“Dasar gadis sok jual mahal,” gerutu Bara.Tidak lagi di kampus, pria itu sekarang sedang di mobil dan dalam perjalanan menuju lapangan untuk bertemu dengan teman-temannya. Bukan olah raga seperti golf, ternyata olah raga yang dimaksud Bara adalah sepak bola. Tidak sedikit yang menyukai olah raga yang pemainnya seorang laki-laki semua.Saat mobil yang dikendarai melaju dengan kecepatan kencang, mendadak tak sengaja matanya tertuju pengendara motor yang berboncengan dengan seorang pria. Awalnya biasa saja namun mata Bara seperti mengenali motor yang lain tapi masih berhubungan dengan pengendara pria tersebut.“Seperti motor, Nia!” gumam Bara.Mata Bara terbelalak ketika melihat pengendara pria itu yang selalu memepet motor yang dia yakini milik Nia. Entah apa yang terjadi karena pandangan matanya yang jauh sehingga tidak dapat melihat dengan jelas. Namun, ada yang aneh saat mata Bara melihat motor yang diyakini milik Nia itu tiba-tiba melaju dengan kencangnya. Bara pun juga melajukan
“Gimana keadaan Pak Bara?”Nia hanya mengeleng tanpa mau berucap. Pasalnya dia sendiri juga tidak tahu bagaimana keadaan sang Rektor sekaligus majikannya itu.“Ya, sudah sabar ya!” ucap Tina lalu memeluk Nia seraya mengucapkan. “Semoga tidak terjadi hal yang buruk pada beliau.”Bukan orang lain, ketika Nia dalam waktu yang sulit berpikir siapa orang yang harus dia kabari saat melihat Bara jatuh tak berdaya sedang darah mengucur dari punggung pria itu dan Tina satu-satu orang yang ada di pikirannya.“Tin!” panggil Nia pelan, dia tidak tahu kenapa perasaannya sangat bersalah sekali. Bagaimanapun Bara seperti ini karena menolongnya.Tina menatap sahabatnya itu dengan tatapan aneh. Namun saat matanya menuju ke arah pinggang Nia seperti ada noda merah di sana. Tidak jelas terlihat karena tertutupi oleh jaketnya. “Bentar, ini kenapa?”“Hem, gak papa,” sahut Nia cepat karena dia tidak ingin membahas lukanya.Tina yang tidak percaya sekali lagi menarik jaket Nia sehingga terpampang jelas ada
“Bapak gimana keadaannya?”Bukan lagi di depan pintu, ketika pertanyaan Nia meluncur dari bibirnya yang bergetar. Sekarang gadis itu sudah berada di dalam bersama sang majikan. Butuh keberanian untuk sampai di hadapan pria yang menurut Nia sangat menyebalkan ini.“Gak penting kondisi saya!”Bagai di sambar petir hati Nia ketika mendengar jawaban Bara. Dalam hati dia merutuki bibirnya yang bertanya seperti itu. Harusnya dia diam saja dan tanpa peduli sekalipun, namun hati kecilnya menolak secara Bara yang menolong dari penjahat-panjahat itu.Untuk beberapa saat keadaan hening, tidak ada yang mau bersuara. Nia sendiri memalingkan pandangan ke arah lain, pokoknya tidak melihat ke arah Bara. Sedang Bara menatap ke arah langit-langit kamar.“Kamu ... apa ada yang terluka?” tanya Bara pada akhirnya lalu memandang ke arah Nia, menelisik dari bawah sampai atas. “Saya lihat mereka sepertinya mengarahkan sesuatu sama kamu?”Tidak langsung menjawab. Gadis itu perlahan melirik ke arah Bara yang
Setelah kepulangan kunjungan beberapa orang dari kampus. Sekarang hanya ada Bara dan Nia saja. Kecanggungan mulai dirasa gadis itu. Sesekali melihat layar ponselnya hanya sekedar untuk melihat apa ada pesan atau telepon masuk. Padahal Nia sadar itu kemungkinan kecil.Akan tetapi mata elang Bara menyadari hal itu. Tidak lagi hanya diam, sang Rektor mulai bersuara.“Kalau mau pulang, pulang saja!”“Hah?”“Iya, kamu dari tadi lirik-lirik ponsel saja. Apa itu artinya kalau kamu mau pulang tapi sungkan sama saya kalau bilang begitu!” jelas Bara karena Nia sepertinya belum paham.Nia mengeleng seraya tersenyum simpul. “Kalau saya pulang, Bapak sama siapa?”“Ternyata sok perhatian juga nih cewek,” batin Bara tersenyum dalam hati.“Sudah, pulang saja kalau mau pulang!” tekan Bara sambil melirik Nia. “Tapi beneran kamu gak ada yang luka atau lecet mungkin?”“Ehm ... gak ada,” jawab Nia mengelengkan kepalanya. Saat mata Bara tidak sengaja melihat sedikit noda di balik jaket yang dikenakan Nia.
