"Bu, pintunya dikunci." Citra yang hendak masuk ke kamar Kak Nada, mengalami kesulitan karena ternyata Kak Nada mengunci pintu kamarnya."Akan aku cari kunci cadangannya," kataku lalu pergi.Sepertinya Kak Nada memang menyembunyikan sesuatu di dalam kamarnya. Itu sebabnya ia sampai mengunci kamar itu, agar tidak ada satu orang pun yang masuk ke sana.Namun, sayangnya ini adalah rumahku. Aku memiliki kunci cadangan untuk bisa masuk ke dalam sana.Setelah menemukan kunci cadangan, aku segera membawa dan memberikannya kepada Citra. Pintu berhasil terbuka, aku dan Citra pun masuk ke dalam sana.Wangi parfum menguar memenuhi ruangan ini saat pertama menginjakkan kaki. Penampakan di dalam kamar ini pun tidak serapi sebelumya. Beberapa helai pakaian Kak Nada teronggok di lantai. Juga lemari pakaian yang tidak tertutup rapat.Sepertinya tadi pagi ia bangun kesiangan, hingga tak sempat merapikan kamarnya.Kedatangan Kak Nada ke rumahku sebagai pelarian karena katanya akan dijodohkan, itu hanya
"Uang yang kamu berikan pada Ibu, diambil Tuti.""Astaghfirullah, semuanya?" Bu Mina mengangguk.Keterlaluan Mama Tuti. Padahal tadi aku sudah memberikan dia uang, jauh lebih banyak dari yang aku berikan pada Bu Mina. Benar-benar serakah."Kenapa Ibu, gak lawan?" ujarku merasa jengkel."Ibu malu, jika harus ribut di tempat umum. Biarkan saja, mungkin Tuti memang lebih membutuhkan daripada, Ibu."Ya Allah, sabar sekali Bu Mina ini. Tega sekali Mama Tuti. Sudahlah dia mengambil hak Bu Mina sejak dulu, kini pun dia masih saja menginginkan rejeki yang didapatkan adiknya ini."Oh, iya, Nak. Ibu tadi beli ini untukmu." Bu Mina mengambil kantong keresek hitam yang ia bawa tadi. Ia membukanya dan mengeluarkan isi dari dalamnya."Memang tidak mahal, tapi uang yang Ibu pakai, uang halal. Ini Ibu beli dari tabungan Ibu, yang sengaja Ibu simpan," tuturnya seraya memberikannya padaku.Aku tertegun melihat apa yang Ibu berikan padaku. Satu set pakaian bayi lengkap dengan topi dan kaus kakinya. "
Lima belas menit setelah kepergian Mas Rama, aku mulai membuka mata. Bangun dari pembaringan dan mengambil ponsel yang sedari tadi bergetar."Bu, saya lihat, tadi Bapak masuk ke kamar bawah." "Ok, sekarang aku ke sana."Aku mematikan sambungan telepon dan keluar dari kamar setelah mendengar laporan dari Citra.Aku melihat ke lantai bawah, memastikan memang tidak ada Mas Rama di sana. Dan ternyata benar, semua ruangan di lantai bawah sudah gelap. Itu artinya, tidak ada siapa-siapa, semua penghuni rumah sudah berada di kamarnya masing-masing."Di mana laptop-nya?" tanyaku setelah berada di kamar Raka.Citra mengambil laptop dari dalam lemari pakaian. Aku memang menyuruhnya untuk menyembunyikan itu, agar tidak ada yang mencurigainya.Aku membuka laptop, menyalakan layarnya untuk melihat apa yang terjadi di kamar Kak Nada. Aku juga sudah memakai headset untuk mendengarkan percakapan mereka.Benar, Mas Rama memang berada di kamar Kak Nada. Dari layar laptop, aku bisa melihat jika suamiku
