Share

Pembalasan untuk Sepupu Celamitan
Pembalasan untuk Sepupu Celamitan
Penulis: Aong_Zee

Bab 1

Penulis: Aong_Zee
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sepupu Celamitan

“Dek, datang lagi,” ucap suamiku dengan nada berbisik juga datar sambil melirik ke sebuah motor vixion berwarna putih parkir di rumah kami.

Aku hanya bisa menghela nafas panjang ketika mereka mengucap salam lalu masuk ke rumahku begitu saja tanpa menunggu izin dariku pun mereka menerobos masuk ke dapur.

“Masak apa? Weh paslah ya banyak nasi, kami enggak masak. Mau numpang makan, “ celoteh istrinya setelah menggeledah tudung sajiku.

Aku hanya bisa tersenyum getir melihat tingkahnya. Karena bukan hanya sekali atau dua kali saja dia seperti itu, tetapi hampir setiap hari.

“Mas berangkat ya, Dek,” ucap suamiku sambil bermalas-malasan beranjak dari duduknya.

“Mau ke mana, Devan?” tanya abang sepupuku.

“Lihat mobil di bengkel,” jawab suamiku singkat dan berlalu.

Tanpa memandang mereka, aku masuk ke dalam rumah lewat pintu dapur, mencari sumber suara anakku yang kedua, diasedang ribut bermain.

“Latif, mandi!” ucapku pada anak sulungku dengan nada tinggi setelah aku menemukan mereka di ruang tamu. Mungkin dengan cara itu caraku melampiaskan kebosanan ini.

“Iya, Mak," sambil terus bermain dengan anak keduaku.

Setiap sore aku selalu sibuk mengurus ketiga anakku. Belum lagi pekerjaan di rumah yang hancur amburadul. Tapi mereka selalu datang di setiap jam 16.30wib.

“Itu di gulai ya, kolnya?” tanya kakak sepupuku. Panggil saja namanya Wulan.

“Iya, tapi enggak enak,” jawabku singkat tanpa memandangnya berharap mereka tidak mau makan masakanku kali ini.

Sebenarnya aku tidak tega memperlakukannya seperti itu, tapi memang sudah tidak bisa ditoleransi lagi.

Aku beranjak dari dudukku sambil membawa putri bungsuku ke kamar mandi untuk memandikannya. Entah apa yang mereka datangi di dapur akupun tak tahu. Hanya sedikit terdengar kalau abang iparku sedang lapar.

“Mandi, kita mandi, biar bau wangi,” ucapku dengan lantunan nada kepada putri kecilku. Hatiku sedikit terhibur dengan tawanya.

Setiap mereka ke rumahku, pasti di jam makan dan tidak pulang sebelum mereka makan. Entah istrinya yang pemalas entah karena suaminya tidak suka masakan istri.

Kalau dibilang kurang, tidak mungkin karena semua berkecukupan. Apalagi orang tuanya yang selalu memberi belanjaan dan uang ke mereka. Entah apa yang buat mereka selalu makan di rumahku.

“Kakak mau masak mi, Ta, abangmu lapar,” sambil meletakkan wajan di atas kompor milikku.

Aku tersenyum getir lagi. Tanpa basa basi dia memasak mi instan di rumahku, mengupas bawang dengan beberapa cabai. Abang sepupuku merebus air untuk menyeduh kopi untuk dirinya sendiri. Saat aku melintas di dapur, aku tidak memandang mereka sedikit pun. Aku ingin mereka tahu diri!

Ternyata tidak sama sekali. Rumahku di anggap seperti rumah mereka sendiri, masak sambil tertawa, entah apa yang mereka tertawakan.

“Ta, ada saos enggak?” tanya Abang sepupuku.

“Baru saja habis, tadi,” jawabku singkat.

Setelah selesai memakai baju, aku menyuapinya. Anak bungsuku masih berusia tujuh bulan. Pasti terbayang repot nya aku di setiap harinya.

“Makan, Ta! itu masih ada minya,” ucap kakak sepupu sambil memegang sepiring nasi beserta mi.

'Alhamdulillah, makannya sedikit.' batinku setelah aku melirik piring yang di pegangnya.

“Manda, sini makan!” teriaknya memanggil anak perempuannya.

'Ya ampun ternyata itu untuk anaknya.' batinku.

