Olivia menepuk pundak Anton, tidak ada gunanya lagi main otot disini. Semua telah terjadi dan tak ada yang bisa di lakukan kecuali mencari jalan lain.
Anton merapikan jasnya dan melangkah pergi disusul oleh Olivia di belakang, terdengar sorakan bahagia di belakang. Namun dirinya tak merespon, dia janji pada dirinya sendiri akan merebut semuanya kembali. Walau entah bagaimanapun caranya. Olivia dan Anton naik ke dalam mobil dan melaju menjauhi area hotel berbintang yang paling megah di kota tersebut. Di sepanjang perjalanan air mata Olivia tak berhenti mengalir, dia tak menyangka orang yang dia pikir bisa menjadi sandaran hidup malah berbalik menyerangnya. Bahkan dengan tega menguras semua hartanya hingga habis tak tersisa, ingin sekali dia meluapkan semua. Pedih, amarah dan sakit hati yang mendalam. Akan tetapi ini semua salahnya sendiri. "Nyonya mau kemana?" tanya Anton menatap gadis di sampingnya, tampak wajah putus asa yang tergambar di wajah cantiknya. Tak ad jawaban, hanya embusan napas panjang yang keluar dari bibir mungilnya. Dia tak tau harus kemana, tak ada tempat yang dapat di tuju saat ini. "Baiklah kita bisa ke rumahku, istriku sangat merindukan Nyonya," ucap Anton yang tak mau menyinggung perasaan orang di sampingnya. Dia akui orang ini memiliki tingkat gengsian yang tinggi, di tambah egois dan angkuh. Namun dia merupakan orang yang paling berjasa dalam hidupnya. Itulah sebabnya dia masih setia ada disampingnya meskipun kondisinya sudah seperti ini. "Terima kasih Paman, aku tidak tau lagi harus kemana," Olivia menatap langit biru dengan mata nanar. Dia tidak tau akan menjadi bagaimana kehidupannya mendatang, otaknya masih terlalu buntu untuk memikirkan segala macam rencana seperti biasanya. Biasanya otaknya akan bekerja dengan baik dan menciptakan ide luar biasa, tetapi hatinya mendominasi saat ini, menyebabkan semua terasa lebih rumit. Pasrah, mungkin hanya itu satu kata yang tepat untuk menggambarkan semuanya. Mobil membawa mereka kesebuah jalanan ramai lancar di ibu kota, banyak kendaraan mewah yang menyalip mobilnya. Lampu hijau berganti merah, perlahan mobil yang di Olivia berhenti. Tangisnya mulai reda walaupun matanya masih terlihat sembab. Keramaian ibu kota dengan kesibukan yang padat membuat telinganya cukup bising, terdengar suara petikan gitar yang mengusiknya. Pandangannya segera tertuju pada asal suara. Tampak sepasang anak kecil yang menyanyikan lagu populer saat ini, umur keduanya tidak jauh berbeda. Sepertinya mereka adalah saudara. Anton tak mau Nyonya nya terganggu, dia segera mengambil uang receh dan menyuruh pengamen kecil itu pergi. Sepasang anak kecil itu pergi setelah mendapatkan uang receh, tak lupa mereka melempar senyum ramah sebagai tanda terima kasih. "Sepertinya sudah saatnya aku berjuang Paman," celetuk Olivia. Matanya masih menatap lekat kedua punggung kecil yang perlahan menjauh. Anton tersenyum kecil, nampaknya bukan hanya pengaruh buruk tetapi ada baiknya orang ini sakit hati. Setidaknya jiwa sosialnya mulai tumbuh. Dia masih ingat apa julukan orang yang dia pakai untuk menyebut pengamen 'Madesu' Masa Depan Suram, dan melempar pandangan jijik. Saat ini dia baru sadar kalau sebagian orang memang tak memiliki nasib yang sama sepertinya dan membutuhkan perjuangan. Bukankah setiap orang memiliki nasib berbeda? "Kenapa? Nyonya mau ikut ngamen," kekeh Anton memecah keheningan, dia tak mau Olivia larut terlalu dalam dengan