"Mama, kok ke sini?" Dari tangga, aku bisa mendengar Kak Nada yang bertanya pada seorang wanita yang tak lain adalah Mama Safira—mamaku. Lebih tepatnya Mama kita. Aku dan Kak Nada.Tadi malam, aku memang meminta Mama untuk menginap di sini untuk membantuku mempersiapkan acara akikah Raka. Plus, untuk membuat Kak Nada dan Mas Rama tidak bisa melakukan perbuatan haramnya di rumahku lagi."Aku yang undang, Kak. Aku minta Mama, untuk bantuin aku dalam mempersiapkan acara besok lusa," kataku seraya mendekati dan mencium tangan wanita yang telah melahirkanku itu."Kan, masih lusa, Mel, kenapa Mama ke sini sekarang? Lagian, kamu itu udik banget, sih, 'kan bisa bayar orang buat bikin acara akikah Raka, bukan malah memperkerjakan orang tua. Dosa!" semprot Kak Nada padaku."Tahu apa Kakak tentang dosa, kalau perbuatan Kakak dengan suamiku saja sudah lebih dari dosa!" Ingin sekali mengatakan kata itu, tapi sayangnya itu masih dalam anganku saja. Aku tidak mau merusak rencana yang sudah aku susu
"Bukan, itu bukan apa-apa, Mam." Dengan cepat, Kak Nada bangun dan memungut bungkus ko**om yang sempat keluar dari dalam keresek hitam."Itu seperti bungkus—""Permen, Mah." Mas Rama memotong ucapan Mama dengan segera.Kompaknya mereka.Mama yang percaya dengan ucapan menantunya, menganggukkan kepala seraya masuk ke dalam kamar Kak Nada. Sedangkan Kak Nada, buru-buru pergi ke luar untuk membuang sampah. Setelahnya, ia ke belakang mencuci seprai yang sedari tadi ia bawa."Ram, kita berangkat sekarang, yuk. Aku ingin sarapan di luar saja."Saat aku baru saja duduk di meja makan bersama Mas Rama, Kak Nada datang untuk mengajak suamiku berangkat ke kantor bersama. "Aku ... gak ke kantor sekarang, Kak." Mas Rama menjawab dengan melirikku."Kenapa?" tanya Kak Nada."Aku yang nyuruh Mas Rama untuk libur sampai selesai aqiqah Raka, Kak." Aku berucap, tanpa ingin melihat wajah kakakku."Loh, kok gitu, sih? Kenapa kamu gak bilang dari semalam, Ram?" "Melodi baru bilang tadi subuh, Kak." Mas R
Hari yang ditunggu pun sebentar lagi akan tiba. Semua persiapan untuk aqiqah sudah terselesaikan.Semua keluargaku sudah berkumpul. Kak Naura dan Mas Adam sudah tiba di rumahku sejak kemarin sore.Begitupun dengan Papa. Ia rela meluangkan waktu untuk menghadiri aqiqah cucu ketiganya. Di depan cermin, aku berdiri dengan merapikan pashminaku. Kuraba dadaku yang berdetak selalu cepat. Ada rasa takut, dan cemas yang aku rasakan saat ini. Ini adalah hari di mana aku akan membongkar semua kebohongan Mas Rama.Kebohongan dia tentang Ibu kandungnya, juga kebohongan dia yang sudah berani bermain api dengan Kakakku sendiri.Kupejamkan mata seraya menarik napas dalam-dalam. Mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan. Kenyataan pahit yang sebentar lagi akan hinggap dalam kehidupanku. Yaitu, perpisahan dengan suamiku.Teramat sesak dadaku kala harus membayangkan adanya perceraian. Tapi aku pun tidak sanggup jika harus mempertahankan mahligai yang telah ternodai."Mel, sudah ditunggu di bawah
BRAKK!!Mas Adam menendang pintu kamar dengan sekuat tenaga. Aku langsung memberikan perintah kepada Citra untuk membawa anak-anak pergi ke taman komplek bersama pengasuh si kembar. Di sana ada kolam ikan yang pastinya akan membuat Azzam dan Azzura anteng bermain. Drama ini akan lama, aku tidak ingin pikiran kedua keponakanku tercemar."RAMA!""NADA!"Mama Tuti dan Mama Fira berseru bersamaan.Ingin melihat apa yang sedang mereka lihat, aku pun naik ke atas dan dugaanku tidak salah.Mas Rama dan Kak Nada berada dalam satu selimut dengan tidak memakai busana. Polos, seperti bayi baru lahir.Wajah keduanya begitu pias, Kak Nada menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Hal yang sama pun dilakukan Mas Rama suamiku."Kurang ajar, kalian hah!"Tubuh Mama merosot seiring dengan Isak tangis yang begitu memilukan.Sakit, pasti hancur hati Mama, melihat anak gadisnya tidur dengan pria, tanpa adanya ikatan pernikahan."Dasar binatang! Pakai pakaian kalian, kita tunggu di bawah!" ujar Papa dengan
