Aku berusaha mencari jalan keluarnya, supaya bisa keluar dari masalah ini. Tidak mungkin semua ini di biarkan dalam jangka panjang.
“Mungkin sarapannya terlalu pagi, jadi masih pagi udah lapar lagi,” jawab mamak sambil menggendong putriku.“Ya ampun mamaaaaaakk,” ucapku dengan mata berkaca-kaca.Berarti istrinya benaran enggak masak itu, pagi di sana, siang di situ, malam di sana. Hadeh.Aku menggerutu sendiri sambil menyapu, mencari cara supaya mereka kapok untuk makan di rumahku.Setelah seharian main di rumah mamak, akhirnya aku pulang setelah jam menunjukkan pukul empat sore. Aku tahu mereka tidak akan datang hari ini aku memasakkan telur dadar sambal kecap untuk malam ini. Enggak lupa juga aku membeli sesuatu untuk memberikan kejutan ke mereka.Malam ini rumah terasa damai, aku dan suami duduk bercerita sambil bersenda gurau bersama anak-anak. Setelah aku teringat mereka seketika aku diam.“Dek, kenapa?” tanya suamiku.Aku tidak menjawab, aku menulis sesuatu di status w******p setelah mengirimnya kupersilahkan suamiku membacanya.“Dek, Adek yakin? Adek buat status kalau besok mau masak asam pedas patin? Dek, besok kan jatah mereka datang,” ucap mas suamiku memandangku dengan tatapan heran.“Memang sengaja,” ucapku.Aku melirik sambil tersenyum memandang mas suamiku yang sedang menepuk jidat. Aku bertekat akan memberikan kejutan untuk mereka.# # # #Samar-samar aku mendengar suara ponsel berdering, aku langsung duduk lalu meraih ponsel yang ada di meja rias.‘Oalah, alarm,' gumamku.Aku tidak mau rencanaku gagal kali ini. Walau masih kurasakan berat mata ini untuk terbuka, tetap saja aku paksakan bangun dari tidurku.Aku beranjak dari duduk sambil bermalas-malasan, kuletakkan ponsel kembali ke meja rias mencium putri kecilku dan berlalu ke dapur.“Mamak, masak dulu, ya, sayang.”Dengan semangat aku memasak asam pedas patin dan juga kejutan untuk mereka. Dua macam sayuran aku masak pagi ini maka aku bangun lebih awal. Aku harus selesai semua sebelum putri kecilku bangun.Dalam waktu 3jam semua sudah selesai dari masak, cuci pakaian, jemur kain, sapu lantai sampai ke sapu halaman. Aku melihat ke kamar ternyata putra sulungku sudah tidak ada. Mungkin di kamar mandi.“Latif,” panggilku dengan suara agak keras.“Di kamar mandi, Mak,” jawabnya sambil menyiramkan air ke tubuhnya.'Loh kapan lewatnya?' batinku.Aku mengecek kembali meja makan yang sudah tersusun rapi ternyata masih ada yang kurang yaitu kopi. Karena kalau mas suamiku bangun yang di cari itu kopi, bukan aku, ya sudah buat dulu itu si kopinya.Setelah membuat kopi, semua bahan, kopi, gula, teh, aku susun di dalam kardus lalu kumasukkan ke dalam kamar. Kali ini aku mencoba untuk menjadi orang pelit.“Mas, bangun!” ucapku memegang lengan suamiku setelah meletakkan kardus berisi kopi bubuk sachet di atas almari.Suamiku tidak merespon, sepertinya dia benar-benar lelah dengan pekerjaannya semalam. Kali ini aku menepuk pipinya.“Bangun, sudah siang,” ucapku saat suamiku membuka mata.Setelah beberapa menit membuka matanya, suamiku beranjak dari tidurnya terlihat sedikit sempoyongan berjalan ke arah dapur. Aku melipat kain selimut juga sedikit merapikan sprei.“Dek, Adek!” panggil mas suamiku sedikit berteriak.Seketika aku berjalan cepat untuk menghampirinya.“Ada apa?” tanyaku setelah melihatnya melongo menatap sarapan pagi sudah tersusun rapi.“Adek mimpi apa?” tanyanya.Dia memegang tudung saji sambil beberapa kali mengedip-ngedipkan matanya, mungkin karena setengah tidak percaya aku sudah siap semua jam segini.