“Oh, ibu kira ada apa gitu yang di kerjakannya. Soalnya setiap hari loh, ya sudah,. Terimakasih, ya, Kak,” ucapnya setelah memberikan kembaliannya padaku.
Jarak antara warung dengan rumahku tidak terlalu jauh, hanya selisih dua rumah saja. Maka dari itu mungkin beliau selalu melihat motor abang sepupuku sering parkir di halaman rumah.# # # #“Tuh, Mamakmu, sudah datang. Pakde, mau pulang,” ucap abang sepupuku seolah berbicara pada putriku.Aku hanya tersenyum saat mereka berpamitan pulang pada Mamak yang sedang di dapur, juga Nenek yang ada di kamar. Suara motor tidak lagi kedengaran. Aku pergi ke dapur menemui, Mamak.“Mak, tumben mereka enggak makan, ya? Mamak masak apa rupanya?” tanyaku.“Siapa bilang enggak makan, itu piring kotor siapa itu,” ucap mamak mendengus kesal.Beberapa piring kotor menumpuk di wastafel, aku mendengus sambil menggelengkan kepala.“Apa susahnya selesai makan itu di cuci piringnya, coba?”Mamak tersenyum memandangku, andai aku punya keberanian pasti sudah kuadukan mereka ke orang tuanya.“Masih pagi sudah berkeliaran mencari makan di rumah orang,” ucapku kesal.“Mungkin, istrinya lelah karena sedang hamil, bisa jadi seperti itu, 'kan?” ucap mamak tanpa memandangku.Aku memandang mamak yang sedang bermain di lantai dapur bersama putriku. Aku ingin seperti mamak yang terus berpikir positif. Tapi sayangnya sulit untukku melakukannya.“Sudahlah, mungkin jika dia sudah melahirkan, tidak akan seperti ini,” ujar mamak.“Tapi kalau masih berkelanjutan bagaimana, Mak?” tanyaku sambil membereskan meja makan.Mamak hanya diam, mungkin aku sudah keterlaluan. Secara tidak langsung aku memaksa mamak untuk membicarakan semua ini ke abangnya, bapak dari abang sepupuku.Aku menggulung lengan bajuku, bersiap untuk mencuci piring, aku enggak rela kalau mamak mencuci piring bekas makan mereka. Aku memandangi langkah kaki mamak yang sedang jalan menuju arah luar sampai akhirnya langkahan kaki itu tidak terlihat lagi.'kakak sepupu yang satu lagi itu katanya mau ke sini. Tapi enggak sampai-sampai,' gerutuku sambil mencuci piring.“Mak, aku pulang,” Aku pamit pada mamak setelah selesai mencuci piring.Mamak hanya menganggukkan kepala sambil senyam-senyum memandangku memberi isyarat padaku untuk mendengarkan cerita tetangganya yang sedang duduk di teras, menceritakan tantang, Wulan. Setelah mendengar nama Wulan, kuurungkan niatku untuk pulang, aku duduk di sebelah mamak sambil menatap, Bu Eli."Pas dia makan lontong, aku kira dia yang buat sendiri! Jadi, aku bilang mau," ujar Bu Eli, lalu dia menarik napas panjang, "dia jawab, enggak ada lagi, Bik. Ini beli online, jadi cuma sedikit!" imbuh, Bu Eli dengan mempraktekkan gaya centil Wulan saat berbicara.“Terus?” tanya mamak penasaran sambil membenahi duduknya.Aku mengambil putriku dari tangan mamak, lalu kususui.“Waktu kutanya, masak apa, Lan? Dia jawab belum masak. Mau makan apa coba itu suaminya?” lanjutnya.“Bibi, enggak tanya, rencana mau masak apa, gitu?” tanyaku penasaran sambil memandangnya.Suasana hening saat kami menyadari ada seorang pengendara motor menuju ke arah kami.“Bu, ini rumah bibinya, Wulan, ya?” tanyanya setelah motor berhenti.