"Pak! Jangan macam-macam, ya, sama saya," ucapku sambil terengah-engah menaran rasa takut. Peluh sudah membasahi area kening dan juga leherku.Matanya tajam menatap ke arahku, bibirnya meringis bak menginginkan sesuatu."Kau jangan terlalu setia sama, Devan, aku yang tahu dia," ucapnya dengan nada ketus.Aku yang tak mengerti apa maksudnya, terus mendorong daun pintu sekuat tenaga supaya pintu tertutup. Namun, tenaga lelaki tua itu lebih kuat dariku hingga akhirnya pintu terbuka."Pak! Apa mau bapak? Jangan sampai saya teriak!" Tegasku.Pria itu selangkah demi selangkah mendekatiku, dengan wajah bringas, dia terus memepetkan tubuhnya di tubuhku yang bersandar di dinding."Maaaak," suara putra sulungku terdengar.Secepatnya lelaki itu melangkah mundur sambil memperhatikan arah ruang keluarga, lelaki itu membalikkan badan lalu keluar dari rumahku.Nafasku ngos-ngosan, rasa takut masih menyelimutiku. Tangan dan kakiku masih bergetar hebat, jantungku juga masih berdegup kuat."Maaak," sua
"Mbak, aku boleh pinjam uang? 100 ribu saja, Mbak," ucap Mila lirih sambil menghapus air mata yang mengalir di pipi."Mil, kamu kenapa?" Tanyaku sambil melangkah menghampirinya."Bapak mertuaku meninggal, Mbak," ucapnya sambil menangis sesenggukan."Innalilahi, Mil, aku sekeluarga tutut berdukacita, ya," ucapku meraihnya dalam pelukanku."Inalillahi, jadi kalian pulang kampunglah, ya, Mil?" Tanya suamiku yang ada di belakang memandang kami dengan tangan kanan memegang sepatu."Enggak, Mas, suamiku aja yang pulang," sahutnya setelah lepas dari pelukanku.Mila sangat terpukul, karena hanya bapak mertuanya yang baik padanya di antara keluarga Mas Harman.Aku menenangkan Mila, dengan menitahnya untuk duduk di teras rumahku. Aku berjalan ke arah dalam untuk mengambil uang yang ada di dompet."Mil! Ini ada 200, besok kamu balikinnya 100 saja, ya," ucapku sambil memberikan uang dua lembar berwarna merah padanya."Mbak, makasih banyak, ya. Tapi aku belum tahu kapan bisa balikin uangnya, Mbak,
Bude Sarni menghentikan langkahnya, dia menoleh ke arah Mila."Mbak, uangnya yang tadi malah ketinggalan," ucap Mila sambil memperlihatkan uang berwarna merah ke padaku."Walah, Mil. Tapi enggak apa-apalah, Mas Devan kaya' nya bawa dompet kok," ucapku sambil tersenyum."Ya, malah mendingan, Mil, enggak jadi punya hutang," timpal Bude Sarni sambil tersenyum, wanita itu menggeleng dengan melanjutkan langkahnya."Iya, Bude," sahut Mila cekikikan memandang bude yang sudah membalik badan, "Mbak, ini uangnya."Aku mengambil alih uang dari tangannya, "Kamu lagi enggak perlu uang, Mil?""Perlu sih, Mbak, tapi enggak sebanyak ini. Lima puluh saja, Mbak," ucapnya sambil tersenyum."Oke-oke.""Mil, Bude tahu dari mana kalau kamu hutang ke aku? Aku enggak ada cerita loh, Mil," ucapku lirih."Aku tadi mau hutang ke Bu Endah, Mbak. Tapi enggak ada katanya, mungkin dia cerita kalau aku cari hutangan," sahutnya dengan lesu.Aku membalik badan sambil memandang ke arah rumah Bu Endah, tak menyangka kal