“Kok pagi-pagi sudah bahas mimpi sih, Mas? Bahas yang lain kenapa?” ucapku dengan nada sedikit ngambek.“Ya ampun, Dek, pagi-pagi sudah rapi semua malam tadi mimpi apa, istriku tercinta?” tanya mas suamiku dengan memberikan nada panjang.Aku berhenti di pintu dapur sambil tersenyum, ada sedikit kebahagiaan di hatiku melihat suamiku pagi-pagi sudah merasa takjub.“Aku kira ada apa, Mas,” ucapku cekikikan.“Dek, adek kok masak asam pedas patin betulan sih? Enak di merekalah?” tanya suamiku sambil menutup kembali tudung saji.“Sudah, mandi dulu sana! Habis itu sarapan. Masalah mereka biar, Adek, yang atur,” ucapku tersenyum sambil sedikit mendorong lengan suamiku.Suamiku berjalan ke kamar mandi sambil menggelengkan kepala. Entah apa yang ada di pikirannya. Pasti dia penasaran apa yang aku lakukan nanti. Hiks.Berhubung suamiku masih mandi, aku mengambil ponsel yang ada di dalam kamar.“Mak, ikat pinggangku di mana?” tanya Latif putra sulungku.“Di laci, Nak,” jawabku sambil berjalan menuju meja makan.Aku mengambil beberapa kali foto masakanku pagi ini. Tapi hanya asam pedasnya, tidak yang lainnya.# # # #“Mak, uang jajan, Adek, mana?” tanya Fatir, anak ke duaku.“Ini,” aku mengeluarkan uang empat ribu rupiah dari dalam saku bajuku.“Mak, tambah kenapa!” rengeknya.Merengek dengan wajah memelas itu adalah senjatanya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.“Segitu juga sudah banyak, Dek, sudah sarapan juga ‘kan?” ucapku sambil membenahi seragamnya.“Kawan adek, lima ribu.”“Beda seribu doang ‘kan? Lagian rumah mereka itu jauh, Dek.”“Ya sudah angkat saja yang jauh rumahnya,” ucapnya sambil merengek.Fatir menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi sambil menatapku dengan rasa kecewa.“Ya ampun perkara uang seribu mau di pindahkan rumahnya,” ucapku tertawa.“Mak, nanti jatahnya, Pakde, ke sini, ya?” tanya anak sulungku yang dari tadi juga sedang sarapan.“Iya,” jawabku singkat.Mungkin dia heran, kenapa mamakku baik hari ini? Biasanya masak seadanya kalau jatah mereka ke sini tapi kenapa hari ini mamak masak ikan?# # # #Seperti biasa, sore ini aku melakukan aktivitas awal dengan mengangkat pakaian. Tapi bedanya kali ini tidak langsung aku lipat melainkan aku letakkan begitu saja di keranjang pakaian.Kulanjutkan menyapu, cuci piring dan lain-lain. Di sela-sela waktu aku sambil menjaga anakku, kalau bahasa Jawa itu nyambi. Setelah semua selesai aku mengambil ponsel lalu aku upload asam pedas yang kuambil pagi tadi fotonya dengan judul “Asam pedas sedap.”Tidak lama suara motor Supra berhenti tepat di depan rumahku dan aku yakin pasti itu mereka. Aku melihat jam ternyata jam 17.30 wib.'Tidak sia-sia aku memasakkan khusus untuk mereka sore ini.’ batinku.“Dipuu, sudah mandi ya? Sudah wangi, segar, cantik,” ucap istrinya mencium putri kecilku.“Sudahlah, Bude. Mamak yang belum mandi,” ucapku tersenyum.Aku tersenyum saat mereka menghampiriku dengan perasaan tidak sabar menunggu apa yang akan terjadi nanti.“Bang, bisa minta tolong antar Latif sama Fatir pangkas rambut?” tanyaku pada abang sepupuku.“Boleh,” ucapnya sambil menghidupkan sebatang rokok.Sebenarnya dari awal tidak ada rencana untuk Latif sama Fatir pangkas rambut, tapi entah dari mana otakku menemukannya.Setelah mereka berangkat aku meletakkan putriku duduk di sampingku, aku mengambil sekeranjang pakaian yang belum aku lipat. Satu persatu aku lipat dengan saksama. Ceritanya itu menghayati.“Lipat kain ini kerjaan yang paling membosankan ya, Kak,” ucapku.