Pagi yang sedikit kelabu dengan mentari yang bersinar malu-malu.
Bella berjalan sepanjang koridor sekolah dengan mendendangkan sebuah lagu. Bel tanda masuk berbunyi, tepat saat Ryu berhasil masuk ke dalam gerbang yang sudah mulai ditutup."Bella!" teriak Ryu saat melihat Bella yang berjalan dengan santai.
Gadis itu menoleh ke arahnya."Tumben bisa ngelewatin gerbang dengan mulus," sindirnya.
Pemuda itu menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Bell ... m-m yang kemarin, aku beneran minta maaf ya.""Apa sih, ga penting juga," jawab gadis itu jutek.
"Ya ga enak aja, Bell. Sama Bokap lu, terutama."
"Udahlah. Papa juga tahu kok gimana sikap Jason. Dah, masuk yuk."
Bella menggandeng tangan Ryu berjalan menuju kelas. Ryu agak sedikit terhenyak dengan sikap gadis itu. Namun sedetik kemudian, pemuda berwajah oriental itu tersenyum.
.
Rintik hujan membasahi bumi pada siang harinya saat bel pulang sekolah berbunyi. Ryu bergegas pulang untuk mempersiapkan materi untuk ujian besok. Dia harus tetap mempertahankan juara umumnya di sekolah ini jika ingin tetap mendapatkan beasiswa.
Langkahnya terhenti saat seorang wanita cantik berdiri di dekat parkiran mobil dengan mengedarkan pandang ke setiap siswa yang keluar dari gedung sekolah. Dia menatap perempuan itu sebentar, lalu pergi dengan tak acuh.
Ryu akan menuju gerbang, saat ada yang menepuk bahunya.
"Lu dicariin tuh." Seorang pemuda berbadan gempal memberinya informasi."Siapa?"
"Wanita yang dekat mobil putih itu," tunjuknya pada wanita yang tadi diperhatikan Ryu.
Dia tertegun sejenak, karena tidak tahu apa alasan wanita itu mencarinya. Apa dia ingin memperpanjang masalah kemarin, karena tidak terima putranya telah dia hajar?
Ryu mengerutkan kening. Namun dia tidak boleh lari dari tanggungjawab.Seperti yang telah dikatakan Simon, Ryu harus berani menghadapinya. Kemudian pemuda itu menghampiri sang wanita yang masih celingak-celinguk mencari seseorang.
"Tante mencari saya?" Ryu yang berdiri tiba-tiba di depan Agatha membuatnya sedikit terlonjak.
"Ah, iya. Kamu apa kabar?" sapa Agatha ramah dan hangat.
"Baik, Tante. Ada perlu apa ya, tante mencari Ryu? Apa karena masalah kemarin?" Selidik Ryu penasaran.
Wanita itu tertawa. "Kita masuk ke mobil ya," ajaknya.
"Nggak ah. Nanti Jason marah lagi sama saya."
"Nggak, Nak. Jason nggak berangkat hari ini. Bolehkan, jika tante ingin bicara sama kamu?" Wanita itu menatapnya dengan harapan cemas.
Ryu menatapnya lama. Mencoba mencari satu titik saja kebohongan dari wanita di hadapannya ini. Namun yang ditemukan Ryu hanya ketulusan dan kehangatan. Akhirnya pemuda itu mengangguk.
Mereka masuk ke dalam mobil dan meluncur pergi. Agatha yang menyetir sendiri tanpa seorang sopir membuatnya leluasa untuk pergi kemanapun dia mau tanpa ada yang memata-matai nya.
Sepanjang perjalanan, mereka hanya berbasa-basi singkat. Mobil berhenti tepat di depan sebuah restoran yang mengusung konsep taman dengan gazebo di atas kolam ikan.
Mereka berjalan beriringan menuju sebuah gazebo, seperti layaknya seorang ibu dan anak.
Agatha memesan banyak menu makanan lezat, yang jujur, belum pernah Ryu makan. Ryu takjub dengan menu hidangan yang ada di atas meja. Mereka duduk berhadapan dan lesehan di atas gezebo, dengan pemandangan kolam ikan di bawahnya dan taman yang asri.
"Ayo, di makan. Harus dihabiskan ya," ujar Agatha.
"Ini banyak sekali, Tante. Ryu ga kuat."
"Nanti bisa dibungkus, dibawa pulang untuk ibumu," sahut Agatha.
"Ryu sejak lahir ga punya ibu," jawab Ryu sambil mengunyah makanannya.
