“Ih, apaan, sih? Ngapain coba lihat-lihat kamar orang?” ucap Juwita marah sambil berkacak pinggang memandangku dengan mata melotot.“A-aku, aku tadi dengar suara anak nangis di sini, Mbak,” ucapku terbata sambil menoleh ke belakang.“Anak nangis? Jangan ngaco kamu. Lihat! Jelas-jelas anakku sedang tidur. Kamu sengajakan mau masuk ke kamar terus ngambil uang atau apalah milikku?” ucapnya sekilas menggeser kain gorden sambil melihat anaknya yang masih tertidur lelap.“Mbak! Yang enakkan dikit dong kalau ngomong. Jangan sembarangan gitu,” sahutku menatap tajam matanya.Rasa takutku kini berubah menjadi emosi. Mataku memandangnya tanpa berkedip. Juwita mengalihkan pandangan ke arah ruang tamu, dia melipat kedua tangannya di dada sambil menghela nafas. Wajah angkuhnya tak dapat dia tutupi.“Sudah! Aku mau pulang,” ucapku sambil meninggalkannya yang masih berdiri di sana.“Pulang sana!” Juwita mengusirku dengan suara lantang.Dengan rasa emosi yang tinggi, perasaanku meronta-ronta sampai b
“Ih, kamu apaan sih, baikkan dikit kenapa kalau ngomong sama orang,” ucap Mas Arman sambil menepuk punggungnya.Juwita memegang punggungnya sambil meringis kesakitan, aku tersenyum tipis memandangnya. Dia merengut menatapku.Aku menyabarkan hati supaya tidak terjadi pertengkaran di rumah ini karna aku mengingat jasa almarhum Bu Endang waktu dulu.Bu Asih menggelengkan kepala menatap Juwita, kami masih saja terheran kenapa sikap Mbak Juwita sekarang berubah total seperti ini. Suka ceplas-ceplos tanpa memikirkan perasaan orang lain.* * *“Loh, Mas, enggak ikut kirim doa?” Aku bertanya pada Devan saat baru keluar dari dalam kamar menatapnya masih ada di depan televisi.“Mas, kayanya enggak bisa pergi, Dek, ngantuk kali,” sahutnya sambil mengedip-ngedipkan mata sambil merebahkan tubuhnya di kasur lantai.Aku menggelengkan kepala berjalan dan duduk tepat di sampingnya. Kedua anak laki-lakiku sedang ke rumah saudara kami di desa lain. Anak bungsuku kini tinggal bersama Mamak karna Oliv yan
Tok! Tok!Suara ketukan pintu membuyarkan perasaan, menyadarkan lamunan, menatap daun pintu seolah hatiku enggan berada di masa sekarang. Aku beranjak dan jalan mengarah ke pintu.Rahayu berdiri di hadapanku, raut wajahnya terlihat ketakutan, bintik-bintik bening terpaut di wajahnya. Netranya menggambarkan rasa pilu di hatinya. Tak terasa malam telah larut,aku menoleh ke arah rumah Mas Arman sudah sepi mencekam, hanya terpancar sinar remang-remang di terasnya.“Eh, Rahayu, ada apa?” tanyaku menatap Rahayu dengan rasa heran.“M-mbak bisa bantu aku? Aku enggak tahu lagi mau minta bantuan siapa kalau bukan sama, Mbak. Mbak, tolong! Cuman Mbak yang bisa bantu aku,” ucap Rahayu memohon, dia menangkupkan kedua tangannya.Aku menoleh ke kanan dan kiri, tak ada satu orang pun di sana. Kutarik lengan Rahayu, lalu kubawa masuk ke dalam.“Ra, ada apa? Coba cerita sama, Mbak, kok kayanya kamu punya masalah serius?” tanyaku saat duduk bersamanya di ruang tamu, menatap wajahnya pucat pasi.Rahayu