“Iya, Kakak juga belum lipat kain, nantilah kalau mau tidur.”Sebenarnya Aku mengulur waktu mencari kesibukan untuk mereka supaya mereka tidak secepatnya teringat oleh makanan. Supaya mereka kecewanya dalem gitu.Aku melihat jam di ponsel menunjukkan pukul tujuh, Suamiku pulang, yang pangkas rambut pulang, pakaian juga sudah selesai. Aku menata semua pakaian di dalam almari. ‘semua tersusun dengan rapi.’ batinku tersenyum.“Kak, aku mandi dulu ya, tolong lihat kan Dipuu,” ucapku sambil menyampirkan sebuah handuk di pundakku.“Loh, enggak ada kopi ya, Ta? Gula pun enggak ada,” tanya abang sepupuku.Aku mencari sumber suara, ternyata Abang sepupuku sedang berada di dapur.'Duh, buka tudung saji enggak dia ya?' batinku.“Enggak, Bang, belum belanja,” sahutku.“Latif, belikan top kopi, ya! Dua ribu kan harganya?” tanya abang sepupuku menatapku sambil menyodorkan uang lima ribu rupiah kepada Latif. Abang sepupuku mengeluarkan dompetnya dari dalam saku celana. Mengeluarkan selembar uang senilai lima ribu rupiah.“Iya,” jawabku. “Kembaliannya untukmu, ya,” ucap abang sepupuku kepada Latif. “Iya, Terima kasih, Pakde,” ucap Latif sambil mengambil uangnya. Saat Latif hendak berangkat ke warung, Wulan datang menghampiri Latif yang masih berada di dekat pintu.“Sini, Bude, ada uang dua ribuan ini,” ucap kakak sepupuku sambil mengambil uang yang sudah di tangan Latif lalu memberikan uang dua ribu rupiah. Aku hanya tersenyum menggelengkan kepala melihatnya. Mungkin hatiku sakit, tapi aku tidak harus memperlihatkannya karena kami bukan orang yang kekurangan. “Dek, makan yuk!” ucap suamiku. “Belum mandi lagi.” “Sudah enggak apa-apa, toh masih wangi kan?”“Masih, dong,” ucapku tersenyum manis menahan tawa. Aku berjalan menuju dapur di ikuti kaka
“Oh, ibu kira ada apa gitu yang di kerjakannya. Soalnya setiap hari loh, ya sudah,. Terimakasih, ya, Kak,” ucapnya setelah memberikan kembaliannya padaku. Jarak antara warung dengan rumahku tidak terlalu jauh, hanya selisih dua rumah saja. Maka dari itu mungkin beliau selalu melihat motor abang sepupuku sering parkir di halaman rumah. # # # # “Tuh, Mamakmu, sudah datang. Pakde, mau pulang,” ucap abang sepupuku seolah berbicara pada putriku. Aku hanya tersenyum saat mereka berpamitan pulang pada Mamak yang sedang di dapur, juga Nenek yang ada di kamar. Suara motor tidak lagi kedengaran. Aku pergi ke dapur menemui, Mamak. “Mak, tumben mereka enggak makan, ya? Mamak masak apa rupanya?” tanyaku. “Siapa bilang enggak makan, itu piring kotor siapa itu,” ucap mamak mendengus kesal. Beberapa piring kotor menumpuk di wastafel, aku mendengus sambil menggelengkan kepala. “Apa susahnya selesai makan itu di cuci piringnya, coba?” Mamak tersenyum memandangku, andai aku punya keberanian past
RegitaRegita, memilih berpisah dengan suami untuk membebaskan hati dan pikiran yang selalu di sakiti oleh keluarga suami bahkan suaminya sendiri. Suami dan keluarganya selalu saja mencemoohnya karena sudah berusia delapan tahun Regita tidak bisa memberikan keturunan untuk keluarga mereka. Hingga suatu saat Regita memiliki bukti kehamilan. Bukti itu di genggam oleh Regita, saat dia akan memberikan pada suami, betapa hancurnya kala itu suaminya pulang dengan membawa seorang wanita untuk di jadikan istri tanpa izin dari suaminya. Bukti kehamilan itu di genggam erat oleh Regita. Dia memilih untuk pergi dan membesarkan anaknya sendirian. Mampukah Regita merawat anaknya sendiri? Bagaimana cara Regita memberitahu perihal sang ayah pada anaknya kala anaknya nanti dewasa?
