“Loh, Oliv, di mana Bika Ambonnya?” tanya mamak dari pintu tengah. Olive memejamkan mata seolah dia tidak mau ikut campur dengan rencanaku tadi.Aku beranjak dari dudukku menoleh ke ruang tamu masih ada, Wulan, duduk di sana menunggu Bika Ambon.“Mak, Oliv cuman bawa 3, ‘kan? Nah ini dia,” aku mengeluarkan dua kotak Bika Ambon yang sudah di simpan di atas rak piring seperti yang telah kuinstruksikan pada, Oliv, tadi siang.“Yang satu untukku, satu untuk Era, pas, ‘kan?” ucapku menumpuk dua kotak Bika Ambon di atas meja. Mamak cengar-cengir menatapku.“Yang tadi mana, ya, masih loh di piring. Satu lagi sudah di potong-potong tadi,” ucap mamak sambil menggaruk-garuk kepala. Membuka tudung saji dan celingukan ke sana sini.Aku cekikikan karena, Oliv sudah menyimpannya di dalam kamar sebelum mamak sadar. Aku dan mamak ke ruang keluarga. Aku duduk tapi mamak masih saja berdiri, mamak masih penasaran ke mana larinya itu si Bika Ambon.“Ta, punya kamu saja, belah dua, ya?” ujar mamak memanda
“Iya, kesandung. Eh, malam tadi, Wulan enggak dapat loh, ini Bika Ambon,” gelak tawaku terdengar keras karena memang puas betul rasanya bisa bikin dia kecewa.“Kok bisa, Mbak?” Tanyanya sambil tertawa. Aku menceritakan kejadian malam tadi. Mila mendengarkan sambil terus cekikikan.Terlihat dari kejauhan, ada sebuah mobil Pajero sport berwarna hitam mengkilap akan melintas di depan rumahku.“Mila, mobilnya keren, itu tu mobil impianku,” ucapku tersenyum sambil menaikkan alis. Baru lihat saja mataku tak mau enyah, apalagi andai aku bisa beli, wah banget rasanya. Mataku mulai terbelalak saat mobil itu masuk ke halaman rumahku.“M-mbak, dia ke sini,” ucap Mila, mata kami tak enyah dari sana.Tin TinDia membunyikan klaksonnya.Mataku terpaku saat mesin mobil baru saja di matikan. Tak sabar rasanya ingin melihat siapa orang di dalamnya. Perasaan tidak ada saudara atau tetanggaku memiliki mobil impianku, Pajero sport.Pintu mobil telah terbuka, sepasang sepatu loreng turun dari sana, ya, h
Gaya jalan centilnya sang anak, membuatku teringat dengan putri kecilku. “Pasti ibunya cantik,” gumamku. Pandanganku beralih ke wanita paruh baya yang ada di hadapanku, melihat raut wajahnya semakin panik. “Bu, enggak usah panik, santai saja. Mas Arman, baik, ‘kan?” Aku meyakinkannya. Dia menganggukkan kepala. Dia memiliki empat orang anak. Tiga laki-laki dan satu perempuan, tapi anak perempuannya meninggal saat berusia tujuh belas tahun. Di mana dia sedang duduk di kelas dua menengah atas akibat dari sebuah kecelakaan yang menimpanya. Sejak itu suami Bu Endang sakit-sakitan karena putri semata wayangnya meninggal mendadak, di tambah lagi dia sudah mempunyai riwayat penyakit jantung. “Bu, Aku pulang dulu, ya,” ucapku pada wanita itu sambil berjalan ke arah rumah. “Tehnya enggak di minum dulu, Ya?” tanyanya. Aku menghentikan langkahku, menoleh ke belakang lalu berjalan masuk lagi ke dalam rumah. Kupegang satu gelas teh lalu kubawa ke teras. “Bu, kubawa pulang, ya, nanti kuantar