Agatha tertegun dan menatap Ryu lama. "Ibumu di mana?" tanya wanita itu lirih.
"Bapak nggak pernah bilang ibu di mana. Pokoknya Ryu tumbuh besar di asuh bapak sendiri, sampai bapak meninggal kecelakaan tepat saat Ryu mau kelulusan kelas enam." Ryu bercerita dengan polos pada Agatha.
"Jadi kamu dah ga punya orangtua? Terus selama ini kamu tinggal sama siapa? Biaya untuk sekolah kamu, itu semua dari mana?" Pertanyaan Agatha yang beruntun membuat Ryu menghentikan makannya dan tertawa.
"Satu-satu dong Tante, tanyanya."
"Ah, maaf." Agatha ikut tertawa. Pemuda di depannya ini membuat hatinya berdesir halus, entah kenapa.
"Sejak bapak meninggal, aku hidup sama tetangga yang udah kek saudara sendiri. Dia yang biayain hidup aku selama ini. Kalo untuk sekolah, aku bisa masuk ke Pelita Jaya karena beasiswa dengan mempertaruhkan terus prestasi juara umum, Tan," jelas Ryu dengan mengaduk es kelapa mudanya.
Agatha menatapnya terharu. Sejak kecil dia sudah tidak punya ibu, di saat dia membutuhkan kasih sayang. Lalu disusul bapaknya yang meninggal, dan kini dia yatim piatu. Sedangkan putranya Jason, bergelimang kasih sayang dan juga harta. Sejak bayi, dia sudah dimanjakan dengan fasilitas lengkap di rumah.
Agatha mengusap sudut matanya yang berair. Dia tersenyum sendu melihat Ryu yang makan dengan lahap dan tanpa rasa sungkan di depannya.
Lagi ... ada yang mengalir hangat dalam hatinya. Ryu ... itu juga sebuah nama yang diberikan Lingga, suaminya dulu pada putra mereka yang hilang sejak bayi.***
Ryu turun dari mobil Agatha dengan mengucapkan banyak terimakasih pada wanita elegan itu.
"Rumahmu yang mana?" Agatha memandang sekeliling komplek rumah kumuh tempat tinggal Ryu.
"Rumah bedeng yang itu, Tante."
"Oke. Kapan-kapan jika tante ingin mampir, boleh?" tanya Agatha tersenyum manis.
"Boleh. Jika Tante kagak merasa risih sih," jawab Ryu.
Agatha tersenyum. "Tentu nggak dong. Oke, salam buat Abangmu ya." Dan Agatha melajukan mobilnya pergi meninggalkan Ryu.
Pemuda itu berjalan menuju rumah Simon. Ada beberapa tamu yang sedang bertandang dan berbincang dengan Abangnya.
"Kamu pulang, Tong," sapa Dipa.
"Ini ada banyak makanan, Bang. Mau ga." Ryu menawarkan makanan yang dia bawa pada semua teman Simon.
"Dapat duit dari mana lu, bisa beli makanan mahal gini?" Simon menatapnya curiga.
"Ibunya Jason yang belikan, Bang. Tadi waktu pulang sekolah, dia nungguin gue di parkiran. Katanya mau ngajak ngomong, gue diajak ke restoran, terus dibungkusin ini semua," jelas Ryu sambil membuka beberapa bungkus makanan.
"Jason? Anak yang berantem ma lu kemaren?"
Ryu mengangguk."Ibunya jadi mo nuntut lu? Kok baik dia beliin semua makanan ini." Simon mencecarnya karena curiga.
"Orangnya emang baik kok. Ga sekali ini gue ketemu ma dia. Entah, kok anaknya kek setan." Ryu tertawa mengingat Jason.
Setelah menghidangkan semua makanan pada teman-teman Simon, Ryu masuk ke dalam kamar yang lebih mirip sebuah bilik dari dinding triplek.
Terdengar lima orang di luar berdiskusi tentang sesuatu yang Ryu tidak mengerti."Jadi gimana? Kalian semua mau ikut gua? Tapi gua ingatkan sekali lagi, pekerjaan ini resikonya tinggi. Taruhan nyawa dan penjara seumur hidup. Kalo kalian mau, pendapatannya juga besar, karena teman gua dah jamin itu." Simon bicara dengan serius sambil menghirup kopi panasnya.
"Gua ikut, Bang." Dipa mengangkat tangannya.