“Makan, Ta!” ucap Abang sepupuku dengan membawa sepiring nasi munjung beserta sayur yang kumasak tadi.

“Sebenarnya yang punya rumah ini aku atau mereka sih ya?” gumamku bertanya dalam hati.

Aku mengenal abang sepupuku dari dulu, dulu dia tidak seperti ini sebelum menikah dengan istrinya.

Kami orang baru di desa ini, yang awalnya tinggal di desa suamiku kini kami merantau di desaku sendiri guna untuk memperbaiki ekonomi. Malah kami di tumpangi makan hampir setiap hari seperti ini. Apa tanggapan orang tuanya jika mereka tahu?

"Tamunya makan, orang rumahnya melongo," ucap Abang sepupuku disela-sela makannya. Aku hanya bisa tersenyum tipis.

Hatiku bimbang antara akan bicara atau tidak karena aku tidak mau hanya karena satu manusia keluarga besar kami jadi berantakan. Tapi di sisi lain aku bosan. Aku yakin ini ulah istrinya, kalau saja istri masak pasti suami tidak akan mencari makan di rumah orang lain.

Orang tuanya sangat terpandang di desa maupun di keluarga kami, bahkan orang tuanya pernah membantu kami.

“Latif sana makan! masih ada mi itu,” ucap Wulan kepada anak sulungku.

“sudah sering makan, Bude, sudah bosan,” celotehnya polos.

Aku cekikikan mendengar ucapan Latif, dia juga sering kesal kalau mereka membeli jajan, anakku tidak sedikit pun di kasih. Aku memandang perutnya yang semakin membesar, 'Besok seperti apa calon anakmu itu, magrib selalu di rumah orang.' batinku.

“Weh, tambah ya. Selera dia,” Wulan yang sedang menyuap nasi terhenti melihat suaminya membawa sepiring nasi lagi.

“Selera sih selera, tapi jangan lupa kalau, Devan itu belum makan juga loh,” celetukku.

“Masih ada kok nasinya,” jawab abang sepupuku singkat.

Makannya memang selalu banyak, porsi dia lebih banyak dari porsi Devan. Di tambah lagi sepiring, kacau ini mah.

Selesai aku menyelesaikan anak bungsuku berlanjut aku mengurus anak ke duaku, berumur delapan tahun tapi belum beres kalau mengerjakan apa pun itu, termasuk berpakaian setelah mandi. Karena dulunya ia terkena penyakit asma, sampai sekarang saya masih terbawa suasana.

“Fatir, masak sudah besar masih di pakaikan bajunya, malulah,” Wati langsung saja berbicara padahal masih penuh nasi dalam mulutnya.

“Bude, sudah besar kok masih aja makan di rumah orang. Malulah," ceplos Fatir dengan wajah polos.

'Ya ampun anakku, dia seperti ini pasti karena selalu mendengarkan pembicaraanku dengan Ayahnya.' batinku tertawa cekikikan sampai berwajahku merah padam.

Mereka tidak menjawab, hanya saja abang sepupuku tertawa terbahak-bahak. Mungkin karena malu tapi nyata.

Selesai makan, kakak sepupuku sambil bermalas-malasan, membuka hijab lalu menghidupkan kipas angin duduk ke arahnya. Pasti segar rasanya.

Sedangkan suaminya duduk manis sambil menghidupkan sebatang rokok juga bersanding dengan kopinya. Weh enak.

“Kok, Devan, belum pulang ya?” tanya Wulan berbasa-basi.

“Mungkin banyak yang harus di perbaiki,” jawabku singkat.

“Ya sudahlah, Bude, pulang ya, Dipuu,” ucapnya mengenakan hijab lalu mencium anak bungsuku.

Lagi-lagi aku hanya tersenyum tipis, sebenarnya aku ingin menunjukkan wajah kesalku pada mereka, tapi aku belum memiliki keberanian untuk itu.

“Sebentar lagi, kopinya habis,” ucap abang sepupuku.

“Assalamualaikum....” terdengar suara suamiku dari arah dapur.

“Waalaikumussalam....“ jawab kami bersamaan.

Aku meletakkan anak bungsuku di lantai beralaskan karpet tebal, niat hati akan ke dapur menyusul suamiku tetapi suamiku dulu yang sampai ke ruang tamu.