Dia tertawa lepas sambil memindah putriku di sebelahku.# # #“Milaaaa ...,” Aku merangkul Mila dari belakang. Mila kebingungan melihat tingkahku, tangan yang sudah memegang baju untuk di jemur, berhenti. Dia menoleh ke belakang memandangku dengan kening mengerut.“Mbak, ada apa? Eling, Mbak!” Ucapnya membalik badan melepaskan tanganku.Dengan riang aku tertawa sambil menutup mata menggunakan kedua telapak tanganku. Wajahku memerah, rasa ingin tersenyum selalu hadir dalam diriku.Pagi ini aku sengaja siapkan pekerjaan rumah dengan cepat. Karna kuingat hal kemarin, hari ini aku harus sukses membujuk Bu Endang untuk menjual rumahnya.“La, tadi malam, Mbak mimpi tau. Ih ...,” aku tersenyum tersipu malu kala mengingat mimpiku tadi malam.“Mbak, mimpi apa to?” Mila penasaran, dia memegang lenganku lalu membukanya.Aku menceritakan semua gerakan dan perasaan yang kurasakan tadi malam. Aku memperagakan adegan yang uh, membuatku mabuk kepayang.Tak tahan rasanya aku menahan diri, aku mundur t
Bu Endah membacakan surat Yasin lagi tepat di samping kepala almarhum Bu Endang. Air matanya mengalir mengingat beliau adalah sahabat karibnya saat almarhum masih sehat. Suara lantunan ayat suci itu membuatku merasa merinding, suaranya terdengar jelas di telingaku saat aku melintas di dekatnya. “Mbak! Itu, Mas Devan,” ucap Mila menepuk punggungku. Aku menatap Devan yang tengah asyik ngobrol dengan Rahayu di kursi plastik berwarna hijau muda. Di sekelilingnya ada beberapa orang di sana. Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah rumah. Enggan rasanya memandang pemandangan yang menjijikkan itu. “Dek!” Devan menahan lenganku, tiba-tiba saja dia ada di belakangku. Secepatnya aku menepis tangannya. “Mbak, aku duluan, ya,” ucap Mila mempercepat langkahnya. Aku berjalan sambil menunduk, air mata yang menggenang di kelopak mata membuat pandanganku kabur. Aku melangkah sambil meremas baju gamis yang kukenakan. Melampiaskan rasa geram yang kurasakan dalam hati. Devan mengikutiku dari
Bu Asih memegang sebuah rantang yang berisi beberapa anak tikus di dalamnya. Bulu kudukku merinding melihat bayi tikus yang masih merah bergelimpangan di sana.Beberapa ibu-ibu berteriak-teriak melihatnya karna geli, anak tikus itu pada menggeliat.Entah apa maksud dari Bu Endang memasukkan beberapa anak tikus ke dalam rantang dan di selipkan di sela-sela tumpukan karung bekas beras.Secepatnya Bu Asih lari ke belakang untuk membuang anak tikus sekaligus rantangnya.“Eh, kok bisa, ya, anak tikus ada di dalam rantang?” Tanya Bu hikmah sambil meletakkan baskom besar berisi piring serta gelas bersih yang baru saja di cuci.“Mungkin Bu Endang kasihan liat anak tikus di tinggalkan sama emaknya, maka di taruh di rantang bagai pengganti rumahnya,” sahutku sambil menarik benang dari dalam daun pandan.“Bisa jadi si, soalnya di taruhnya di sela-sela karung,” timpal Bu Neli.Tidak terasa pelayat yang jarak jauh sudah mulai berdatangan, kepalaku celingukan mengarah ke ruang tamu mencari Bu Endah
“Sudah, biar Bu Endah saja nanti yang urus. Mending di bereskan ini yang berantakan,” ujarku memandang sisa kain kafan, kapur Barus, dan juga kapas yang masih tergeletak begitu saja di dekat dinding.“Ah, enggaklah, Aku mau pulang saja. Eh, nanti ada takziah, enggak, ya?” Tanya Wulan berhenti di depan pintu. Dia sudah bersiap kabur dengan mengenakan sendal di teras rumah.Aku hanya mengangkat pundak, malas memandang ke arahnya, giliran ada kerjaan saja dia enggak mau tau, pulanglah, inilah, itulah.Kusapu ruang tamu, di mana ada bekas-bekas sisa tadiku kemas jadi satu di dalam plastik asoi besar berwarna hitam. Sebuah mobil Xenia, masuk ke halaman rumah Bu Endang, kepalaku nyelinguk ke luar dengan gagang sapu yang masihku pegang.Mesin mobil mati dan tidak lama pintu mobil terbuka, mas Arman turun dari pintu sebelah kanan, tepatnya berhadapan rumah ini. Tubuhnya kembali membalik ke dalam mobil guna untuk menggendong putranya. Aku penasaran kepalaku celingukan, netraku menangkap soso