Zaky mengejar ayahnya sampai ke dalam rumah. Aku membiarkan begitu saja karena kalau aku ikut mengejarnya nanti ada pula yang salah paham. “Eh, itu mobil, pak RT!” ucapku memandang ke arah sebuah mobil yang akan masuk ke halaman rumah, Mila. Tanpa basa-basi Wulan langsung saja jalan ke sana, menemui Mila. Sedangkan aku masuk dulu ke rumah mengambil putriku yang masih bermain di dalam. Sambil berjalan aku membenahi baju anakku di bagian leher yang terlihat kendor akibat dari gilingan mesin cuci. “Iya, enggak apa-apa, kok. Cuman luka sedikit aja,” ucap Mbak Mila saat aku baru sampai di sana. “Walah, jadi berapalah habis untuk obatnya itu?” tanya Wulan memandang kening yang di perban. Aku duduk di samping Wulan, mbak Mila menatapku. “Eh, Mbak Thalia,” sapanya padaku. Aku nyengir dan menganggukkan kepala lalu ikut nimbrung apa yang sedang mereka bahas. Mas Harman pergi lagi keluar. Saat Mila mendengar suara motornya, Mila diam sambil menundukkan kepala. Ingin rasanya aku membantu ma
Mamak menatapku dengan kening mengerut. Aku cekikikan lalu duduk di depannya. Hari ini hatiku puas betul rasanya.“Kenapa, Ta?” tanya mamak padaku. Aku menggeleng sambil terus tersenyum.Sore ini aku pulang tidak membawa putriku. Dia di minta mamak untuk tidur bersamanya malam ini. Aku melihat isi kulkas, hanya ada telur dan bunga kol saja.Aku meracik semua bahan, lalu memasaknya dengan rasa semangat. Tidak mungkin dia akan datang karena kejadian siang tadi.“Assalamualaikum...,” ucapan salam terdengar sampai dapur.Aku terpaku setelah sadar itu adalah suara kakak sepupuku. Dia masuk sambil meletakkan gawainya di meja makan.Dia masuk ke kamar mandi sambil membuka hijab lalu menyampirkannya di pintu. Memakai celana legging, hingga lekuk di bagian bokong hingga paha terlihat jelas. “Masak, apa, Ta?” tanyanya saat keluar dari kamar mandi sambil membenahi baju bagian bawah.“Ni!” sahutku memandang sayuran yang sedang kubolak-balikkan. Dia duduk di meja makan sambil memegang gawainya.
“Sekarang kutanya, Mas! Kemarin kamu suruh aku untuk bilang ke dia supaya enggak makan lagi di rumah ini. Terus kenapa tadi kamu bilang kasihan? Apa coba maksudmu itu?” tanyaku sambil merengut. Aku membuka hijab lalu mencampakkannya begitu saja di meja rias. Dia memandangku sambil tetap memegang gawainya.“Mas sudah enggak mau ikut campur lagi, Dek, itu terserah kamu saja sekarang. Soalnya kalau di ributkan bikin malu juga, sih,” jawabnya. Dia meletakkan gawai di meja riasku yang ada di dekat ranjang, membenahi hijabku yang menimpa beberapa kosmetik lalu merayap ke tempat di mana dia biasa tidur.Berarti aku sendiri yang harus mencari cara bagaimana untuk ke depannya. Enggak mungkin aku melarang kalau tidak ada pendukung.Aku berpura-pura tidur lelap sampai kubunyikan suara dengkuran di saat tidur. Aku menunggu waktu untuk bisa memegang gawainya supaya lebih leluasa untuk aku memeriksanya.Aku mendengar suara dengkurannya sangat keras, ternyata dia sudah masuk dalam perangkap. Perlaha
Aku tersenyum melirik ke arah, Mila. Begitu juga dengan Mila yang melirik ke arahku.Wulan masuk ke dalam kamarnya, beberapa saat kemudian dia keluar dengan membawa sebuah ponsel miliknya. Dia duduk menghadapku sambil memegang ponsel.“Oh, ya, enaklah. Datang tinggal makan, uda kenyang, pulang!” sahutku sambil tertawa lepas. Aku dan Mila tertawa sambil saling pandang. Dia tertawa getir.Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat ini. Yang penting aku bisa makan di rumahnya, bukan itu yang aku tuju. Aku bisa buat dia harus masak lagi untuk malam nanti. Hiks.Setelah aku selesai makan, kuletakkan begitu saja piring kotor bekasku makan di meja makan. Kuambil satu gelas air putih lalu meneguknya hingga habis. Gelas kotor itu kuletakkan di sebelah piring.“Jangan! Pakai ini saja!” ujarku pada Mila yang akan mengambil gelas bekasku minum tadi. Aku mengambilkan dua gelas bersih kuberi padanya dan anaknya.“Kak, piringnya sudah bersih semua, loh,” ucap Mila melihat ke sekeliling dapur yan