"Jangan, Ra, ini kenangan," ucapku merebut dari tangannya.Sejenak aku fokus dengan menatap matanya, laluku hapus debu-debu yang menempel di permukaan album besar bertuliskan tahun 2011.Tanpa berkata apa-apa, Rahayu kembali membersihkan gudang, aku meletakkan album di meja ruang tamu. Rasa panas dalam dadaku mendorong diri untuk pergi ke rumah Mila walaupun pintu masih tertutup."Assalamualaikum, Mil, Mila ...," ucapku sambil mengetuk pintu.Hening...Aku menyipitkan mata saat memandang ke arah rumah, Bu Endah karna terkena paparan sinar matahari, di sana terlihat ada beberapa orang ibu-ibu termasuk Bude Sarni.Aku menggendong putriku, berjalan ke rumah Bu Endah sambil menyuapkan nasi untuknya."Hei, Diva, makan pakai apa, sayang?" tanya Bu Endah yang baru saja beranjak dari duduknya setelah aku datang."Telur, Nek ...," jawabku memandangnya."Iya, aku benci kali kalau sudah seperti itu. Walaupun anakku sendiri," ucap Bude Sarni kesal.Aku diam, tapi memperhatikan. Setelah beberapa m
"Mbak, ada handuk enggak?" tanya Rahayu dari balik pintu kamarku."Ada," sahutku sambil memandang daun pintu yang masih tertutup.Kubuka lemari, melihat ada beberapa tumpuk kain di sana, sprei, selimut, dan handuk masih tersusun rapi. Kuambil handuk berwarna hijau muda yang ada di bagian bawah susunan."Mbak! Buruan!" ucap Rahayu tak sabar, dia membuka pintu kamarku."Ini," ucapku sambil memberikan handuk menggunakan tangan kanan. Aku hanya diam tanpa kata.Jebret!suara pintu tertutup membuat tubuhku terperanjat. Aku hanya menatap daun pintu sambil duduk di tepi ranjang. Rasa ingin memarahinya meronta-ronta saat aku jauh darinya. Tapi setelah kami bertatap muka, aku kian tunduk di hadapannya.* * *"Mas, ini enak lho ikannya. Coba deh!" ucap Rahayu mengambilkan sepotong daging ayam semur dari mangkuk yang ada di meja makan, meletakkannya di atas piring, Devan.Aku dan anak-anak diam termangu melihat gerakan tangan Rahayu, dia tersenyum manis menatap Devan, lalu melanjutkan suapannya
Aku duduk di tepi ranjang dengan mata berkaca-kaca meratapi nasib yang sedang menimpaku.Jujur aku takut, diam aku kalut."Mbaak, Mbak Thaliaaa," suara Mila terdengar dari dalam kamarku.Aku beranjak lalu berjalan ke teras dengan bermalas-malasan."Mbak, mbak kenapa?" tanya Mila sambil mengernyitkan dahi."Enggak apa-apa, Mil," sahutku sambil menepis air mata di sudut mataku.Mila duduk di teras rumahku, dia menghadap ke dalam rumah. Kepalanya nyelinguk saat menatap barang-barang berserakan di depan pintu gudang."Mbak, itu kenapa barang-barangnya di luar? Gudangnya di rehab, ya?" Wajah Mila terlihat heran. Tidak pernah-pernahnya rumahku berserakan seperti itu."I-iya, Mil," sahutku gugup.Aku takut di salahkan jika ada yang tahu kalau akulah penampung Rahayu, aku mencoba mengalah lagi dengan apa yang sudah di lakukan oleh Rahayu padaku."Yang enggak ke pake di jual saja, Mbak, yuk kita jual," ucap Rahayu sambil beranjak dari duduknya. Dia jalan mengarah barang-barang yang masih bers
Suasana malam yang hening, membuat suara detik jarum jam terdengar kuat. Menunggu jawaban Devan, seperti menunggu antrean di pom bensin. Lama dan juga meresahkan."Ya, memangnya yang punya anak tiga itu cuman kita, Dek?" sahut Devan memandangku dengan wajah datar.Sepertinya aku sudah membuatnya tersinggung, kupeluk tubuhnya semakin erat, sesak di dada kini mulai sedikit lega setelah mendengar jawaban dari Devan. Tapi, aku tidak bisa percaya dengannya begitu saja."Mas, kata Mas Harman, kalau malam di sekeliling rumah ada ayam jago berkokok, loh. Itu pertanda ada sesuatu yang aneh di kampung ini," ucapku sambil memainkan putingnya menggunakan jari telunjuk."Maksudnya?" Devan menatapku. Yang tadinya posisinya rebahan kini dia duduk di sebelahku."Ya, ada yang selingkuh terus berbuat mesum," ucapku memandnagnya dengan mata melirik ke atas."Alaah, malas aku kalau sudah bahas masalah mistis itu, takutnya akan terjadi sama keluarga kita," ucap Devan kesal. Dia menepis tanganku yang masih