Semuanya tercengang melihat adegan panas suamiku dan Kak Nada di sana. "Ini yang kamu katakan baru sekali, Mas? Sekali di kamarku, tapi berulang kali di kamar lain. Termasuk, di sini." Aku memindahkan dari video mereka yang sedang di kamar Kak Nada, menjadi video mereka yang sedang berada di kamar hotel."Ka—kamu dapat itu dari mana, Mel?" tanya Mas Rama memandangku lekat."Jangan tanya dari mana, Mas. Yang jelas, aku sudah tahu dari kemarin-kemarin tentang perselingkuhanmu itu," tuturku.Mas Rama mengusap wajahnya kasar. Sedangkan Kak Nada hanya diam menunduk bak kesakitan yang tengah diadili. Tidak ada yang bisa mereka sangkal lagi. Semuanya sudah jelas dan terbukti."Dasar kurang ajar!" Mas Adam mendekati Mas Rama hendak memukulnya lagi, namun tangannya di pegang Papa, seraya menggelengkan kepala memberikan isyarat pada putranya itu."Maafkan aku, Mel. Aku menyesal, aku khilaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku akan setia padamu, Mel," ujar Mas Rama mengiba padaku."Sudah ter
POV RamaTeruntuk Rama, putraku.Anakku, disaat kamu tengah membaca goresan pena ini, mungkin Ibu sudah tidak ada lagi di dunia ini. Tidak banyak yang ingin Ibu sampaikan padamu, selain kata maaf yang tak sempat terucap dari bibir ini.Maafkan ibumu ini, yang melewatkan masa-masa kecilmu. Maafkan ibumu ini, yang tidak memiliki waktu untukmu di masa dulu.Rama ... jika nanti kamu keluar dari lapas, pulanglah ke Cianjur. Ibu menyimpan sesuatu untukmu. Namun, jangan pernah kamu beritahu Tuti. Datanglah sendiri dan cari sendiri apa yang Ibu tuliskan di sini.Nak, pulanglah ke rumah kita di Cianjur. Di belakang rumah, tepatnya di bawah pohon nangka, Ibu mengubur sesuatu untukmu. Dan kunci yang ada dalam kotak itu, itu kunci untuk membuka kotak yang Ibu kubur di sana.Ingat, Rama. Datanglah seorang diri. Jangan datang bersama Tuti. Dari wanita yang telah melahirkanmu.Rumina*Kupandangi surat terakhir dari Ibu dan kotak yang telah berhasil aku keluarkan dari dalam tanah.Enam tahun sudah
Sesuai dengan keinginan Kak Arga dan Mama Melani, akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di rumah Kak Arga.Awalnya, aku keberatan dan ingin tetap tinggal di rumahku sendiri. Namun, aku teringat pada Mama Melani. Jika aku dan Kak Arga tinggal di rumahku, maka Mama Melani akan tinggal seorang diri di sini. Dan hanya akan ditemani asisten rumah tangga saja.Hari ini rencananya aku akan pergi ke rumah Mama, untuk memberitahukan kepindahanku yang tidak direncanakan dari awal. "Sudah siap?" tanya Kak Arga."Hmm." Aku menjawab hanya dengan gumaman."Jangan cemberut kalau menjawab pertanyaan dari suami. Nanti kualat.""Gak akan," kataku seraya berjalan mendahuluinya.Saat akan keluar, tiba-tiba langkahku terhenti saat tali tas milikku di tarik dari belakang. Aku memutar bola mata dengan malas. Ini pasti kerjaan Kak Arga. Dia pasti tidak terima dengan jawabanku yang cuek padanya."Lepas, Kak. Gak usah jail," kataku dengan menarik-narik tasku. Tapi sayangnya masih dipegang Kak Arga.Dari belak
