“Jangan melamun, nanti bisa kesambet.”"Eh!" Lamunan Revan buyar saat seseorang menepuk bahunya. Ia menoleh melihat seseorang yang berdiri di sampingnya dengan penyangga tongkat kruk di lengannya untuk menopang tubuhnya agar tidak jatuh."Roy," gumam Revan sembari memperhatikan tubuh Roy dari ujung kepala hingga kaki."Apa kabar? Lama tak jumpa," tanya Roy dengan ekspresi datar pandangannya lurus tertuju pada Vanessa yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang."Baik, kau sendiri apa kabar?" Mata Revan fokus tertuju pada kaki Roy. Ia sudah salah sasaran, andaikan Roy tidak menyelamatkan Alfian waktu itu, nyawa Alfian pasti sudah melayang."Seperti yang kau lihat." Roy melihat kakinya sendiri yang pincang. Keduanya terlihat canggung tak seakrab dahulu."Om, supermarket di sini jauh nggak, Om?" Roy menoleh ke belakang melihat Toni yang duduk di kursi.“Cukup jauh kalau jalan kaki, Nak.”"Memangnya kau mau beli apa ke supermarket dengan kaki pincangmu itu?" tanya Revan.“Mau beli minum,
“Jangan melamun, nanti bisa kesambet.”"Eh!" Lamunan Revan buyar saat seseorang menepuk bahunya. Ia menoleh melihat seseorang yang berdiri di sampingnya dengan penyangga tongkat kruk di lengannya untuk menopang tubuhnya agar tidak jatuh."Roy," gumam Revan sembari memperhatikan tubuh Roy dari ujung kepala hingga kaki."Apa kabar? Lama tak jumpa," tanya Roy dengan ekspresi datar pandangannya lurus tertuju pada Vanessa yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang."Baik, kau sendiri apa kabar?" Mata Revan fokus tertuju pada kaki Roy. Ia sudah salah sasaran, andaikan Roy tidak menyelamatkan Alfian waktu itu, nyawa Alfian pasti sudah melayang."Seperti yang kau lihat." Roy melihat kakinya sendiri yang pincang. Keduanya terlihat canggung tak seakrab dahulu."Om, supermarket di sini jauh nggak, Om?" Roy menoleh ke belakang melihat Toni yang duduk di kursi.“Cukup jauh kalau jalan kaki, Nak.”"Memangnya kau mau beli apa ke supermarket dengan kaki pincangmu itu?" tanya Revan.“Mau beli minum,
Sudah 30 menit mengelilingi jalanan, tapi mereka tak menemukan satupun penjual nasi pecel."Bagaimana kalau makan nasi goreng?" Alfian menawarkan nasi goreng ketika mobil yang ia kemudikan melewati warung nasi goreng."Pulang aja, lah," jawab Nurmala.“Kata Mama, biasanya orang ngidam itu pas hamil muda. Kok, perasaan makin besar kehamilanmu, makin aneh saja permintaanmu?”"Aku kan, nggak maksa kamu, Mas.""Tidak maksa tapi kalau tidak dituruti ngambek, diam seribu bahasa. Kadang aku tidak diberi jatah, sama juga bohong," sahut Alfian cepat."Daripada anakmu ngiler." Nurmala melirik Alfian, kemudian bergelayut manja di lengang suaminya. Alfian mengusap kepala istrinya dengan gemas. Tanpa diduga, Alfian melihat Revan yang sedang melakukan transaksi dengan seseorang. Revan memberikan amplop berwarna coklat tebal, sebagai gantinya seorang pria yang memakai jaket kulit berwarna hitam berpenampilan sangar seperti preman memberinya satu bungkus rokok.Nurmala melihat ke arah mata Alfian mem
"Apa?" Hp di tangan Nurmala terjatuh setelah mendapat kabar dari pihak rumah sakit yang mengatakan jika Alfian mengalami kecelakaan."Ma, Mama, Mama," Nurmala melangkah tergopoh-gopoh menuruni tangga. Kekhawatirannya pada Alfian membuatnya lupa dengan perutnya yang sudah besar."Nurmala, kamu lagi hamil jangan lari begitu takut jatuh." Ayu takut Nurmala tergelincir saat berlarian menuruni tangga."Mas Alfian, Ma, Mas Alfian." Pipinya sudah basah oleh air mata, tubuhnya gemeratan takut sesuatu yang buruk menimpa suaminya."Alfian kenapa, Nur?" Ayu ikut panik melihat Nurmala menangis menyebut nama Alfian.Sarah yang mendengar keributan di ujung tangga menghampiri Nurmala. "Ada apa, mbak?""Mas Alfian, Mas Alfian kecelakaan. Sekarang dia nggak sadar," jawab Nurmala dengan bibir bergetar."Astagfirullahal adzim." Ayu memegangi dadanya yang shock serasa tersambar petir, tubuhnya terkulai lemas. Nurmala dan Sarah dengan sigap menahan tubuh Ayu yang ambruk."Bi, Bibi, tolong ambilin air, Bi.
