Kardus berisi seekor kucing yang tadi di letakkan di sudut teras rumahku, kini menghilang."Loh, tadi di sini loh, Mbak," sahut Mila setelah berada di sampingku.Kepalaku celingukan mencari ke sana sini, namun, tidak kutemukan jejaknya."Meaoo ...""Meaoo ..."Aku berlari kecil mendekati mila yang ada di teras saat aku mencari di samping rumah, telingaku mendengar suara kucing yang sedang mengeong."Mil, kamu dengar?""Meaoo ...""Meaoo ..."Terdengar jelas di telinga kalau kucing itu berada di dalam rumah Dareen, karena kosong dan besarnya rumah itu, suara kucing jantan itu menggema sampai ke luar."Mbak, kucingnya di rumah Mas Dareen," ucap Mila berbisik.Aku meraih lengan Mila, melangkah menuju rumah berjat biru langit yang kini sedang di renovasi.Aku dan Mila jalan mengendap-endap seperti pencuri yang akan masuk ke dalam rumahnya. Aku mencari celah di dinding yang bolong karena tirai jendela menghalangi pandanganku."Mil, iya, itu kucingnya," ucapku berbisik pada Mila ketika aku
"Ya sudah, tidur sama-sama saja di rumahku, Mbak. Kebetulan Devan lagi enggak di rumah.""Makasih, ya, Mbak," sahutnya dengan semringah.* * *Malam ini kami memutuskan untuk tidur di ruang keluarga. Tikar besar terbentang dari pintu ke pintu. Aku di ujung kanan dan Mila di ujung kiri. Aku mematikan televisi setelah semua tertidur lelap. Tanganku meraih gawai yang ada di meja televisi untuk mencari kabar Devan.[Mas, betah di sana, ya? Kok enggak kasih kabar?]Pesanku untuk Devan hanya centang satu. Aku memandang layar sambil menghela nafas panjang lalu kuletakkan kembali di meja televisi.Samar-samar aku mendengar suara kokokan ayam jantan, setelah membuka mata kulirik jam yang menempel di dinding menunjukkan pukul lima.Aku beranjak dan berlalu ke dapur. Langkahku di ikuti Mila dan ternyata Mila sudah membuka mata terlebih dahulu."Mbak, anteng aja malam ini?" Tanya Mila sambil membuka pintu kamar mandi."Iya, mungkin hantunya takut kalau kita rame," sahutku sambil membuka pintu be
"Wulan," ucap bibi."Enggak tahu, tadi sih katanya mau datang duluan," sahutku sambil tersenyum.Bibi menganggukkan kepala dan berlalu. Tak sengaja aku menatap Mila, kini wajahnya merah merona. Setelah kupandang ke belakangku, ternyata ada paman berdiri di sana."Hmm, pantes," gumamku.Mila mengerti dengan gumammanku, wanita muda itu menyenggol lenganku, "Apaan sih, Mbak," ucapnya sambil meringis."Wulan, makasih loh, ya," ucap bibi saat membuka bingkisan dari Mila."Iya, Bik, wong cuman sedikit kok," sahut Mila sambil ngunyah."Sedikit, tapi ini lumayanloh. Daripada enggak bawa," celetuk bibi memandnag ke arahku.Wulan tersenyum sinis menatapku, wanita gendut itu yakin aku tidak membawa apa-apa.Bibi memang klub dengan Wulan, karena sebenarnya bibi enggak suka aku bermain sama Mila, mengingat Mila adalah mantan kekasih paman. Namun, aku tak bisa pungkiri kalau Mila adalah teman setia.Dreett ...Dreett ...Gawaiku bergetar.Kuambil gawai dari saku celana yang kukenakan, "Halo, Mas?"
