“Iya, kesandung. Eh, malam tadi, Wulan enggak dapat loh, ini Bika Ambon,” gelak tawaku terdengar keras karena memang puas betul rasanya bisa bikin dia kecewa.“Kok bisa, Mbak?” Tanyanya sambil tertawa. Aku menceritakan kejadian malam tadi. Mila mendengarkan sambil terus cekikikan.Terlihat dari kejauhan, ada sebuah mobil Pajero sport berwarna hitam mengkilap akan melintas di depan rumahku.“Mila, mobilnya keren, itu tu mobil impianku,” ucapku tersenyum sambil menaikkan alis. Baru lihat saja mataku tak mau enyah, apalagi andai aku bisa beli, wah banget rasanya. Mataku mulai terbelalak saat mobil itu masuk ke halaman rumahku.“M-mbak, dia ke sini,” ucap Mila, mata kami tak enyah dari sana.Tin TinDia membunyikan klaksonnya.Mataku terpaku saat mesin mobil baru saja di matikan. Tak sabar rasanya ingin melihat siapa orang di dalamnya. Perasaan tidak ada saudara atau tetanggaku memiliki mobil impianku, Pajero sport.Pintu mobil telah terbuka, sepasang sepatu loreng turun dari sana, ya, h
Gaya jalan centilnya sang anak, membuatku teringat dengan putri kecilku. “Pasti ibunya cantik,” gumamku. Pandanganku beralih ke wanita paruh baya yang ada di hadapanku, melihat raut wajahnya semakin panik. “Bu, enggak usah panik, santai saja. Mas Arman, baik, ‘kan?” Aku meyakinkannya. Dia menganggukkan kepala. Dia memiliki empat orang anak. Tiga laki-laki dan satu perempuan, tapi anak perempuannya meninggal saat berusia tujuh belas tahun. Di mana dia sedang duduk di kelas dua menengah atas akibat dari sebuah kecelakaan yang menimpanya. Sejak itu suami Bu Endang sakit-sakitan karena putri semata wayangnya meninggal mendadak, di tambah lagi dia sudah mempunyai riwayat penyakit jantung. “Bu, Aku pulang dulu, ya,” ucapku pada wanita itu sambil berjalan ke arah rumah. “Tehnya enggak di minum dulu, Ya?” tanyanya. Aku menghentikan langkahku, menoleh ke belakang lalu berjalan masuk lagi ke dalam rumah. Kupegang satu gelas teh lalu kubawa ke teras. “Bu, kubawa pulang, ya, nanti kuantar
Dia tertawa lepas sambil memindah putriku di sebelahku.# # #“Milaaaa ...,” Aku merangkul Mila dari belakang. Mila kebingungan melihat tingkahku, tangan yang sudah memegang baju untuk di jemur, berhenti. Dia menoleh ke belakang memandangku dengan kening mengerut.“Mbak, ada apa? Eling, Mbak!” Ucapnya membalik badan melepaskan tanganku.Dengan riang aku tertawa sambil menutup mata menggunakan kedua telapak tanganku. Wajahku memerah, rasa ingin tersenyum selalu hadir dalam diriku.Pagi ini aku sengaja siapkan pekerjaan rumah dengan cepat. Karna kuingat hal kemarin, hari ini aku harus sukses membujuk Bu Endang untuk menjual rumahnya.“La, tadi malam, Mbak mimpi tau. Ih ...,” aku tersenyum tersipu malu kala mengingat mimpiku tadi malam.“Mbak, mimpi apa to?” Mila penasaran, dia memegang lenganku lalu membukanya.Aku menceritakan semua gerakan dan perasaan yang kurasakan tadi malam. Aku memperagakan adegan yang uh, membuatku mabuk kepayang.Tak tahan rasanya aku menahan diri, aku mundur t
Bu Endah membacakan surat Yasin lagi tepat di samping kepala almarhum Bu Endang. Air matanya mengalir mengingat beliau adalah sahabat karibnya saat almarhum masih sehat. Suara lantunan ayat suci itu membuatku merasa merinding, suaranya terdengar jelas di telingaku saat aku melintas di dekatnya. “Mbak! Itu, Mas Devan,” ucap Mila menepuk punggungku. Aku menatap Devan yang tengah asyik ngobrol dengan Rahayu di kursi plastik berwarna hijau muda. Di sekelilingnya ada beberapa orang di sana. Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah rumah. Enggan rasanya memandang pemandangan yang menjijikkan itu. “Dek!” Devan menahan lenganku, tiba-tiba saja dia ada di belakangku. Secepatnya aku menepis tangannya. “Mbak, aku duluan, ya,” ucap Mila mempercepat langkahnya. Aku berjalan sambil menunduk, air mata yang menggenang di kelopak mata membuat pandanganku kabur. Aku melangkah sambil meremas baju gamis yang kukenakan. Melampiaskan rasa geram yang kurasakan dalam hati. Devan mengikutiku dari