Alfian bangkit dari kursi, dan berjalan melewati Revan begitu saja. Disusul oleh Roy yang mengekor di belakangnya. Alfian bersikap biasa saja di hadapan Revan, seolah-olah tak mengetahui apapun. Sebisa mungkin ia menahan amarah yang sedang meletup-letup di hatinya. Dia tidak ingin Revan waspada karena Alfian telah mencurigainya dan merusak rencana dadakan yang sudah tersusun rapi di kepalanya."Al." langkah Alfian tercekat, kemudian berbalik lantaran menerima sapaan dari bekas sahabatnya."Kepalamu kenapa?" tanya Revan. Dia menatap Alfian dengan sinis sudut bibirnya mengembang mengejek Alfian ketika melihat perban yang menutupi luka di kepala Alfian."Hanya luka kecil," jawab Alfian datar."Itu azab karena sudah merusak rumah tangga orang." Revan benar-benar menguji kesabaran Alfian. Namun Alfian tetap bersikap tenang meski Revan berulang kali memancing emosinya."Keadilan yang sesungguhnya hanya milik Allah. Percayalah balasan itu pasti ada." Jawab Alfian kemudian berlalu pergi."Van
Revan membuka pintu ruang rawat Vanessa, ia terkejut ketika melihat Vanessa tidak lagi berada di ruangan yang biasanya. Ia panik, khawatir Vanessa sudah siuman dan akan membongkar seluruh rahasianya.Revan meninggalkan ruangan itu menuju resepsionis, dia menghentikan perawat yang berjalan melewatinya."Sus, pasien bernama Vanessa di pindahkan kemana?" tanya Revan dengan suara bergetar ketakutan."Oh, saya dengar pasien atas nama Vanessa sudah siuman dan keluarganya membawanya pulang.""APA?" pekik Revan. Jantungnya berdebar tak berirama. Perasaannya campur aduk. Dinginnya jeruji besi penjara sudah membayanginya. Revan sangat menyesal, harusnya ia lenyapkan saja Vanessa saat Toni dan Siska lengah."Apa ada yang mau ditanyakan lagi?" tanya perawat pada Revan yang masih termangu berperang sendiri dengan gejolak batin yang menerjangnya."Apa dia bisa bicara?""Iya, bisa.""Dipindah kemana dia sekarang?""Maaf, kalau itu saya kurang tahu.""Baiklah, terima kasih." Revan menjambak rambutnya
2 minggu sudah berlalu, Ashraf baru bisa keluar dari rumah sakit karena Alfian ingin kondisi putranya lebih optimal.Alfian mendorong kursi roda yang membawa Nurmala, sedangkan Ashraf terlelap di pangkuan istrinya. Dua bodyguard berjalan tidak jauh di belakang mereka.Lukman menjemput cucu dan menantunya di depan rumah sakit. Ayu mengambil alih cucunya. Alfian menuntun Nurmala masuk kedalam mobil."Sini biar Al, yang bawa Ashraf, Ma."Alfian hendak mengambil Ashraf tapi Ayu menjauhkannya."Mama, juga mau gendong cucu Mama.""Jangan, nanti Mama capek." Alfian tetap mengambil Ashraf dari gendongan Ayu, lalu membawanya masuk ke dalam mobil. Dengan berat hari Ayu mengalah pada Alfian."Nanti di rumah 'kan bisa gantian gendong Ashraf. Biarin aja, Alfian lagi senang-senangnya punya anak. Sama kayak Papa dulu." Lukman menghibur Ayu yang menghembuskan napas berat. Ia mengusap bahu istrinya dengan lembut, lalu menuntunnya masuk mobil.Sepanjang perjalanan suasana di dalam mobil terasa begitu