"Enggak, baju devan. Aku kadih bajuku enggak mau," sahutku sambil tersenyum, "Biarlah, Mil.""Mbak, kalau di biarkan malah ngelunjak nanti. Tengoklah kalau Mbak enggak percaya, jangan terlalu di sepelekan dia. Dia itu lebih kejam dari mafia, Mbak," ucap Mila dengan nada lirih.Aku cekikikan, geli rasanya mendengar ucapan Mila. Gadis masih belia, baru-barunya menyandang kata gadis sudah di samakan seperti mafia. Mafia itu kejam geng.Mila yang masih berdiri memandang ke arah rumahku, kepalanya celingukan ke arah dalam."Echa! Pulaaang!" Teriak Mila dengan suara agak keras.Echa keluar dengan wajah merengut, matanya memandang Mila dengan tatapan sinis."Apa sih, Mbak. Kaya nenek-nenek merepeeet saja kerjaannya. Kaya' enggak ada kerjaan lain saja.""Rumah abang kami itu di sana, bukan di sini," ucap Mila sambil memandang pergerakannya yang sedang memakai sendal."Iya. Aku tahu. Tapi rumah abangku itu jelek, gubuk. Dari luar saja sudah kelihatan gerahnya," ucap Echa ketus. Gadis itu melan
"Bukan begitu, bi," ucapku sambil menoleh ke belakang. "Tadi suami tetanggaku ada yang sakit parah, msu lihat sebentar gimana keadaannya.""Hah? Siapa?""Suami Bu Endah, warung dekat rumahku itu loh," sahutku menjelaskan.Bibi mengangguk-anggukkan kepala, bibi mengenal Bu Endah saat dia main ke rumahku beberapa waktu lalu."Sakit apa, Ta?""Enggak tahu. Yang jelas tadi nampak parah, maka ini mau di jenguk."Devan, menatapku dengan kening mengerut. Mungkin banyak pertanyaan yang ada di benaknya, namun, tak mungkin di ucapkan di sini."Ya, sudah, aku pamit, ya, Bi," ucapku sambil menjabat tangannya."Nanti datang lagi 'kan, Ta?" Tangannya dengan ramah.Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum getir. Tiba di dekat paman saja dia bersikap seperti itu, tapi jika paman tak ada dia selalu cuek padaku.Aku dan Devan keluar dari rumah paman, Devan memutarkan motor dan aku naik di belakangnya.* * *"Dek, kita ke puskesmas apa ke rumah dakit mana?""Ke rumah kita, mas," sahutku singkat dengan
"Ada apa ini?" Ucap mertua Mila dengan lantang. Wanita gendut itu berkacak pinggang di belakang anak gadisnya menatapku dengan mata melotot.Aku terhenyak sesaat setelah mendengar suaranya yang begitu keras. "Anak ibu ini, orang ngasih untuk Mila, malah dia yang ambil.""Mila siapanya? Iparnya 'kan? Jadi enggak salah kalau kakak ipar itu mengalah sama adiknya," ucapnya ketus. Mila hanya berdiri di samping ibu mertuanya. Wanita itu menganggukkan kepala saat menatapku.Ternyata benar, ibu mertuanya tinggal di sini hanya membuat musibah yang tiada henti untuk Mila karena sikap serakah dan egois kedua manusia itu."Mil, ta-tapi mbak Arshinta kasih itu untuk kamu," ujarku dengan nada lirih."Sudah, mbak. Enggak apa-apa kok," sahutnya dengan nada sumbang.Sebenarnya Mila tidak terima. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dulu Mila pernah tinggal bersama mertuanya waktu awal menikah dan akhirnya Mila tidak betah dan akhirnya pulang ke rumah ibunya.Aku mendengus kesal lalu meninggalkan Ec
"Apa loh, mas?" Tanyaku saat sampai di kamar."Bajuku mana?""Sana minta di rumah Bu RT! Wong nyari baju kok susah kali kaya' nya. Baju di lemari segunung pun entah yang kaya' mana lagi yang di cari.""Yang kaos pakai kerah itu loh.""Walah, kok gaya kali cuman sini situ doang. Nih!" Ucapku kesal sambil mencampakkan baju ke pundak Devan."Ya, jangan marah-marah, Dek," sahut Devan ketar-ketir. Entah kenapa aku merasakan tidak enak hati hari ini, emosiku kok mendadak meluap-luap.Aku memandang suamiku yang tengah berjalan ke rumah Bu Endah, tangannya membenahi kerah baju berwarna hijau muda.Dari kejauhan, tampak Echa sedang tergesa-gesa berjalan menuju rumah. Suamiku berpapasan dengan Echa, namun, wajah Echa terus menunduk dengan tangan yang masuk ke dalam baju.* * *"Mas, tadi ramai 'kan yang jenguk. Mangkanya jadi orang itu yang baik, kaya' pakde. Jadi semua orang ikut merasakan sakitnya.""Ya, Mas kan baik loh, Dek," sahut Devan sambil mengutak-atik motornya.Malam ini aku dan Dev
Mila memegang tanganku, "Mbak, kemarin, pas kita mau pulang itu 'kan aku di panggil sama ibu, terus aku di suruh manggil Echa. Enggak lama kemudian Echa pulang sambil memegang sesuatu di tangannya. Tangannya loh di masukkan ke dalam baju pas aku tanya apa yang kamu pegang, dia jawabnya, bukan urusan Mbak! Ya udah akunya diam aja.""Jangan-jangan ..." Kataku sambil termenung. "Astaghfirullah, Mil, jangan sampailah," ucapku."Jangan sampailah, Mbak. Kalau memang betul aku yang malu sama Bu Endah," sungut Mila.Pikiranku dan Mila sama, Jangan-jangan ini ulah mertua dan adik ipar Mila. Amit-amit."Yang enggak enaknya, Bu Endah itu beda lihat aku, Mil. Karena kemarin aku yang pegang tas itu, tapi langsungku kasih lagi ke dia tasnya," ucapku sambil menghela nafas. "Malah tadi dia ke sini nanyain itu, pas aku jawab dia rada gimana gitu.""Ya sudah, Mbak, kita cari tersangkanya. Kita selidik," ucap Mila sambil meringis.Tidak lama kemudian aku dan Mila keluar dari kamar, di sana sudah ada sua