Dear pembaca, lanjutan extra part ini dan seterusnya nanti akan lebih banyak mengisahkan tentang Bimo-Laura dan Sam-Atika. Ikuti terus yuk bagaimana akhir kisah mereka. Jangan lupa klik vote ya :)
Charlotte dan Helena berdiri di luar kamar Laura, mereka bergantian mengetuk pintunya. “Laura, ayo kita berangkat!” kata Helena.“Laura? Kau baik-baik saja?” Charlotte terlihat khawatir karena tak ada sahutan.Biasanya, Laura adalah sosok yang ceria dan menyenangkan, selalu menerangi suasana dengan keriangannya. Namun, belakangan ini, gadis itu lebih banyak mengurung diri di kamarnya.“Kalian duluan saja, nanti aku menyusul.”Kedua orang itu menghela napas lega mendengar sahutan Laura.“Oke, kami duluan!” jawab Helena."Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi padanya." Helena berkata sambil geleng-geleng kepala saat melangkah meninggalkan apartemen bersama Charlotte menuju kampus mereka. "Kurasa ada hubungannya dengan Bimo. Mereka tak pernah terlihat bersama lagi, bukan?” katanya lagi.“Maksudmu, hubungan mereka berakhir?” Charlotte sungguh terkejut. “Wah, sulit kupercaya, padahal aku pernah melihat mereka menari bersama di dance floor dengan begitu hot. Kalau kuperhatikan, Bimo
Charlotte dan Helena terbelalak melihat seorang Brian Ashford mendekati sahabatnya, Laura. Bukan hanya mereka bereka berdua saja yang terkejut, tapi hampir semua wanita kini menatap iri melihat Brian duduk di sebelah Laura dan menunjukan perhatiannya secara khusus.“Astaga, kau lihat itu, Helena?” “Charlotte, kurasa Laura akan menjadi perempuan paling beruntung malam ini.” Helena geleng-geleng takjub.Brian Ashford, adalah kakak tingkat mereka di HEC Montreal. Dia anak bungsu dari keluarga Ashford yang sangat berpengaruh dan kaya raya. Keluarganya memiliki bisnis-bisnis besar yang berkembang pesat, dan kekayaan mereka begitu melimpah. Rumah mewah keluarganya yang terletak di daerah elit kota menjadi bukti keberhasilan dan kekayaan mereka. Brian pria yang tampan dengan ciri-ciri klasik yang sempurna dengan iris mata biru yang indah, hidung mancung, rahang yang tegas, tinggi tegap atletis. Matanya berkilauan dengan kecerdasan dan daya tarik yang tak terelakkan. Senyuman lembutnya mamp
Setelah pernikahan indah dan bulan madu yang dilalui dengan romantis, William dan Jelita kini kembali berada di tengah hiruk-pikuk kehidupan di Jakarta. Jelita, yang semakin bersemangat dengan bisnisnya, berniat mengembangkan usahanya menjadi lebih besar dan luas. Dia ingin membuat pabrik yang akan memproduksi aneka bumbu instant dan sambal dengan merk "Happines Kitchen" untuk memenuhi permintaan pasar yang semakin tinggi.William tersenyum melihat ketekunan istrinya dalam mengembangkan bisnisnya. "Kamu luar biasa, sayangku. Aku sangat bangga dengan kemajuan bisnismu."Jelita tersenyum bangga. "Terima kasih, Bang. Aku benar-benar ingin menghadirkan cita rasa Happines Kitchen ke seluruh penjuru Indonesia, dan mungkin lebih dari itu suatu hari nanti."William tentu saja mendukungnya. "Aku yakin kamu bisa melakukannya, Sayang. Kamu memiliki bakat yang luar biasa dalam memasak dan menciptakan resep-resep yang unik. Orang-orang pasti akan menyukai produk-produk dari Happines Kitchen."Jeli
Dalam suasana kehangatan keluarga yang riang, Sam tiba-tiba merasakan getaran di tangannya, dia melirik arlojinya yang juga merangkap sebagai alat komunikasi rahasianya. Tanpa menimbulkan kecurigaan, Sam pura-pura ingin ke kamar mandi. Di sana, Sam mengaktifkan alat komunikasi rahasia yang menghubungkan dirinya dengan timnya yang merupakan komplotan pembunuh bayaran profesional yang tersebar di beberapa negara.Suara seorang rekannya terdengar di seberang sambungan, "Target sudah terkunci, John. Saatnya beraksi."Sam kemudian memencet sebuah tombol di arlojinya, dan muncullah sebuah pantulan peta di dinding kamar mandi dengan sebuah titik merah berkedip-kedip, menunjukkan posisi detail targetnya saat ini. Dengan cermat, Sam memandangi pantulan peta di dinding. Titik merah itu menandakan lokasi targetnya saat ini.Peta itu memberikan detail gedung sebuah sebuah hotel berbintang tempat targetnya saat ini berada. Sam menelaah setiap rincian, menghafalnya dengan seksama. Dia harus berger