“Loh kok enggak kedengaran suara motornya?” tanyaku.

“Mungkin karena adek sudah kenyang,” jawab suamiku dengan bahasa sindiran.

“Kenyang apa, orang makan pun belum,” timpal Wulan.

Tahu yang punya rumah belum makan, tapi mereka seenaknya aja makan tanpa izin sama yang punya rumah.

Bab terkait

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 2

    “Loh, kok nasi tinggal sedikit? Malam ini teman mas itu mau datang, Dek, numpang makan katanya istrinya malas masak. Istrinya itu memang pemalas sih maka suaminya numpang makan sana sini, dan malam ini dia akan numpang di rumah kita,” penjelasan dari suamiku sungguh panjang lebar. “Ya sudah ajak saja, Mas, ke sini. Nanti Adek masak lagi,” ucapku tersenyum. “Ya ampun rajinnya istriku, terima kasih ya Allah, Engkau telah memberiku istri yang rajin, amin,” ucap suamiku sambil menengadahkan telapak tangan. “Lebai,” ucap Wulan sewot. Aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. ‘Kena dirimu kali ini, Bu.’ batinku. “Ya sudah, kami pamitlah ya, sudah kenyang pulang kaya pacet,” Wulan sedikit tergopoh-gopoh karena terlalu lama duduk bersila. Badannya memang besar sih. Wulan membenahi hijab anaknya sambil sesekali bercanda dengan putri bungsuku. “Makan apa kita malam ini, Dek?” tanya suamiku saat kakak dan abang iparku tepat berdiri di pintu. “Nila, Nanti Adek panggang kan nila teru

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 3

    Aku berusaha mencari jalan keluarnya, supaya bisa keluar dari masalah ini. Tidak mungkin semua ini di biarkan dalam jangka panjang.“Mungkin sarapannya terlalu pagi, jadi masih pagi udah lapar lagi,” jawab mamak sambil menggendong putriku.“Ya ampun mamaaaaaakk,” ucapku dengan mata berkaca-kaca.Berarti istrinya benaran enggak masak itu, pagi di sana, siang di situ, malam di sana. Hadeh.Aku menggerutu sendiri sambil menyapu, mencari cara supaya mereka kapok untuk makan di rumahku.Setelah seharian main di rumah mamak, akhirnya aku pulang setelah jam menunjukkan pukul empat sore. Aku tahu mereka tidak akan datang hari ini aku memasakkan telur dadar sambal kecap untuk malam ini. Enggak lupa juga aku membeli sesuatu untuk memberikan kejutan ke mereka.Malam ini rumah terasa damai, aku dan suami duduk bercerita sambil bersenda gurau bersama anak-anak. Setelah aku teringat mereka seketika aku diam.“Dek, kenapa?” tanya suamiku.Aku tidak menjawab, aku menulis sesuatu di status w******p set

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 4

    “Latif, belikan top kopi, ya! Dua ribu kan harganya?” tanya abang sepupuku menatapku sambil menyodorkan uang lima ribu rupiah kepada Latif. Abang sepupuku mengeluarkan dompetnya dari dalam saku celana. Mengeluarkan selembar uang senilai lima ribu rupiah.“Iya,” jawabku. “Kembaliannya untukmu, ya,” ucap abang sepupuku kepada Latif. “Iya, Terima kasih, Pakde,” ucap Latif sambil mengambil uangnya. Saat Latif hendak berangkat ke warung, Wulan datang menghampiri Latif yang masih berada di dekat pintu.“Sini, Bude, ada uang dua ribuan ini,” ucap kakak sepupuku sambil mengambil uang yang sudah di tangan Latif lalu memberikan uang dua ribu rupiah. Aku hanya tersenyum menggelengkan kepala melihatnya. Mungkin hatiku sakit, tapi aku tidak harus memperlihatkannya karena kami bukan orang yang kekurangan. “Dek, makan yuk!” ucap suamiku. “Belum mandi lagi.” “Sudah enggak apa-apa, toh masih wangi kan?”“Masih, dong,” ucapku tersenyum manis menahan tawa. Aku berjalan menuju dapur di ikuti kaka