“Iya, dengan siapa, ya?” tanyaku penasaran.Pengendara motor itu membuka helm lalu mencari sesuatu di dalam tas yang berukuran besar. Persis seperti kurir pengantar barang.“Maaf, Bu, ini pesanan Wulan. Katanya saat ini, Mbak Wulan sedang tidak ada di rumah maka dia memberi alamat rumah ini waktu saya telpon tadi,” jelasnya sambil memberikan bingkisan berukuran sedang.“Kenapa ngantarnya ke sini? Kan ada rumahnya,” tanyaku dengan nada tinggi karena terbawa emosi.Apa maksudnya memberikan alamat rumah mamakku? Sedangkan rumahnya ada, rumah ibunya juga ada.“Sudah di bayar?” tanyaku.“Belum,” pria itu menggelengkan kepala pelan.Sudah kuduga. Kenapa harus kami yang selalu kena imbasnya. Aku mendengus kesal saat mamak bertanya harga barang yang harus di bayarnya. Dari pada aku naik tensi mending aku pamit pada mamak untuk pulang.Setelah mendengar cerita tadi, aku dilema. Antara menyalahkan abangku yang tidak bisa mendidik istri atau menyalahkan Wulan yang terlalu malas masak. Aku berjalan menuju rumah sambil terus berpikir tentang apa yang harus aku lakukan.[Dek, kenapa tadi enggak jadi ke rumah, mamak?] tulisku di messenger sambil berjalan kaki lalu kukirim kan pada Era, adikku.[Mendadak ada tetangga datang tadi, Kak,] tidak lama balasan kuterima.'Pantas saja tidak datang,' batinku. Aku meneruskan perjalanan pulang.Sore ini aku memasak cah kangkung, tidak banyak karena beli di warung. Berhubung malam nanti ada pasar, aku tidak membeli apa-apa lagi selain kangkung. Aku memasak sambil menggendong putriku.“Semua sudah selesai, tinggal kita lagi mandi, Dek,” ujarku pada putriku saat menggendongnya masuk ke dalam kamar.Tidak terasa suara adzan berkumandang, tidak lama suamiku pun pulang. Di belakangnya di susul oleh Abang sepupuku.“Lho, kok datang?” ucapku keceplosan. Sangat terkejut melihat mereka datang lagi.“Weh sudah mandi, ya,” ucap kakak sepupuku mengambil putriku dari dekapanku.“Sudahlah, Bude, sudah malam juga, kan,” jawabku.Dia hanya tertawa cekikikan mendengar jawabanku, Aku menatap suamiku yang cengar-cengir menahan tawa. Aku kesal, malah dia merasa geli.“Masuk, Kak! Magrib,” ucapku tanpa memandangnya dan kutinggalkan begitu saja.Mereka mengikutiku dari belakang untuk masuk ke dalam rumah. Seperti biasa, menyalakan televisi dan juga kipas angin. Padahal magrib adalah waktu untuk beribadah, ini malah mencari hiburan. Mau di nasehatin nanti di bilang sok alim.“Kakak, mau ke pasar nanti, maka ke sini dulu,” ujarnya sekilas memandangku lalu mengalihkan pandangannya kembali ke layar televisi.“Ohh ...” jawabku singkat.'Padahal sudah terbiasa, kenapa pakai basa basi segala coba? Bikin kesel hati saja,' gumamku.Aku menatap jam yang melingkar di dinding menunjukkan pukul tujuh, perut terasa perih karena dari sore memang belum makan. Aku perlahan berjalan ke dapur berniat untuk makan seorang diri, tapi di susul oleh Abang sepupuku.“Masak apa, Ta?”“Cah kangkung.”Tanpa basa-basi dia mengambil sebuah piring lalu ikut makan di sebelahku. Tidak lama istrinya pun ikut ke dapur dengan beralasan mencari air mineral. Padahal mau cari makan itu, pakai basa-basi cari minum segala.“Dipuu, mana, Kak?” tanyaku terkejut saat melihatnya sendiri ke dapur.