"Wulan," ucap bibi."Enggak tahu, tadi sih katanya mau datang duluan," sahutku sambil tersenyum.Bibi menganggukkan kepala dan berlalu. Tak sengaja aku menatap Mila, kini wajahnya merah merona. Setelah kupandang ke belakangku, ternyata ada paman berdiri di sana."Hmm, pantes," gumamku.Mila mengerti dengan gumammanku, wanita muda itu menyenggol lenganku, "Apaan sih, Mbak," ucapnya sambil meringis."Wulan, makasih loh, ya," ucap bibi saat membuka bingkisan dari Mila."Iya, Bik, wong cuman sedikit kok," sahut Mila sambil ngunyah."Sedikit, tapi ini lumayanloh. Daripada enggak bawa," celetuk bibi memandnag ke arahku.Wulan tersenyum sinis menatapku, wanita gendut itu yakin aku tidak membawa apa-apa.Bibi memang klub dengan Wulan, karena sebenarnya bibi enggak suka aku bermain sama Mila, mengingat Mila adalah mantan kekasih paman. Namun, aku tak bisa pungkiri kalau Mila adalah teman setia.Dreett ...Dreett ...Gawaiku bergetar.Kuambil gawai dari saku celana yang kukenakan, "Halo, Mas?"
"Enggak, baju devan. Aku kadih bajuku enggak mau," sahutku sambil tersenyum, "Biarlah, Mil.""Mbak, kalau di biarkan malah ngelunjak nanti. Tengoklah kalau Mbak enggak percaya, jangan terlalu di sepelekan dia. Dia itu lebih kejam dari mafia, Mbak," ucap Mila dengan nada lirih.Aku cekikikan, geli rasanya mendengar ucapan Mila. Gadis masih belia, baru-barunya menyandang kata gadis sudah di samakan seperti mafia. Mafia itu kejam geng.Mila yang masih berdiri memandang ke arah rumahku, kepalanya celingukan ke arah dalam."Echa! Pulaaang!" Teriak Mila dengan suara agak keras.Echa keluar dengan wajah merengut, matanya memandang Mila dengan tatapan sinis."Apa sih, Mbak. Kaya nenek-nenek merepeeet saja kerjaannya. Kaya' enggak ada kerjaan lain saja.""Rumah abang kami itu di sana, bukan di sini," ucap Mila sambil memandang pergerakannya yang sedang memakai sendal."Iya. Aku tahu. Tapi rumah abangku itu jelek, gubuk. Dari luar saja sudah kelihatan gerahnya," ucap Echa ketus. Gadis itu melan
"Bukan begitu, bi," ucapku sambil menoleh ke belakang. "Tadi suami tetanggaku ada yang sakit parah, msu lihat sebentar gimana keadaannya.""Hah? Siapa?""Suami Bu Endah, warung dekat rumahku itu loh," sahutku menjelaskan.Bibi mengangguk-anggukkan kepala, bibi mengenal Bu Endah saat dia main ke rumahku beberapa waktu lalu."Sakit apa, Ta?""Enggak tahu. Yang jelas tadi nampak parah, maka ini mau di jenguk."Devan, menatapku dengan kening mengerut. Mungkin banyak pertanyaan yang ada di benaknya, namun, tak mungkin di ucapkan di sini."Ya, sudah, aku pamit, ya, Bi," ucapku sambil menjabat tangannya."Nanti datang lagi 'kan, Ta?" Tangannya dengan ramah.Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum getir. Tiba di dekat paman saja dia bersikap seperti itu, tapi jika paman tak ada dia selalu cuek padaku.Aku dan Devan keluar dari rumah paman, Devan memutarkan motor dan aku naik di belakangnya.* * *"Dek, kita ke puskesmas apa ke rumah dakit mana?""Ke rumah kita, mas," sahutku singkat dengan
"Ada apa ini?" Ucap mertua Mila dengan lantang. Wanita gendut itu berkacak pinggang di belakang anak gadisnya menatapku dengan mata melotot.Aku terhenyak sesaat setelah mendengar suaranya yang begitu keras. "Anak ibu ini, orang ngasih untuk Mila, malah dia yang ambil.""Mila siapanya? Iparnya 'kan? Jadi enggak salah kalau kakak ipar itu mengalah sama adiknya," ucapnya ketus. Mila hanya berdiri di samping ibu mertuanya. Wanita itu menganggukkan kepala saat menatapku.Ternyata benar, ibu mertuanya tinggal di sini hanya membuat musibah yang tiada henti untuk Mila karena sikap serakah dan egois kedua manusia itu."Mil, ta-tapi mbak Arshinta kasih itu untuk kamu," ujarku dengan nada lirih."Sudah, mbak. Enggak apa-apa kok," sahutnya dengan nada sumbang.Sebenarnya Mila tidak terima. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dulu Mila pernah tinggal bersama mertuanya waktu awal menikah dan akhirnya Mila tidak betah dan akhirnya pulang ke rumah ibunya.Aku mendengus kesal lalu meninggalkan Ec