"Iya, tapi ibu takut kalau malah buat rumah tangga mereka hancur berantakan, Ta," sahut wanita paruh baya yang ada di hadapanku.Rasa panas yang ada di hatiku sama seperti sayur gulai yang kini berada di dalam wadah. Bedanya hanya hatiku tidak mengeluarkan kepulan asap.Dreett ...Dreett ...Getaran HP yang ada di saku bajuku mengejutkanku."Mila?" batinku.[Halo, Mil, ada apa?][Mbak, ini tetangga baru, Mbak sudah datang, dia minta kunci rumahnya.][Sama, Bu Endah, Mil, kuncinya,][Aku enggak ada nomor Bu Endah, warungnya tutup itu ha, nampak dari sini,][Ya, sudah aku telpon, Bu Endah dulu, Mil]Tuutt ...Tuutt ...[Halo, Bu, di mana? Itu orang yang mau nempatin rumah, Mas Arman sudah datang ,Bu, kuncinya di ibu, 'kan?][Iya, Mil, tolong ke rumah ibu, ya. Di gantungan sebelah pintu kamar, masuk saja enggak di kunci pintunya, ibu masih belanja, baru saja sampai,][Oh, iya, Bu,]Aku mengakhiri panggilan."Bude, aku pulang dulu, ya, orang yang mau nempatin rumah Mas Arman sudah datang,
Aku mengintai dari sudut ke sudut ternyata memang tidak ada suamiku di dalamnya. Hal seperti ini sudah beberapa kali terjadi, tapi aku tidak pernah aku cek kamar mandinya. Baru hari ini aku kepo tentang ketenangannya dia di dalam kamar mandi, tapi malah enggak ada orangnya.Aku berjalan ke depan untuk melihat sendal miliknya, tapi kenapa sendalnya masih ada di depan? Aku balik lagi berjalan ke belakang.Bruk!Aku dan Devan bertabrakan di pintu tengah yang di tutupi oleh kain gorden."Aduh! Kalau jalan itu lihat-lihat!" Ucapnya dengan nada tinggi.Astaga, dia kenapa? Apa yang salah dariku sampai-sampai dia ketus seperti ini? Niatku yang ingin bertanya padanya, aku urungkan. Aku lebih memilih masuk ke dalam kamar dan langsung merebahkan tubuhku di ranjang ketika dia sedang mencari sesuatu di lemari."Mana ini kolor nya!" Ucapnya tanpa memandangku.Aku hanya mendengarkan tanpa menjawab, kalau sudah dengan cara seperti itu jangan harap aku akan memedulikannya.Devan keluar masuk kamar, ak
"Iya, loh dek," sahutnya dengan nada marah.Aku menatap Devan yang pergi ke arah dapur dan masuk ke dalam kamar mandi. Sudah beberapa bulan ini Devan kerja di bengkel tidak membuahkan hasil. Malah semua jadi kacau.Tabunganku merosot, padahal aku ikut serta mencari uang. Apa aku kasih tahu saja ya pekerjaan yang di tawarkan Dareen beberapa bulan lalu? Toh Dareen belum mendapatkan seorang sopir sampai saat ini.Aku berjalan ke arah luar rumah, di sana tampak Dareen sedang mengemudi mobilnya. Di sisi lain ada sang istri sedang melambaikan tangan ke arahnya.Tidak lama Devan berjalan ke arah luar, suamiku melewatiku begitu saja sambil mengeluarkan motor miliknya."Enggak sarapan dulu, Mas?" Tanyaku heran."Enggak. Nanti saja di luar," ucapnya tanpa memandangku. Matanya fokus dengan ban yang akan turun dari teras."Kamu ini, ya. Sudah tahu gaji kecil malah makan di luar. Enggak kasihan apa sama anak kamu yang makan seadanya gitu? Heran deh," ucapku kesal.Devan tidak menjawab pertanyaanku