"Mbak, kok serem, ya. Di rumahku enggak pernah loh ada ginian," ucap Mila dengan nafas ngos-ngosan menahan rasa takut.Hening ...Langkahan kaki itu sedang melewati kamarku, telingaku fokus mendengarkan setiap gerakan. Mataku terpejam saat suara gerakan itu berhenti.Aku dan Mila mencoba melupakan dengan berpura-pura tidur, kami meringkuk di dalam satu selimut. Namun, malah terdengar suara mengejutkan.Tok! Tok!Tangan Mila mencengkeram erat lengan kiriku karena aku menghadap putriku, mataku tak dapat kubuka. Hanya lafadz Allah yang selalu kubaca di dalam hati. Entah itu manusia ataupun sejenis jin iblis, aku yakin, Allah akan membantu.Suara ketukan itu berpindah di pintu depan, di mana ada kamar putraku di sebelahnya, seketika aku duduk. Ingin rasanya aku pergi ke kamar putraku. Namun, Mila menarik baju daster yang kukenakan di bagian pinggang."Mbak! Sudah biarin saja. Sebentar lagi pagi kok," ucap Mila dengan suara berbisik."Mil, masih lama paginya, ini masih jam dua. Aku takut p
"Lihat itu, Mbak!"Aku memandang ke mana jari telunjuk Mila mengarah. Mataku membelalak dengan mulut terperangah."Astaghfirullah," ucapku terkejut.Seekor kucing tergeletak dengan bangian punggung menganga hingga nampak isi dalam perutnya. Cairan kental berwarna merah membasahi bulu-bulu halus berwarna kuning di sekujur tubuhnya.Aku memejamkan mata, tak kuasa aku menatap mata bulat dengan wajah melas seperti ingin menangis, menjerit, bahkan meminta tolong."Mil, tolong geh, Aku enggak bisa lihat darah, Mil," ucapku sambil mengalihkan pandangan ke arah depan dengan mata berkaca-kaca."Mbak, pake apa, ya, nutupnya?" Tanya Mila sambil berjalan ke arah dapurku.Aku ikut melangkah di belakang Mila, kubuka karung berisi baju bekas kami. Kuambil baju bekas milik Devan."Ini saja," ucapku sambi memberikan sehelai baju kaos oblong berwarna hitam yang sudah memudar warnanya."Mil, aku tunggu di depan, ya," ujarku sambil menutup pintu dapur.Aku mengeluarkan motor dari dalam rumah dengan jantu
Kardus berisi seekor kucing yang tadi di letakkan di sudut teras rumahku, kini menghilang."Loh, tadi di sini loh, Mbak," sahut Mila setelah berada di sampingku.Kepalaku celingukan mencari ke sana sini, namun, tidak kutemukan jejaknya."Meaoo ...""Meaoo ..."Aku berlari kecil mendekati mila yang ada di teras saat aku mencari di samping rumah, telingaku mendengar suara kucing yang sedang mengeong."Mil, kamu dengar?""Meaoo ...""Meaoo ..."Terdengar jelas di telinga kalau kucing itu berada di dalam rumah Dareen, karena kosong dan besarnya rumah itu, suara kucing jantan itu menggema sampai ke luar."Mbak, kucingnya di rumah Mas Dareen," ucap Mila berbisik.Aku meraih lengan Mila, melangkah menuju rumah berjat biru langit yang kini sedang di renovasi.Aku dan Mila jalan mengendap-endap seperti pencuri yang akan masuk ke dalam rumahnya. Aku mencari celah di dinding yang bolong karena tirai jendela menghalangi pandanganku."Mil, iya, itu kucingnya," ucapku berbisik pada Mila ketika aku
"Ya sudah, tidur sama-sama saja di rumahku, Mbak. Kebetulan Devan lagi enggak di rumah.""Makasih, ya, Mbak," sahutnya dengan semringah.* * *Malam ini kami memutuskan untuk tidur di ruang keluarga. Tikar besar terbentang dari pintu ke pintu. Aku di ujung kanan dan Mila di ujung kiri. Aku mematikan televisi setelah semua tertidur lelap. Tanganku meraih gawai yang ada di meja televisi untuk mencari kabar Devan.[Mas, betah di sana, ya? Kok enggak kasih kabar?]Pesanku untuk Devan hanya centang satu. Aku memandang layar sambil menghela nafas panjang lalu kuletakkan kembali di meja televisi.Samar-samar aku mendengar suara kokokan ayam jantan, setelah membuka mata kulirik jam yang menempel di dinding menunjukkan pukul lima.Aku beranjak dan berlalu ke dapur. Langkahku di ikuti Mila dan ternyata Mila sudah membuka mata terlebih dahulu."Mbak, anteng aja malam ini?" Tanya Mila sambil membuka pintu kamar mandi."Iya, mungkin hantunya takut kalau kita rame," sahutku sambil membuka pintu be