"Gua juga, Bang. Lagian kita jadi preman gini juga taruhannya udah nyawa kalo bentrok ma preman lain," ujar Hamdan, si pria dengan tato di leher dan tangan.
"Gua juga ikut, Bang."
Bono dan Jimmy ikut menimpali. Simon tersenyum, karena semua anak buahnya adalah orang-orang yang setia. Bahkan rela menyerahkan nyawa untuk melindunginya.
Perseteruan antara Ryu dan Jason semakin memanas. Jason selalu mencari gara-gara dan kesalahan pada Ryu. Pemuda itu seperti tidak terima telah dipermalukan saat berada di pesta Bella. Namun Ryu selalu menghindar darinya. Bukan karena dia takut pada Jason, tapi karena dia menghormati Agatha, Mami Jason yang telah begitu baik padanya.Saat makan siang di restoran itu, Agatha berulang kali meminta maaf padanya atas sikap buruk suami dan putranya. Wanita berkelas itu, bahkan tidak menyinggung sama sekali tentang tuntutan yang akan dilakukan oleh suaminya. Dia begitu lembut dan hangat pada Ryu.Bahkan Ryu mulai menyayangi wanita ituKelas dua di semester satu.Ryu mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Alam, karena dia menyukai sains. Sedangkan Bella ambil kelas bahasa Inggris. Jason juga mengikuti Bella. Anak itu seperti tidak ingin jauh dari gadis berlesung pipit di pipi kiri itu. Dan sikap Jason itu semakin membuat Bella muak. Dia
Simon semakin gencar mengumpulkan pengikut. Dia merekrut banyak preman pasar dan jalanan dan di bagi menjadi tiga kelompok.Satu kelompok, berisi orang-orang terpilih, setia dan tidak takut mati. Kelompok yang lain, terdiri dari para preman yang berani dengan badan kekar dan pandai beladiri. Dan kelompok satu lagi terdiri dari para preman biasa yang sok jago dan tukang palak.Dipa, Hamdan dan Bono membawa mereka menggunakan sebuah Bus, entah kemana.Ryu hanya melihat mereka tanpa berani bertanya sedikitpun pada Simon."Lu beli makan, sono," perintah Simon sambil memberikan selembar uang merah pada Ryu.Gegas, pemuda itu pergi ke warung makan terdekat.Saat kembali ke rumah, Simon sudah pergi menggunakan sebuah mobil. Ryu memakan sendiri nasi yang tadi dibelinya.Ketika dia makan dengan lahap, seorang anak kecil lewat di depannya dengan menatap sendu ke arahnya. Anak itu menelan ludah melihat Ryu yang makan deng
Aroma obat khas rumah sakit menyengat masuk indra penciuman. Ryu duduk termenung di sebuah bangku luar ruangan Unit Gawat Darurat.Terdengar derap langkah kaki mendekat padanya."Hei, kamu!" teriak seorang pria padanya.Ryu mendongak dan terlihat, Ayah Jason memasang wajah murka padanya."Apa yang kamu lakukan pada anakku?" Bentaknya menbuat beberapa orang menoleh padanya."Dean, ini rumah sakit, kendalikan dirimu." Agatha mencoba menenangkan suaminya."Lebih baik kita masuk dan tanyakan pada Jason." Wanita itu menarik lengan suaminya.Ryu hanya menatap mereka dengan gamang. Seorang pria paruh baya mendekatinya."Kamu ...."Pria itu menatap Ryu tak yakin."Ya, Pak. Ada apa?" sapa Ryu sopan."Kamu bukanya bocah yang dulu jadi kuli panggul di pasar?" Pria itu semakin mendekat dan mengamati dengan seksama wajah pemuda di hadapannya."Iya. Oh, mungkin bapak dulu pernah jadi langganan saya, ya
Malam yang cerah dengan kerlip bintang bertaburan di angkasa.Sebuah mobil sedan warna hitam berhenti di tepat di depan rumah bedeng. Terlihat dua orang laki-laki turun dari mobil itu."Kenapa gelap sekali? Ryu! Di mana kamu," teriak Simon sambil menggedor pintu dari seng."Berisik banget sih lu." Seorang wanita paruh baya keluar dari rumah bedeng sebelah."Dimana Ryu, Nek?" tanya Simon pada si wanita tua."Emang gue neneknya. Ya kagak tahulah. Anak tengik itu dah dua hari kagak pulang.""Dua hari kagak pulang?" Simon tertegun."Kemarin terakhir gua ke sini, dia baik-baik aja, Bang," jawab Dipa cemas."Dua hari ini ada wanita kaya, cantik, berdiri di sini kek orang bingung. Waktu gue tanya, dia bilang cari pemilik rumah. Nah pemilik rumah kan, elu, Mon.""Wanita cantik sapa, Nek? Dia bilang apa ama lu, Nek?" Simon mengernyitkan keningnya."Ya gue kagak tahu, dodol. Dia bilang cari pemilik
