“Nia, koq gak ngabarin dulu kalau mau pulang?”Belum juga menjawab pertanyaan sang Bunda, Nia sudah berhambur ke pelukannya dan menumpahkan tangisnya di sana. Wajah kebinggungan dari seorang wanita yang telah melahirkannya itu tampak jelas, bagaimana tidak mendadak melihat sang putri datang-datang langsung menangis.“Sayang, ada apa?” tanyanya namun, Nia masih bertahan tidak melepaskan pelukan wanita tersebut.Pandangan Maria pun beralih pada seorang gadis yang sedang berdiri di belakang sang putri.“Nak Tina, ada apa ini?”Tina tentu tidak mau menjawab pertanyaan itu. Ia ingin biarlah Nia sendiri yang menjelaskan karena takutnya nanti salah bicara, malah memperkeruh masalah. Pada akhirnya ia mengabaikan pertanyaan itu.“Nia, apa gak sebaiknya masuk dulu!” desis Tina pada Nia sembari mengusap punggung sang sahabat dengan lembut.Wanita bernama Maria itu sontak mengurai pelukan lalu menatap Tina dengan perasaan bersalah karena tidak tanggap menyuruh sang putri masuk ke dalam rumah.“Ah
“Kurang ajar!” maki Yusuf setelah mendengar cerita Nia. “Biar Ayah yang datangi suami kamu itu, dia harus bertanggung jawab untuk anak yang kamu kandung!”Nia langsung menahan langkah Yusuf sembari memeluk lengan sang Ayah. Ia sudah tidak ingin berurusan dengan Bara lagi. Semua sudah berakhir dan ia juga akan mengakhiri cintanya untuk pria itu. “Jangan lakukan itu, Yah! Aku tidak ingin memberitahukannya kalau hamil anaknya. Ini anakku dan sampai kapanpun Mas Bara tidak berhak atas anak ini karena aku yang akan membesarkan tanpa dirinya,” putus Nia dengan wajah frustasi. Tidak mudah menjalani kehidupan sebagai single parent, tapi ia akan berjuang untuk itu.“Kamu yakin, bisa menjalani semua itu tanpa dirinya?” tanya Yusuf yang geram juga dengan sikap Nia yang begitu mudahnya melepaskan lelaki berengsek seperti Bara itu.“Yakin!” jawab Nia dengan tegas tanpa keraguan sedikitpun. “Aku akan buktikan kalau aku dan anaknya bisa bahagia meski tanpa dirinya, Yah!” Yusuf bisa melihat senyum
Proses perceraian Nia dan Bara ternyata tidak mendapatkan kesulitan. Setelah Bara mengajukan gugatan cerai dan tanpa menunggu lama, Nia juga menyetujuinya.Tiga bulan berlalu. Nia menjalani proses kehamilan dengan ditemani oleh kedua orang tuanya. Perutnya kini sudah kelihatan membuncit. Beruntung sang calon bayi tidak rewel. Bahkan Nia juga tidak mengalami ngidam layaknya ibu-ibu hamil pada umumnya."Bun, aku mau dong dibelikan gado-gado," beritahu Nia sesaat setelah menghabiskan mie ayam yang dibelinya di depan rumah.Ya, nafsu makan wanita itu bertambah banyak. Sehingga Nia mengalami kenaikan berat badan yang drastis."Anak Bunda, sudah ya makannya. Stop dulu, bukannya gak boleh tapi lihat tuh kamu sulit mengatur nafas," nasehat Maria menyentuh lengan sang putri kemudian mengusapnya pelan. "Tapi anakku yang mau, Bun!" bantah Nia memperlihatkan wajah sedihnya.Alhasil, Maria sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi kalau sudah begitu. "Ya sudah deh, biar nanti dibelikan Ayah di sebera
"Harusnya kamu gak usah repot-repot ngantar kita begini, Al!" ucap Nia dengan desisan halus, pertanda dia tidak menginginkan itu.Pria yang dipanggil Al itu hanya melirik sekilas setelahnya pandangan kembali fokus pada kemudinya."Nia ...!" panggil Yusuf lembut. Ia tahu apa yang telah terjadi antara sang putri dengan pria yang sedang duduk di bangku kemudi itu. Namun, ia pikir sudah tidak ada untungnya lagi menyalahkan pria itu. Kalau pada akhirnya sang menantu menceraikan putrinya, itu artinya kekuatan cinta mereka telah luntur. Harusnya mereka bisa bertahan dengan cinta keduanya. "Yang sopan!" peringatan Yusuf pada sang putri."Gak perlu, Yah!" ketus Nia. "Kalau untuk bayar taxi saja aku masih bisa koq, gak usah terima tawaran kamu untuk ngantar kita." Manik Nia menatap Yusuf seolah mencari pembenaran atas ucapannya.Namun, bukannya menjawab, Yusuf bahkan enggan menoleh padanya karena paham apa yang dilakukan putrinya itu adalah hanya menyimpan kekesalan saja. Baiknya Nia harus melu