"Apa loh, mas?" Tanyaku saat sampai di kamar."Bajuku mana?""Sana minta di rumah Bu RT! Wong nyari baju kok susah kali kaya' nya. Baju di lemari segunung pun entah yang kaya' mana lagi yang di cari.""Yang kaos pakai kerah itu loh.""Walah, kok gaya kali cuman sini situ doang. Nih!" Ucapku kesal sambil mencampakkan baju ke pundak Devan."Ya, jangan marah-marah, Dek," sahut Devan ketar-ketir. Entah kenapa aku merasakan tidak enak hati hari ini, emosiku kok mendadak meluap-luap.Aku memandang suamiku yang tengah berjalan ke rumah Bu Endah, tangannya membenahi kerah baju berwarna hijau muda.Dari kejauhan, tampak Echa sedang tergesa-gesa berjalan menuju rumah. Suamiku berpapasan dengan Echa, namun, wajah Echa terus menunduk dengan tangan yang masuk ke dalam baju.* * *"Mas, tadi ramai 'kan yang jenguk. Mangkanya jadi orang itu yang baik, kaya' pakde. Jadi semua orang ikut merasakan sakitnya.""Ya, Mas kan baik loh, Dek," sahut Devan sambil mengutak-atik motornya.Malam ini aku dan Dev
Mila memegang tanganku, "Mbak, kemarin, pas kita mau pulang itu 'kan aku di panggil sama ibu, terus aku di suruh manggil Echa. Enggak lama kemudian Echa pulang sambil memegang sesuatu di tangannya. Tangannya loh di masukkan ke dalam baju pas aku tanya apa yang kamu pegang, dia jawabnya, bukan urusan Mbak! Ya udah akunya diam aja.""Jangan-jangan ..." Kataku sambil termenung. "Astaghfirullah, Mil, jangan sampailah," ucapku."Jangan sampailah, Mbak. Kalau memang betul aku yang malu sama Bu Endah," sungut Mila.Pikiranku dan Mila sama, Jangan-jangan ini ulah mertua dan adik ipar Mila. Amit-amit."Yang enggak enaknya, Bu Endah itu beda lihat aku, Mil. Karena kemarin aku yang pegang tas itu, tapi langsungku kasih lagi ke dia tasnya," ucapku sambil menghela nafas. "Malah tadi dia ke sini nanyain itu, pas aku jawab dia rada gimana gitu.""Ya sudah, Mbak, kita cari tersangkanya. Kita selidik," ucap Mila sambil meringis.Tidak lama kemudian aku dan Mila keluar dari kamar, di sana sudah ada sua
"Nyembunyikan apa? Suamiku tuh di balik tirai," sahutku cekikikan. "Dia terpesona, Cha, sama kecantikan mu," ucapku tertawa kekeh. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain jujur.Echa tampak menyembunyikan senyumnya, matanya melirik ke sana sini tak tentu arah. Aku baru sadar ternyata Echa ada rasa juga sama suamiku. Tapi biarlah yang ku pentingkan uang Bu Endah dulu. Sisanya nanti."Ini, kuncinya, Cha," ucapku sambil mengangsur sebuah kunci motor.Echa mengambil kunci dari tanganku seperti kunci motor miliknya. Gadis itu mengambilnya begitu saja, seperti milik dia sendiri. Dasar!Aku dan Mila menyaksikan kepergian mereka, Mila menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata "Semoga aku betah mereka tinggal di rumahku, Mbak."Aku memandangnya sambil tersenyum, "Yuk!""Ke mana, Mbak?""Siap-siap, kita intai mereka dari dekat," ucapku.Aku masuk ke dalam rumah lalu mengambil kunci motor dan helm milik suamiku. Aku tersenyum saat melihat suamiku memakai baju yang kubeli kemarin. Dia terlih
"Kok tanya saya, memangnya saya tukang emas?" Ucapnya ketus sambil mendengus, matanya memandangku dengan kesal. "Loh, kan saya tanya, Bu, siapa tahu ibu tau harganya," ucapku dengan nada santai.Mila masih cengengesan sambil melirik-lirik ke arahku. Wanita itu enggan ikut campur, aku pun tidak menyarankan Mila untuk ikut turun tangan mengenai hal ini.Henna—ibu mertua Mila yang sangat judes dan bengis. Semua yang di lakukan Mila pasti salah, mungkin memang karena faktor status menantu.Echa memberikan kunci motor padaku sambil menyelipkan rambut poni panjangnya ke belakang telinga."Nih, Mbak, kuncinya," ucap Echa."Aku hanya menengadah satu tangan, lalu kumasukkan ke dalam saku celana."Terima kasih, gitu loh, Cha! Wong sudah di pinjami kok enggak berterimakasih," sungut Mila kesal. Matanya melirik ke atas untuk menatap wajah Echa.Gadis itu tak menjawab apa pun, malah pergi meninggalkan kami di sana, tangannya membawa tiga tote bage berwarna coklat.Bu Henna masih berdiri sambil me