"Apa lagi yang kamu minta? Uang?" Pria paruh baya itu menatap laki-laki di depannya dengan gusar."Kenapa setiap aku mengunjungimu, selalu uang yang ada dipikiranmu?" jawab lelaki itu tersenyum sinis."Lalu apa lagi jika bukan karena uang? Kamu selalu beralasan tentang uang untuk melindungi Faris. Melindungi yang bagaimana?" Pria itu menatap dalam padanya."Ayolah, Radit. Aku datang ke sini bukan karena uang lagi. Tapi aku butuh bantuanmu."Tuan Radit mengernyit heran. "Kau butuh bantuanku, Deri?""Iya. Tapi lebih tepatnya, temanku yang meminta bantuanmu," ujar Deri dengan menghisap rokoknya."Temanmu siapa?""Kamu masih ingat Simon?" Deri menatap dalam Tuan Radit.Wajah Tuan Radit berubah kaku. "Simon ... preman jalanan itu? Pria yang dekat dengan Devira, istriku?" Dia terlihat tidak suka."Come on, Radit. Kita berdua juga tahu, Simon bukan selingkuhan Devira, kakakku. Bukankah istrimu-
Malam yang cerah dengan semilir angin yang berhembus menenangkan. Kerlip bintang bertaburan menghiasi angkasa dengan rembulan bulat penuh memancarkan sinarnya yang pucat.Sebuah rumah mewah di kawasan perumahan elit yang banyak dihuni oleh para konglomerat, terdengar teriakan nyaring disertai lemparan sebuah benda dari kaca."Brengsek! Kenapa anak itu bisa lolos?" Dean menendang sebuah kursi kayu jati seperti orang kalap.Jason tampak termangu dan hanya menatap sang Papi dengan pandangan kosong. Pemuda itu juga marah dan murka, namun apa yang bisa dia perbuat? Bahkan Papinya pun seperti tak punya kuasa.Sedangkan Agatha, hanya diam melamun. Dia bahagia, Ryu akhirnya bisa bebas. Namun, ada yang mengganjal di hatinya. Perkataan Simon yang begitu yakin bisa membebaskan anak itu. Bagaimana seorang preman jalanan punya kuasa hingga meminta bantuan pada Tuan Radit Wicaksono? Siapa pria berwajah garang dan bertato itu? Mungkin pertanyaan ini
Ryu hanya diam menunduk. Matanya memandang lantai keramik di bawahnya.Dia sudah terbiasa mendengar kalimat seperti itu. Yang kecil, yang lemah dan yang miskin selalu harus mengalah pada mereka yang berkuasa dan yang kaya. Seakan rakyat kecil dan miskin sepertinya harus menurut dan diam meski harus diinjak harga dirinya. Batinnya tertawa miris oleh semua kenyataan ini."Saya tidak bermaksud apa-apa, hanya mengingatkanmu. Karena pemuda seperti Jason, di sekolah ini banyak. Mereka yang merasa mempunyai orangtua kaya dan berpengaruh, sering berbuat semena-mena. Apakah kamu pikir, saya sebagai kapala sekolah juga tidak pernah mendapatkan perundungan seperti itu?" Sang kepala sekolah menjeda kalimatnya. Sekali lagi dia menarik napas panjang."Mereka yang berkuasa, sering melemahkan rakyat kecil seperti kita. Bahkan sering saya mengalami hal yang harus membuat saya mengalah dan meletakkan harga diri saya dibawah kaki mereka. Kamu masih muda,