"Wulan," ucap bibi."Enggak tahu, tadi sih katanya mau datang duluan," sahutku sambil tersenyum.Bibi menganggukkan kepala dan berlalu. Tak sengaja aku menatap Mila, kini wajahnya merah merona. Setelah kupandang ke belakangku, ternyata ada paman berdiri di sana."Hmm, pantes," gumamku.Mila mengerti dengan gumammanku, wanita muda itu menyenggol lenganku, "Apaan sih, Mbak," ucapnya sambil meringis."Wulan, makasih loh, ya," ucap bibi saat membuka bingkisan dari Mila."Iya, Bik, wong cuman sedikit kok," sahut Mila sambil ngunyah."Sedikit, tapi ini lumayanloh. Daripada enggak bawa," celetuk bibi memandnag ke arahku.Wulan tersenyum sinis menatapku, wanita gendut itu yakin aku tidak membawa apa-apa.Bibi memang klub dengan Wulan, karena sebenarnya bibi enggak suka aku bermain sama Mila, mengingat Mila adalah mantan kekasih paman. Namun, aku tak bisa pungkiri kalau Mila adalah teman setia.Dreett ...Dreett ...Gawaiku bergetar.Kuambil gawai dari saku celana yang kukenakan, "Halo, Mas?"
Aku mengintai dari sudut ke sudut ternyata memang tidak ada suamiku di dalamnya. Hal seperti ini sudah beberapa kali terjadi, tapi aku tidak pernah aku cek kamar mandinya. Baru hari ini aku kepo tentang ketenangannya dia di dalam kamar mandi, tapi malah enggak ada orangnya.Aku berjalan ke depan untuk melihat sendal miliknya, tapi kenapa sendalnya masih ada di depan? Aku balik lagi berjalan ke belakang.Bruk!Aku dan Devan bertabrakan di pintu tengah yang di tutupi oleh kain gorden."Aduh! Kalau jalan itu lihat-lihat!" Ucapnya dengan nada tinggi.Astaga, dia kenapa? Apa yang salah dariku sampai-sampai dia ketus seperti ini? Niatku yang ingin bertanya padanya, aku urungkan. Aku lebih memilih masuk ke dalam kamar dan langsung merebahkan tubuhku di ranjang ketika dia sedang mencari sesuatu di lemari."Mana ini kolor nya!" Ucapnya tanpa memandangku.Aku hanya mendengarkan tanpa menjawab, kalau sudah dengan cara seperti itu jangan harap aku akan memedulikannya.Devan keluar masuk kamar, ak
"Iya, loh dek," sahutnya dengan nada marah.Aku menatap Devan yang pergi ke arah dapur dan masuk ke dalam kamar mandi. Sudah beberapa bulan ini Devan kerja di bengkel tidak membuahkan hasil. Malah semua jadi kacau.Tabunganku merosot, padahal aku ikut serta mencari uang. Apa aku kasih tahu saja ya pekerjaan yang di tawarkan Dareen beberapa bulan lalu? Toh Dareen belum mendapatkan seorang sopir sampai saat ini.Aku berjalan ke arah luar rumah, di sana tampak Dareen sedang mengemudi mobilnya. Di sisi lain ada sang istri sedang melambaikan tangan ke arahnya.Tidak lama Devan berjalan ke arah luar, suamiku melewatiku begitu saja sambil mengeluarkan motor miliknya."Enggak sarapan dulu, Mas?" Tanyaku heran."Enggak. Nanti saja di luar," ucapnya tanpa memandangku. Matanya fokus dengan ban yang akan turun dari teras."Kamu ini, ya. Sudah tahu gaji kecil malah makan di luar. Enggak kasihan apa sama anak kamu yang makan seadanya gitu? Heran deh," ucapku kesal.Devan tidak menjawab pertanyaanku