“Itu sama, Abangnya,” jawabnya sambil mencomot sebuah bakwan yang ada di meja menggunakan tangan kiri, karena tangan kanannya sedang memegang sebuah gelas. Tidak sopan!Secepatnya aku menghabiskan nasi di piringku, karena takut terjadi apa-apa dengan putri kecilku. Aku belum bisa mempercayai begitu saja untuk memberikan putriku pada putraku.“Kok udahan, Ta,” tanya abang sepupuku saat melihatku beranjak dari duduk.“Iya, takut, Dipuu kenapa-kenapa,” jawabku sambil berjalan ke ruang keluarga.Mereka berdua sibuk makan di dapur, Aku bermain bersama anak-anak di ruang keluarga.“Dek, Mas, keluar dulu bentar, ya,” ucap Devan mencium putriku.“Enggak ikut makan?” ucapku memandangnya.“Nanti saja, enggak enak sudah di tunggu kawan, sebentar saja kok enggak lama,” jawabnya sambil berjalan ke arah luar.Benar tidak lama, tiga puluh menit kemudian, suara motor Devan terdengar, Devan sudah pulang. Kakak dan Abang sepupuku masih duduk nonton televisi. Aku memberikan putriku pada kakak sepupuku.Aku pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil, saat aku sampai di meja makan, kuperiksa tudung saji.‘Astagfirullah, sayurnya habis? Devan belum makan, berarti aku masak malam ini hanya untuk mereka?’ batinku dengan mata berkaca-kaca.“Makan yuk, Bang, Kak!” terdengar ucapan suamiku dari dapur.Aku duduk di kursi sambil nangis batin, kalau begini terus aku benar-benar tidak kuat rasanya. Suamiku berdiri di pintu tengah memandangiku, aku sadar kalau suamiku memandangiku tapi aku tetap memandang dengan pandangan kosong.“Dek, kenapa?”“Sayurnya habis, Mas.”Suamiku diam, aku merasa bersalah, kenapa tidak aku sisihkan terlebih dahulu untuk suamiku? Kenapa aku terlalu bodoh?“Ya sudah enggak apa-apa, Dek, mas makan diluar saja,” jawabnya pergi meninggalkanku.Aku tertegun, mau menjawab tapi enggak tahu harus jawab apa. Seperti ada yang mengganjal di tenggorokanku, tidak ada sepatah kata pun yang bisa kuucapkan.Aku kembali ke ruang keluarga dengan hati yang sakit dan mata berkaca-kaca, aku mengambil putriku lalu kutinggalkan mereka berdua begitu saja.“Mau tidur, ya?” tanya kakak sepupuku menatapku.Aku hanya menganggukkan kepala dan berlalu ke kamar. Aku tidak bisa berpikir, pikiranku pergi entah ke mana.Aku tahu kelakuan mereka saat ini di luar batas kewajaran, sampai-sampai, Devan benar-benar kecewa. Tapi aku harus apa?RegitaRegita, memilih berpisah dengan suami untuk membebaskan hati dan pikiran yang selalu di sakiti oleh keluarga suami bahkan suaminya sendiri. Suami dan keluarganya selalu saja mencemoohnya karena sudah berusia delapan tahun Regita tidak bisa memberikan keturunan untuk keluarga mereka. Hingga suatu saat Regita memiliki bukti kehamilan. Bukti itu di genggam oleh Regita, saat dia akan memberikan pada suami, betapa hancurnya kala itu suaminya pulang dengan membawa seorang wanita untuk di jadikan istri tanpa izin dari suaminya. Bukti kehamilan itu di genggam erat oleh Regita. Dia memilih untuk pergi dan membesarkan anaknya sendirian. Mampukah Regita merawat anaknya sendiri? Bagaimana cara Regita memberitahu perihal sang ayah pada anaknya kala anaknya nanti dewasa?