Setiap pagi, selalu saja ada drama antara Ashraf dan Alfian. Di halaman teras Balita yang sudah berusia 2 tahun itu menangis meraung-raung tiap Alfian akan berangkat ke kantor. Ashraf bergelayut di kaki Alfian, melarang Sang Papa untuk pergi meninggalkannya. Balita itu menyembunyikan wajahnya di kaki panjang Alfian, membuat celana yang tengah Alfian kenakan basah dengan ingus bercampur air mata. Nurmala berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Ashraf. Dia memberikan mainan mobil-mobilan pada putra kecilnya. "Ashraf main sama Mama dulu, ya. Papa mau kerja, cari uang buat beli mainannya Ashraf." Nurmala membujuk Ashraf dengan lembut, tapi sayangnya Ashraf tidak melunak dengan rayuannya. Dia tetap pada pendiriannya yang keras kepala, mirip seperti Alfian waktu kecil. Ashraf mengambil mainannya, lalu membuang mainan itu hingga terpelanting di lantai. "Loh, Ashraf jangan gitu, Nak. Nggak boleh, ya," tutur Nurmala dengan lembut. Nurmala mendongak melihat ekspresi Alfian yang tersenyum-se
“Nay,” Ardi memanggil Kanaya yang baru saja turun dari mobil yang terparkir di parkiran kampus. “Ada apa, Pak?” tanya Kanaya. Kanaya berpikir jika Ardi akan menanyakan alasan kenapa Kanaya pergi dari rumahnya.“Apa kamu udah tahu masalah Dimas?” tanya Ardi.Ardi ragu dengan kejujuran Lilis yang mengatakan jika dia sudah memberitahu Alfian tentang Dimas. “Masalah apa?” tanya Kanaya dengan kening berkerut. Apakah Dimas masih menyimpan banyak rahasia kelam.Ardi melangkah mendekati Kanaya untuk memberitahu Kanaya dengan suara pelan takut ada orang lain yang mendengar, tapi Kanaya malah mundur menjaga jarak dengan waspada sembari memalingkan wajah. “Dimas masuk penjara, Nay.”“Apa?” pekik Kanaya dengan mata terbelalak karena shock. Matanya langsung berkaca-kaca dengan perasaan tak karuan. Sebesar apa pun kebencian Kanaya terhadap Dimas, Kanaya tetap mengkhawatirkannya. “Kok, bisa?” tanya Kanaya dengan suara bergetar.“Dia kena kasus penyalahgunaan narkoba.”“Terus gimana keadaan dia
Dimas mulai membuka mata saat hari sudah gelap, entah sudah berapa lama Dimas tertidur. Yang pertama kali terbesit di kepala Dimas adalah Kanaya.“Kanaya” Dimas tersentak kaget ketika teringat kata-kata terakhir Kanaya yang ingin menggugat cerai dirinya, Dimas tak ingin kehilangan Kanaya. Ternyata kebersamaannya bersama Kanaya hanya angan-angan semata. Dimas buru-buru menyalakan mesin mobil, kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh saat keluar dari area gedung kosong, berharap cepat sampai tujuan dengan selamat dan menjelaskan segalanya pada Kanaya.Dalam waktu kurang dari 30 menit, mobil Dimas sudah memasuki halaman rumahnya. Dimas memarkir mobilnya sembarangan, kemudian berlari ke dalam rumah menuju kamarnya dengan was-was. “Kanaya.” Dimas memanggil istrinya sembari membuka pintu. Kamarnya kosong, ranjang pun masih tertata rapi. Dimas melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, tapi juga tidak menemukan Kanaya di sana.“Kanaya, di mana kamu?” Dimas berteriak dengan frustasi