"Ya, waktu itu Mas Harman pernah kerja bareng ayahku. Pas dilihat ayah, tenaganya kuat. Kerjanya rajin, tiba udah nikah, males, makin ke sini malah kaya' tahe," ucapnya kesal.Aku tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Mila. Aku pernah juga mendengar desas-desus nya dulu kalau Mila hamil duluan, tapi aku enggak pernah bertanya karena kau tidak mau mencari masalah yang bukan urusanku.* * *"Mas, gimana tadi kerjanya? Capek?" Tanyaku."Enggak, Dek. Apalah capeknya, cuman megang kunci terus di putar-putar," ucap Devan sambil menghela nafas.Nafasnya begitu berat, aku yakin pasti keadaan sedang tidak baik-baik saja.Aku memeluknya saat kami masih tiduran di ranjang. Anak-anak sudah pada tidur, tanganku melingkar merangkul bagian dada bidangnya."Mas, sebenarnya ada masalah apa?" Tanyaku memaksa Devan untuk menjawab."Enggak ada apa-apa loh, dek.""Gimana enggak ada? Aku istrimu, dan aku tahu bagaimana kamu," ucapku.Aku sangat mengenal suamiku sehingga dia tidak akan bisa menutupi masal
"Makan—? Hmmm, Aku belum masak, Mas," ucapku lirih."Kok bisa sih dek? Seharian di rumah, ngapain?" Tanya Devan dengan nada datar.Aku menceritakan semua kejadian tadi, namun, aku belum bicara soal Dareen yang memberikannya pekerjaan sebagai sopir.Aku belum siap untuk di tinggal malam-malam oleh Devan karena masih trauma dengan kejadian beberapa malam yang lalu."Ya, sudah, beli mie instan aja dek, laper," ucapnya sambil merebahkan tubuhnya di depan TV."Bentar, ya, mas," ucapku sambil mengambil uang dari dalam dompet.Aku berjalan menuju rumah Bu Endah, rumah itu terlihat sangat sepi, sampai aku berada di depan pintunya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya."Buuu, Bu Endah," panggilku dengan suara sedikit agak keras. Bu Endah keluar dari arah belakang, "Ada apa, Ta? Tanyanya."Bu, mie instan, dua," ucapku sambil menunjuk sebuah kotak mie kesukaan suamiku yang terbungkus oleh plastik berwarna hijau.Dengan sigap, Bu Endah memasukkan dua bungkus mie instan ke dalam plastik be
"Ini tas saya, jadi hak saya dong boleh di periksa atau tidak?" Ucap Bu Henna menahan."Bu, katanya tadi mau di selesaikan dengan cara baik-baik. Kalau tidak ada apa-apa di sana, ya, sudah jangan takut," timpalku.Bu Henna perlahan melepaskan tali tote bage dari lengannya. Namun, Echa mencoba menahan. "Bu, jangan! Ini kan punya ibu," ujar Echa mencoba ikut menahan.Aku tersenyum sinis menatap keduanya. Hari menjelang sore, terik matahari masih ikut serta menambah hawa panas keadaan.Bu Henna memberikan tote bage miliknya kepada Dareen. Perlahan Dareen menarik resleting untuk membukanya. Setelah terbuka, mata Dareen membelalak lebar melihat isi dalamnya lalu menatap Bu Henna dengan rasa penuh curiga.Tidak sungkan-sungkan, Dareen menumpahkan semua isi dalam tas Bu Henna dengan menungging kan. Sontak mata kami semua membelalak melihat setumpuk uang dan dua buah kotak perhiasan. Aku terperangah menatap uang yang masih tersusun rapi di ikat dengan sebuah karet gelang."Ya Allah, Bu, ter
"Kok tanya saya, memangnya saya tukang emas?" Ucapnya ketus sambil mendengus, matanya memandangku dengan kesal. "Loh, kan saya tanya, Bu, siapa tahu ibu tau harganya," ucapku dengan nada santai.Mila masih cengengesan sambil melirik-lirik ke arahku. Wanita itu enggan ikut campur, aku pun tidak menyarankan Mila untuk ikut turun tangan mengenai hal ini.Henna—ibu mertua Mila yang sangat judes dan bengis. Semua yang di lakukan Mila pasti salah, mungkin memang karena faktor status menantu.Echa memberikan kunci motor padaku sambil menyelipkan rambut poni panjangnya ke belakang telinga."Nih, Mbak, kuncinya," ucap Echa."Aku hanya menengadah satu tangan, lalu kumasukkan ke dalam saku celana."Terima kasih, gitu loh, Cha! Wong sudah di pinjami kok enggak berterimakasih," sungut Mila kesal. Matanya melirik ke atas untuk menatap wajah Echa.Gadis itu tak menjawab apa pun, malah pergi meninggalkan kami di sana, tangannya membawa tiga tote bage berwarna coklat.Bu Henna masih berdiri sambil me
