bantah Nia memperlihatkan wajah sedihnya.Alhasil, Maria sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi kalau sudah begitu. "Ya sudah deh, biar nanti dibelikan Ayah di sebera
"Harusnya kamu gak usah repot-repot ngantar kita begini, Al!" ucap Nia dengan desisan halus, pertanda dia tidak menginginkan itu.Pria yang dipanggil Al itu hanya melirik sekilas setelahnya pandangan kembali fokus pada kemudinya."Nia ...!" panggil Yusuf lembut. Ia tahu apa yang telah terjadi antara sang putri dengan pria yang sedang duduk di bangku kemudi itu. Namun, ia pikir sudah tidak ada untungnya lagi menyalahkan pria itu. Kalau pada akhirnya sang menantu menceraikan putrinya, itu artinya kekuatan cinta mereka telah luntur. Harusnya mereka bisa bertahan dengan cinta keduanya. "Yang sopan!" peringatan Yusuf pada sang putri."Gak perlu, Yah!" ketus Nia. "Kalau untuk bayar taxi saja aku masih bisa koq, gak usah terima tawaran kamu untuk ngantar kita." Manik Nia menatap Yusuf seolah mencari pembenaran atas ucapannya.Namun, bukannya menjawab, Yusuf bahkan enggan menoleh padanya karena paham apa yang dilakukan putrinya itu adalah hanya menyimpan kekesalan saja. Baiknya Nia harus melu