Bu Asih memegang sebuah rantang yang berisi beberapa anak tikus di dalamnya. Bulu kudukku merinding melihat bayi tikus yang masih merah bergelimpangan di sana.Beberapa ibu-ibu berteriak-teriak melihatnya karna geli, anak tikus itu pada menggeliat.Entah apa maksud dari Bu Endang memasukkan beberapa anak tikus ke dalam rantang dan di selipkan di sela-sela tumpukan karung bekas beras.Secepatnya Bu Asih lari ke belakang untuk membuang anak tikus sekaligus rantangnya.“Eh, kok bisa, ya, anak tikus ada di dalam rantang?” Tanya Bu hikmah sambil meletakkan baskom besar berisi piring serta gelas bersih yang baru saja di cuci.“Mungkin Bu Endang kasihan liat anak tikus di tinggalkan sama emaknya, maka di taruh di rantang bagai pengganti rumahnya,” sahutku sambil menarik benang dari dalam daun pandan.“Bisa jadi si, soalnya di taruhnya di sela-sela karung,” timpal Bu Neli.Tidak terasa pelayat yang jarak jauh sudah mulai berdatangan, kepalaku celingukan mengarah ke ruang tamu mencari Bu Endah
“Sudah, biar Bu Endah saja nanti yang urus. Mending di bereskan ini yang berantakan,” ujarku memandang sisa kain kafan, kapur Barus, dan juga kapas yang masih tergeletak begitu saja di dekat dinding.“Ah, enggaklah, Aku mau pulang saja. Eh, nanti ada takziah, enggak, ya?” Tanya Wulan berhenti di depan pintu. Dia sudah bersiap kabur dengan mengenakan sendal di teras rumah.Aku hanya mengangkat pundak, malas memandang ke arahnya, giliran ada kerjaan saja dia enggak mau tau, pulanglah, inilah, itulah.Kusapu ruang tamu, di mana ada bekas-bekas sisa tadiku kemas jadi satu di dalam plastik asoi besar berwarna hitam. Sebuah mobil Xenia, masuk ke halaman rumah Bu Endang, kepalaku nyelinguk ke luar dengan gagang sapu yang masihku pegang.Mesin mobil mati dan tidak lama pintu mobil terbuka, mas Arman turun dari pintu sebelah kanan, tepatnya berhadapan rumah ini. Tubuhnya kembali membalik ke dalam mobil guna untuk menggendong putranya. Aku penasaran kepalaku celingukan, netraku menangkap soso
“Ini sudah sore, Wit, lihat jam coba sekarang sudah jam berapa. Nanti enggak keburu loh,” ucap Bu Endah menatap Juwita. Tangan Juwita menggaruk-garuk kepala seolah kesal dengan kedatangan kami.Aku dan Bu Endah masuk ke dalam rumah, terlihat Mas Arman masih tidur di ruang tamu beralaskan tikar yang sedari tadi belum di gulung.“Loh, Arman belum belanja?” Bu Endah menghentikan langkahnya kala melihat Mas Arman tergeletak di sana.“Belum. Sudah, pakai bahan seadanya saja,” ujar Mbak Juwita dengsn tangan menepis ke arah kami.“Nanti kalau kurang bagaimana, Wit?” tanya Bu Endah menatap Juwita kesal.“Bu, yang di undang beberapa orang saja, jangan sampai se-RT. Kalau se-RT pun enggak bakal cukup uangnya, uang enggak seberapa juga,” celoteh Juwita dengan kesal.Aku lebih kesal melihatnya karna aku sendiri yang tahu jumlah uang yang di dapat dari para pelayat tadi. Menurutku itu juga sudah lebih dari cukup.Aku yakin Juwita bakal manfaatkan uang itu untuk kebutuhan pribadinya.“Mbak, tadi it
“Ih, apaan, sih? Ngapain coba lihat-lihat kamar orang?” ucap Juwita marah sambil berkacak pinggang memandangku dengan mata melotot.“A-aku, aku tadi dengar suara anak nangis di sini, Mbak,” ucapku terbata sambil menoleh ke belakang.“Anak nangis? Jangan ngaco kamu. Lihat! Jelas-jelas anakku sedang tidur. Kamu sengajakan mau masuk ke kamar terus ngambil uang atau apalah milikku?” ucapnya sekilas menggeser kain gorden sambil melihat anaknya yang masih tertidur lelap.“Mbak! Yang enakkan dikit dong kalau ngomong. Jangan sembarangan gitu,” sahutku menatap tajam matanya.Rasa takutku kini berubah menjadi emosi. Mataku memandangnya tanpa berkedip. Juwita mengalihkan pandangan ke arah ruang tamu, dia melipat kedua tangannya di dada sambil menghela nafas. Wajah angkuhnya tak dapat dia tutupi.“Sudah! Aku mau pulang,” ucapku sambil meninggalkannya yang masih berdiri di sana.“Pulang sana!” Juwita mengusirku dengan suara lantang.Dengan rasa emosi yang tinggi, perasaanku meronta-ronta sampai b