"Nyembunyikan apa? Suamiku tuh di balik tirai," sahutku cekikikan. "Dia terpesona, Cha, sama kecantikan mu," ucapku tertawa kekeh. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain jujur.Echa tampak menyembunyikan senyumnya, matanya melirik ke sana sini tak tentu arah. Aku baru sadar ternyata Echa ada rasa juga sama suamiku. Tapi biarlah yang ku pentingkan uang Bu Endah dulu. Sisanya nanti."Ini, kuncinya, Cha," ucapku sambil mengangsur sebuah kunci motor.Echa mengambil kunci dari tanganku seperti kunci motor miliknya. Gadis itu mengambilnya begitu saja, seperti milik dia sendiri. Dasar!Aku dan Mila menyaksikan kepergian mereka, Mila menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata "Semoga aku betah mereka tinggal di rumahku, Mbak."Aku memandangnya sambil tersenyum, "Yuk!""Ke mana, Mbak?""Siap-siap, kita intai mereka dari dekat," ucapku.Aku masuk ke dalam rumah lalu mengambil kunci motor dan helm milik suamiku. Aku tersenyum saat melihat suamiku memakai baju yang kubeli kemarin. Dia terlih
Mila memegang tanganku, "Mbak, kemarin, pas kita mau pulang itu 'kan aku di panggil sama ibu, terus aku di suruh manggil Echa. Enggak lama kemudian Echa pulang sambil memegang sesuatu di tangannya. Tangannya loh di masukkan ke dalam baju pas aku tanya apa yang kamu pegang, dia jawabnya, bukan urusan Mbak! Ya udah akunya diam aja.""Jangan-jangan ..." Kataku sambil termenung. "Astaghfirullah, Mil, jangan sampailah," ucapku."Jangan sampailah, Mbak. Kalau memang betul aku yang malu sama Bu Endah," sungut Mila.Pikiranku dan Mila sama, Jangan-jangan ini ulah mertua dan adik ipar Mila. Amit-amit."Yang enggak enaknya, Bu Endah itu beda lihat aku, Mil. Karena kemarin aku yang pegang tas itu, tapi langsungku kasih lagi ke dia tasnya," ucapku sambil menghela nafas. "Malah tadi dia ke sini nanyain itu, pas aku jawab dia rada gimana gitu.""Ya sudah, Mbak, kita cari tersangkanya. Kita selidik," ucap Mila sambil meringis.Tidak lama kemudian aku dan Mila keluar dari kamar, di sana sudah ada sua
"Apa loh, mas?" Tanyaku saat sampai di kamar."Bajuku mana?""Sana minta di rumah Bu RT! Wong nyari baju kok susah kali kaya' nya. Baju di lemari segunung pun entah yang kaya' mana lagi yang di cari.""Yang kaos pakai kerah itu loh.""Walah, kok gaya kali cuman sini situ doang. Nih!" Ucapku kesal sambil mencampakkan baju ke pundak Devan."Ya, jangan marah-marah, Dek," sahut Devan ketar-ketir. Entah kenapa aku merasakan tidak enak hati hari ini, emosiku kok mendadak meluap-luap.Aku memandang suamiku yang tengah berjalan ke rumah Bu Endah, tangannya membenahi kerah baju berwarna hijau muda.Dari kejauhan, tampak Echa sedang tergesa-gesa berjalan menuju rumah. Suamiku berpapasan dengan Echa, namun, wajah Echa terus menunduk dengan tangan yang masuk ke dalam baju.* * *"Mas, tadi ramai 'kan yang jenguk. Mangkanya jadi orang itu yang baik, kaya' pakde. Jadi semua orang ikut merasakan sakitnya.""Ya, Mas kan baik loh, Dek," sahut Devan sambil mengutak-atik motornya.Malam ini aku dan Dev