“Semuanya lima puluh lima ribu rupiah,” ucap sang sopir taxi pada Nia.“Ini, Pak.” Nia menyerahkan uangnya seraya mengucapkan. “Terima kasih, Pak.”“Sama-sama. Terima kasih juga, Non!”“Iya, sama-sama, Pak.”Setelah mengucapkan itu, Nia bergegas untuk membuka pintu dan turun. Berputar melewati bagasi belakang menuju pintu sampingnya, membukanya lalu dengan dibantu Pak sopir untuk memapah sang majikan turun dari taxi.Sampai di depan pintu, mendadak Bara menghentikan langkahnya. Dia ingin berusaha untuk berjalan sendiri tanpa bantuan untuk masuk rumah.“Sudah, sampai sini saja, Pak!” pinta Bara kemudian menarik lengannya dari bahu seorang sopir taxi itu. “Terima kasih atas bantuannya.”“Sama-sama, semoga lekas sembuh,” ujar sang sopir seraya mengangguk.“Iya, Pak. Terima kasih doanya.” Bara membalas dengan tersenyum juga.Nia sudah membuka pintu ketika sang sopir tadi pergi dan sekarang Bara bersiap melangkahkan kakinya untuk masuk. Baru dua langkah tiba-tiba punggungnya yang terluka m
Mengabaikan nasi dalam piring itu sekarang mata Nia tertuju pada wajah Bara yang sedang tertidur. Wajah ini baru kali ini Nia lihat dengan jarak yang dekat. Wajah yang tampan, dengan rahang yang tegas, bibir yang tebal, alis yang seperti pedang namun sebenarnya dia memiliki sorot mata teduh.Nia tersenyum sendiri menyadari tindakannya yang sedekat itu dengan Bara. Mungkin kalau posisi sadar dia palingan sudah dimaki-maki oleh sang Rektor. Akan tetapi rupanya keberuntungan sedang tidak berpihak padanya karena tiba-tiba Bara membuka matanya sekaligus bibirnya juga.“Puas memandangi wajah saya, hah!”Nia bergegas memalingkan wajahnya setelah mendengar suara bariton Bara. Sungguh dia sekarang sangat malu sekali hingga tidak mau bertatapan mata dengan Bara. “Ehm, saya sudah menyelesaikan pekerjaan saya,” ucap Nia untuk mengalihkan atensi Bara.“Lalu?” tanya Bara ingin tahu apa yang akan dilakukan Nia selanjutnya.“Sa-saya mau pulang, Pak,” ucap Nia dengan menunduk sepertinya dia belum bisa
“Astaghfirullah!” Nia langsung membuka mata lalu mengambil duduk bersandar pada sofa dengan napas terengah-engah.Bukan lagi di kamar, nyatanya gadis ini tidur di sofa di depan TV dan tidak mengindahkan perintah Bara untuk tidur di kamar sebelah dapur.Matanya mengarah pada jarum jam yang menunjukkan pukul satu dini hari. “Ah, mungkin Allah ingin aku bangun dan sholat ini,” gumam Nia segera berdiri dan berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan mengambil wudhu.Kaki Nia dia langkahkan menuju ruangan kecil yang bersih, suci dan banyak terdapat ukiran ayat-ayat Allah. Di rumah ini memang Bara menyediakan mushola meski jarang di tempati karena lebih sering sholat di kamar sendiri meskipun begitu tetap selalu dibersihkan setiap hari. Nia melaksanakan kewajiban sholat malamnya dengan khusyuk, beda dengan di kost yang meski tengah malam masih ramai saja. Di akhir sholatnya gadis itu memanjatkan doa untuk dirinya sendiri dan kedua orang tuanya.Usai sholat Nia kembali ke sofa karena
