Share

Bab 2

Penulis: Aong_Zee
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Loh, kok nasi tinggal sedikit? Malam ini teman mas itu mau datang, Dek, numpang makan katanya istrinya malas masak. Istrinya itu memang pemalas sih maka suaminya numpang makan sana sini, dan malam ini dia akan numpang di rumah kita,” penjelasan dari suamiku sungguh panjang lebar.

“Ya sudah ajak saja, Mas, ke sini. Nanti Adek masak lagi,” ucapku tersenyum.

“Ya ampun rajinnya istriku, terima kasih ya Allah, Engkau telah memberiku istri yang rajin, amin,” ucap suamiku sambil menengadahkan telapak tangan.

“Lebai,” ucap Wulan sewot.

Aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. ‘Kena dirimu kali ini, Bu.’ batinku.

“Ya sudah, kami pamitlah ya, sudah kenyang pulang kaya pacet,” Wulan sedikit tergopoh-gopoh karena terlalu lama duduk bersila. Badannya memang besar sih.

Wulan membenahi hijab anaknya sambil sesekali bercanda dengan putri bungsuku.

“Makan apa kita malam ini, Dek?” tanya suamiku saat kakak dan abang iparku tepat berdiri di pintu.

“Nila, Nanti Adek panggang kan nila terus bikin sambal kecap ya,” jawabku tersenyum menoleh ke suamiku yang masih saja bersandar di dinding.

“Loh kok enggak bilang dari tadi kalau ada lauk yang bisa di masak? Kan kakak bisa nunggu kamu masak,” timpal Wulan menghentikan langkahnya.

“Kan enggak ada rencana mau masak, Kak.”

“Nila bakar sambal kecap, enak itu,” ucap abang sepupuku sambil memperlihatkan gerakan ragu untuk pulang.

‘Semoga pulang, semoga pulang, semoga pulang.’ kataku terus dalam hati.

“Abang pulang dulu ya, Ta, Van.”

'Alhamdulillah,' gumamku sambil mengangguk.

Aku dan suamiku berdiri di pintu untuk menghirup udara segar setelah kepergian mereka sambil tersenyum lebar.

“Mas, siapa yang mau datang nanti?” tanyaku ketika mereka sudah meninggal halaman rumahku.

“Mana ada,” jawabnya singkat tanpa memandangku.

Aku mencubit pipinya.

“Ya sudah, Dek, di masak nilanya biar mas jaga, Dipuu,” ucap suamiku sambil cekikikan dan mengelus pipinya.

“Mana ada nila, ikan nila dari Hongkong,” jawabku sambil tertawa terbahak-bahak.

“Adek, ih, Mas kira ada benaran ikan nilanya,” ucap suamiku mencubit pinggangku.

Aku kira suamiku paham aku sedang berakting, ternyata tidak, dan nyatanya suamiku malah mengharap betul nila bakar. Aku tertawa cekikikan sambil menutup mulutku.

“Adek, kira pun teman mas itu benaran ada,” jawabku sambil tertawa lepas.

“Pasti terbayang-bayang itu nila bakar sambal kecap di mata mereka ya kan, Dek, sama kaya, Mas,” ucap suamiku tertawa sambil masuk ke dalam rumah.

“Awas mimpiin nila ya, Mas,” ucapku.

Kami tertawa bersamaan. Rumah ini terlihat nyaman banget setelah kepergian mereka, kembali seperti surga. Tapi setelah aku melihat dapur kembali lagi hatiku menggerutu. Ada ya manusia aneh seperti mereka, sadar diri numpang makan tapi selesai makan boro-boro nyuci piring, peralatan masak tadi pun berantakan begitu saja.

Pasti setelah mereka sampai di rumah tinggal tidur, tidak lagi memikirkan piring kotor dan lain-lain. Bisa mengerjakan pekerjaan lain sedangkan aku malam-malam begini masih bergelut dengan piring kotor.

# # # #

Pagi telah tiba, dengan semangat aku mengerjakan pekerjaan rumah karena ingin main ke rumah mamak. Karena dari malam tadi mas suami terbayang-bayang sama nila, pagi ini aku masakan ceker ayam. Jauh ya, dari nila ke ceker. Hiks.