Zaky mengejar ayahnya sampai ke dalam rumah. Aku membiarkan begitu saja karena kalau aku ikut mengejarnya nanti ada pula yang salah paham. “Eh, itu mobil, pak RT!” ucapku memandang ke arah sebuah mobil yang akan masuk ke halaman rumah, Mila. Tanpa basa-basi Wulan langsung saja jalan ke sana, menemui Mila. Sedangkan aku masuk dulu ke rumah mengambil putriku yang masih bermain di dalam. Sambil berjalan aku membenahi baju anakku di bagian leher yang terlihat kendor akibat dari gilingan mesin cuci. “Iya, enggak apa-apa, kok. Cuman luka sedikit aja,” ucap Mbak Mila saat aku baru sampai di sana. “Walah, jadi berapalah habis untuk obatnya itu?” tanya Wulan memandang kening yang di perban. Aku duduk di samping Wulan, mbak Mila menatapku. “Eh, Mbak Thalia,” sapanya padaku. Aku nyengir dan menganggukkan kepala lalu ikut nimbrung apa yang sedang mereka bahas. Mas Harman pergi lagi keluar. Saat Mila mendengar suara motornya, Mila diam sambil menundukkan kepala. Ingin rasanya aku membantu ma
Mamak menatapku dengan kening mengerut. Aku cekikikan lalu duduk di depannya. Hari ini hatiku puas betul rasanya.“Kenapa, Ta?” tanya mamak padaku. Aku menggeleng sambil terus tersenyum.Sore ini aku pulang tidak membawa putriku. Dia di minta mamak untuk tidur bersamanya malam ini. Aku melihat isi kulkas, hanya ada telur dan bunga kol saja.Aku meracik semua bahan, lalu memasaknya dengan rasa semangat. Tidak mungkin dia akan datang karena kejadian siang tadi.“Assalamualaikum...,” ucapan salam terdengar sampai dapur.Aku terpaku setelah sadar itu adalah suara kakak sepupuku. Dia masuk sambil meletakkan gawainya di meja makan.Dia masuk ke kamar mandi sambil membuka hijab lalu menyampirkannya di pintu. Memakai celana legging, hingga lekuk di bagian bokong hingga paha terlihat jelas. “Masak, apa, Ta?” tanyanya saat keluar dari kamar mandi sambil membenahi baju bagian bawah.“Ni!” sahutku memandang sayuran yang sedang kubolak-balikkan. Dia duduk di meja makan sambil memegang gawainya.
“Sekarang kutanya, Mas! Kemarin kamu suruh aku untuk bilang ke dia supaya enggak makan lagi di rumah ini. Terus kenapa tadi kamu bilang kasihan? Apa coba maksudmu itu?” tanyaku sambil merengut. Aku membuka hijab lalu mencampakkannya begitu saja di meja rias. Dia memandangku sambil tetap memegang gawainya.“Mas sudah enggak mau ikut campur lagi, Dek, itu terserah kamu saja sekarang. Soalnya kalau di ributkan bikin malu juga, sih,” jawabnya. Dia meletakkan gawai di meja riasku yang ada di dekat ranjang, membenahi hijabku yang menimpa beberapa kosmetik lalu merayap ke tempat di mana dia biasa tidur.Berarti aku sendiri yang harus mencari cara bagaimana untuk ke depannya. Enggak mungkin aku melarang kalau tidak ada pendukung.Aku berpura-pura tidur lelap sampai kubunyikan suara dengkuran di saat tidur. Aku menunggu waktu untuk bisa memegang gawainya supaya lebih leluasa untuk aku memeriksanya.Aku mendengar suara dengkurannya sangat keras, ternyata dia sudah masuk dalam perangkap. Perlaha