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 5

    “Oh, ibu kira ada apa gitu yang di kerjakannya. Soalnya setiap hari loh, ya sudah,. Terimakasih, ya, Kak,” ucapnya setelah memberikan kembaliannya padaku. Jarak antara warung dengan rumahku tidak terlalu jauh, hanya selisih dua rumah saja. Maka dari itu mungkin beliau selalu melihat motor abang sepupuku sering parkir di halaman rumah. # # # # “Tuh, Mamakmu, sudah datang. Pakde, mau pulang,” ucap abang sepupuku seolah berbicara pada putriku. Aku hanya tersenyum saat mereka berpamitan pulang pada Mamak yang sedang di dapur, juga Nenek yang ada di kamar. Suara motor tidak lagi kedengaran. Aku pergi ke dapur menemui, Mamak. “Mak, tumben mereka enggak makan, ya? Mamak masak apa rupanya?” tanyaku. “Siapa bilang enggak makan, itu piring kotor siapa itu,” ucap mamak mendengus kesal. Beberapa piring kotor menumpuk di wastafel, aku mendengus sambil menggelengkan kepala. “Apa susahnya selesai makan itu di cuci piringnya, coba?” Mamak tersenyum memandangku, andai aku punya keberanian past

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 6

    RegitaRegita, memilih berpisah dengan suami untuk membebaskan hati dan pikiran yang selalu di sakiti oleh keluarga suami bahkan suaminya sendiri. Suami dan keluarganya selalu saja mencemoohnya karena sudah berusia delapan tahun Regita tidak bisa memberikan keturunan untuk keluarga mereka. Hingga suatu saat Regita memiliki bukti kehamilan. Bukti itu di genggam oleh Regita, saat dia akan memberikan pada suami, betapa hancurnya kala itu suaminya pulang dengan membawa seorang wanita untuk di jadikan istri tanpa izin dari suaminya. Bukti kehamilan itu di genggam erat oleh Regita. Dia memilih untuk pergi dan membesarkan anaknya sendirian. Mampukah Regita merawat anaknya sendiri? Bagaimana cara Regita memberitahu perihal sang ayah pada anaknya kala anaknya nanti dewasa?

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 7

    Zaky mengejar ayahnya sampai ke dalam rumah. Aku membiarkan begitu saja karena kalau aku ikut mengejarnya nanti ada pula yang salah paham. “Eh, itu mobil, pak RT!” ucapku memandang ke arah sebuah mobil yang akan masuk ke halaman rumah, Mila. Tanpa basa-basi Wulan langsung saja jalan ke sana, menemui Mila. Sedangkan aku masuk dulu ke rumah mengambil putriku yang masih bermain di dalam. Sambil berjalan aku membenahi baju anakku di bagian leher yang terlihat kendor akibat dari gilingan mesin cuci. “Iya, enggak apa-apa, kok. Cuman luka sedikit aja,” ucap Mbak Mila saat aku baru sampai di sana. “Walah, jadi berapalah habis untuk obatnya itu?” tanya Wulan memandang kening yang di perban. Aku duduk di samping Wulan, mbak Mila menatapku. “Eh, Mbak Thalia,” sapanya padaku. Aku nyengir dan menganggukkan kepala lalu ikut nimbrung apa yang sedang mereka bahas. Mas Harman pergi lagi keluar. Saat Mila mendengar suara motornya, Mila diam sambil menundukkan kepala. Ingin rasanya aku membantu ma

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 8

    Mamak menatapku dengan kening mengerut. Aku cekikikan lalu duduk di depannya. Hari ini hatiku puas betul rasanya.“Kenapa, Ta?” tanya mamak padaku. Aku menggeleng sambil terus tersenyum.Sore ini aku pulang tidak membawa putriku. Dia di minta mamak untuk tidur bersamanya malam ini. Aku melihat isi kulkas, hanya ada telur dan bunga kol saja.Aku meracik semua bahan, lalu memasaknya dengan rasa semangat. Tidak mungkin dia akan datang karena kejadian siang tadi.“Assalamualaikum...,” ucapan salam terdengar sampai dapur.Aku terpaku setelah sadar itu adalah suara kakak sepupuku. Dia masuk sambil meletakkan gawainya di meja makan.Dia masuk ke kamar mandi sambil membuka hijab lalu menyampirkannya di pintu. Memakai celana legging, hingga lekuk di bagian bokong hingga paha terlihat jelas. “Masak, apa, Ta?” tanyanya saat keluar dari kamar mandi sambil membenahi baju bagian bawah.“Ni!” sahutku memandang sayuran yang sedang kubolak-balikkan. Dia duduk di meja makan sambil memegang gawainya.