“Mas, sarapan sudah matangnih,” ucapku sambil memindahkan sup ceker ke dalam mangkuk.

“Dek, jadi nila panggang sambal kecapnya?” tanya suamiku sambil berjalan ke arah dapur.

Aku menatapnya sekilas lalu kembali fokus dengan sup ceker yang kutuang ke mangkuk.

“Jadi, sambal kecapnya saja, nila bakarnya enggak jadi.”

“Ya ampun,” ucap suamiku nyengir.

“Hmm, enaknya ini nilanya, Dek, awas Dek kena durinya,” ucap suamiku sambil menggerogoti ceker.

Aku melirik dengan mata tajam sambil menahan tawa, bagaimana tidak melihat tingkah suamiku yang sudah rindu dengan nila panggang.

“Besok, kalau ada waktu libur lagi kita ke rumah abang ya, Dek, mancing nila lagi. Kemarin juga sudah di tanya kapan pulang,” ucap suamiku lagi.

Aku hanya menganggukkan kepala sambil meletakkan piring kotor. Setelah mas suamiku berangkat kerja, aku mengemasi salin anakku ke dalam tas kecil berisi minyak telon, pempes, kaus dalam dan juga celana. Dikarenakan anak kami tidak memakai bedak, aku tidak membawanya, tidak punya bedak juga iya sih. Pernah punya tapi dalam kemasan kecil aja setahun lamanya belum habis-habis. Jadi aku buangtuh si bedak takut kadaluarsa.

Lupakan masalah bedak, kembali ke isi tas, aku juga memasukkan ponsel ke dalam tas. Setelah semua beres, aku menggendong anakku dan berjalan ke arah pintu,

“Assalamualaikum ....“

“Waalaikummussalam ....,“ jawabku sambil celinguk ke arah pintu melihat siapa yang datang.

'Hm kakak sepupu satu lagi,' gumamku setelah membuka pintu dapur.

“Ada apa, Kak?”

“Enggak ada, main saja,” jawabnya singkat sambil berjalan ke arah kursi yang ada di dapur.

Kak Evi, kakak sepupu yang tinggalnya tidak jauh dari rumah. Tapi Yo sesekali saja dia datang ke rumahku.

“Aku baru mau ke rumah, Mamak,” ucapku sambil meletakkan tas kecilku di meja.

“Masak apa, Dek?” tanyanya tanpa merespon ucapanku.

“Itu, sup ceker, makan kak,” tawarku.

Dia beranjak dari duduknya tanpa mengatakan sepatah kata pun, berjalan ke arah tudung sajiku lalu mengambil sebuah ceker memakannya begitu saja, setelah habis ambil lagi, dan lagi.

“Makan sajalah, Kak,” ucapku karena sedikit geli melihatnya kelakuannya.

“Kakak bawa sayurnya sajalah, sudah makan tadi masak pepaya muda,” ucapnya sambil celingukan mencari mangkuk.

Jelas-jelas beberapa mangkuk menumpuk di depan matanya, matanya masih juga jelalatan ke sana ke sini.

“Ambillah, Kak,” ucapku yang tak tahu harus menjawab apa.

“Enggak ada mangkuk ya?” tanyanya.

“Itu ada, Kak,” jawabku menunjukkan mangkuk yang tersusun di rak.

“Pake ini saja,” ucapnya memegang toples tinggi milik adikku.

Pantas saja lama mencari wadah, ternyata yang dia inginkan wadah yang besar.

“Itu punya, Era, Kak,” jelasku.

“Iya enggak apa-apa nanti kakak pulangkan,” jawabnya sambil mewadahi sayur sup.

Awalnya aku kira supaya mudah untuk membawanya, tapi setelah aku tersadar, ‘Ya ampun, ini mah merampas namanya.’ batinku.

Toples ukuran tinggi di isi setengah ke atas sayur, lah itu yang tersisa tinggal seberapa coba? Saat dia mewadahi itu toples segera kulihat sisa sup yang ada di mangkuk sayur. Aku enggak tega melihatnya, habis di rampas cekernya hanya tinggal beberapa saja. “Aduh,” gumamku kesal.

