William memikirkan cara terbaik untuk berbicara dengan Jelita tentang usul Nyonya Cindy yang memintanya mendampingi Richie dan Hana ke Kanada menemui Laura. Dia tak ingin pergi tanpa Jelita, namun dia merasa cemas dan khawatir karena tahu betapa sulitnya bagi Jelita. Bagaimanapun, Laura pernah mengkhianati Jelita secara menyakitkan. Apalagi setelah itu Laura tak pernah meminta maaf kepada Jelita.Akhirnya, dengan hati berdebar, William memutuskan untuk membuka percakapan dengan lembut. Dia berjalan mendekati Jelita yang sedang duduk membaca buku di kamar, bersandar di kepala ranjang sambil berselonjor kaki dengan santai."Sayang, bolehkah aku berbicara denganmu sebentar?" Jelita menoleh dan tersenyum pada suaminya. "Tentu, Bang. Ada yang ingin Abang bicarakan?" Dia langsung menutup bukunya dan menggeser badan, memberi tempat duduk untuk William di tepi ranjang.William kini duduk sambil memandang Jelita, mengumpulkan keberanian. "Ini tentang Laura," katanya perlahan, "Kau dengar send
Adam tiba di rumah sakit dengan hati yang berdebar. Dia segera menuju ruang perawatan Brian. Ketika dia membuka pintu, dia melihat adiknya terbaring di tempat tidur dengan wajah pucat. Ada sedikit luka di wajah dan tangannya, tetapi secara keseluruhan, Brian tampak dalam kondisi yang cukup baik. "Brian!" panggil Adam dengan nada khawatir, mendekati tempat tidur adiknya. "Bagaimana kamu? Apakah kamu baik-baik saja?" Brian mengangguk dan mencoba tersenyum lebar untuk kakaknya. "Aku baik-baik saja, Kak. Sedikit luka saja, tapi tidak parah. Sebenarnya aku baik-baik saja, kurasa tidak butuh dirawat inap, tapi Jacob malah meminta dokter untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadapku, hanya karena kepalaku benjol terbentur trotoar dan sedikit berdarah.” “Bagus. Jacob melakukan tugasnya dengan sangat baik.” “Ah. Ini berlebihan. Aku lelaki, kenapa kalian memperlakukanku seperti gadis perawan saja sih? Ini memalukan, Kak!” Tatapan khawatir Adam tetap tertuju pada adiknya. "Apa yang mem
Bimo memandangi Laura yang tampak lemah dan sedang tertidur di ranjang perawatan rumah sakit dengan wajahnya yang pucat. Kecantikannya masih terlihat jelas meskipun wajahnya kusut. Kecantikan itulah yang pernah menarik hati Bimo dengan demikian hebatnya sampai-sampai dia menyelingkuhi Jelita, wanita yang sangat dicintainya.Bimo tak memahami perasaannya kini. Dia meraba-raba apa isi hatinya sendiri dan yang dia dapati hanyalah rasa iba, bukan cinta.‘Bagaimana aku bisa menikahimu hanya dengan membawa rasa iba saja di hatiku, Laura? Padahal aku ingin menikah karena cinta, cinta yang kupikir juga tumbuh di antara kita dulu, ternyata hanyalah perasaanku yang semu,’ ujar Bimo dalam hatinya seraya memandangi Laura.Sementara itu, di luar pintu kamar Laura, tampak Brian yang sedang mengintip di pintu pada bagian kaca, mengawasi Laura yang terbaring lemah di ranjang bersama seorang pria di sisinya, yaitu Bimo. ‘Diakah pria itu? Ayah dari bayi Laura, dan pria yang dicintai Laura,’ batinnya me
Laura merasa semakin terpuruk karena situasi yang sulit ini. Dia merasa malu dan takut harus menghadapi orangtuanya dengan kenyataan bahwa dia sedang hamil diluar nikah. Brian, meskipun juga merasa gugup dengan situasi yang penuh ketegangan, tetap berusaha bersikap santun dan menyambut orangtua Laura dengan penuh hormat. Brian menghulurkan tangannya dengan lembut untuk menyambut Richie dan Hana. Dia mencoba menunjukkan sikap yang baik dan ramah, walau Hana memberikan pandangan tajam kepadanya yang membuatnya merasa sedikit canggung. Sementara itu, Richie langsung menghampiri puterinya yang terbaring lemah. Wajahnya yang tegas dan keras selama ini berubah menjadi lembut dan penuh kasih sayang saat melihat Laura dalam keadaan rapuh. Air mata kesedihan hampir menetes dari matanya, tapi dia dengan kuat menahan emosinya. "Bagaimana kabarmu, Sayang? Apa yang sakit, Nak?" ujar Richie dengan penuh perhatian. Dia mencoba menenangkan Laura yang sedang terisak-isak. Laura merasa terharu meli