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 9

    “Sekarang kutanya, Mas! Kemarin kamu suruh aku untuk bilang ke dia supaya enggak makan lagi di rumah ini. Terus kenapa tadi kamu bilang kasihan? Apa coba maksudmu itu?” tanyaku sambil merengut. Aku membuka hijab lalu mencampakkannya begitu saja di meja rias. Dia memandangku sambil tetap memegang gawainya.“Mas sudah enggak mau ikut campur lagi, Dek, itu terserah kamu saja sekarang. Soalnya kalau di ributkan bikin malu juga, sih,” jawabnya. Dia meletakkan gawai di meja riasku yang ada di dekat ranjang, membenahi hijabku yang menimpa beberapa kosmetik lalu merayap ke tempat di mana dia biasa tidur.Berarti aku sendiri yang harus mencari cara bagaimana untuk ke depannya. Enggak mungkin aku melarang kalau tidak ada pendukung.Aku berpura-pura tidur lelap sampai kubunyikan suara dengkuran di saat tidur. Aku menunggu waktu untuk bisa memegang gawainya supaya lebih leluasa untuk aku memeriksanya.Aku mendengar suara dengkurannya sangat keras, ternyata dia sudah masuk dalam perangkap. Perlaha

Bab terbaru

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 58

    Aku mengintai dari sudut ke sudut ternyata memang tidak ada suamiku di dalamnya. Hal seperti ini sudah beberapa kali terjadi, tapi aku tidak pernah aku cek kamar mandinya. Baru hari ini aku kepo tentang ketenangannya dia di dalam kamar mandi, tapi malah enggak ada orangnya.Aku berjalan ke depan untuk melihat sendal miliknya, tapi kenapa sendalnya masih ada di depan? Aku balik lagi berjalan ke belakang.Bruk!Aku dan Devan bertabrakan di pintu tengah yang di tutupi oleh kain gorden."Aduh! Kalau jalan itu lihat-lihat!" Ucapnya dengan nada tinggi.Astaga, dia kenapa? Apa yang salah dariku sampai-sampai dia ketus seperti ini? Niatku yang ingin bertanya padanya, aku urungkan. Aku lebih memilih masuk ke dalam kamar dan langsung merebahkan tubuhku di ranjang ketika dia sedang mencari sesuatu di lemari."Mana ini kolor nya!" Ucapnya tanpa memandangku.Aku hanya mendengarkan tanpa menjawab, kalau sudah dengan cara seperti itu jangan harap aku akan memedulikannya.Devan keluar masuk kamar, ak

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 57

    "Iya, loh dek," sahutnya dengan nada marah.Aku menatap Devan yang pergi ke arah dapur dan masuk ke dalam kamar mandi. Sudah beberapa bulan ini Devan kerja di bengkel tidak membuahkan hasil. Malah semua jadi kacau.Tabunganku merosot, padahal aku ikut serta mencari uang. Apa aku kasih tahu saja ya pekerjaan yang di tawarkan Dareen beberapa bulan lalu? Toh Dareen belum mendapatkan seorang sopir sampai saat ini.Aku berjalan ke arah luar rumah, di sana tampak Dareen sedang mengemudi mobilnya. Di sisi lain ada sang istri sedang melambaikan tangan ke arahnya.Tidak lama Devan berjalan ke arah luar, suamiku melewatiku begitu saja sambil mengeluarkan motor miliknya."Enggak sarapan dulu, Mas?" Tanyaku heran."Enggak. Nanti saja di luar," ucapnya tanpa memandangku. Matanya fokus dengan ban yang akan turun dari teras."Kamu ini, ya. Sudah tahu gaji kecil malah makan di luar. Enggak kasihan apa sama anak kamu yang makan seadanya gitu? Heran deh," ucapku kesal.Devan tidak menjawab pertanyaanku