"Ya, waktu itu Mas Harman pernah kerja bareng ayahku. Pas dilihat ayah, tenaganya kuat. Kerjanya rajin, tiba udah nikah, males, makin ke sini malah kaya' tahe," ucapnya kesal.Aku tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Mila. Aku pernah juga mendengar desas-desus nya dulu kalau Mila hamil duluan, tapi aku enggak pernah bertanya karena kau tidak mau mencari masalah yang bukan urusanku.* * *"Mas, gimana tadi kerjanya? Capek?" Tanyaku."Enggak, Dek. Apalah capeknya, cuman megang kunci terus di putar-putar," ucap Devan sambil menghela nafas.Nafasnya begitu berat, aku yakin pasti keadaan sedang tidak baik-baik saja.Aku memeluknya saat kami masih tiduran di ranjang. Anak-anak sudah pada tidur, tanganku melingkar merangkul bagian dada bidangnya."Mas, sebenarnya ada masalah apa?" Tanyaku memaksa Devan untuk menjawab."Enggak ada apa-apa loh, dek.""Gimana enggak ada? Aku istrimu, dan aku tahu bagaimana kamu," ucapku.Aku sangat mengenal suamiku sehingga dia tidak akan bisa menutupi masal
"Makan—? Hmmm, Aku belum masak, Mas," ucapku lirih."Kok bisa sih dek? Seharian di rumah, ngapain?" Tanya Devan dengan nada datar.Aku menceritakan semua kejadian tadi, namun, aku belum bicara soal Dareen yang memberikannya pekerjaan sebagai sopir.Aku belum siap untuk di tinggal malam-malam oleh Devan karena masih trauma dengan kejadian beberapa malam yang lalu."Ya, sudah, beli mie instan aja dek, laper," ucapnya sambil merebahkan tubuhnya di depan TV."Bentar, ya, mas," ucapku sambil mengambil uang dari dalam dompet.Aku berjalan menuju rumah Bu Endah, rumah itu terlihat sangat sepi, sampai aku berada di depan pintunya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya."Buuu, Bu Endah," panggilku dengan suara sedikit agak keras. Bu Endah keluar dari arah belakang, "Ada apa, Ta? Tanyanya."Bu, mie instan, dua," ucapku sambil menunjuk sebuah kotak mie kesukaan suamiku yang terbungkus oleh plastik berwarna hijau.Dengan sigap, Bu Endah memasukkan dua bungkus mie instan ke dalam plastik be
"Ini tas saya, jadi hak saya dong boleh di periksa atau tidak?" Ucap Bu Henna menahan."Bu, katanya tadi mau di selesaikan dengan cara baik-baik. Kalau tidak ada apa-apa di sana, ya, sudah jangan takut," timpalku.Bu Henna perlahan melepaskan tali tote bage dari lengannya. Namun, Echa mencoba menahan. "Bu, jangan! Ini kan punya ibu," ujar Echa mencoba ikut menahan.Aku tersenyum sinis menatap keduanya. Hari menjelang sore, terik matahari masih ikut serta menambah hawa panas keadaan.Bu Henna memberikan tote bage miliknya kepada Dareen. Perlahan Dareen menarik resleting untuk membukanya. Setelah terbuka, mata Dareen membelalak lebar melihat isi dalamnya lalu menatap Bu Henna dengan rasa penuh curiga.Tidak sungkan-sungkan, Dareen menumpahkan semua isi dalam tas Bu Henna dengan menungging kan. Sontak mata kami semua membelalak melihat setumpuk uang dan dua buah kotak perhiasan. Aku terperangah menatap uang yang masih tersusun rapi di ikat dengan sebuah karet gelang."Ya Allah, Bu, ter
"Kok tanya saya, memangnya saya tukang emas?" Ucapnya ketus sambil mendengus, matanya memandangku dengan kesal. "Loh, kan saya tanya, Bu, siapa tahu ibu tau harganya," ucapku dengan nada santai.Mila masih cengengesan sambil melirik-lirik ke arahku. Wanita itu enggan ikut campur, aku pun tidak menyarankan Mila untuk ikut turun tangan mengenai hal ini.Henna—ibu mertua Mila yang sangat judes dan bengis. Semua yang di lakukan Mila pasti salah, mungkin memang karena faktor status menantu.Echa memberikan kunci motor padaku sambil menyelipkan rambut poni panjangnya ke belakang telinga."Nih, Mbak, kuncinya," ucap Echa."Aku hanya menengadah satu tangan, lalu kumasukkan ke dalam saku celana."Terima kasih, gitu loh, Cha! Wong sudah di pinjami kok enggak berterimakasih," sungut Mila kesal. Matanya melirik ke atas untuk menatap wajah Echa.Gadis itu tak menjawab apa pun, malah pergi meninggalkan kami di sana, tangannya membawa tiga tote bage berwarna coklat.Bu Henna masih berdiri sambil me