“Pak, itu kenapa tidak dipakai,” pekik Nia masih menutup matanya. “Aduh, Bapak bikin mata saya ternoda saja.”Tidak tahu bagaimana wajahnya kesalnya sekarang mendapati pembantunya melihat bagian bawah tubuhnya yang polos. Malu, kesal dan ingin lari saja sejauh mungkin di posisi ini, tentu saja itu keinginan Bara.Namun nasi sudah menjadi bubur dan gak bakal bisa diganti nasi. “Kamu sendiri ngapain main nyelonong saja, kan saya belum suruh kamu masuk,” sentak Bara dengan emosi yang tinggi. Tentunya pria itu seakan sudah berkurang rasa kepercayaan dirinya.“Sial, kamu sudah melihat harta saya yang paling berharga ini, Nia!” batin Bara jengkel. “Aku pastikan suatu saat kamu akan jadi milikku karena kecerobohanmu melihat milikku.”“Ya, sudah saya mau pergi saja,” ucap Nia membalik badannya hendak keluar namun ucapan Bara menghentikannya.”Nia, saya tidak bisa berdiri ini,” bentak Bara lagi sepertinya dia sudah tidak bisa sabar lagi menghadapi Nia. “Kamu koq malah mau ninggalin saya, hah!”
Pyar!Aldo berlari kencang ketika suara benda jatuh seperti pecahan kaca terdengar pada indera pendengarannya ketika ia baru saja masuk ke dalam kamar. Pikirnya sesuatu telah terjadi pada istri dan anaknya.“Hun …!”Tina menoleh pada suara seseorang yang memanggilnya dengan lembut.“Mas, kamu koq sudah pulang?”Mengabaikan ucapan sang istri, Aldo mendekat dengan wajah panik. Kemudian menatap sekitarnya dan mendapati sang anak sedang tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Tetapi mendapati pigura foto istrinya dengan sahabatnya ada di lantai. Dari situ Aldo paham kalau yang jatuh tadi pigura tersebut.“Kamu kenapa?” tanya Aldo setelah menatap sekilas wajah wanita masa lalunya yang sudah tidak ada lagi di hatinya sekarang.Tina tidak paham ucapan Aldo sampai ia melihat manik Aldo yang melirik pigura tersebut.“Oh, tadi aku gak sengaja menjatuhkannya,” jawab Tina. “Ah, maaf ya, kamu khawatir ya?” Wanita itu beranjak berdiri dan hendak memungguti pecahan kaca tersebut.Aldo menahan tangan
“Sayang,” sapaan itu masuk berbarengan dengan pintu kamar terbuka dan menampilkan sesosok pria yang selalu Nia rindukan. Siapa lagi kalau bukan Bara, sang suami.Setelah beraktifitas seharian di rumah sakit, ia selalu bersiap untuk pulang ke rumah lebih cepat untuk menemui istri tercintanya.Ya, Nia telah membuat keputusan untuk berhenti bekerja. Nia ingin fokus menjadi ibu rumah tangga daan mengurus bayinya sendiri. Menjadi kebanggaan tersendiri ketika ia bisa mengurus keluarganya sendiri bukan ditangan seorang ART.Toh, uang Bara masih sanggup membiayai hidupnya dengan anak-anak mereka. Jadi untk maasalah keuangan Nia yakin sejauh ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan.“Mas …!”Nia merentangkan kedua tangannya, bersiap memeluk suaminya itu. Tanpa ragu pria itu merangkak naik dan ikut berbaring di sebelah Nia. Memeluk wanita itu dari samping dan melabuhkan kecupan-kecupan di keningnya.Sekarang usia kandungan Nia sudah mendekati HPL.“Kenapa gak bangun, hmm?” tanya Bara setelah meng