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 56

    "Ya, waktu itu Mas Harman pernah kerja bareng ayahku. Pas dilihat ayah, tenaganya kuat. Kerjanya rajin, tiba udah nikah, males, makin ke sini malah kaya' tahe," ucapnya kesal.Aku tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Mila. Aku pernah juga mendengar desas-desus nya dulu kalau Mila hamil duluan, tapi aku enggak pernah bertanya karena kau tidak mau mencari masalah yang bukan urusanku.* * *"Mas, gimana tadi kerjanya? Capek?" Tanyaku."Enggak, Dek. Apalah capeknya, cuman megang kunci terus di putar-putar," ucap Devan sambil menghela nafas.Nafasnya begitu berat, aku yakin pasti keadaan sedang tidak baik-baik saja.Aku memeluknya saat kami masih tiduran di ranjang. Anak-anak sudah pada tidur, tanganku melingkar merangkul bagian dada bidangnya."Mas, sebenarnya ada masalah apa?" Tanyaku memaksa Devan untuk menjawab."Enggak ada apa-apa loh, dek.""Gimana enggak ada? Aku istrimu, dan aku tahu bagaimana kamu," ucapku.Aku sangat mengenal suamiku sehingga dia tidak akan bisa menutupi masal

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 55

    "Makan—? Hmmm, Aku belum masak, Mas," ucapku lirih."Kok bisa sih dek? Seharian di rumah, ngapain?" Tanya Devan dengan nada datar.Aku menceritakan semua kejadian tadi, namun, aku belum bicara soal Dareen yang memberikannya pekerjaan sebagai sopir.Aku belum siap untuk di tinggal malam-malam oleh Devan karena masih trauma dengan kejadian beberapa malam yang lalu."Ya, sudah, beli mie instan aja dek, laper," ucapnya sambil merebahkan tubuhnya di depan TV."Bentar, ya, mas," ucapku sambil mengambil uang dari dalam dompet.Aku berjalan menuju rumah Bu Endah, rumah itu terlihat sangat sepi, sampai aku berada di depan pintunya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya."Buuu, Bu Endah," panggilku dengan suara sedikit agak keras. Bu Endah keluar dari arah belakang, "Ada apa, Ta? Tanyanya."Bu, mie instan, dua," ucapku sambil menunjuk sebuah kotak mie kesukaan suamiku yang terbungkus oleh plastik berwarna hijau.Dengan sigap, Bu Endah memasukkan dua bungkus mie instan ke dalam plastik be

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 54

    "Ini tas saya, jadi hak saya dong boleh di periksa atau tidak?" Ucap Bu Henna menahan."Bu, katanya tadi mau di selesaikan dengan cara baik-baik. Kalau tidak ada apa-apa di sana, ya, sudah jangan takut," timpalku.Bu Henna perlahan melepaskan tali tote bage dari lengannya. Namun, Echa mencoba menahan. "Bu, jangan! Ini kan punya ibu," ujar Echa mencoba ikut menahan.Aku tersenyum sinis menatap keduanya. Hari menjelang sore, terik matahari masih ikut serta menambah hawa panas keadaan.Bu Henna memberikan tote bage miliknya kepada Dareen. Perlahan Dareen menarik resleting untuk membukanya. Setelah terbuka, mata Dareen membelalak lebar melihat isi dalamnya lalu menatap Bu Henna dengan rasa penuh curiga.Tidak sungkan-sungkan, Dareen menumpahkan semua isi dalam tas Bu Henna dengan menungging kan. Sontak mata kami semua membelalak melihat setumpuk uang dan dua buah kotak perhiasan. Aku terperangah menatap uang yang masih tersusun rapi di ikat dengan sebuah karet gelang."Ya Allah, Bu, ter

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 53

    "Kok tanya saya, memangnya saya tukang emas?" Ucapnya ketus sambil mendengus, matanya memandangku dengan kesal. "Loh, kan saya tanya, Bu, siapa tahu ibu tau harganya," ucapku dengan nada santai.Mila masih cengengesan sambil melirik-lirik ke arahku. Wanita itu enggan ikut campur, aku pun tidak menyarankan Mila untuk ikut turun tangan mengenai hal ini.Henna—ibu mertua Mila yang sangat judes dan bengis. Semua yang di lakukan Mila pasti salah, mungkin memang karena faktor status menantu.Echa memberikan kunci motor padaku sambil menyelipkan rambut poni panjangnya ke belakang telinga."Nih, Mbak, kuncinya," ucap Echa."Aku hanya menengadah satu tangan, lalu kumasukkan ke dalam saku celana."Terima kasih, gitu loh, Cha! Wong sudah di pinjami kok enggak berterimakasih," sungut Mila kesal. Matanya melirik ke atas untuk menatap wajah Echa.Gadis itu tak menjawab apa pun, malah pergi meninggalkan kami di sana, tangannya membawa tiga tote bage berwarna coklat.Bu Henna masih berdiri sambil me