"Nyembunyikan apa? Suamiku tuh di balik tirai," sahutku cekikikan. "Dia terpesona, Cha, sama kecantikan mu," ucapku tertawa kekeh. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain jujur.Echa tampak menyembunyikan senyumnya, matanya melirik ke sana sini tak tentu arah. Aku baru sadar ternyata Echa ada rasa juga sama suamiku. Tapi biarlah yang ku pentingkan uang Bu Endah dulu. Sisanya nanti."Ini, kuncinya, Cha," ucapku sambil mengangsur sebuah kunci motor.Echa mengambil kunci dari tanganku seperti kunci motor miliknya. Gadis itu mengambilnya begitu saja, seperti milik dia sendiri. Dasar!Aku dan Mila menyaksikan kepergian mereka, Mila menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata "Semoga aku betah mereka tinggal di rumahku, Mbak."Aku memandangnya sambil tersenyum, "Yuk!""Ke mana, Mbak?""Siap-siap, kita intai mereka dari dekat," ucapku.Aku masuk ke dalam rumah lalu mengambil kunci motor dan helm milik suamiku. Aku tersenyum saat melihat suamiku memakai baju yang kubeli kemarin. Dia terlih
Mila memegang tanganku, "Mbak, kemarin, pas kita mau pulang itu 'kan aku di panggil sama ibu, terus aku di suruh manggil Echa. Enggak lama kemudian Echa pulang sambil memegang sesuatu di tangannya. Tangannya loh di masukkan ke dalam baju pas aku tanya apa yang kamu pegang, dia jawabnya, bukan urusan Mbak! Ya udah akunya diam aja.""Jangan-jangan ..." Kataku sambil termenung. "Astaghfirullah, Mil, jangan sampailah," ucapku."Jangan sampailah, Mbak. Kalau memang betul aku yang malu sama Bu Endah," sungut Mila.Pikiranku dan Mila sama, Jangan-jangan ini ulah mertua dan adik ipar Mila. Amit-amit."Yang enggak enaknya, Bu Endah itu beda lihat aku, Mil. Karena kemarin aku yang pegang tas itu, tapi langsungku kasih lagi ke dia tasnya," ucapku sambil menghela nafas. "Malah tadi dia ke sini nanyain itu, pas aku jawab dia rada gimana gitu.""Ya sudah, Mbak, kita cari tersangkanya. Kita selidik," ucap Mila sambil meringis.Tidak lama kemudian aku dan Mila keluar dari kamar, di sana sudah ada sua
"Apa loh, mas?" Tanyaku saat sampai di kamar."Bajuku mana?""Sana minta di rumah Bu RT! Wong nyari baju kok susah kali kaya' nya. Baju di lemari segunung pun entah yang kaya' mana lagi yang di cari.""Yang kaos pakai kerah itu loh.""Walah, kok gaya kali cuman sini situ doang. Nih!" Ucapku kesal sambil mencampakkan baju ke pundak Devan."Ya, jangan marah-marah, Dek," sahut Devan ketar-ketir. Entah kenapa aku merasakan tidak enak hati hari ini, emosiku kok mendadak meluap-luap.Aku memandang suamiku yang tengah berjalan ke rumah Bu Endah, tangannya membenahi kerah baju berwarna hijau muda.Dari kejauhan, tampak Echa sedang tergesa-gesa berjalan menuju rumah. Suamiku berpapasan dengan Echa, namun, wajah Echa terus menunduk dengan tangan yang masuk ke dalam baju.* * *"Mas, tadi ramai 'kan yang jenguk. Mangkanya jadi orang itu yang baik, kaya' pakde. Jadi semua orang ikut merasakan sakitnya.""Ya, Mas kan baik loh, Dek," sahut Devan sambil mengutak-atik motornya.Malam ini aku dan Dev