masalah ini. "Kalau itu memang di perlukan, aku pasti akan melakukannya." jawab Olivia datar. "Kita pikirkan caranya nanti malam, Nyonya tidak perlu khawatir." ucap Anton sambil melajukan mobilnya melewati jalanan yang cukup ramai. Mobil melaju membawa keduanya sebuah tempat dengan rumah yang berjajar rapi, seorang satpam menyambut kedatangan mobil Anton dan melempar senyum hangat. Mata Olivia menyapu lingkungan barunya, banyak rumah mewah yang berjejer rapi. Tak ada seorangpun di luar, hanya beberapa asisten rumah tangga yang membersihkan halaman rumah. Meskipun rumah-rumah ini tk seluas rumahnya, tetapi kawasan ini cukup tenang dan asri. "Paman tinggal di sini?" Olivia tak percaya, bukankah gaji yang di keluarkan untuk menyewanya cukup mahal. Seharusnya di bis memiliki hunian yang lebih dari pada ini bukan? Anton tersenyum ramah, dia tau apa yang ada di pikiran Nyonya, "Ada banyak hal yang perlu Nyonya pelajari dalam hidup ini, tidak semua kemewahan bisa menjamin kehidupan yang damai." jawab Anton, matanya masih fokus menatap kedepan. Tak terasa mobil mereka berhenti di depan rumah minimalis, hanya terdapat sebuah parkiran yang cukup untuk satu mobil. Disampingnya terdapat taman kecil, banyak bunga warna-warni yang di tata rapi. Anton segera turun dan membukakan pintu untuk Olivia, hal ini membuatnya terharu. Meskipun dia sudah jatuh miskin, tetapi pria paruh baya ini masih memperlakukannya dengan sangat baik. Seorang wanita paruh baya segera membuka pintu, dia segera menyambut kedatangan Anton dengan pelukan hangat dan di balas dengan kecupan lembut di kening wanita tersebut. Ada sedikit perih yang dia rasakan, dulunya dia dan Kenzo selalu melakukan hal yang sama. Seolah itu memang sebuah keharusan, tetapi semuanya hilang. "Nyonya Olivia, lama tak berjumpa ..." ucap Fika memeluk hangat Olivia. Olivia merasa tak enak hati, kini dirinya hanya orang miskin dan tidak seharusnya mendapat panggilan terhormat seperti ini. "Paman, Bibi. Panggil aku Olivia saja, aku ..." Olivia menundukkan kepalanya. "Nyonya adalah tamu kami, sudah seharusnya kami memperlakukan Anda seperti ini. Say sudah menyiapkan tempat untuk Anda bermalam, mari masuk," ucap Fika mempersilahkan Olivia untuk masuk. Dengan langkah ragu Olivia memasuki rumah minimalis tersebut, tampak beberapa anak kecil yang sedang bermain di ruang tamu. Melihat kedatangan Olivia mereka segera bersorak gembira, dia berhamburan memeluknya. "Kak Olivia," sapa kedua anak dan berhamburan memeluknya. Olivia menekuk lututnya dan membentangkan kedua tangannya, seolah menyambut malaikat kecil yang sudah lam di rindukan. "Kalian sudah besar, Kakak kangen banget." ucap Olivia terharu. Terakhir dia bertemu dengan mereka saat usianya masih sekitar dua tahun, karena dia memilih kuliah di luar negeri jadi mereka terpisah. Kedekatan mereka bermula saat Fika yang selalu membawakan makan siang Anton ke kantor dan selalu mengajak kedua buah hatinya ini. "Biarin Kak Olivia istirahat dulu, nanti main lagi," ucap Fika mengelus pucuk rambut kedua anaknya Mereka menggunakan kepala dan segera membereskan mainan yang berserakan di ruang tamu, setelahnya Anton dan Olivia duduk di sofa. "Jangan memikirkan masalah dulu, Nyonya boleh tinggal disini selama yang Anda mau," ucap Anton. "Tidak usah repot-repot Paman, aku segera mencari cara untuk merebut semuanya kembali," Olivia mengeratkan giginya. "Saya memiliki sebuah saran, tapi Saya tidak