Aku tersenyum melirik ke arah, Mila. Begitu juga dengan Mila yang melirik ke arahku.Wulan masuk ke dalam kamarnya, beberapa saat kemudian dia keluar dengan membawa sebuah ponsel miliknya. Dia duduk menghadapku sambil memegang ponsel.“Oh, ya, enaklah. Datang tinggal makan, uda kenyang, pulang!” sahutku sambil tertawa lepas. Aku dan Mila tertawa sambil saling pandang. Dia tertawa getir.Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat ini. Yang penting aku bisa makan di rumahnya, bukan itu yang aku tuju. Aku bisa buat dia harus masak lagi untuk malam nanti. Hiks.Setelah aku selesai makan, kuletakkan begitu saja piring kotor bekasku makan di meja makan. Kuambil satu gelas air putih lalu meneguknya hingga habis. Gelas kotor itu kuletakkan di sebelah piring.“Jangan! Pakai ini saja!” ujarku pada Mila yang akan mengambil gelas bekasku minum tadi. Aku mengambilkan dua gelas bersih kuberi padanya dan anaknya.“Kak, piringnya sudah bersih semua, loh,” ucap Mila melihat ke sekeliling dapur yan
“Kok enggak ucapkan salam, Mas?” tanyaku saat Devan melintas begitu saja di ruang keluarga. Dia hanya menoleh ke arahku tanpa menjawab pertanyaan dariku.Aku memutarkan otomatis setrika sambil melihat jam yang menempel di dinding. Ternyata sudah jam sepuluh malam, tidak terasa sudah dua jam aku duduk dan menyetrika di sini. Aku mematikan televisi lalu menyusulnya ke belakang. Ternyata dia sedang duduk di meja makan dengan menopang dagu.“Mas,” panggilku lirih karena malam ini semua anakku sudah pada tidur. Dia hanya menatapku sesaat. Kali ini tatapannya sinis padaku.“Apa salahku?” tanyaku. Dia mendehem untuk memperlancar suaranya.Inilah Devan, kalau ada masalah selalu diam. Bukan nasehati atau apalah gitu. Malah semakin diam. Dia diam karena ada masalah kerjanya entah karena dia memikirkan dengan kelakuanku siang tadi.Padahal aku ingin sekali cerita padanya mengenai Mila. Tapi sekarang aku malah jadi takut. Sepinya malam ini membuat perasaanku semakin sepi lagi tanpa adanya suara
“Lihatlah sendiri itu di meja!” ucapku ketus tanpa memandangnya. Dia sudah duduk di kursi dengan gaya bak ratu sedang duduk di istana.“Kakak, lapar, belum makan,” ucapnya sambil membuka tudung sajiku. Aku hanya diam tidak menawarkannya untuk makan. Aku acuh tak acuh padanya, sok sibuk dengan pekerjaanku. Karena masih pagi, pekerjaan yang harus aku lakukan itu masih banyak dan menumpuk.Aku perlahan membereskan tempat tidur, karena di kasur masih ada putriku, aku pelan-pelan menarik selimut yang sedikit melilit di kakinya supaya dia tidak terbangun. Menumpuk beberapa bantal di sudut ranjang, lalu merapikan meja riasku yang kelihatan berantakan.“Ta! Kakak pulang, ya,” ucapnya padaku di pintu kamar. Suaranya mengisi ruangan akhirnya putriku pun terbangun.“Ma_ma_k,” ucapnya sambil menangis. “Kakak ini loh, tahu anakku masih tidur pun berkoar-koar,” ucapku ketus sambil merengut. Dia tertawa terbahak-bahak melihatnya.Dia tidak merasa bersalah, malah dia berlalu meninggalkan kamarku.