“Ya sudah sana ke rumah mamak, Kakak mau pulanglah mau tidur,” ucapnya sambil keluar dari rumahku.

Hm sudahlah lupakan, toh baru kali ini juga kan. Belum tahu ke depannya bagaimana. Kalau saja sama dengan Wulan, mau enggak mau kumenangis...

Sebelum sampai di rumah mamak, dari kejauhan aku melihat motor Supra putih parkir di depan rumah mamak.

“Loh, mereka di sini?” gumamku.

Dengan cepat aku melangkahkan kaki sudah tidak sabar siapa pemilik motor itu, tapi aku yakin kalau itu adalah abang sepupuku karena kebetulan dia memang punya dua motor. Ternyata, benar.

Aku terus berjalan ke dapur di mana mereka sedang sarapan, aku sengaja duduk di dekat mereka.

“Sarapan, Ta!” ucap mamak yang lagi sarapan.

“Sudah, Mak, anak mamak ini rajin jadi pagi-pagi sudah sarapan. Enggak kelaparan dan cari-cari makan di rumah orang,” jawabku sambil melirik ke arah Wulan yang sedang sarapan juga.

Tidak sedikitpun Wulan merespon ucapanku, dia tengah asik dengan lauk yang sedang ia santap. Duduk di lantai dengan makan menggunakan tangan itu memang nikmat.

“Masak apa, Ta?” tanya mamak.

“Ceker, tapi sudah habis, takut ada yang datang lagi cari makan jadi di habiskan sekalian tadi, Mak,” ucapku.

“Asemlah,” timpal Wulan tertawa terbahak-bahak sambil melihat ke arah suaminya yang sedang makan juga.

Aku melirik ke arah anaknya yang sedang sarapan juga dengan lauk mi instan. Mungkin karena lauk mamak pedas maka anaknya di masakkan mi instan.

'Ya ampun aku kira bakal marah, ternyata malah tertawa. Berarti memang orangnya bebal dong? Enggak gampang sakit hati.’ batinku.

“Kemarin jadi manggang nilanya?” tanya Wulan sambil meletakkan piring kotor.

“Jadilah,” jawabku tanpa ragu.

Saat mamak menatapku, aku mengedipkan mata memberi isyarat kalau aku sedang berbohong. Aku tahu pasti nanti mamak bakal merepet.

“Asemlah orang sudah siap makan baru masak,” ucapnya melirik ke arahku.

“La kakak lebih asemlah, orang repot-repot masak tibanya matang, kakak tinggal kan,” celetukku.

Mereka hanya tertawa, Mamak memandangku memberi isyarat kalau tidak boleh seperti itu. Tapi memang mereka sudah kelewatan.

Setelah mereka selesai makan aku membantu mamak membereskan piring kotor, karena seperti biasanya mereka tidak memikirkan piring kotor.

“Mak, kok bisa seperti itu ya?” tanyaku sambil mencuci piring.

“Itu istrinya masak nangka muda, abangmu enggak suka katanya,” jawab mamak.

Mamak masih saja membela mereka karena mamak belum tahu kalau mereka hampir setiap hari makan di rumahku.

“Loh tau suaminya enggak suka kenapa di masak coba?” tanyaku lagi.

“Mungkin enggak ada sayuran lain.”

Aku ingin sekali menyadarkan mamak supaya mamak tahu betapa tidak wajarnya kelakuan mereka.

‘Apa mungkin jika sayur yang tidak di sukai suami di masak juga? Apa enggak ada sayuran lain?' batinku.

“Ah mamak ini,” gerutuku jengkel karena mamak selalu menilai positif.

“Tapi istrinya tadi kan makan juga, Mak, berarti kan mereka sama-sama lapar, Mak? Masa iya udah sarapan, sarapan lagi?” tanyaku.