Dimas pulang ke rumahnya dengan keadaan berantakan, sakau membuat tubuhnya sakit seperti dikuliti hidup-hidup. Dimas sangat marah saat melihat pintu ruang kerjanya tidak terkunci apalagi obat-obatan miliknya sudah tidak ada lagi di atas mejanya. Dimas pergi ke kamarnya dan mendapati Kanaya yang menatapnya dengan dingin.“Kamu yang membuka ruang kerjaku?” tanya Dimas sambil menatap Kanaya dengan matanya yang merah.“Ya,” jawab Kanaya singkat.“Di mana obatku?” Dimas segera menghampiri Kanaya dengan hembusan napas yang terengah-engah.“Sudah kubuang.”“Apa?” Dimas menatap Kanaya dengan tatapan dingin, ia berusaha menahan diri agar tidak mengamuk pada wanita yang sangat dicintainya. “Kenapa kau buang?”“Punya hubungan apa kamu dengan Sonya?” tanya Kanaya dengan nada tegas.“Nggak ada,” jawab Dimas dengan nada ketus.“Jangan bohong kamu, Dimas. Aku sudah baca wa kamu.”Dimas mengambil hp-nya yang ada di atas meja, kemudian menghubungi seseorang tanpa mempedulikan tuduhan Kanaya. Saat ini
Pagi hari pun tiba, Kanaya mencemaskan Dimas yang meringkuk di ranjang. Akhir-akhir ini Dimas berubah aneh, pria itu sangat pucat dengan tubuh menggigil seperti orang kedinginan.“Kamu kenapa?” tanya Kanaya dengan khawatir sembari memeriksa kening Dimas.“Nggak apa-apa,” jawab Dimas dengan suara parau.“Nggak apa-apa gimana, wajah kamu pucat begini. Aku panggilin Dokter, ya!”“Nggak usah, aku nggak sakit.”“Badan kamu dingin banget, aku panggilin Dokter, ya! Kalau dibiarin takut tambah parah.”“Kamu nggak ngerti, Nay. Aku nggak sakit!” bentak Dimas karena merasa sakit oleh sentuhan ringan Kanaya.Kanaya terkejut sekaligus kecewa dengan perubahan sikap Dimas yang kasar. “Bisa nggak ngomongnya biasa aja, nggak usah kasar gitu,” keluh Kanaya dengan nada pelan berusaha menahan segala emosi di hatinya.“Mau kamu apa, Nay! Aku udah mau berubah, tapi nggak bisa, sulit.”“Maksud kamu apa? Aku nggak ngerti.” tanya Kanaya dengan bingung. Bukannya menjawab pertanyaan Kanaya, Dimas malah turun d
Dimas menjadi imam dalam sholat, sedangkan Kanaya yang menjadi makmumnya. Selesai sholat, Dimas dan Kanaya sama-sama berdzikir meminta kebaikan dunia akhirat dan pengampunan dosa.Kanaya terkesima dan tidak percaya Dimas begitu fasih melantunkan bacaan sholat dan dzikir. Waktu kecil Dimas pernah mengaji dan ketika tumbuh dewasa, Andra memasukkan Dimas ke pesantren meski hanya 3 bulan, setelah itu Dimas kabur. Setidaknya, Dimas masih memiliki bekal ilmu agama.Dimas merasa terharu melihat Kanaya tiba-tiba mencium tangannya, ia pun menghadiahi kening Kanaya dengan kecupan yang cukup lama, kemudian memeluk Kanaya dengan erat hingga Kanaya merasa sesak.“Jangan pernah tinggalin aku, Nay!”“Asal kamu baik, aku nggak akan ninggalin kamu. Sekarang bisa lepasin aku, kamu meluknya kekencengan bikin aku susah napas!” Keluh Kanaya sembari menepuk-nepuk punggung Dimas.Dimas terkekeh, kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Kanaya. Ia masih ingin bermanja-manja dengan istrinya untuk mengalihkan
Kanaya tidur dengan nyenyak sambil memeluk guling yang terasa hangat. Guling yang ia peluk terasa sangat nyaman membuat Kanaya enggan untuk bangun dari tidurnya. Kanaya masih ingin bermalas-malasan di ranjangnya.Namun ada yang aneh, guling yang Kanaya peluk tiba-tiba bergerak. Sontak saja Kanaya membuka mata dan mendapati wajahnya bergumul di dada suaminya. Rupanya Kanaya sedang memeluk Dimas, bukan memeluk guling.Kanaya beringsut mundur, dilihatnya jarum jam beker di atas meja menunjuk pada angka 04.00 WIB. Kanaya teringat dengan nasehat Rindu, seperti apa pun sifat Dimas, Kanaya tetap harus menjalankan tugasnya sebagai seorang istri."Mas, bangun, bangun, bangun." Kanaya menusuk-nusuk lengan Dimas dengan jari telunjuknya.Dimas menggeliat, kemudian menyipitkan matanya memandang wanita yang sudah mengganggu tidurnya."Ada apa?" tanya Dimas dengan suara parau."Sebentar lagi adzan subuh, kamu nggak mau sholat?""Nggak," tolak Dimas."Kenapa nggak mau sholat?" tanya Kanaya dengan ken