tau Nyonya akan setuju atau tidak," Anton melempar tatapan tajam ke Olivia. "Apapun akan ku lakukan Paman," Olivia penuh keyakinan. "Dekati Presidir Nicholas, maka semuanya akan lebih mudah,"Hari yang di nanti tiba, kini saatnya Olivia memulai hidup barunya. Tidak ada waktu lagi untuk bersedih, dia harus segera menuntaskan dendamnya secepatnya.Targetnya adalah Nicholas Ganesha, seorang pengusaha muda dengan banyak usaha guritanya. Dia juga mendengar kabar kalau pria itu suka dengan dunia malam.Bila dunia malam sudah melekat, itu berarti pria itu sangat mudah di taklukkan. Olivia hanya perlu berpakaian kurang bahan dan sedikit ketat. Dia harus sedikit gila untuk menghadapi orang gila.Entah kenapa semua pria sama saja. Hanya memandang fisik dan paras. Semua akan bertekuk lutut.Kini Olivia sudah siap dengan rok span pendek sedikit ketat dan kemeja putih dengan balutan jas hitam. Rambutnya panjangnya sengaja dia gerai agar terlihat lebih menawan.Dia meraih map yang ada di hadapannya. Di dalamnya sudah terisi lengkap semua persyaratan untuk masuk ke perusahaan terbesar tempat Nicholas berada.Anton sudah menyiapkan segalanya. Dia sangat bersyukur masih ada orang yang tulu
Olivia sedang duduk di sofa, berulang kali dia mencengkram tas yang dia pangku. Semoga dia bisa melewati hari ini dengan sukses.Kata Anton, Nicholas adalah pria mata keranjang yang suka bermalam dengan banyak wanita. Dan pasti sekertarisnya itu sudah jadi korban ranjang. Meskipun tidak semua perusahaan seperti itu, namun isu miring tentang seorang sekertaris dan atasan berbeda gender yang bekerja sama akan mendapatkan stempel demikian.Olivia menarik napas panjang, berusaha untuk menenangkan hatinya yang mulai gusar. Akan jadi apa dirinya nanti di dalam.Dia juga mendengar dari beberapa karyawan yang berbisik. Kalau dirinya tidak akan selamat hari ini.Chelsea, sekertaris yang akan di gantikannya adalah sekertaris kesayangan Nicholas. Sudah bisa di prediksi bagaimana hubungan mereka.Kemudian dirinya datang merusak segalanya, astaga ... harusnya dia memiliki pendengaran buruk agar tidak mendengarkan berita simpang siur ini.Bukan malah lega dia telah memiliki jalan balas dendam, diri
Olivia duduk di tepi ranjang king size empuk. Saat ini dia berada di salah satu kamar hotel megah bintang lima. Jantungnya berdegup kencang.Meskipun sudah pernah melakukanya, tetap saja dia belum siap melakukannya lagi. Apalagi dia adalah orang baru yang baru saja dia temui tadi."Ayolah Olivia, semua akan baik-baik saja. Kau hanya perlu mengerang dan berbaring." Olivia terus menyemangati dirinya sendiri.Telapak tangannya basah karena cemas. Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Hanya menunggu beberapa detik lagi pasti pria itu akan datang.Terdengar suara langkah kaki dari luar. Perlahan pintu terbuka, seorang pria yang dia temui tadi datang dalam kondisi mabuk. Olivia masih terpaku, otaknya tidak bisa berpikir tentang apa yang harus di lakukan saat ini. Nich melangkah mendekat dan tersenyum remeh."Awas saja kau Chelsea, aku tidak akan pernah melepaskanmu bila wanita tidak bisa bermain di ranjang," ucap Nich duduk di sofa tepat berhadapan dengan Olivia."Apakah Chelsea tidak menje