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 52

    "Nyembunyikan apa? Suamiku tuh di balik tirai," sahutku cekikikan. "Dia terpesona, Cha, sama kecantikan mu," ucapku tertawa kekeh. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain jujur.Echa tampak menyembunyikan senyumnya, matanya melirik ke sana sini tak tentu arah. Aku baru sadar ternyata Echa ada rasa juga sama suamiku. Tapi biarlah yang ku pentingkan uang Bu Endah dulu. Sisanya nanti."Ini, kuncinya, Cha," ucapku sambil mengangsur sebuah kunci motor.Echa mengambil kunci dari tanganku seperti kunci motor miliknya. Gadis itu mengambilnya begitu saja, seperti milik dia sendiri. Dasar!Aku dan Mila menyaksikan kepergian mereka, Mila menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata "Semoga aku betah mereka tinggal di rumahku, Mbak."Aku memandangnya sambil tersenyum, "Yuk!""Ke mana, Mbak?""Siap-siap, kita intai mereka dari dekat," ucapku.Aku masuk ke dalam rumah lalu mengambil kunci motor dan helm milik suamiku. Aku tersenyum saat melihat suamiku memakai baju yang kubeli kemarin. Dia terlih

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 51

    Mila memegang tanganku, "Mbak, kemarin, pas kita mau pulang itu 'kan aku di panggil sama ibu, terus aku di suruh manggil Echa. Enggak lama kemudian Echa pulang sambil memegang sesuatu di tangannya. Tangannya loh di masukkan ke dalam baju pas aku tanya apa yang kamu pegang, dia jawabnya, bukan urusan Mbak! Ya udah akunya diam aja.""Jangan-jangan ..." Kataku sambil termenung. "Astaghfirullah, Mil, jangan sampailah," ucapku."Jangan sampailah, Mbak. Kalau memang betul aku yang malu sama Bu Endah," sungut Mila.Pikiranku dan Mila sama, Jangan-jangan ini ulah mertua dan adik ipar Mila. Amit-amit."Yang enggak enaknya, Bu Endah itu beda lihat aku, Mil. Karena kemarin aku yang pegang tas itu, tapi langsungku kasih lagi ke dia tasnya," ucapku sambil menghela nafas. "Malah tadi dia ke sini nanyain itu, pas aku jawab dia rada gimana gitu.""Ya sudah, Mbak, kita cari tersangkanya. Kita selidik," ucap Mila sambil meringis.Tidak lama kemudian aku dan Mila keluar dari kamar, di sana sudah ada sua

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 50

    "Apa loh, mas?" Tanyaku saat sampai di kamar."Bajuku mana?""Sana minta di rumah Bu RT! Wong nyari baju kok susah kali kaya' nya. Baju di lemari segunung pun entah yang kaya' mana lagi yang di cari.""Yang kaos pakai kerah itu loh.""Walah, kok gaya kali cuman sini situ doang. Nih!" Ucapku kesal sambil mencampakkan baju ke pundak Devan."Ya, jangan marah-marah, Dek," sahut Devan ketar-ketir. Entah kenapa aku merasakan tidak enak hati hari ini, emosiku kok mendadak meluap-luap.Aku memandang suamiku yang tengah berjalan ke rumah Bu Endah, tangannya membenahi kerah baju berwarna hijau muda.Dari kejauhan, tampak Echa sedang tergesa-gesa berjalan menuju rumah. Suamiku berpapasan dengan Echa, namun, wajah Echa terus menunduk dengan tangan yang masuk ke dalam baju.* * *"Mas, tadi ramai 'kan yang jenguk. Mangkanya jadi orang itu yang baik, kaya' pakde. Jadi semua orang ikut merasakan sakitnya.""Ya, Mas kan baik loh, Dek," sahut Devan sambil mengutak-atik motornya.Malam ini aku dan Dev

DMCA.com Protection Status