“Ya, jangan emosi gitu, Mbak!” Gelak tawanya terdengar keras. Memanglah, ya, baru bikin sakit hati orang, bukan ada rasa enggak enak hati. Malah tertawa lebar seperti itu.Bu Sarni berjalan tergopoh-gopoh dengan membawa dua keranjang di tangan kanan dan kirinya. Dengan mengenakan daster berwarna hijau tua yang dia kenakan sudah memudar warnanya, hijabnya sudah tidak kencang lagi alias molor.“Bu!” panggilku.Dia tersenyum mengarahku, Rahayu lewat begitu saja saat berpapasan dengan ibunya. Jangankan menyapa, menoleh pun tidak. Bu Sarni memutarkan kepala melihat tingkah anaknya sedang gila dengan gawainya.“Bu! Sayurnya apa?” tanyaku saat Bu Sarni sudah dekat.“Cuman dua macam, Ta!” jawabnya sambil meletakkan dua keranjang berisi dagangannya di teras rumahku.Dia membuka plastik berwarna hitam. Di dalamnya berisi sayuran masak yang sudah di bungkus dengan plastik kiloan. “Ini ada gulai nangka di campur telur, Ta. Ini yang satu gulai jengkol di campur ceker,” ucapnya. Dia meletakkan d
Aku mengintai dari sudut ke sudut ternyata memang tidak ada suamiku di dalamnya. Hal seperti ini sudah beberapa kali terjadi, tapi aku tidak pernah aku cek kamar mandinya. Baru hari ini aku kepo tentang ketenangannya dia di dalam kamar mandi, tapi malah enggak ada orangnya.Aku berjalan ke depan untuk melihat sendal miliknya, tapi kenapa sendalnya masih ada di depan? Aku balik lagi berjalan ke belakang.Bruk!Aku dan Devan bertabrakan di pintu tengah yang di tutupi oleh kain gorden."Aduh! Kalau jalan itu lihat-lihat!" Ucapnya dengan nada tinggi.Astaga, dia kenapa? Apa yang salah dariku sampai-sampai dia ketus seperti ini? Niatku yang ingin bertanya padanya, aku urungkan. Aku lebih memilih masuk ke dalam kamar dan langsung merebahkan tubuhku di ranjang ketika dia sedang mencari sesuatu di lemari."Mana ini kolor nya!" Ucapnya tanpa memandangku.Aku hanya mendengarkan tanpa menjawab, kalau sudah dengan cara seperti itu jangan harap aku akan memedulikannya.Devan keluar masuk kamar, ak
"Iya, loh dek," sahutnya dengan nada marah.Aku menatap Devan yang pergi ke arah dapur dan masuk ke dalam kamar mandi. Sudah beberapa bulan ini Devan kerja di bengkel tidak membuahkan hasil. Malah semua jadi kacau.Tabunganku merosot, padahal aku ikut serta mencari uang. Apa aku kasih tahu saja ya pekerjaan yang di tawarkan Dareen beberapa bulan lalu? Toh Dareen belum mendapatkan seorang sopir sampai saat ini.Aku berjalan ke arah luar rumah, di sana tampak Dareen sedang mengemudi mobilnya. Di sisi lain ada sang istri sedang melambaikan tangan ke arahnya.Tidak lama Devan berjalan ke arah luar, suamiku melewatiku begitu saja sambil mengeluarkan motor miliknya."Enggak sarapan dulu, Mas?" Tanyaku heran."Enggak. Nanti saja di luar," ucapnya tanpa memandangku. Matanya fokus dengan ban yang akan turun dari teras."Kamu ini, ya. Sudah tahu gaji kecil malah makan di luar. Enggak kasihan apa sama anak kamu yang makan seadanya gitu? Heran deh," ucapku kesal.Devan tidak menjawab pertanyaanku