"Sah.""Sah."Dua orang saksi berucap bersamaan. Rasanya aku sedang melayang tinggi hingga sulit untukku kembali menginjakkan kaki di bumi. Aku tidak menyangka, jika kedatanganku ke rumah sakit, bukan hanya untuk menjenguk orang sakit, melainkan untuk menjadi seorang pengantin.Pengantin? Ah, pengantin terpaksa.Segurat senyum terukir dari bibir pria yang tengah terbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Matanya melihatku dan anaknya bergantian. Dengan tangan yang bergetar, ia memcoba meraih tanganku yang berada di sampingnya."Te, teri ma, ka sih, Mel." Meski terputus-putus, aku masih mendengar dan paham dengan kata yang Om Tio ucapkan. Om Tio berterima kasih padaku, karena aku telah bersedia menikah dengan putra semata wayangnya. Siapa lagi kalau bukan, Kak Arga.Ya, sekarang aku menjadi istri dari seorang Arga Winata. Anak dari Satrio Winata.Entah mimpi apa aku malam tadi, hingga aku bisa menikah hari ini di rumah sakit. ***"Mama! di mana Raka, Ma?" Setelah sampai di rum
"Sudah, Mel, jangan nangis terus. Biarkan Bu Mina tenang dalam tidur panjangnya." Mama mengusap bahuku yang bergetar.Saat aku masuk ke ruang rawat Bu Mina tadi, dokter menyatakan kalau Bu Mina sudah meninggal dunia.Dari sana, aku tidak bisa membendung air mataku lagi. Hingga saat ini, kepergian Bu Mina masih seperti mimpi bagiku.Seandainya saja aku tidak keluar dari kamar Bu Mina, mungkin aku bisa menemani ia sampai akhir napasnya. Ada penyesalan besar yang tidak bisa aku ungkapan. Tentang pemintaan terakhir Ibu, yang tidak bisa terwujudkan. "Sudah beres, Dam?" tanya Mama pada putra sulungnya."Sudah, Mah. Sebentar lagi, kita akan membawa Bu Mina pulang." Mas Adam berkata seraya mengusap kepalaku.Saat Ibu dinyatakan meninggal, aku memang langsung menghubungi keluargaku. Tidak ada lagi yang dapat membantu Bu Mina di sini, selain keluargaku. Ibu tidak punya saudara atau kerabat di sini. Adapun Mama Tuti, tapi mana mungkin dia peduli pada Ibu."Ayo, Mel." Mama menggandeng tanganku
"Ibu haus?" Bu Mina yang terbaring lemah di atas tempat tidur mengangguk.Aku mengambilkan air minum dan membantunya untuk minum.Sudah satu minggu Bu Mina berada di rumah sakit. Setiap hari aku datang untuk menemani dan merawat wanita yang tubuhnya semakin ringkih ini. Mata sayunya semakin sendu. Tidak lagi nampak wajah ceria darinya. Senyum pun sudah tidak bisa kulihat lagi dari bibirnya."Mel, Ibu ingin bertemu Rama."Aku tertegun mendengar suara lemah Bu Mina yang ingin bertemu anaknya."Ibu, sembuh dulu, ya. Nanti kita jenguk Mas Rama," kataku.Bu Mina menggelengkan kepala. "Ibu takut tidak ada umur, jika harus menunggu sembuh, Mel. Bisakah sekarang, Ibu ke sana? Ibu sangat merindukan Rama, Mel." Jangankan untuk keluar dari rumah sakit, untuk makan pun Bu Mina sudah kesulitan. Hanya ada satu cara untuk mempertemukan Bu Mina dan Mas Rama. Yaitu dengan meminta ijin kepolisian untuk membawa Mas Rama ke sini. "Tidak bisa, Bu. Keadaan Ibu belum stabil. Akan Melodi usahakan, agar
"Bibirnya, Mel."Sesuai dengan arahan Kak Nada, aku memoles bibir pria yang tengah terlelap itu dengan lipstik warna merah menyala milik Mama."Sekarang pake ini." Aku mengacungkan eyeshadow dan kemudian mengaplikasikannya ke wajah orang yang sama.Sesuka hatiku, aku memoles wajah Kak Arga dengan tidak beraturan dan sangat menyeramkan.Biarkan saja. Siapa suruh dia mengejekku anak ingusan. "Sudah, Mel. Nanti dia bangun," ucap Kak Nada berbisik."Kagak akan bangun, Kak. Dia, kalau tidur suka kagak sadar," ucapku pasti."Ya iyalah, namanya tidur, memang gak sadar. Gimana, sih kamu?""Eh, iya, ya? Hihihi ...." Aku tertawa cekikikan dengan tangan yang terus bermain dengan alat make up yang sengaja aku ambil dari kamar Mama.Rasa kesalku pada orang ini akan terbayarkan dengan aku mengerjainya.Masa, cuma gara-gara aku minta dia jadi pacar aku, dia sampai mengataiku ingusan. Padahal ... ya, memang kadang ingusan. Tapi kadang-kadang."Beres!" ujarku senang."Astaga, Melodi. Apa yang kamu la