“Kok enggak ucapkan salam, Mas?” tanyaku saat Devan melintas begitu saja di ruang keluarga. Dia hanya menoleh ke arahku tanpa menjawab pertanyaan dariku.Aku memutarkan otomatis setrika sambil melihat jam yang menempel di dinding. Ternyata sudah jam sepuluh malam, tidak terasa sudah dua jam aku duduk dan menyetrika di sini. Aku mematikan televisi lalu menyusulnya ke belakang. Ternyata dia sedang duduk di meja makan dengan menopang dagu.“Mas,” panggilku lirih karena malam ini semua anakku sudah pada tidur. Dia hanya menatapku sesaat. Kali ini tatapannya sinis padaku.“Apa salahku?” tanyaku. Dia mendehem untuk memperlancar suaranya.Inilah Devan, kalau ada masalah selalu diam. Bukan nasehati atau apalah gitu. Malah semakin diam. Dia diam karena ada masalah kerjanya entah karena dia memikirkan dengan kelakuanku siang tadi.Padahal aku ingin sekali cerita padanya mengenai Mila. Tapi sekarang aku malah jadi takut. Sepinya malam ini membuat perasaanku semakin sepi lagi tanpa adanya suara
Aku mengintai dari sudut ke sudut ternyata memang tidak ada suamiku di dalamnya. Hal seperti ini sudah beberapa kali terjadi, tapi aku tidak pernah aku cek kamar mandinya. Baru hari ini aku kepo tentang ketenangannya dia di dalam kamar mandi, tapi malah enggak ada orangnya.Aku berjalan ke depan untuk melihat sendal miliknya, tapi kenapa sendalnya masih ada di depan? Aku balik lagi berjalan ke belakang.Bruk!Aku dan Devan bertabrakan di pintu tengah yang di tutupi oleh kain gorden."Aduh! Kalau jalan itu lihat-lihat!" Ucapnya dengan nada tinggi.Astaga, dia kenapa? Apa yang salah dariku sampai-sampai dia ketus seperti ini? Niatku yang ingin bertanya padanya, aku urungkan. Aku lebih memilih masuk ke dalam kamar dan langsung merebahkan tubuhku di ranjang ketika dia sedang mencari sesuatu di lemari."Mana ini kolor nya!" Ucapnya tanpa memandangku.Aku hanya mendengarkan tanpa menjawab, kalau sudah dengan cara seperti itu jangan harap aku akan memedulikannya.Devan keluar masuk kamar, ak
"Iya, loh dek," sahutnya dengan nada marah.Aku menatap Devan yang pergi ke arah dapur dan masuk ke dalam kamar mandi. Sudah beberapa bulan ini Devan kerja di bengkel tidak membuahkan hasil. Malah semua jadi kacau.Tabunganku merosot, padahal aku ikut serta mencari uang. Apa aku kasih tahu saja ya pekerjaan yang di tawarkan Dareen beberapa bulan lalu? Toh Dareen belum mendapatkan seorang sopir sampai saat ini.Aku berjalan ke arah luar rumah, di sana tampak Dareen sedang mengemudi mobilnya. Di sisi lain ada sang istri sedang melambaikan tangan ke arahnya.Tidak lama Devan berjalan ke arah luar, suamiku melewatiku begitu saja sambil mengeluarkan motor miliknya."Enggak sarapan dulu, Mas?" Tanyaku heran."Enggak. Nanti saja di luar," ucapnya tanpa memandangku. Matanya fokus dengan ban yang akan turun dari teras."Kamu ini, ya. Sudah tahu gaji kecil malah makan di luar. Enggak kasihan apa sama anak kamu yang makan seadanya gitu? Heran deh," ucapku kesal.Devan tidak menjawab pertanyaanku