Bab terkait

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 3

    Aku berusaha mencari jalan keluarnya, supaya bisa keluar dari masalah ini. Tidak mungkin semua ini di biarkan dalam jangka panjang.“Mungkin sarapannya terlalu pagi, jadi masih pagi udah lapar lagi,” jawab mamak sambil menggendong putriku.“Ya ampun mamaaaaaakk,” ucapku dengan mata berkaca-kaca.Berarti istrinya benaran enggak masak itu, pagi di sana, siang di situ, malam di sana. Hadeh.Aku menggerutu sendiri sambil menyapu, mencari cara supaya mereka kapok untuk makan di rumahku.Setelah seharian main di rumah mamak, akhirnya aku pulang setelah jam menunjukkan pukul empat sore. Aku tahu mereka tidak akan datang hari ini aku memasakkan telur dadar sambal kecap untuk malam ini. Enggak lupa juga aku membeli sesuatu untuk memberikan kejutan ke mereka.Malam ini rumah terasa damai, aku dan suami duduk bercerita sambil bersenda gurau bersama anak-anak. Setelah aku teringat mereka seketika aku diam.“Dek, kenapa?” tanya suamiku.Aku tidak menjawab, aku menulis sesuatu di status w******p set

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 4

    “Latif, belikan top kopi, ya! Dua ribu kan harganya?” tanya abang sepupuku menatapku sambil menyodorkan uang lima ribu rupiah kepada Latif. Abang sepupuku mengeluarkan dompetnya dari dalam saku celana. Mengeluarkan selembar uang senilai lima ribu rupiah.“Iya,” jawabku. “Kembaliannya untukmu, ya,” ucap abang sepupuku kepada Latif. “Iya, Terima kasih, Pakde,” ucap Latif sambil mengambil uangnya. Saat Latif hendak berangkat ke warung, Wulan datang menghampiri Latif yang masih berada di dekat pintu.“Sini, Bude, ada uang dua ribuan ini,” ucap kakak sepupuku sambil mengambil uang yang sudah di tangan Latif lalu memberikan uang dua ribu rupiah. Aku hanya tersenyum menggelengkan kepala melihatnya. Mungkin hatiku sakit, tapi aku tidak harus memperlihatkannya karena kami bukan orang yang kekurangan. “Dek, makan yuk!” ucap suamiku. “Belum mandi lagi.” “Sudah enggak apa-apa, toh masih wangi kan?”“Masih, dong,” ucapku tersenyum manis menahan tawa. Aku berjalan menuju dapur di ikuti kaka

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 5

    “Oh, ibu kira ada apa gitu yang di kerjakannya. Soalnya setiap hari loh, ya sudah,. Terimakasih, ya, Kak,” ucapnya setelah memberikan kembaliannya padaku. Jarak antara warung dengan rumahku tidak terlalu jauh, hanya selisih dua rumah saja. Maka dari itu mungkin beliau selalu melihat motor abang sepupuku sering parkir di halaman rumah. # # # # “Tuh, Mamakmu, sudah datang. Pakde, mau pulang,” ucap abang sepupuku seolah berbicara pada putriku. Aku hanya tersenyum saat mereka berpamitan pulang pada Mamak yang sedang di dapur, juga Nenek yang ada di kamar. Suara motor tidak lagi kedengaran. Aku pergi ke dapur menemui, Mamak. “Mak, tumben mereka enggak makan, ya? Mamak masak apa rupanya?” tanyaku. “Siapa bilang enggak makan, itu piring kotor siapa itu,” ucap mamak mendengus kesal. Beberapa piring kotor menumpuk di wastafel, aku mendengus sambil menggelengkan kepala. “Apa susahnya selesai makan itu di cuci piringnya, coba?” Mamak tersenyum memandangku, andai aku punya keberanian past

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 6

    RegitaRegita, memilih berpisah dengan suami untuk membebaskan hati dan pikiran yang selalu di sakiti oleh keluarga suami bahkan suaminya sendiri. Suami dan keluarganya selalu saja mencemoohnya karena sudah berusia delapan tahun Regita tidak bisa memberikan keturunan untuk keluarga mereka. Hingga suatu saat Regita memiliki bukti kehamilan. Bukti itu di genggam oleh Regita, saat dia akan memberikan pada suami, betapa hancurnya kala itu suaminya pulang dengan membawa seorang wanita untuk di jadikan istri tanpa izin dari suaminya. Bukti kehamilan itu di genggam erat oleh Regita. Dia memilih untuk pergi dan membesarkan anaknya sendirian. Mampukah Regita merawat anaknya sendiri? Bagaimana cara Regita memberitahu perihal sang ayah pada anaknya kala anaknya nanti dewasa?