"Ya Allah, Rama ...."Bu Mina begitu sedih saat aku menceritakan bahwa Mas Rama putranya telah ditangkap polisi. Tubuh Bu Mina merosot. Pundak yang tadinya tegak, kini ia sandarkan ke sofa dengan wajah muramnya. Aku tahu perasaan Bu Mina. Ia pasti terpukul dan amat sedih mendengar anaknya dipenjara. Meskipun bibirnya berkata benci, tapi hati tidak bisa membohongi, jika kasih sayang seorang ibu kepada anaknya tidak akan lekang dan pupus hingga akhir hayatnya.Sudah seminggu Mas Rama mendekam di dalam jeruji besi. Tapi, aku baru mengatakan kepada Bu Mina sekarang. Dari kemarin, aku sudah ingin mengatakannya, tapi tidak tega, apalagi Bu Mina sedang dalam keadaan tidak sehat waktu itu."Maafkan, Mel, Bu. Ini mungkin membuat Ibu sangat sedih, tapi ....""Tidak, Mel. Tindakanmu sudah benar. Biarkan Rama mendapatkan balasan dari perbuatan jahatnya padamu. Ibu, tidak apa-apa." Bu Mina memaksakan tersenyum meski terlihat dipaksakan.Aku menghembuskan napas kasar. Melihat wajah Bu Mina seper
PEMBANTU BARUKU TERNYATA .... 24Mencintai orang yang salah akan berakhir dengan banyak masalah. Dan saat ini, aku tengah berada di posisi itu. Penyesalanku telah mengenal Mas Rama dan menjadikan dia pendamping hidup, adalah kesalahan terbesarku. Jika bisa, aku ingin memutar waktu ke masa di mana dia menyatakan perasaannya dulu. Akan aku tolak dia untuk jadi bagian hidupku. Namun, sayangnya semua hanya ada dalam angan. Semuanya sudah terlambat. Kini yang harus aku lakukan berjalan untuk keluar dari masalah yang Mas Rama buat.Setelah berpikir dengan kepala dingin, aku bisa menyimpulkan jika transaksi jual beli yang dilakukan Mas Rama dengan sepasang suami istri yang baru aku ketahui bernama Bu Dewi dan suaminya Pak Dery itu, ilegal. Tidak sah di mata hukum.Kenapa?Karena transaksi jual beli antara mereka tidak dilakukan di depan notaris. Dari Pak Dery, juga aku tahu jika ternyata Mas Rama baru mendapatkan sebagian uang yang mereka sepakati. Dan katanya, mereka akan membayar sisanya
Tebakanku meleset. Tadinya aku mengira yang datang adalah Kak Nada dan Mas Rama, tetapi ternyata bukan. Sepasang suami istri itu terlihat sudah berumur. Perkiraan, usianya sebaya dengan kedua orang tuaku."Maaf, Ibu dan Bapak ada perlu apa?" tanyaku setelah aku duduk bersama mereka.Bukannya langsung menjawab, mereka malah mengernyitkan dahi seraya saling bertatapan satu sama lain."Justru, kami yang harusnya bertanya kepada kamu. Kenapa kamu masih ada di rumah ini?"Kini aku yang bingung dengan pertanyaan wanita paruh baya itu."Maksudnya Ibu, apa, ya? Ini memang rumah saya, dan sudah seharusnya saya berada di sini," kataku masih setenang mungkin."Jadi benar yang dikatakan suaminya, Pah." Wanita itu berkata dengan melihat pada suaminya itu.Aku semakin bingung dan tidak mengerti dengan situasi ini. "Ada apa sebenarnya, Pak, Bu? Coba dijelaskan apa maksud kedatangan Bapak dan Ibu datang ke rumah saya dan apa maksud perkataan Ibu, barusan?" tanyaku."Jadi begini, rumah ini sudah kami