“Ini sudah sore, Wit, lihat jam coba sekarang sudah jam berapa. Nanti enggak keburu loh,” ucap Bu Endah menatap Juwita. Tangan Juwita menggaruk-garuk kepala seolah kesal dengan kedatangan kami.Aku dan Bu Endah masuk ke dalam rumah, terlihat Mas Arman masih tidur di ruang tamu beralaskan tikar yang sedari tadi belum di gulung.“Loh, Arman belum belanja?” Bu Endah menghentikan langkahnya kala melihat Mas Arman tergeletak di sana.“Belum. Sudah, pakai bahan seadanya saja,” ujar Mbak Juwita dengsn tangan menepis ke arah kami.“Nanti kalau kurang bagaimana, Wit?” tanya Bu Endah menatap Juwita kesal.“Bu, yang di undang beberapa orang saja, jangan sampai se-RT. Kalau se-RT pun enggak bakal cukup uangnya, uang enggak seberapa juga,” celoteh Juwita dengan kesal.Aku lebih kesal melihatnya karna aku sendiri yang tahu jumlah uang yang di dapat dari para pelayat tadi. Menurutku itu juga sudah lebih dari cukup.Aku yakin Juwita bakal manfaatkan uang itu untuk kebutuhan pribadinya.“Mbak, tadi it
Aku mengintai dari sudut ke sudut ternyata memang tidak ada suamiku di dalamnya. Hal seperti ini sudah beberapa kali terjadi, tapi aku tidak pernah aku cek kamar mandinya. Baru hari ini aku kepo tentang ketenangannya dia di dalam kamar mandi, tapi malah enggak ada orangnya.Aku berjalan ke depan untuk melihat sendal miliknya, tapi kenapa sendalnya masih ada di depan? Aku balik lagi berjalan ke belakang.Bruk!Aku dan Devan bertabrakan di pintu tengah yang di tutupi oleh kain gorden."Aduh! Kalau jalan itu lihat-lihat!" Ucapnya dengan nada tinggi.Astaga, dia kenapa? Apa yang salah dariku sampai-sampai dia ketus seperti ini? Niatku yang ingin bertanya padanya, aku urungkan. Aku lebih memilih masuk ke dalam kamar dan langsung merebahkan tubuhku di ranjang ketika dia sedang mencari sesuatu di lemari."Mana ini kolor nya!" Ucapnya tanpa memandangku.Aku hanya mendengarkan tanpa menjawab, kalau sudah dengan cara seperti itu jangan harap aku akan memedulikannya.Devan keluar masuk kamar, ak
"Iya, loh dek," sahutnya dengan nada marah.Aku menatap Devan yang pergi ke arah dapur dan masuk ke dalam kamar mandi. Sudah beberapa bulan ini Devan kerja di bengkel tidak membuahkan hasil. Malah semua jadi kacau.Tabunganku merosot, padahal aku ikut serta mencari uang. Apa aku kasih tahu saja ya pekerjaan yang di tawarkan Dareen beberapa bulan lalu? Toh Dareen belum mendapatkan seorang sopir sampai saat ini.Aku berjalan ke arah luar rumah, di sana tampak Dareen sedang mengemudi mobilnya. Di sisi lain ada sang istri sedang melambaikan tangan ke arahnya.Tidak lama Devan berjalan ke arah luar, suamiku melewatiku begitu saja sambil mengeluarkan motor miliknya."Enggak sarapan dulu, Mas?" Tanyaku heran."Enggak. Nanti saja di luar," ucapnya tanpa memandangku. Matanya fokus dengan ban yang akan turun dari teras."Kamu ini, ya. Sudah tahu gaji kecil malah makan di luar. Enggak kasihan apa sama anak kamu yang makan seadanya gitu? Heran deh," ucapku kesal.Devan tidak menjawab pertanyaanku