Sebuah rumah yang besar peninggalan jaman Belanda, yang berdiri di tengah sebuah pekarangan luas dan dikelilingi oleh tembok tinggi. Di atas tembok masih diberi kabel untuk aliran listrik. Jadi siapapun yang mencoba memanjat tembok akan tersetrum.Di depan rumah besar yang jaraknya sekitar dua ratus meter, terdapat pos penjaga dan dijaga oleh sekitar empat orang preman berperawakan besar dan sangar. Sedangkan di bagian paling belakang rumah, terdapat banyak kamar yang memanjang ke samping dan ke kiri. Di samping kiri rumah terdapat taman dan kolam renang.Rumah itu bernama black house. Markas besar dan gudang tempat menyimpan senjata api ilegal dan juga narkoba.Simon berdiri sambil memberi instruksi pada para anak buahnya sambil mengusap peluh yang menetes.Semua orang black house adalah orang-orang kepercayaan yang berjumlah kurang lebih tiga puluh orang. Semua orang itu di bawah komando Simon.Pintu gerbang utama
12 tahun kemudian, Februari 2019.Seorang anak perempuan berusia sekitar sembilan tahun menangis terisak di taman.Seorang wanita cantik dan anggun berlari menghampirinya dengan cemas."Qinan kenapa, Nak?" Dia memeluk bocah perempuan itu."Kak Sena sama Abang Abel, sembunyikan sandal aku, Ma," jawabnya terisak. Wanita itu terlihat kesal dan marah mendengar perkataan putrinya."Abel … Sena … keluar kalian sekarang juga. Mama hitung sampai lima, kalau ga keluar, mama hukum. Satu … dua ….""Piss, Ma!" seru kedua anak itu keluar dari rerimbu
Ryu menatapnya tak percaya. "Jadi kamu Sita kecil yang itu?" Dia beringsut bangun dan duduk berhadapan dengan istrinya.Angel mengangguk."Waktu itu, seperti biasa aku datang ke rumahmu. Tapi tempat itu sudah dibongkar dan kata orang kamu di penjara. Aku tidak tahu maksudnya. Dan sejak itu, aku mencarimu tapi … yah, kamu seperti menghilang ditelan bumi," ujar Ryu kecewa.Kemudian Angel menceritakan semuanya, bagaimana dia bisa masuk penjara anak dan akhirnya kabur, hingga ditemukan oleh Lingga. Ryu mengerutkan keningnya prihatin."Untung kamu segera menyadari kalo itu aku, jadi kamu ga jadi bunuh aku. Coba kalo nggak, tinggal nama aja aku," ujar Ryu membuat Angel merasa bersalah dan memeluknya erat, "maaf …," bisiknya menyesal."Tapi, ini mungkin jalan buat kamu juga untuk berhenti menjadi pembunuh bayaran. Dan juga Ayah … ahh pria sok kuat itu kini harus tidur di tempat para pesakitan yang dingin." Wajah Ryu
Suasana kediaman Saloka masih diselimuti duka dan malamnya digelar sebuah tahlil bersama untuk mendiang Dean dan Jason.Tuan Dirga--Kakak tertua Tuan Yoga, yang juga Ayah Jefri datang bersama istri dan putra mendiang Jefri.Pria tua dengan rambut yang kesemuanya memutih itu memeluk adiknya yang duduk di atas kursi roda dengan sendu."Maafkan semua kesalahan Jason dan Dean, Mas …," lirihnya pada Kakaknya."Aku sudah memaafkan mereka sejak dulu. Bagaimanapun juga, kamu adalah adikku dan saudara satu-satunya yang masih aku punya," ucap Tuan Dirga getir.Pria tua itu juga memeluk Andre dan Ryu bergantian. Dia mengerti perasaan ponakan dan cucunya itu. Tapi tidak dengan Bobby, putra tertua Jefri. Wajahnya masih menyiratkan amarah karena kematian tragis Papinya."Harusnya mereka membusuk dalam penjara lebih dulu, baru mampus!" ketusnya berapi-api dan membuat orang-orang tersentak."Jaga mulutmu, Bobby. Opa m
Mendung kelabu di pagi hari, menciptakan suasana sendu mengiris kalbu. Membuat suasana duka semakin terasa pilu.Dua peti mati berjejer di ruang tamu keluarga Saloka. Banyak tamu yang datang melayat adalah para relasi Tuan Prayoga dan juga Andre.Mereka banyak mengenang kebaikan sang Tuan rumah selama ini, karena itu mereka datang untuk melayat.Tuan Andre dan Ryu terlihat menyalami para tamu yang datang untuk melayat.Para pelayan sibuk menghidangkan makanan ringan untuk para tamu.Tiba-tiba terdengar teriakan pilu dari dalam rumah. Ryu dan Andre yang terkejut segera masuk dan melihat Agatha yang menangis histeris berlari menuju peti jenasah Jason.