Menikahi Laura. Itulah yang menjadi tuntutan Hana saat ini. Hana tak ingin tawaran pertanggungjawaban yang lainnya dari Bimo. Sebagai ibu, Hana ingin memberikan perlindungan masa depan sebaik-baiknya bagi Laura. Dia tak ingin anaknya menerima penghinaan bila hamil tanpa suami. Apalagi Bimo memanglah ayah dari anak yang dikandung Laura. Bagaimanapun, Bimo harus menjadi suami Laura dan juga ayah bagi anak yang sedang dikandungnya, agar anak itu mendapatkan jaminan status yang jelas secara hukum.“Cepat urus dokumen pernikahan kalian. Sebelum anak itu lahir, kalian harus sudah resmi menikah. Tak perlu ada perayaan segala, yang penting sah di mata hukum!” ketus Hana sambil bersedekap memandangi Bimo dengan sorot setajam pedang.Bimo tak bisa lagi lari dari pernikahan ini. Dia mungkin bisa menghindar bila Laura yang memintanya, namun dia tak berkutik ketika berhadapan langsung dengan Hana. Tekad Bimo yang semula ingin melontarkan penolakan untuk menikahi Laura pupus sudah di depan ras terk
“Aya! Demi apa kita malah ketemu di sini, padahal saat masih sama-sama di Jakarta kita selalu dihempas kesibukan dan malah nggak sempat-sempat tiap mau ketemu,” kata Jelita saat menemui Aya di sebuah kafe. Sementara itu William sedang ke rumah sakit untuk menjenguk Laura.Aya mencebik. “Kamu yang sibuk banget loh, aku mah nggak! Hmm maklumlah yang udah jadi pengusaha sukses,” godanya sambil terkekeh usil.“Ah, bisa aja kamu, Ay! Tapi kan aku selalu datang setiap kali teman-teman kampus kita mengadakan reuni. Malah kamu yang sering absen nggak bisa ikut reunian, kan? Hayoo!” Jelita balas mencebik, meledek Aya.“Habis mau gimana, Ta, setiap kali reunian, jadwalnya selalu saja tabrakan sama kerjaanku di luar kota. Ketimbang diomelin bos, ya terpaksa deh aku absen nggak ikutan reuni.”“Kamu kerja di mana sih, Ay?”Aya kemudian menyebutkan nama sebuah perusahaan multinasional yang berinduk di Kanada, tepatnya di kota Montreal. “Makanya aku dikirim ke sini buat ikut pelatihan selama 6 bulan
Sesuai janji yang telah disepakai, Bimo menemui Aya di apartemennya pada malam hari setelah dia menjenguk Laura di rumah sakit. Aya ternyata sudah menunggunya dan tersenyum melihat kedatangan Bimo. “Hai, Bim. Masuklah,” sambut Aya seraya melebarkan daun pintu. Bimo melangkahkan kakinya, melewati pintu yang terbuka lebar. Ketika Bimo masuk ke dalam apartemen tipe studio yang disewa Aya selama 6 bulan ke depan itu, langkahnya terhenti sejenak saat melihat sekeliling. Apartemen Aya terlihat rapi dan sederhana dengan nuansa yang hangat dan nyaman. Di sudut ruangan, terdapat sofa berwarna lembut yang dipenuhi dengan bantal-bantal beraneka warna. Di seberangnya, ada sebuah meja makan mini yang fungsional, dengan dua kursi kecil yang terlihat menyenangkan untuk makan berdua.Pandangan Bimo kemudian tertuju pada area lain di apartemen. Di seberang meja makan, ada sebuah ranjang yang tampak lembut dan mengundang. Itu adalah ranjang Aya, dan Bimo merasa canggung melihatnya. Dinding apartemen
Bimo menyadari sentuhannya tidak membuat Aya lebih rileks, justru sebaliknya, dia bisa merasakan ketegangan yang melingkupi seluruh diri Aya. Dia melepaskan tangannya dari pundak Aya dengan hati-hati. "Ay, apa yang salah?" tanya Bimo dengan lembut. Aya menggelengkan kepala, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya. "Nggak, kok. Gue … sedikit capek, mungkin karena tadi di kantor kerjaan gue cukup padat." Bimo memperhatikan ekspresi wajah Aya, dan dia merasa ada sesuatu yang Aya sembunyikan darinya. Namun, dia tidak ingin memaksa Aya untuk bicara jika wanita itu tidak merasa nyaman. "Baiklah, gue pulang kalau gitu, biar elu lekas istirahat.” Aya mengangguk, tetapi diam-diam dalam hatinya merasa berat untuk melepaskan Bimo pergi begitu saja. Dia merasa canggung dengan perasaannya sendiri, bingung dengan kehadiran Bimo yang mendadak begitu dekat dalam hidupnya. Bimo berdiri dari sofa, menatap Aya. "Gue, nggak ganggu elu kan, Ay?” ujarnya sambil tersenyum lembut memandangi wajah Aya