"Ya, waktu itu Mas Harman pernah kerja bareng ayahku. Pas dilihat ayah, tenaganya kuat. Kerjanya rajin, tiba udah nikah, males, makin ke sini malah kaya' tahe," ucapnya kesal.Aku tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Mila. Aku pernah juga mendengar desas-desus nya dulu kalau Mila hamil duluan, tapi aku enggak pernah bertanya karena kau tidak mau mencari masalah yang bukan urusanku.* * *"Mas, gimana tadi kerjanya? Capek?" Tanyaku."Enggak, Dek. Apalah capeknya, cuman megang kunci terus di putar-putar," ucap Devan sambil menghela nafas.Nafasnya begitu berat, aku yakin pasti keadaan sedang tidak baik-baik saja.Aku memeluknya saat kami masih tiduran di ranjang. Anak-anak sudah pada tidur, tanganku melingkar merangkul bagian dada bidangnya."Mas, sebenarnya ada masalah apa?" Tanyaku memaksa Devan untuk menjawab."Enggak ada apa-apa loh, dek.""Gimana enggak ada? Aku istrimu, dan aku tahu bagaimana kamu," ucapku.Aku sangat mengenal suamiku sehingga dia tidak akan bisa menutupi masal
"Makan—? Hmmm, Aku belum masak, Mas," ucapku lirih."Kok bisa sih dek? Seharian di rumah, ngapain?" Tanya Devan dengan nada datar.Aku menceritakan semua kejadian tadi, namun, aku belum bicara soal Dareen yang memberikannya pekerjaan sebagai sopir.Aku belum siap untuk di tinggal malam-malam oleh Devan karena masih trauma dengan kejadian beberapa malam yang lalu."Ya, sudah, beli mie instan aja dek, laper," ucapnya sambil merebahkan tubuhnya di depan TV."Bentar, ya, mas," ucapku sambil mengambil uang dari dalam dompet.Aku berjalan menuju rumah Bu Endah, rumah itu terlihat sangat sepi, sampai aku berada di depan pintunya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya."Buuu, Bu Endah," panggilku dengan suara sedikit agak keras. Bu Endah keluar dari arah belakang, "Ada apa, Ta? Tanyanya."Bu, mie instan, dua," ucapku sambil menunjuk sebuah kotak mie kesukaan suamiku yang terbungkus oleh plastik berwarna hijau.Dengan sigap, Bu Endah memasukkan dua bungkus mie instan ke dalam plastik be
"Ini tas saya, jadi hak saya dong boleh di periksa atau tidak?" Ucap Bu Henna menahan."Bu, katanya tadi mau di selesaikan dengan cara baik-baik. Kalau tidak ada apa-apa di sana, ya, sudah jangan takut," timpalku.Bu Henna perlahan melepaskan tali tote bage dari lengannya. Namun, Echa mencoba menahan. "Bu, jangan! Ini kan punya ibu," ujar Echa mencoba ikut menahan.Aku tersenyum sinis menatap keduanya. Hari menjelang sore, terik matahari masih ikut serta menambah hawa panas keadaan.Bu Henna memberikan tote bage miliknya kepada Dareen. Perlahan Dareen menarik resleting untuk membukanya. Setelah terbuka, mata Dareen membelalak lebar melihat isi dalamnya lalu menatap Bu Henna dengan rasa penuh curiga.Tidak sungkan-sungkan, Dareen menumpahkan semua isi dalam tas Bu Henna dengan menungging kan. Sontak mata kami semua membelalak melihat setumpuk uang dan dua buah kotak perhiasan. Aku terperangah menatap uang yang masih tersusun rapi di ikat dengan sebuah karet gelang."Ya Allah, Bu, ter
"Kok tanya saya, memangnya saya tukang emas?" Ucapnya ketus sambil mendengus, matanya memandangku dengan kesal. "Loh, kan saya tanya, Bu, siapa tahu ibu tau harganya," ucapku dengan nada santai.Mila masih cengengesan sambil melirik-lirik ke arahku. Wanita itu enggan ikut campur, aku pun tidak menyarankan Mila untuk ikut turun tangan mengenai hal ini.Henna—ibu mertua Mila yang sangat judes dan bengis. Semua yang di lakukan Mila pasti salah, mungkin memang karena faktor status menantu.Echa memberikan kunci motor padaku sambil menyelipkan rambut poni panjangnya ke belakang telinga."Nih, Mbak, kuncinya," ucap Echa."Aku hanya menengadah satu tangan, lalu kumasukkan ke dalam saku celana."Terima kasih, gitu loh, Cha! Wong sudah di pinjami kok enggak berterimakasih," sungut Mila kesal. Matanya melirik ke atas untuk menatap wajah Echa.Gadis itu tak menjawab apa pun, malah pergi meninggalkan kami di sana, tangannya membawa tiga tote bage berwarna coklat.Bu Henna masih berdiri sambil me