Olivia baru saja membuka mata karena seberkas cahaya mentari pagi menyorot ke arahnya. Di saat yang bersamaan ponselnya berderingDengan malas dia meraih benda pipih yang berada tak jauh dari jangkauan. Matanya menyipit melihat siapa yang menghubunginya.Kepalanya masih terasa berat, belum lagi pangkal tubuhnya yang masih sakit akibat kejadian tadi malam. Namun matanya terbuka lebar saat telinganya mendengar suara berat di ujung sambungan."Berani-beraninya kau pergi tanpa pamit!" ucap Nich menahan amarah."Maaf Tuan Nich, semalam saya mabuk berat. Saya takut akan mengganggu istirahat Anda," jawab Olivia terbata."Apa kau tau apa hukuman bagi karyawan yang datang tidak tepat waktu?" ucap Nich mengintimidasi.Olivia segera melempar pandangan ke samping, melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul enam pagi. Masih jaug dari kata terlambat bukan?"Bukankah ini masih pagi?" keluh Olivia.Olivia menghela napas kasar saat Nich memutus sambungan sepihak. Wanita itu membanting ponselny
Olivia masih membatu. Dia tidak menyangka pagi ini akan di sambut kegilaan atasannya itu. Melepas baju? Ini tidak normal.Mata Olivia berkaca. Dulu dia keterlaluan pada semua bawahannya. Dia sadar hal tersebut. Tapi tidak segila ini. Ternyata benar mitos mengatakan kalau karma lebih kejam."Apa kau tuli!?" Bentak Nicholas membuat wanita yang berada di hadapannya terkejut."Maaf Tuan, tapi ..." Jawab Olivia dengan bibir bergetar.Matanya menyapu seluruh ruang. Dinding ruangan ini terbuat dari kaca yang di tutupi oleh kain tipis berwarna putih."Apa Chelsea tidak menjelaskan hal ini padamu? Bahwa kau harus siap setiap saat, jika aku ingin di layani. Tidak peduli di manapun itu." Nicholas bangkit dari kursinya dan melangkah mendekati Olivia.Kelinci malang yang terjebak di kandang singa. Begitulah nasib Olivia sekarang. Hanya menunggu ajalnya menjemput.Olivia mundur teratur saat Nicholas kian mendekat. Rasa sakit di pangkal tubuhnya belum sembuh sempurna. Akan amat menyakitkan jika haru
Dari kejauhan, Olivia bisa melihat jejeran orang memakai setelan jas formal yang sudah siap menyambut kedatangan NicholasJantungnya bergemuruh saat melihat dua orang yang amat dia benci berada di sana. Mereka berpenampilan mewah dan elegan. Olivia menarik napas dalam sebelum memutuskan untuk turun dari mobil.Wanita itu membuka pintu mobil dan mempersilahkan Tuannya turun. Nicholas turun dari mobil dan melangkah menuju pintu utama perusahaan tersebut.Dua orang berpenampilan elegan, Kenzo dan Angel. Pasangan yang berhasil merebut perusahaan Olivia dengan cara licik itu menatap kedatangan tamunya dengan mata membulat.Mereka tidak percaya wanita yang mereka buang dengan hina saat ini berani menampakkan diri di hadapannya."Selamat datang Tuan Nichlas," ucap Kenzo mengulukan tangannya. Namun tidak dengan sorot mata yang tertuju pada seorang wanita di belakang.Nicholas mengabaikan penyambutan Kenzo. Seperti yang di isukan, Dirinya tidak suka basa-basi dan manusia yang memiliki banyak t
Mobil yang membawa Nicholas dan Olivia berhenti di salah satu bar di pusat kota. Karena melewati tempat ini, Nicholas memilih untuk mampir sejenak.Karena Olivia berhasil menjadi sekertaris hebat pagi ini membuat Nicholas membebaskan dari tugas ranjangnya."Tuan yakin ingin makan di cafe ini?" Olivia tampak ragu dengan penampakan cafe di hadapannya."Jadi itu berarti kau mau aku memakanmu saja?" "Tidak Tuan, Baiklah aku akan memesan sesuatu untukmu." Olivia segera turun dari mobil dan masuk ke cafe itu.Wanita itu membuka pintu cafe yang terbuat dari kaca. Tidak ada yang menarik. Bahkan kelas karyawan biasa saja tidak akan memilih tempat ini untuk makan."Mau pesan apa Nona?" tanya salah satu pelayan.Pelayannya saja hanya memakai celemek, tida ada seragam bahkan hanya sebuah anggur merah untuk penyambutan tamu."Seperti biasa," sahut Pria yang baru saja masuk."Nich, sejak kapan kau memiliki waktu luang!?" kekeh pelayan yang segera berhamburan memeluk Nicholas.Mereka terlihat sanga