"Jangan keras-keras dengannya, kamu gak tahu bagaimana seorang pria kalau sudah memperjuangkan keinginannya. Semakin kamu membencinya maka semakin besar pula kegigihannya untuk bisa mendapatkannya."Nia mendongak untuk bertatap muka dengan sang Ayah. Pagi ini setelah kemarin melihat apa yang dilakukan pria yang bernama Aldo, Yusuf merasa harus memberikan nasehat untuk sang putri."Ayah ngomongin siapa sih? Pria siapa?" Nia sebenarnya tahu arah pembicaraan Yusuf, namun ia tidak mau bersikap percaya diri. Toh, memang sejak dulu ia tidak memiliki perasaan terhadap Aldo. Tepatnya setelah peristiwa di apartemen kala itu.Yusuf melirik sekilas sebelum menyesap teh hangat yang dibuatkan sang istri. "Siapa lagi kalau bukan pria yang kemarin ngantar kita dari rumah sakit.""Aku tidak ingin memikirkan pria lain lagi, Yah. Aku hanya ingin memikirkan anakku saja. Jadi kita tutup pembicaraan tentang pria. Mau dia pria itu atau pria lain, aku gak tertarik."Bagi Nia sudah malas berhubungan dengan p
"Oke, aku segera ke sana, Bun!" ucap Nia sebelum memutus sambungan teleponnya. Berusaha untuk tetap tenang dan tidak panik, yang dilakukan Nia ketika menerima informasi bahwa putra semata wayangnya mendadak demam dan dilarikan ke rumah sakit oleh sang Bunda.Nia langsung beranjak ke ruangan perawat untuk memberitahu teman seprofesinya, bahwa ia akan meminta ijin meninggalkan kerjaannya sebentar."An, bantuin kerjaan aku ya! Aku mau ijin ke poli anak untuk lihat anakku dulu," beritahu Nia sambil merapikan file-file di depannya.Wanita yang dipanggil An itu seketika memfokuskan pandangan dari kumpulan berkas data-data pasien di depannya. "Anak kamu sakit?"Nia mengangguk lemah. "Iya, demam tinggi. Sekarang di poli anak sama Omanya.""Ah, yang sabar ya," balas Ana ikut prihatin dengan kondisi Nia. "Ya sudah, buruan ijin ke Bu Santi sana. "Makasih ya, An." "Iya, sama-sama," balas Ana sambil mengusap lengan Nia, mencoba memberi semangat untuk kuat.Ana sudah mengetahui status Nia yang s
"Tumben, koq gak bilang mau ke sini?" tanya Nia ketika sedang mengantri obat di apotik.Sedangkan Bima sedang bersama dengan Omanya di taman bermain yang ada di rumah sakit tersebut. Untuk kenyamanan pasien, pihak rumah sakit sengaja memberikan fasilitas taman bermain pada poli anak tersebut. Tujuannya jelas agar anak-anak yang sedang sakit mau diajak ke rumah sakit untuk berobat. Biasanya usia anak-anak sangat takut bila dihadapkan pada tempat yang banyak dihuni oleh obat-obatan tersebut, terlebih jika berhubungan dengan jarum suntik.Aldo menoleh untuk melihat wajah cantik Nia. Kemudian sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman tipis. Dari kata-kata yang terlontar itu, Aldo bisa menyimpulkan bahwa Nia sedang merindukannya. Biasanya apa yang di bibir dan di pikiran berbeda."Kenapa, kamu kangen ya, sama aku?" tanya Aldo dengan percaya diri. Ia yakin Nia tengah merindukannya di saat mereka berjauhan. Satu tangan Nia memukul kencang bahu Aldo tetapi sang pemilik hanya tergel
Bara mengumpat kesal, melihat mantan istrinya mengabaikan dirinya. Wanita itu seolah tidak terpengaruh dengan kehadiran dirinya.Sementara itu, Nia tetap berjalan dan tidak menoleh sedikitpun pada sosok pria yang telah membuangnya itu.Sampai Nia terlonjak kaget, ketika Bara menarik siku lengannya dengan kasar."Saya bisa aduin Anda ke polisi atas perbuatan tidak menyenangkan," pekik Nia, sudah sangat marah pada mantan suaminya itu.Perlahan Bara melepaskan tangannya dari lengan Nia. Kemudian pria itu menghela napas sejenak sebelum berkata."Gimana, apa pernikahan kamu dengan selingkuhanmu itu bahagia, hmm?"Yang Bara tahu, setelah peristiwa apartemen waktu itu, Nia dan Aldo menikah makanya ucapan Bara menyudutkan mantan istrinya itu.Kalau saja Nia mau, ia akan menghantam wajah pria tampan tapi berengsek di depannya ini. Nia masih bungkam hingga Bara melayangkan tatapan sinis padanya lalu melanjutkan hinaannya. "Mungkin sejak awal mestinya aku harus sadar kalau kamu adalah wanita mura