"Ya, waktu itu Mas Harman pernah kerja bareng ayahku. Pas dilihat ayah, tenaganya kuat. Kerjanya rajin, tiba udah nikah, males, makin ke sini malah kaya' tahe," ucapnya kesal.Aku tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Mila. Aku pernah juga mendengar desas-desus nya dulu kalau Mila hamil duluan, tapi aku enggak pernah bertanya karena kau tidak mau mencari masalah yang bukan urusanku.* * *"Mas, gimana tadi kerjanya? Capek?" Tanyaku."Enggak, Dek. Apalah capeknya, cuman megang kunci terus di putar-putar," ucap Devan sambil menghela nafas.Nafasnya begitu berat, aku yakin pasti keadaan sedang tidak baik-baik saja.Aku memeluknya saat kami masih tiduran di ranjang. Anak-anak sudah pada tidur, tanganku melingkar merangkul bagian dada bidangnya."Mas, sebenarnya ada masalah apa?" Tanyaku memaksa Devan untuk menjawab."Enggak ada apa-apa loh, dek.""Gimana enggak ada? Aku istrimu, dan aku tahu bagaimana kamu," ucapku.Aku sangat mengenal suamiku sehingga dia tidak akan bisa menutupi masal
"Makan—? Hmmm, Aku belum masak, Mas," ucapku lirih."Kok bisa sih dek? Seharian di rumah, ngapain?" Tanya Devan dengan nada datar.Aku menceritakan semua kejadian tadi, namun, aku belum bicara soal Dareen yang memberikannya pekerjaan sebagai sopir.Aku belum siap untuk di tinggal malam-malam oleh Devan karena masih trauma dengan kejadian beberapa malam yang lalu."Ya, sudah, beli mie instan aja dek, laper," ucapnya sambil merebahkan tubuhnya di depan TV."Bentar, ya, mas," ucapku sambil mengambil uang dari dalam dompet.Aku berjalan menuju rumah Bu Endah, rumah itu terlihat sangat sepi, sampai aku berada di depan pintunya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya."Buuu, Bu Endah," panggilku dengan suara sedikit agak keras. Bu Endah keluar dari arah belakang, "Ada apa, Ta? Tanyanya."Bu, mie instan, dua," ucapku sambil menunjuk sebuah kotak mie kesukaan suamiku yang terbungkus oleh plastik berwarna hijau.Dengan sigap, Bu Endah memasukkan dua bungkus mie instan ke dalam plastik be
"Ini tas saya, jadi hak saya dong boleh di periksa atau tidak?" Ucap Bu Henna menahan."Bu, katanya tadi mau di selesaikan dengan cara baik-baik. Kalau tidak ada apa-apa di sana, ya, sudah jangan takut," timpalku.Bu Henna perlahan melepaskan tali tote bage dari lengannya. Namun, Echa mencoba menahan. "Bu, jangan! Ini kan punya ibu," ujar Echa mencoba ikut menahan.Aku tersenyum sinis menatap keduanya. Hari menjelang sore, terik matahari masih ikut serta menambah hawa panas keadaan.Bu Henna memberikan tote bage miliknya kepada Dareen. Perlahan Dareen menarik resleting untuk membukanya. Setelah terbuka, mata Dareen membelalak lebar melihat isi dalamnya lalu menatap Bu Henna dengan rasa penuh curiga.Tidak sungkan-sungkan, Dareen menumpahkan semua isi dalam tas Bu Henna dengan menungging kan. Sontak mata kami semua membelalak melihat setumpuk uang dan dua buah kotak perhiasan. Aku terperangah menatap uang yang masih tersusun rapi di ikat dengan sebuah karet gelang."Ya Allah, Bu, ter
"Kok tanya saya, memangnya saya tukang emas?" Ucapnya ketus sambil mendengus, matanya memandangku dengan kesal. "Loh, kan saya tanya, Bu, siapa tahu ibu tau harganya," ucapku dengan nada santai.Mila masih cengengesan sambil melirik-lirik ke arahku. Wanita itu enggan ikut campur, aku pun tidak menyarankan Mila untuk ikut turun tangan mengenai hal ini.Henna—ibu mertua Mila yang sangat judes dan bengis. Semua yang di lakukan Mila pasti salah, mungkin memang karena faktor status menantu.Echa memberikan kunci motor padaku sambil menyelipkan rambut poni panjangnya ke belakang telinga."Nih, Mbak, kuncinya," ucap Echa."Aku hanya menengadah satu tangan, lalu kumasukkan ke dalam saku celana."Terima kasih, gitu loh, Cha! Wong sudah di pinjami kok enggak berterimakasih," sungut Mila kesal. Matanya melirik ke atas untuk menatap wajah Echa.Gadis itu tak menjawab apa pun, malah pergi meninggalkan kami di sana, tangannya membawa tiga tote bage berwarna coklat.Bu Henna masih berdiri sambil me