Seorang wanita dengan gaun elegan yang membalut lekukan tubuh indahnya melangkah memasuki sebuah resto mewah.Wanita itu duduk di bangku yang sudah di pesannya satu jam lalu. Di sana sudah ada seorang pria menantikan kedatangannya."Ada hal yang bisa saya bantu?" tanya pria postur tegap dan wajah yang di bingkai kumis tipis tertata rapi."Seperti biasa, ada tugas penting untukmu," ucap Angel melempar pandangan ke arah pria yang memakai kacamata hitam tersebut."Sepertinya sangat penting sampai Anda repot-repot meluangkan waktu untuk bertemu," ucap Pria bernama Maxim itu.Angel membuka tas dan mengeluarkan beberapa tumpukan kertas. Jemari lentiknya membuka kertas dari persatu dan menarik selembar foto."Habisi Dia, jangan sampai meninggalakan jejak," ucap Angel menyodorkan selembar foto yang menampakkan wajah cantik seorag wanita.Alis Max bertaut saat melihat gambar wanita di hadapannya. Memory di kepalanya mengingat sesuatu. Wajah cantik ini sepertinya tidak asing baginya.'Wanta it
Malam itu, Olivia duduk di ruang makan besar rumahnya, ditemani nyala lilin yang menerangi meja dengan cahaya hangat. Suasana di ruangan terasa begitu damai, namun ada sesuatu di matanya yang tampak tidak tenang. Di depannya, Dante sedang menuangkan anggur merah ke dalam gelas mereka berdua, senyumnya hangat seperti biasanya.“Sudah cukup lama sejak terakhir kali kita makan malam bersama,” kata Dante sambil menatap Olivia lembut.Olivia mengangguk, tersenyum kecil. “Ya, aku sibuk dengan Leon, dan kau dengan proyek besar itu.”Dante tertawa kecil. “Tapi malam ini tidak ada pekerjaan, tidak ada gangguan. Hanya kita berdua.”---Makan malam dimulai dengan hidangan pasta dan salad segar. Dante, seperti biasa, mulai bercerita tentang kegiatannya. Namun kali ini, dia lebih banyak membicarakan Leon—tentang betapa lucunya bocah itu saat mencoba berbicara dan berjalan.“Kau tahu,” kata Dante sambil menyuapkan makanan ke mulutnya, “Leon sepertinya punya bakat untuk jadi pemimpin. Dia punya tata
Nicholas duduk di sebuah kafe kecil di tengah kota pegunungan, menikmati secangkir kopi hitam sambil menatap jendela. Bisnis membawanya ke kota ini, tempat yang tidak pernah ia duga akan memutarbalikkan hidupnya. Dia mencoba menikmati momen tenang setelah serangkaian rapat panjang, tapi pikirannya terus melayang pada masa lalu—terutama pada Olivia.Di sudut lain kafe, seorang anak kecil berlari-lari membawa balon warna-warni, diikuti oleh suara lembut seorang wanita yang memanggilnya. “Leon, hati-hati! Jangan terlalu jauh!”Nicholas mengangkat pandangannya, menatap sekilas ke arah suara itu. Namun yang menarik perhatiannya bukan wanita itu, melainkan anak laki-laki kecil dengan rambut hitam dan mata cokelat pekat—mata yang sangat mirip dengannya.---Leon berlari ke arah meja Nicholas, balonnya tersangkut di kursi. Nicholas tersenyum kecil, membantu melepaskan balon itu."Balonmu hampir hilang, Nak," katanya sambil menyerahkannya kembali.Leon menatap Nicholas dengan mata besar dan po