“Gak kerja?”Nia mendengus sambil menatap kesal pada sang suami ketika pria itu keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangnya. Berjalan menuju tempat tidur untuk mendekati istrinya yang duduk bersandar di tepi tempat tidur.Kalau bukan karena kejujuran Bara kemarin mungkin Nia akan dengan senang hati berangkat kerja hari ini. Tetapi saat ini sepertinya ia belum bisa berhadapan langsung dengan penghuni rumah sakit yang pastinya akan memberondong dengan banyak pertanyaan.“Kalau saja kamu gak bil-”Ucapan Nia terhenti karena Bara mencuri kecupan pada bibir wanita itu. “Semalam sudah dibahas jadi gak perlu diulang lagi!”Semalam memang membahas tentang bagaimana Nia akan menjawab seputar hubungannya dengan Bara dan mereka berdua setuju dengan keputusan yang dibuat, cuman Nia merasa tidak yakin dengan itu.“Mas!” hardik Nia sambil memukul keras dada sang suami karena Bara kembali mencuri ciuman saat Nia akan melempar sanggahan. “Kamu tuh, bisa diem gak? Jangan sentuh-sentu
“Dokter Bara, Suster Nia pingsan di cafetaria. Saya binggung harus memberitahu siapa, mungkin Dokter bisa membantu saya karena dulu kan Suster Nia adalah asisten, Dokter.”Bara tersentak kaget mendengar serentetan kata dari salah seorang suster yang bertugas di poli UGD.“Koq bisa?” Pria itu beranjak berdiri dari meja kerjanya kemudian menghampiri Suster tersebut. Sekarang Bara sudah tidak lagi bertugas di poli UGD karena ia sudah pindah ke poli Jantung sesuai dengan spesialisnya, sedangkan Nia masih tetap menghuni poli UGD. “Sekarang masih di cafetaria?”Belum juga mendapat jawaban Dokter spesialis Jantung itu berjalan lebih dulu namun langkahnya terhenti ketika Suster tersebut menyebutkan tempat yang lain dari yang tadi.“Sekarang sudah di UGD, Dok.”Bara pada akhirnya memutar haluan untuk menuju poli UGD, karena poli tersebut berbeda arah dengan jalan yang sudah dilalui tadi.Sampai di poli UGD.Bara langsung masuk begitu saja sembari bertanya pada Dokter yang ada di sana. “Dimana
“Mas, Tina sudah melahirkan. Aku boleh jeguk kan?”Satu pertanyaan Nia berhasil mengusik konsentrasi sang suami. Pria itu sedang serius menatap layar laptop untuk membaca riwayat kesehatan pasien-pasiennya yang hendak dioperasi.“Tanya dulu apa suaminya itu ada atau tidak! Aku gak mau kamu ketemu dengan pria itu.”Bara memang sudah antipati dengan yang namanya Aldo. Ia hanya sedang menjaga miliknya agar tetap berada di batasnya.Nia mendesis kesal, suaminya itu kalau sudah cemburu seperti itu membuatnya tidak bebas. Tetapi paham juga kekhawatiran Bara. Beruntung Bara tidak tahu kalau Aldo saat itu pernah mengatakan kalau masih mencintainya. Kalau tahu, mungkin pria itu sudah melarang sepenuhnya berhubungan dengan Tina.“Ish … terus kalau Aldo di rumah suruh pergi gitu?”“Sekarang sudah di rumah?” tanya Bara memastikan.“Eh, gak tahu ya. Tina cuman bilang kalau dia sudah melahirkan, bayinya perempuan, cantik kayak dirinya,” sahut Nia tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. “Ben
Enam bulan kemudian.Tepat pukul satu siang, Tina melahirkan anak pertamanya. Bayi berjenis kelamin perempuan itu tampak cantik sekali, perpaduan wajah Tina dan Aldo. Suara tangisnya terdengar keras sekali di ruangan persalinan. Wajah Aldo juga terlihat lega setelah menemani sang istri yang masih lemas itu.Aldo mengambil alih untuk mengumandangkan adzan di telinga putri kecilnya itu. Rasa haru dan takjub menyelimuti pria itu. Tidak menyangka ada anak yang akan memanggilnya dengan sebutan Papa di hidupnya.Beberapa menit berlalu. Pria itu menyandarkan bayi mungilnya di dada dan ia dapat merasakan hangat nafas bayi tersebut. Selama ini ia hanya mengenal Bima saja dan ketika melihat putrinya ini Aldo lebih sangat bahagia.Sedangkan, Tina sendiri hanya melihat dengan bibir yang sedikit tertarik antara bahagia dan sedih. Bahagia karena anaknya sudah lahir ke dunia, sedih karena belum ada perubahan yang lebih baik, hubungannya dengan sang suami.Meski cinta belum hadir di hati suaminya itu