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 7

    Zaky mengejar ayahnya sampai ke dalam rumah. Aku membiarkan begitu saja karena kalau aku ikut mengejarnya nanti ada pula yang salah paham. “Eh, itu mobil, pak RT!” ucapku memandang ke arah sebuah mobil yang akan masuk ke halaman rumah, Mila. Tanpa basa-basi Wulan langsung saja jalan ke sana, menemui Mila. Sedangkan aku masuk dulu ke rumah mengambil putriku yang masih bermain di dalam. Sambil berjalan aku membenahi baju anakku di bagian leher yang terlihat kendor akibat dari gilingan mesin cuci. “Iya, enggak apa-apa, kok. Cuman luka sedikit aja,” ucap Mbak Mila saat aku baru sampai di sana. “Walah, jadi berapalah habis untuk obatnya itu?” tanya Wulan memandang kening yang di perban. Aku duduk di samping Wulan, mbak Mila menatapku. “Eh, Mbak Thalia,” sapanya padaku. Aku nyengir dan menganggukkan kepala lalu ikut nimbrung apa yang sedang mereka bahas. Mas Harman pergi lagi keluar. Saat Mila mendengar suara motornya, Mila diam sambil menundukkan kepala. Ingin rasanya aku membantu ma

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 8

    Mamak menatapku dengan kening mengerut. Aku cekikikan lalu duduk di depannya. Hari ini hatiku puas betul rasanya.“Kenapa, Ta?” tanya mamak padaku. Aku menggeleng sambil terus tersenyum.Sore ini aku pulang tidak membawa putriku. Dia di minta mamak untuk tidur bersamanya malam ini. Aku melihat isi kulkas, hanya ada telur dan bunga kol saja.Aku meracik semua bahan, lalu memasaknya dengan rasa semangat. Tidak mungkin dia akan datang karena kejadian siang tadi.“Assalamualaikum...,” ucapan salam terdengar sampai dapur.Aku terpaku setelah sadar itu adalah suara kakak sepupuku. Dia masuk sambil meletakkan gawainya di meja makan.Dia masuk ke kamar mandi sambil membuka hijab lalu menyampirkannya di pintu. Memakai celana legging, hingga lekuk di bagian bokong hingga paha terlihat jelas. “Masak, apa, Ta?” tanyanya saat keluar dari kamar mandi sambil membenahi baju bagian bawah.“Ni!” sahutku memandang sayuran yang sedang kubolak-balikkan. Dia duduk di meja makan sambil memegang gawainya.

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 9

    “Sekarang kutanya, Mas! Kemarin kamu suruh aku untuk bilang ke dia supaya enggak makan lagi di rumah ini. Terus kenapa tadi kamu bilang kasihan? Apa coba maksudmu itu?” tanyaku sambil merengut. Aku membuka hijab lalu mencampakkannya begitu saja di meja rias. Dia memandangku sambil tetap memegang gawainya.“Mas sudah enggak mau ikut campur lagi, Dek, itu terserah kamu saja sekarang. Soalnya kalau di ributkan bikin malu juga, sih,” jawabnya. Dia meletakkan gawai di meja riasku yang ada di dekat ranjang, membenahi hijabku yang menimpa beberapa kosmetik lalu merayap ke tempat di mana dia biasa tidur.Berarti aku sendiri yang harus mencari cara bagaimana untuk ke depannya. Enggak mungkin aku melarang kalau tidak ada pendukung.Aku berpura-pura tidur lelap sampai kubunyikan suara dengkuran di saat tidur. Aku menunggu waktu untuk bisa memegang gawainya supaya lebih leluasa untuk aku memeriksanya.Aku mendengar suara dengkurannya sangat keras, ternyata dia sudah masuk dalam perangkap. Perlaha