"Nyembunyikan apa? Suamiku tuh di balik tirai," sahutku cekikikan. "Dia terpesona, Cha, sama kecantikan mu," ucapku tertawa kekeh. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain jujur.Echa tampak menyembunyikan senyumnya, matanya melirik ke sana sini tak tentu arah. Aku baru sadar ternyata Echa ada rasa juga sama suamiku. Tapi biarlah yang ku pentingkan uang Bu Endah dulu. Sisanya nanti."Ini, kuncinya, Cha," ucapku sambil mengangsur sebuah kunci motor.Echa mengambil kunci dari tanganku seperti kunci motor miliknya. Gadis itu mengambilnya begitu saja, seperti milik dia sendiri. Dasar!Aku dan Mila menyaksikan kepergian mereka, Mila menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata "Semoga aku betah mereka tinggal di rumahku, Mbak."Aku memandangnya sambil tersenyum, "Yuk!""Ke mana, Mbak?""Siap-siap, kita intai mereka dari dekat," ucapku.Aku masuk ke dalam rumah lalu mengambil kunci motor dan helm milik suamiku. Aku tersenyum saat melihat suamiku memakai baju yang kubeli kemarin. Dia terlih
Mila memegang tanganku, "Mbak, kemarin, pas kita mau pulang itu 'kan aku di panggil sama ibu, terus aku di suruh manggil Echa. Enggak lama kemudian Echa pulang sambil memegang sesuatu di tangannya. Tangannya loh di masukkan ke dalam baju pas aku tanya apa yang kamu pegang, dia jawabnya, bukan urusan Mbak! Ya udah akunya diam aja.""Jangan-jangan ..." Kataku sambil termenung. "Astaghfirullah, Mil, jangan sampailah," ucapku."Jangan sampailah, Mbak. Kalau memang betul aku yang malu sama Bu Endah," sungut Mila.Pikiranku dan Mila sama, Jangan-jangan ini ulah mertua dan adik ipar Mila. Amit-amit."Yang enggak enaknya, Bu Endah itu beda lihat aku, Mil. Karena kemarin aku yang pegang tas itu, tapi langsungku kasih lagi ke dia tasnya," ucapku sambil menghela nafas. "Malah tadi dia ke sini nanyain itu, pas aku jawab dia rada gimana gitu.""Ya sudah, Mbak, kita cari tersangkanya. Kita selidik," ucap Mila sambil meringis.Tidak lama kemudian aku dan Mila keluar dari kamar, di sana sudah ada sua
"Apa loh, mas?" Tanyaku saat sampai di kamar."Bajuku mana?""Sana minta di rumah Bu RT! Wong nyari baju kok susah kali kaya' nya. Baju di lemari segunung pun entah yang kaya' mana lagi yang di cari.""Yang kaos pakai kerah itu loh.""Walah, kok gaya kali cuman sini situ doang. Nih!" Ucapku kesal sambil mencampakkan baju ke pundak Devan."Ya, jangan marah-marah, Dek," sahut Devan ketar-ketir. Entah kenapa aku merasakan tidak enak hati hari ini, emosiku kok mendadak meluap-luap.Aku memandang suamiku yang tengah berjalan ke rumah Bu Endah, tangannya membenahi kerah baju berwarna hijau muda.Dari kejauhan, tampak Echa sedang tergesa-gesa berjalan menuju rumah. Suamiku berpapasan dengan Echa, namun, wajah Echa terus menunduk dengan tangan yang masuk ke dalam baju.* * *"Mas, tadi ramai 'kan yang jenguk. Mangkanya jadi orang itu yang baik, kaya' pakde. Jadi semua orang ikut merasakan sakitnya.""Ya, Mas kan baik loh, Dek," sahut Devan sambil mengutak-atik motornya.Malam ini aku dan Dev