"Nyembunyikan apa? Suamiku tuh di balik tirai," sahutku cekikikan. "Dia terpesona, Cha, sama kecantikan mu," ucapku tertawa kekeh. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain jujur.Echa tampak menyembunyikan senyumnya, matanya melirik ke sana sini tak tentu arah. Aku baru sadar ternyata Echa ada rasa juga sama suamiku. Tapi biarlah yang ku pentingkan uang Bu Endah dulu. Sisanya nanti."Ini, kuncinya, Cha," ucapku sambil mengangsur sebuah kunci motor.Echa mengambil kunci dari tanganku seperti kunci motor miliknya. Gadis itu mengambilnya begitu saja, seperti milik dia sendiri. Dasar!Aku dan Mila menyaksikan kepergian mereka, Mila menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata "Semoga aku betah mereka tinggal di rumahku, Mbak."Aku memandangnya sambil tersenyum, "Yuk!""Ke mana, Mbak?""Siap-siap, kita intai mereka dari dekat," ucapku.Aku masuk ke dalam rumah lalu mengambil kunci motor dan helm milik suamiku. Aku tersenyum saat melihat suamiku memakai baju yang kubeli kemarin. Dia terlih
Mila memegang tanganku, "Mbak, kemarin, pas kita mau pulang itu 'kan aku di panggil sama ibu, terus aku di suruh manggil Echa. Enggak lama kemudian Echa pulang sambil memegang sesuatu di tangannya. Tangannya loh di masukkan ke dalam baju pas aku tanya apa yang kamu pegang, dia jawabnya, bukan urusan Mbak! Ya udah akunya diam aja.""Jangan-jangan ..." Kataku sambil termenung. "Astaghfirullah, Mil, jangan sampailah," ucapku."Jangan sampailah, Mbak. Kalau memang betul aku yang malu sama Bu Endah," sungut Mila.Pikiranku dan Mila sama, Jangan-jangan ini ulah mertua dan adik ipar Mila. Amit-amit."Yang enggak enaknya, Bu Endah itu beda lihat aku, Mil. Karena kemarin aku yang pegang tas itu, tapi langsungku kasih lagi ke dia tasnya," ucapku sambil menghela nafas. "Malah tadi dia ke sini nanyain itu, pas aku jawab dia rada gimana gitu.""Ya sudah, Mbak, kita cari tersangkanya. Kita selidik," ucap Mila sambil meringis.Tidak lama kemudian aku dan Mila keluar dari kamar, di sana sudah ada sua
"Apa loh, mas?" Tanyaku saat sampai di kamar."Bajuku mana?""Sana minta di rumah Bu RT! Wong nyari baju kok susah kali kaya' nya. Baju di lemari segunung pun entah yang kaya' mana lagi yang di cari.""Yang kaos pakai kerah itu loh.""Walah, kok gaya kali cuman sini situ doang. Nih!" Ucapku kesal sambil mencampakkan baju ke pundak Devan."Ya, jangan marah-marah, Dek," sahut Devan ketar-ketir. Entah kenapa aku merasakan tidak enak hati hari ini, emosiku kok mendadak meluap-luap.Aku memandang suamiku yang tengah berjalan ke rumah Bu Endah, tangannya membenahi kerah baju berwarna hijau muda.Dari kejauhan, tampak Echa sedang tergesa-gesa berjalan menuju rumah. Suamiku berpapasan dengan Echa, namun, wajah Echa terus menunduk dengan tangan yang masuk ke dalam baju.* * *"Mas, tadi ramai 'kan yang jenguk. Mangkanya jadi orang itu yang baik, kaya' pakde. Jadi semua orang ikut merasakan sakitnya.""Ya, Mas kan baik loh, Dek," sahut Devan sambil mengutak-atik motornya.Malam ini aku dan Dev