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 10

    Aku tersenyum melirik ke arah, Mila. Begitu juga dengan Mila yang melirik ke arahku.Wulan masuk ke dalam kamarnya, beberapa saat kemudian dia keluar dengan membawa sebuah ponsel miliknya. Dia duduk menghadapku sambil memegang ponsel.“Oh, ya, enaklah. Datang tinggal makan, uda kenyang, pulang!” sahutku sambil tertawa lepas. Aku dan Mila tertawa sambil saling pandang. Dia tertawa getir.Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat ini. Yang penting aku bisa makan di rumahnya, bukan itu yang aku tuju. Aku bisa buat dia harus masak lagi untuk malam nanti. Hiks.Setelah aku selesai makan, kuletakkan begitu saja piring kotor bekasku makan di meja makan. Kuambil satu gelas air putih lalu meneguknya hingga habis. Gelas kotor itu kuletakkan di sebelah piring.“Jangan! Pakai ini saja!” ujarku pada Mila yang akan mengambil gelas bekasku minum tadi. Aku mengambilkan dua gelas bersih kuberi padanya dan anaknya.“Kak, piringnya sudah bersih semua, loh,” ucap Mila melihat ke sekeliling dapur yan

Bab terbaru

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 58

    Aku mengintai dari sudut ke sudut ternyata memang tidak ada suamiku di dalamnya. Hal seperti ini sudah beberapa kali terjadi, tapi aku tidak pernah aku cek kamar mandinya. Baru hari ini aku kepo tentang ketenangannya dia di dalam kamar mandi, tapi malah enggak ada orangnya.Aku berjalan ke depan untuk melihat sendal miliknya, tapi kenapa sendalnya masih ada di depan? Aku balik lagi berjalan ke belakang.Bruk!Aku dan Devan bertabrakan di pintu tengah yang di tutupi oleh kain gorden."Aduh! Kalau jalan itu lihat-lihat!" Ucapnya dengan nada tinggi.Astaga, dia kenapa? Apa yang salah dariku sampai-sampai dia ketus seperti ini? Niatku yang ingin bertanya padanya, aku urungkan. Aku lebih memilih masuk ke dalam kamar dan langsung merebahkan tubuhku di ranjang ketika dia sedang mencari sesuatu di lemari."Mana ini kolor nya!" Ucapnya tanpa memandangku.Aku hanya mendengarkan tanpa menjawab, kalau sudah dengan cara seperti itu jangan harap aku akan memedulikannya.Devan keluar masuk kamar, ak

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 57

    "Iya, loh dek," sahutnya dengan nada marah.Aku menatap Devan yang pergi ke arah dapur dan masuk ke dalam kamar mandi. Sudah beberapa bulan ini Devan kerja di bengkel tidak membuahkan hasil. Malah semua jadi kacau.Tabunganku merosot, padahal aku ikut serta mencari uang. Apa aku kasih tahu saja ya pekerjaan yang di tawarkan Dareen beberapa bulan lalu? Toh Dareen belum mendapatkan seorang sopir sampai saat ini.Aku berjalan ke arah luar rumah, di sana tampak Dareen sedang mengemudi mobilnya. Di sisi lain ada sang istri sedang melambaikan tangan ke arahnya.Tidak lama Devan berjalan ke arah luar, suamiku melewatiku begitu saja sambil mengeluarkan motor miliknya."Enggak sarapan dulu, Mas?" Tanyaku heran."Enggak. Nanti saja di luar," ucapnya tanpa memandangku. Matanya fokus dengan ban yang akan turun dari teras."Kamu ini, ya. Sudah tahu gaji kecil malah makan di luar. Enggak kasihan apa sama anak kamu yang makan seadanya gitu? Heran deh," ucapku kesal.Devan tidak menjawab pertanyaanku