Dengan langkah gontai, Ryu keluar dari kantor polisi dengan dikawal oleh Dodi. Dia masuk ke dalam mobil dengan lemas."Kita ke rumah sakit, sekarang," perintahnya pada Engga dengan suara parau.Pria berperawakan kecil itu segera melajukan kendaraan roda empat nya menuju rumah sakit tempat dua jenasah Dean dan Jason berada.Percakapannya dengan sang Ayah sangat membuatnya terpukul. Pria itu ingin menyelamatkan sang Mama dari hukuman penjara.Sekarang, Ryu merasa lebih dilema lagi. Dia harus merelakan sang Ayah di penjara untuk kebaikan sang Mama.Mama yang telah menyelamatkannya dari timah panas adiknya.
Lingga dan Dean masih bergumul dalam perkelahian. Ryu menatap Jason tajam dan murka.Pria itu hendak menyerang Jason yang terlihat ketakutan saat tiba-tiba ….Dor!Senjata api Dean berbunyi lagi membuat semua terhenyak. "Ayah!" teriak Ryu melihat Ayahnya terkapar. Angel menutup mulutnya tak percaya.Tapi, tiba-tiba Lingga berdiri dengan wajah pucat dan sendu. Dia menatap Dean yang terkapar bersimbah darah.Jason yang sadar bahwa Papinya yang tertembak menjerit dan memeluk sang Papi."Papi … papi … bertahanlah.""Ini … akhir dari … papi … nak …." Dean mulai tersengal dan menangis. "Aga … tha …." Tangannya ingin menggapai mantan istrinya yang masih tak sadarkan diri. "Aku … minta maaf … aku … mencintaimu … dari dulu … hi-hingga … sekarang …." Dean memuntahkan darah dari mulutnya membuat Jason semakin panik.
Bella menelisik seorang pria yang berdiri di samping Dean dengan wajahnya tertutup sebuah topi."Jason?" ucap Bella pelan, membuat pria itu melepas topinya dengan kesal."Kenapa sih, kalian selalu muncul di saat yang tidak tepat?" seru Jason.Dan di saat bersamaan, Agatha dan Angel muncul. Wanita itu menutup mulut saat melihat putranya berdiri dengan wajah kesal di depannya."Jason …." Ingin sekali wanita itu merengkuh putra yang telah lama menghilang. Meski dia benci dengan sifat Jason, bagaimana pun juga, pria itu adalah putranya."Halo, Mami. Apakah mami merindukan aku?" Jason menatap sang Ibu dengan tatapan benci membuat wanita itu terpukul."Untuk apa kalian datang ke sini lagi?" Ryu menatap mereka tajam."Tentu saja untuk mengambil hak kami," jawab Dean ketus."Tunggu, Pi. Sepertinya ada yang tidak beres." Jason menatap murka pada Bella."Kamu hamil? Pria mana yang menidurimu, jalang!" teriak J
Kebahagiaan seperti apa yang dirasakan seorang istri jika bukan cinta dan perhatian dari seorang suami. Seperti hal nya apa yang dirasakan oleh Bella sejak menikah dengan Ryu. Wajah bahagia selalu terpancar dari wajahnya.Perhatian dan kasih sayang yang diberikan padanya tidak pernah berbeda dengan Angel.Sore yang cerah dengan semilir angin yang menyejukkan.Brisena berlari kecil dengan riang saat melihat Ryu datang."A … yah …." Dia menyongsong putri kecilnya dan mengangkatnya tinggi membuat gadis kecil itu terkekeh senang."Sena dah maem?" Ryu menciumi pipi gembulnya dengan gemas."Dah …," jawabnya dengan kegelian."Yah … Nda …." Brisena menunjuk pada Bella yang sedang duduk di taman dengan melihat mereka dan tertawa kecil.Ryu menghampiri Bella sambil menggendong Sena."Sayang, Ayah capek baru pulang kerja. Sena sama Bunda di sini, biarkan ayah ganti baju dulu."
Bau harum sabun menguar harum dari tubuh Ryu ketika Bella memeluknya dari belakang, saat pria itu baru saja keluar dari kamar mandi.Ryu tersenyum dan membalikkan tubuh istrinya. "Kenapa? Kok kelihatannya bahagia banget.""Makasih udah dibelikan makanan siap saji dan kamu yang membelinya langsung dengan turun dari mobil," ucap Bella bahagia."Kok kamu tahu, aku yang membelinya sendiri?""Ya tanya sama Evan lah," jawab Bella tertawa."Oh gitu. Jadi kamu jadikan Evan sekarang mata-mata buat aku?" Ryu menatap masam sambil menggelitik tubuh Bella membuatnya tertawa kegelian."