Di sebuah rumah tersembunyi di pegunungan yang jauh dari hiruk-pikuk kota, Olivia terbaring di ranjang kayu besar dengan wajah yang pucat namun penuh tekad. Hari itu tiba lebih cepat dari yang dia bayangkan. Kontraksi yang semakin kuat membuat tubuhnya lelah, tetapi pikirannya hanya tertuju pada satu hal: anak yang sedang dia bawa ke dunia ini.Dante berdiri di luar kamar, gelisah dan cemas. Para tenaga medis yang dia datangkan dari kota terus keluar-masuk ruangan, memberikan laporan bahwa proses persalinan ini memerlukan waktu. Olivia tetap tenang, meski rasa sakit tak pernah berhenti.---Olivia menggenggam erat tepi tempat tidurnya, memejamkan mata untuk menahan nyeri yang datang dalam gelombang. Seorang dokter duduk di sisinya, membimbingnya dengan suara lembut. "Olivia, kau kuat. Tarik napas dalam, lalu dorong. Kau hampir sampai."Air mata membasahi pipinya, tetapi bukan hanya karena rasa sakit. Ada kebahagiaan yang perlahan tumbuh di hatinya. Setiap dorongan membawa dia lebih de
Jeritan kecil keluar dari bibir Olivia saat Angel menarik rambutnya dengan kasar, memaksanya duduk di kursi kayu yang dingin. Ruangan itu gelap dan curam hanya diterangi oleh lampu redup di langit-langit. Di sudut ruangan Max berdiri sampai tersenyum sinis melihat Angel yang tampak menikmati setiap momen."Setelah sekian lama, akhirnya kau ada di tanganku, Olivia. "ujar Angel dengan nada penuh kebencian. "Kau tahu berapa banyak yang telah kau rampas dariku? Aku akan memastikan kau menyesal."Olivia menatap Angel dengan penuh ketakutan, tetapi ia tidak menunjukkan kelemahan. "jika ini yang kau mau, lakukan saja titik tapi aku tidak pernah merebut apapun darimu." katanya dengan suara gemetar tetapi tetap tegas.Angel mendekat , melambaikan tangan untuk menampar Olivia. Tetapi tiba-tiba suara langkah kaki terdengar mendekat dari luar. Suara berat dari sepatu boot yang memenuhi lorong membuat semua orang terdiam.Max segera memberi isyarat kepada anak buahnya untuk bersiap. "siapapun itu,
Malam itu gelap dan sunyi, hanya suara angin dan desiran dedaunan yang terdengar di tengah hutan lebat. Rumah persembunyian Olivia yang biasanya aman. Kini menjadi target serangan berbahaya. Max dan Angel memimpin kelompok kecil bersenjata yang bergerak perlahan melalui bayangan pohon, memanfaatkan setiap celah dalam penjagaan ketat."Pastikan kalian tidak membuat suara, "bisik Max pada anak buahnya dia tahu bahwa satu langkah salah akan membawa kehancuran. Angel, di sisinya menatap rumah yang sama terlihat di kejauhan dengan mata penuh kebencian.Olivia sedang membaca buku di ruang tamu sambil meminum teh hangat. Perutnya yang semakin membesar membuatnya cepat lelah, tetapi ia berusaha tetap tenang. Dante telah memastikan semuanya aman, namun rasa cemas tetap menghantui hatinya.Tiba-tiba, seorang penjaga masuk ke ruangan dengan wajah tegang "Nona Olivia, kami mendeteksi gerakan mencurigakan di perimeter luar. Harap anda tetap di dalam."Jantung Olivia berdegup kencang. Dia tahu apa
Pagi itu, ruang rapat di salah satu gedung pencakar langit kota dipenuhi aura tegang. Nicholas Ganesha, CEO sekaligus mantan pemimpin dunia hitam, duduk di ujung meja panjang dengan sikap tenang namun berwibawa. Setelan jas hitamnya yang sempurna mempertegas wibawa yang memancar darinya. Tidak ada tanda-tanda pria yang mabuk dan meratapi masa lalu di bar beberapa malam lalu. Dante, yang juga hadir dalam rapat tersebut, memperhatikan perubahan total pada Nicholas. Di hadapannya kini berdiri sosok pria yang dingin dan tak tersentuh, jauh dari pria emosional yang ia temui di bar. "Jadi, Nicholas," kata salah satu peserta rapat, mencoba memulai diskusi, "bagaimana pendapat Anda tentang akuisisi ini?" Nicholas menganggukkan kepala dengan tenang, mengambil beberapa dokumen di hadapannya. Dengan nada datar namun tegas, ia berkata, "Angka-angka ini tidak sesuai dengan target kami. Jika kalian tidak bisa menyesuaikan margin keuntungan menjadi minimal 30 persen, maka kerja sama ini tidak a