“Hoek …! Hoek …!” Laura berusaha memuntahkan sesuatu di atas lubang kloset. Perutnya seperti diaduk-aduk rasa mual yang hebat hingga tubuhnya terasa lemas. Namun, hanya cairan yang keluar dari mulutnya.Setiap pagi, ia kerap kali diganggu oleh rasa mual seperti ini. Meskipun Laura berusaha menjalani rutinitasnya seperti biasa, ketidaknyamanan ini menghantui keberlangsungan harinya.Awalnya, Laura menganggapnya sebagai sekadar masalah pencernaan, mungkin akibat kebiasaannya yang seringkali terlambat makan karena kesibukan perkuliahannya yang padat. Akan tetapi, semakin lama mual ini tidak kunjung mereda, malah semakin intens. “Astaga, kenapa sih aku?” keluhnya sambil mengelap keringat dingin di keningnya.Laura berusaha mengatasi gejala ini dengan minum air hangat dan obat maag yang sudah seringkali menjadi teman setianya. Namun, mual ini semakin menimbulkan kecurigaan dalam diri Laura. Sesuatu yang tidak beres tampaknya meresap dalam tubuhnya, membangkitkan perasaan cemas yang tidak b
Bimo merasa terjebak dalam situasi ini. Dia duduk diam memandangi hasil tes kehamilan yang Laura serahkan padanya. Hatinya berkecamuk, tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Rasa cemas dan ketidakpastian menyelimuti pikirannya. Dia tidak siap menjadi ayah, tidak siap menghadapi tanggung jawab besar seperti ini. Bimo menggelengkan kepala, ekspresinya kaku. "Aku tidak akan lari darimu. Aku akan bertanggung jawab. Tapi, bukan dengan cara menikah denganmu, Laura." Kata-kata itu menyayat hati Laura. Air mata mengalir deras dari matanya. "Ini bukan hanya tentang kita, Om," gumamnya dengan suara gemetar. "Ini tentang kehidupan yang tumbuh di dalam diriku, tentang anak kita." Bimo merasa bingung dan terjepit. Dia tahu dia harus bertanggung jawab, tapi ketakutan dan ketidaksiapan masih menghantuinya. Dia bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke arah jendela, mencoba meredam gelombang emosi dalam dirinya. "Kau harus mengerti, Laura. Sejak awal, aku tidak ingin menikahimu," ucapnya sambil m
Laura duduk termenung di kursi taman HEC Montreal. Gadis itu menggigit bibir, liurnya seperti membanjir di dalam mulutnya ketika tiba-tiba dia sangat menginginkan buah manggis. “Sialan, kenapa aku pengen banget makan manggis ya? Mau cari manggis di mana coba di Montreal ini?” gumam Laura sambil membuka-buka ponselnya, mencari tahu di internet tentang keberadaan buah manggis di Montreal.Manggis adalah buah tropis yang tidak tumbuh di iklim Kanada, ketersediaannya terbatas dan harga bisa menjadi lebih mahal daripada negara-negara tropis di mana buah ini tumbuh secara alami.Laura harus mencarinya secara langsung di toko-toko khusus yang menyediakan produk-produk impor dari negara-negara tropis. Selain itu, beberapa toko atau pasar yang berfokus pada produk-produk Asia atau Karibia juga mungkin menyediakan manggis secara terbatas. Laura tak bisa mendapatkannya secara online.“Wah, repot sekali,” gerutu Laura.“Sedang apa, Laura?”Laura tersentak kaget melihat Brian tiba-tiba sudah duduk
Para pelayan Brian juga bergerak dengan sigap, memikul tugas mencari buah tropis yang langka di Kanada itu. Mereka tersebar dalam beberapa tim, menyusuri toko-toko Asia dan supermarket yang tersebar di seluruh kota Montreal, berharap menemukan petunjuk tentang kehadiran buah manggis yang dicari. Akhirnya, tim di bawah kepemimpinan George berhasil menemukan sebuah toko Asia yang memiliki stok buah manggis yang berharga. Dia memborong seluruh buah manggis yang tersedia, tahu betapa pentingnya buah tersebut bagi sang tuan muda Brian Ashford.“Maaf, Tuan. Manggis ini sudah dipesan dan dibayar oleh pelanggan kami, dia sudah membayarnya dan akan mengambilnya nanti. Maaf, kami tidak bisa menyerahkannya,” kata penjaga toko.“Kami akan membayarnya tiga kali lipat, sebutkan saja harganya,” kata George sambil memerintahkan timnya untuk mengangkut semua buah manggis yang berada di dalam rak itu.“Maaf, Tuan. Saya hanya pelayan di sini. Saya tidak bisa membuat keputusan,” kata si penjaga toko.“I