“Wah, cucu Oma sudah pulang ya? Gimana acaranya seru gak?”Suara Maria sudah terdengar ketika Bara membuka pintu dengan mengendong Bima yang sudah tertidur pulas. Kebetulan hari ini akhir Minggu dan waktunya berlibur ke rumah Maria.“Eh, Bima tidur ya?” Maria melanjutkan bertanya.“Iya, Bun,” jawab Bara singkat. Suasana hatinya masih buruk sejak melihat Aldo mengenggam tangan istrinya. “Maaf, Bunda. Bima boleh tidur sama Bunda gak?”Tanpa bertanyapun, Maria setuju saja. Lagian dengan adanya Bima dia jadi tidak sendirian tidurnya.“Boleh dong, ya sudah cepat bawa ke kamar Bunda!” pinta Maria pada Bara.Kaki panjang Bara melangkah menuju kamar sang mertua. Tidak lama Nia datang dan melihat Bara yang berjalan tidak ke kamar mereka.“Lho, Bima mau dibawa ke mana, Mas?” teriaknya. Namun, Bara tidak peduli pertanyaan wanita itu. Sedangkan Maria yang sudah berjalan di depan Bara tidak mendengar ucapan putrinya itu.Kesal, lagi-lagi Bara melakukan tindakan tanpa memberitahukannya. Nia berjala
“Om Ayah!”Teriakan bocah yang mengema itu membuat Aldo tersentak kaget. Bukannya tidak suka tapi ia tidak akan menyangka kalau dipertemukan lagi dengan Bima setelah semua masalah diantara dirinya dengan Nia. Bima, bocah yang ia sayangi dan sudah dia anggap seperti anak kandungnya sendiri.Manik Aldo menyiratkan kebahagiaan. Pria itu seketika berjongkok dan merentangkan kedua tangannya ke samping agar bocah tersebut masuk ke dalam dekapannya. Benar saja, begitu melihat yang dilakukan Aldo, Bima langsung berlari kemudian membenamkan wajahnya di leher Aldo. Seolah mereka tidak bertemu puluhan tahun.“Aku kangen sama Om Ayah!” celetuk Bima yang membuat Aldo makin teriris hatinya.Aldo membisu, tidak menjawab ucapan Bima. Membiarkan indera penciumannya untuk beberapa saat menikmati aroma minyak telon yang ada di tubuh Bima.“Kata Mama, aku sudah gak boleh ganggu Om Ayah lagi! Karena Om Ayah mau punya adik bayi.”Aldo semakin menekan tubuhnya pada tubuh Bima. Detak jantungnya berpacu lebi
Di ruangan Bara.Baik Nia dan Bara terkesiap menatap isi amplop coklat pemberian Dokter Kalandra.“Mas, sepupu kamu itu ternyata diluarnya saja yang galak ya tapi dalamnya … tidak diragukan lagi,” puji Nia sambil terkikik, masih sulit mempercayai sikap Dokter Kalandra.“Dalamnya?” Bara mengulangi ucapan istrinya itu sambil menatap curiga. “Memang kamu sudah tahu dalamnya dia seperti apa, hah?”“Yee … malah sewot ini orang! Maksud aku itu kan secara yang terlihat diluar itu dia adalah pria galak, buktinya marahin OG tadi seperti punya salah besar banget padahal kan cuman terlambat saja. Itupun beberapa menit saja. Tetapi koq dia bisa-bisanya ngasih kado seperti ini. Sehingga aku mikirnya dia itu pria yang perhatian gitu lho!” Nia menjelaskan dengan panjang lebar agar Bara mengerti maksudnya.Bukannya tidak paham, Bara hanya sedikit tidak suka kata dalamnya yang diucapkan Nia seolah wanita itu tahu seperti apa sosok sang sepupu.“Iya, aku sudah tahu maksudmu!” balas Bara santai. Pria it