"Ya, waktu itu Mas Harman pernah kerja bareng ayahku. Pas dilihat ayah, tenaganya kuat. Kerjanya rajin, tiba udah nikah, males, makin ke sini malah kaya' tahe," ucapnya kesal.Aku tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Mila. Aku pernah juga mendengar desas-desus nya dulu kalau Mila hamil duluan, tapi aku enggak pernah bertanya karena kau tidak mau mencari masalah yang bukan urusanku.* * *"Mas, gimana tadi kerjanya? Capek?" Tanyaku."Enggak, Dek. Apalah capeknya, cuman megang kunci terus di putar-putar," ucap Devan sambil menghela nafas.Nafasnya begitu berat, aku yakin pasti keadaan sedang tidak baik-baik saja.Aku memeluknya saat kami masih tiduran di ranjang. Anak-anak sudah pada tidur, tanganku melingkar merangkul bagian dada bidangnya."Mas, sebenarnya ada masalah apa?" Tanyaku memaksa Devan untuk menjawab."Enggak ada apa-apa loh, dek.""Gimana enggak ada? Aku istrimu, dan aku tahu bagaimana kamu," ucapku.Aku sangat mengenal suamiku sehingga dia tidak akan bisa menutupi masal
"Makan—? Hmmm, Aku belum masak, Mas," ucapku lirih."Kok bisa sih dek? Seharian di rumah, ngapain?" Tanya Devan dengan nada datar.Aku menceritakan semua kejadian tadi, namun, aku belum bicara soal Dareen yang memberikannya pekerjaan sebagai sopir.Aku belum siap untuk di tinggal malam-malam oleh Devan karena masih trauma dengan kejadian beberapa malam yang lalu."Ya, sudah, beli mie instan aja dek, laper," ucapnya sambil merebahkan tubuhnya di depan TV."Bentar, ya, mas," ucapku sambil mengambil uang dari dalam dompet.Aku berjalan menuju rumah Bu Endah, rumah itu terlihat sangat sepi, sampai aku berada di depan pintunya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya."Buuu, Bu Endah," panggilku dengan suara sedikit agak keras. Bu Endah keluar dari arah belakang, "Ada apa, Ta? Tanyanya."Bu, mie instan, dua," ucapku sambil menunjuk sebuah kotak mie kesukaan suamiku yang terbungkus oleh plastik berwarna hijau.Dengan sigap, Bu Endah memasukkan dua bungkus mie instan ke dalam plastik be
"Ini tas saya, jadi hak saya dong boleh di periksa atau tidak?" Ucap Bu Henna menahan."Bu, katanya tadi mau di selesaikan dengan cara baik-baik. Kalau tidak ada apa-apa di sana, ya, sudah jangan takut," timpalku.Bu Henna perlahan melepaskan tali tote bage dari lengannya. Namun, Echa mencoba menahan. "Bu, jangan! Ini kan punya ibu," ujar Echa mencoba ikut menahan.Aku tersenyum sinis menatap keduanya. Hari menjelang sore, terik matahari masih ikut serta menambah hawa panas keadaan.Bu Henna memberikan tote bage miliknya kepada Dareen. Perlahan Dareen menarik resleting untuk membukanya. Setelah terbuka, mata Dareen membelalak lebar melihat isi dalamnya lalu menatap Bu Henna dengan rasa penuh curiga.Tidak sungkan-sungkan, Dareen menumpahkan semua isi dalam tas Bu Henna dengan menungging kan. Sontak mata kami semua membelalak melihat setumpuk uang dan dua buah kotak perhiasan. Aku terperangah menatap uang yang masih tersusun rapi di ikat dengan sebuah karet gelang."Ya Allah, Bu, ter
"Kok tanya saya, memangnya saya tukang emas?" Ucapnya ketus sambil mendengus, matanya memandangku dengan kesal. "Loh, kan saya tanya, Bu, siapa tahu ibu tau harganya," ucapku dengan nada santai.Mila masih cengengesan sambil melirik-lirik ke arahku. Wanita itu enggan ikut campur, aku pun tidak menyarankan Mila untuk ikut turun tangan mengenai hal ini.Henna—ibu mertua Mila yang sangat judes dan bengis. Semua yang di lakukan Mila pasti salah, mungkin memang karena faktor status menantu.Echa memberikan kunci motor padaku sambil menyelipkan rambut poni panjangnya ke belakang telinga."Nih, Mbak, kuncinya," ucap Echa."Aku hanya menengadah satu tangan, lalu kumasukkan ke dalam saku celana."Terima kasih, gitu loh, Cha! Wong sudah di pinjami kok enggak berterimakasih," sungut Mila kesal. Matanya melirik ke atas untuk menatap wajah Echa.Gadis itu tak menjawab apa pun, malah pergi meninggalkan kami di sana, tangannya membawa tiga tote bage berwarna coklat.Bu Henna masih berdiri sambil me