Di sudut bar yang remang, seorang pria dengan hoodie gelap duduk diam, tampak menyatu dengan kegelapan. Matanya tajam mengamati Nicholas dan Dante yang tengah berbincang. Gelak tawa mereka bercampur dengan denting gelas dan suara musik yang menggema di ruangan. Pria itu tidak pernah melepaskan pandangannya, memperhatikan setiap gerakan, ekspresi, dan bahkan bisikan mereka.Tidak jauh darinya, seorang wanita dengan gaun merah dan riasan mencolok berpura-pura menikmati malam. Dia sesekali melirik ke arah pria itu, memberi tanda bahwa semuanya terkendali. Mereka bekerja sebagai satu tim, mengintai dalam senyap.Setelah beberapa jam, pria itu bangkit perlahan, menyembunyikan wajahnya di balik bayangan hoodie. Dia berjalan menuju pintu belakang bar, bertemu dengan wanita itu di lorong sempit. Tanpa banyak bicara, mereka meninggalkan tempat itu, menyelinap ke dalam kegelapan malam.Pria itu tiba di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota. Angel membuka pintu dengan ekspresi penuh rasa ingi
Lampu neon berwarna ungu dan biru menerangi suasana bar yang penuh dengan tawa, musik, dan kemewahan. Nicholas dan Dante duduk di area VIP, di sofa kulit hitam yang menghadap langsung ke lantai dansa. Di atas meja kaca, botol anggur merah premium telah terbuka, ditemani beberapa gelas kristal.Wanita-wanita cantik dengan gaun mini yang berkilauan berkumpul di sekitar mereka. Tawa menggema di udara, dan musik yang memekakkan telinga tampak seperti soundtrack sempurna untuk malam yang penuh kebebasan.Nicholas duduk dengan santai, segelas anggur merah di tangannya. Ia tampak menikmati suasana, meskipun matanya sering kali terlihat kosong ketika tidak ada yang memperhatikan. Wanita di sampingnya mencoba menggoda, membisikkan sesuatu di telinganya, tetapi Nicholas hanya tersenyum tipis, memberikan jawaban singkat tanpa benar-benar peduli.Dante memperhatikan itu dari sisi lain sofa. "Kau tampak seperti tidak benar-benar di sini," kata Dante sambil menyesap ang
Hari-hari berlalu dengan monoton di vila yang sepi dan jauh dari keramaian. Olivia mulai merasa nyaman dengan rutinitas barunya, meskipun rasa terasing dan terkurung masih menghantuinya. Setiap bulan, mobil pengiriman datang membawa kebutuhan Olivia, mulai dari makanan hingga perlengkapan bayi yang akan segera ia hadapi.Selain itu, seorang tenaga medis juga ditugaskan untuk memantau kesehatan Olivia dan bayi yang dikandungnya. Setiap dua minggu sekali, dokter dan perawat datang untuk memeriksa kondisi Olivia, memastikan semuanya berjalan lancar. Meskipun hal ini memberikan rasa aman, namun dalam hati Olivia, ada perasaan terjebak yang semakin membesar.Dante, yang selalu datang dengan senyum dan kata-kata menenangkan, berusaha menjaga segala sesuatunya tetap berjalan lancar. Setiap kali ada pengiriman atau kunjungan medis, ia memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, memastikan bahwa Olivia merasa nyaman dan aman. Namun, ia tidak bisa menyembunyikan kecemasannya setiap kali mobil