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 56

    "Ya, waktu itu Mas Harman pernah kerja bareng ayahku. Pas dilihat ayah, tenaganya kuat. Kerjanya rajin, tiba udah nikah, males, makin ke sini malah kaya' tahe," ucapnya kesal.Aku tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Mila. Aku pernah juga mendengar desas-desus nya dulu kalau Mila hamil duluan, tapi aku enggak pernah bertanya karena kau tidak mau mencari masalah yang bukan urusanku.* * *"Mas, gimana tadi kerjanya? Capek?" Tanyaku."Enggak, Dek. Apalah capeknya, cuman megang kunci terus di putar-putar," ucap Devan sambil menghela nafas.Nafasnya begitu berat, aku yakin pasti keadaan sedang tidak baik-baik saja.Aku memeluknya saat kami masih tiduran di ranjang. Anak-anak sudah pada tidur, tanganku melingkar merangkul bagian dada bidangnya."Mas, sebenarnya ada masalah apa?" Tanyaku memaksa Devan untuk menjawab."Enggak ada apa-apa loh, dek.""Gimana enggak ada? Aku istrimu, dan aku tahu bagaimana kamu," ucapku.Aku sangat mengenal suamiku sehingga dia tidak akan bisa menutupi masal

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 55

    "Makan—? Hmmm, Aku belum masak, Mas," ucapku lirih."Kok bisa sih dek? Seharian di rumah, ngapain?" Tanya Devan dengan nada datar.Aku menceritakan semua kejadian tadi, namun, aku belum bicara soal Dareen yang memberikannya pekerjaan sebagai sopir.Aku belum siap untuk di tinggal malam-malam oleh Devan karena masih trauma dengan kejadian beberapa malam yang lalu."Ya, sudah, beli mie instan aja dek, laper," ucapnya sambil merebahkan tubuhnya di depan TV."Bentar, ya, mas," ucapku sambil mengambil uang dari dalam dompet.Aku berjalan menuju rumah Bu Endah, rumah itu terlihat sangat sepi, sampai aku berada di depan pintunya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya."Buuu, Bu Endah," panggilku dengan suara sedikit agak keras. Bu Endah keluar dari arah belakang, "Ada apa, Ta? Tanyanya."Bu, mie instan, dua," ucapku sambil menunjuk sebuah kotak mie kesukaan suamiku yang terbungkus oleh plastik berwarna hijau.Dengan sigap, Bu Endah memasukkan dua bungkus mie instan ke dalam plastik be

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 54

    "Ini tas saya, jadi hak saya dong boleh di periksa atau tidak?" Ucap Bu Henna menahan."Bu, katanya tadi mau di selesaikan dengan cara baik-baik. Kalau tidak ada apa-apa di sana, ya, sudah jangan takut," timpalku.Bu Henna perlahan melepaskan tali tote bage dari lengannya. Namun, Echa mencoba menahan. "Bu, jangan! Ini kan punya ibu," ujar Echa mencoba ikut menahan.Aku tersenyum sinis menatap keduanya. Hari menjelang sore, terik matahari masih ikut serta menambah hawa panas keadaan.Bu Henna memberikan tote bage miliknya kepada Dareen. Perlahan Dareen menarik resleting untuk membukanya. Setelah terbuka, mata Dareen membelalak lebar melihat isi dalamnya lalu menatap Bu Henna dengan rasa penuh curiga.Tidak sungkan-sungkan, Dareen menumpahkan semua isi dalam tas Bu Henna dengan menungging kan. Sontak mata kami semua membelalak melihat setumpuk uang dan dua buah kotak perhiasan. Aku terperangah menatap uang yang masih tersusun rapi di ikat dengan sebuah karet gelang."Ya Allah, Bu, ter

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 53

    "Kok tanya saya, memangnya saya tukang emas?" Ucapnya ketus sambil mendengus, matanya memandangku dengan kesal. "Loh, kan saya tanya, Bu, siapa tahu ibu tau harganya," ucapku dengan nada santai.Mila masih cengengesan sambil melirik-lirik ke arahku. Wanita itu enggan ikut campur, aku pun tidak menyarankan Mila untuk ikut turun tangan mengenai hal ini.Henna—ibu mertua Mila yang sangat judes dan bengis. Semua yang di lakukan Mila pasti salah, mungkin memang karena faktor status menantu.Echa memberikan kunci motor padaku sambil menyelipkan rambut poni panjangnya ke belakang telinga."Nih, Mbak, kuncinya," ucap Echa."Aku hanya menengadah satu tangan, lalu kumasukkan ke dalam saku celana."Terima kasih, gitu loh, Cha! Wong sudah di pinjami kok enggak berterimakasih," sungut Mila kesal. Matanya melirik ke atas untuk menatap wajah Echa.Gadis itu tak menjawab apa pun, malah pergi meninggalkan kami di sana, tangannya membawa tiga tote bage berwarna coklat.Bu Henna masih berdiri sambil me