"Nyembunyikan apa? Suamiku tuh di balik tirai," sahutku cekikikan. "Dia terpesona, Cha, sama kecantikan mu," ucapku tertawa kekeh. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain jujur.Echa tampak menyembunyikan senyumnya, matanya melirik ke sana sini tak tentu arah. Aku baru sadar ternyata Echa ada rasa juga sama suamiku. Tapi biarlah yang ku pentingkan uang Bu Endah dulu. Sisanya nanti."Ini, kuncinya, Cha," ucapku sambil mengangsur sebuah kunci motor.Echa mengambil kunci dari tanganku seperti kunci motor miliknya. Gadis itu mengambilnya begitu saja, seperti milik dia sendiri. Dasar!Aku dan Mila menyaksikan kepergian mereka, Mila menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata "Semoga aku betah mereka tinggal di rumahku, Mbak."Aku memandangnya sambil tersenyum, "Yuk!""Ke mana, Mbak?""Siap-siap, kita intai mereka dari dekat," ucapku.Aku masuk ke dalam rumah lalu mengambil kunci motor dan helm milik suamiku. Aku tersenyum saat melihat suamiku memakai baju yang kubeli kemarin. Dia terlih
Mila memegang tanganku, "Mbak, kemarin, pas kita mau pulang itu 'kan aku di panggil sama ibu, terus aku di suruh manggil Echa. Enggak lama kemudian Echa pulang sambil memegang sesuatu di tangannya. Tangannya loh di masukkan ke dalam baju pas aku tanya apa yang kamu pegang, dia jawabnya, bukan urusan Mbak! Ya udah akunya diam aja.""Jangan-jangan ..." Kataku sambil termenung. "Astaghfirullah, Mil, jangan sampailah," ucapku."Jangan sampailah, Mbak. Kalau memang betul aku yang malu sama Bu Endah," sungut Mila.Pikiranku dan Mila sama, Jangan-jangan ini ulah mertua dan adik ipar Mila. Amit-amit."Yang enggak enaknya, Bu Endah itu beda lihat aku, Mil. Karena kemarin aku yang pegang tas itu, tapi langsungku kasih lagi ke dia tasnya," ucapku sambil menghela nafas. "Malah tadi dia ke sini nanyain itu, pas aku jawab dia rada gimana gitu.""Ya sudah, Mbak, kita cari tersangkanya. Kita selidik," ucap Mila sambil meringis.Tidak lama kemudian aku dan Mila keluar dari kamar, di sana sudah ada sua
"Apa loh, mas?" Tanyaku saat sampai di kamar."Bajuku mana?""Sana minta di rumah Bu RT! Wong nyari baju kok susah kali kaya' nya. Baju di lemari segunung pun entah yang kaya' mana lagi yang di cari.""Yang kaos pakai kerah itu loh.""Walah, kok gaya kali cuman sini situ doang. Nih!" Ucapku kesal sambil mencampakkan baju ke pundak Devan."Ya, jangan marah-marah, Dek," sahut Devan ketar-ketir. Entah kenapa aku merasakan tidak enak hati hari ini, emosiku kok mendadak meluap-luap.Aku memandang suamiku yang tengah berjalan ke rumah Bu Endah, tangannya membenahi kerah baju berwarna hijau muda.Dari kejauhan, tampak Echa sedang tergesa-gesa berjalan menuju rumah. Suamiku berpapasan dengan Echa, namun, wajah Echa terus menunduk dengan tangan yang masuk ke dalam baju.* * *"Mas, tadi ramai 'kan yang jenguk. Mangkanya jadi orang itu yang baik, kaya' pakde. Jadi semua orang ikut merasakan sakitnya.""Ya, Mas kan baik loh, Dek," sahut Devan sambil mengutak-atik motornya.Malam ini aku dan Dev