Rindu membuka dari mobil karena tidak nyaman menunggu di dalam mobil yang terparkir di depan rumah sakit. Ia dan keluarganya menunggu jenazah Andra dikeluarkan dari ruang jenazah."Mau kemana kamu?" tanya Ashraf ketika melihat Rindu keluar dari mobil."Nggak enak di mobil, aku nunggu di luar aja pengen hirup udara luar." Rindu turun dari mobil, kemudian duduk di bawah pohon rindang. Ashraf pun turut keluar dari mobil menemani istrinya.“Masih lama nggak ‘sih?”“Nggak tahu, mungkin sebentar lagi jenazahnya udah bisa keluar.”“Nggak nyangka ya, Kak. Rasanya baru kemarin ketemu sama Om Andra, eh sekarang dia udah nggak ada.”“Umur manusia nggak ada yang tahu, Sayang. Makanya, kita jangan terlena dengan nikmatnya dunia karena hanya amal kita yang akan dibawa sampai ke alam kubur.”“He’em.” Rindu menyandarkan kepalanya ke bahu kokoh sang suami yang terasa sangat nyaman.***Kanaya memperhatikan Alfian yang duduk bersandar di sandaran mobil. Gurat kesedihan tergambar jelas di wajah Alfian.
Dimas mengambil kontak mobil dan Hp-nya di atas meja dan segera pergi dengan langkah tergesa-gesa tanpa melihat ke arah Kanaya yang sangat terluka dan terpukul karena perbuatannya. Kanaya meringkuk di sudut ranjang sambil menangis mengamati punggung Dimas yang kian menjauh.Setelah meniduri Kanaya, Dimas mencampakkannya begitu saja seperti malam itu. Kanaya merasa jika Dimas hanya mempermainkannya saja dan memperlakukan dirinya bagai wanita penghibur yang setelah dipakai dicampakkan begitu saja.*** “Dimas mana?” tanya Andra pada Kanaya ketika tidak melihat Dimas ikut sarapan di meja makan.“Nggak tahu, Pa.” Jawab Kanaya dengan lesu, ia bersyukur tidak melihat wajah Dimas lagi setelah pria itu berhasil menidurinya semalam. Dimas benar-benar menguras tenaga dan emosi Kanaya, hingga paginya Kanaya merasa sangat lapar dan tidak bersemangat.“Anak itu tetap saja nggak berubah.” Andra menghela napas berat melihat kelakuan Dimas yang tidak berubah meski sudah menikah. “Papa harap kamu mau
Kanaya duduk di kursi dekat kolam renang untuk menenangkan t, sebab berada di dalam kamar hanya membuat Kanaya semakin larut dalam kesedihan. Ia ingin menghapus nama Ardi yang masih melekat di hatinya dan membuatnya merasa nelangsa. Kanaya ingin memberi Dimas kesempatan untuk membuka lembaran baru dalam rumah tangganya, karena sadar menyesali pernikahan tidak akan ada gunanya. Kanaya merasa Dimas tidak seburuk yang dia pikirkan, mungkin jika Kanaya bersikap baik, Dimas akan berubah menjadi suami yang baik juga.“Aku biasa duduk di sini setiap punya banyak masalah.”Kanaya mendongak saat mendengar suara yang tidak asing di telinga menyapanya. Manik matanya langsung beradu dengan tatapan mata Ardi yang sendu. Kanaya langsung bangkit dari kursinya hendak pergi dari tempatnya duduknya, tapi Ardi malah menghadang jalannya.“Pak, jangan halangi jalanku. Aku takut ada yang salah paham kalau kita berduaan di sini.” Kanaya semakin gelisah melihat sikap Ardi yang mulai berani.“Di sudut sana