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 52

    "Nyembunyikan apa? Suamiku tuh di balik tirai," sahutku cekikikan. "Dia terpesona, Cha, sama kecantikan mu," ucapku tertawa kekeh. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain jujur.Echa tampak menyembunyikan senyumnya, matanya melirik ke sana sini tak tentu arah. Aku baru sadar ternyata Echa ada rasa juga sama suamiku. Tapi biarlah yang ku pentingkan uang Bu Endah dulu. Sisanya nanti."Ini, kuncinya, Cha," ucapku sambil mengangsur sebuah kunci motor.Echa mengambil kunci dari tanganku seperti kunci motor miliknya. Gadis itu mengambilnya begitu saja, seperti milik dia sendiri. Dasar!Aku dan Mila menyaksikan kepergian mereka, Mila menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata "Semoga aku betah mereka tinggal di rumahku, Mbak."Aku memandangnya sambil tersenyum, "Yuk!""Ke mana, Mbak?""Siap-siap, kita intai mereka dari dekat," ucapku.Aku masuk ke dalam rumah lalu mengambil kunci motor dan helm milik suamiku. Aku tersenyum saat melihat suamiku memakai baju yang kubeli kemarin. Dia terlih

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 51

    Mila memegang tanganku, "Mbak, kemarin, pas kita mau pulang itu 'kan aku di panggil sama ibu, terus aku di suruh manggil Echa. Enggak lama kemudian Echa pulang sambil memegang sesuatu di tangannya. Tangannya loh di masukkan ke dalam baju pas aku tanya apa yang kamu pegang, dia jawabnya, bukan urusan Mbak! Ya udah akunya diam aja.""Jangan-jangan ..." Kataku sambil termenung. "Astaghfirullah, Mil, jangan sampailah," ucapku."Jangan sampailah, Mbak. Kalau memang betul aku yang malu sama Bu Endah," sungut Mila.Pikiranku dan Mila sama, Jangan-jangan ini ulah mertua dan adik ipar Mila. Amit-amit."Yang enggak enaknya, Bu Endah itu beda lihat aku, Mil. Karena kemarin aku yang pegang tas itu, tapi langsungku kasih lagi ke dia tasnya," ucapku sambil menghela nafas. "Malah tadi dia ke sini nanyain itu, pas aku jawab dia rada gimana gitu.""Ya sudah, Mbak, kita cari tersangkanya. Kita selidik," ucap Mila sambil meringis.Tidak lama kemudian aku dan Mila keluar dari kamar, di sana sudah ada sua

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 50

    "Apa loh, mas?" Tanyaku saat sampai di kamar."Bajuku mana?""Sana minta di rumah Bu RT! Wong nyari baju kok susah kali kaya' nya. Baju di lemari segunung pun entah yang kaya' mana lagi yang di cari.""Yang kaos pakai kerah itu loh.""Walah, kok gaya kali cuman sini situ doang. Nih!" Ucapku kesal sambil mencampakkan baju ke pundak Devan."Ya, jangan marah-marah, Dek," sahut Devan ketar-ketir. Entah kenapa aku merasakan tidak enak hati hari ini, emosiku kok mendadak meluap-luap.Aku memandang suamiku yang tengah berjalan ke rumah Bu Endah, tangannya membenahi kerah baju berwarna hijau muda.Dari kejauhan, tampak Echa sedang tergesa-gesa berjalan menuju rumah. Suamiku berpapasan dengan Echa, namun, wajah Echa terus menunduk dengan tangan yang masuk ke dalam baju.* * *"Mas, tadi ramai 'kan yang jenguk. Mangkanya jadi orang itu yang baik, kaya' pakde. Jadi semua orang ikut merasakan sakitnya.""Ya, Mas kan baik loh, Dek," sahut Devan sambil mengutak-atik motornya.Malam ini aku dan Dev

DMCA.com Protection Status