Karina menuruni angkot yang ditumpanginya tadi dengan menjinjing keranjang sayur di tangannya. Angkot yang dinaikinya tadi tidak sampai ke depan rumah Adnan, hanya ada di persimpangan. Jadi dia harus berjalan kaki beberapa meter untuk sampai ke rumah itu.
Ketika dia membuka pintu, dia langsung disambut oleh ibu mertuanya dengan ocehan dan kata-kata yang pedas. “Benar-benar perempuan tidak berguna! Ke pasar saja sangat lama! Sepertinya kamu sengaja ya, ingin membuat aku mati kelaparan?” Karina tidak menjawab ocehan mertuanya, dia langsung pergi ke dapur untuk segera memasak. Laras bukannya berhenti mengoceh, tapi dia justru mengikuti Karina dan melanjutkan ocehannya. “Kamu itu sebenarnya berasal dari mana sih? Kenapa kamu itu tidak tahu malu sekali? Karina, kamu dengar ya? Lidya, pacar Adnan sudah kembali. Jadi kamu harus merelakan Adnan untuk menikahnya!” Karina yang sedang menggenggam sayuran langsung menoleh, “Ibu, tapi aku masih istri sah mas Adnan. Bagaimana mungkin dia akan menikah dengan wanita lain?” Laras tertawa mengejek, “Memangnya kenapa? Apa hakmu untuk melarang? Kamu itu hanya pengantin pengganti. Aku sudah katakan berkali-kali kalau kamu itu sama sekali tidak pantas untuk menjadi istri seorang Adnan, seorang CEO Grup Limanto yang cukup besar. Seharusnya kamu itu bercermin dan tidak usah banyak menuntut. Cukup diam dan patuh saja! Karina meremas sayuran yang ada di tangannya. Kata-kata ibu mertuanya ini begitu sakit dan pedas menusuk hatinya. Belum sempat dia menjawab, Laras kembali melanjutkan caciannya. “Sebenarnya, kalau kamu mau patuh dan tidak membantahku untuk mengerjakan segala pekerjaan rumah dan mengalah dariku, mungkin aku bisa membujuk agar Adnan tidak menceraikan mu. Jadi kamu tetap bisa menumpang hidup di sini dengan baik “ Karina tidak bisa untuk tidak menoleh, dia tidak bisa menahan diri dan bertanya, “Jadi maksud ibu apa?” “Aku akan tetap menyuruh Adnan menikahi Lidya tanpa menceraikan kamu. Kan lumayan, tenaga kamu bisa dipakai di sini. Aku tidak perlu repot-repot membayar pembantu dan kamu juga tidak akan jadi gelandangan di luar sana. Timbal balik yang bagus, bukan? Jadi pikirkanlah dengan baik-baik.” Selesai bicara demikian, Laras langsung meninggalkan Karina tanpa merasa bersalah sedikitpun. Karina meremas dadanya yang terasa begitu sakit. Tetapi dia selalu bisa menguasai dirinya agar melanjutkan masaknya meskipun dengan deraian air mata. Selesai memasak, dia segera menyiapkan makan siang untuk Adnan. Dia ingin sekali mengirim makanan ke kantornya. Siapa tahu dengan begitu, pintu hati Adnan akan sedikit tersentuh olehnya. Dia melirik jam. Satu jam lagi adalah waktu istirahat. Dia tidak boleh terlambat. Karina segera pergi ke kamarnya untuk mandi dan berkemas. Tetapi dia tertegun saat dia tidak mendapatkan baju yang bagus untuk pergi ke kantor Adnan. Ketika dulu dia keluar dari rumahnya, dia memang tidak membawa pakaian bagus satupun. Sebenarnya dia sengaja ingin menyamar sebagai wanita biasa, dengan harapan agar Adnan bisa menerimanya apa adanya dengan tulus, seperti dulu saat Adnan menolongnya dari kecelakaan maut. Pria itu terlihat tulus. Jika mengingat peristiwa itu, sesakit apapun hatinya terhadap Adnan, Karina memang langsung luluh. Dia hanya berharap jika Adnan suatu saat akan menerimanya dan dia bisa memiliki waktu yang tepat untuk membuka jati dirinya dengan tenang. Karina sudah bersiap dengan pakaian apa adanya saja. Dia kemudian melangkah keluar dari rumah ini dengan membawa rantang berisi makan siang untuk suaminya. Dia memang belum pernah pergi ke perusahaan Adnan, tetapi dia tetap tahu di mana perusahaan itu berada. Ketika sampai di sana orang-orang menatapnya penuh heran? Mungkin karena pakaian sederhana yang dikenakannya. Dia memang hanya mengenakan celana jeans berwarna hitam dan kaos lengan pendek berwarna putih. Dia menghampiri seorang staf dan bertanya ruangan Adnan. ‘Ada keperluan apa, kamu ingin bertemu atasan kami?” Staf pria itu bertanya. “Aku,” saat ingin mengatakan jika dia adalah istri Adnan, Karina berpikir terlebih dahulu. Mungkin mereka tidak akan mempercayainya, malah akan menertawakannya. Akhirnya dia mengatakan jika dia adalah orang suruhan ibu Adnan yang datang untuk mengantar makan siang. Untung saja staf pria itu percaya dan akhirnya menunjukkan arah ke ruangan di mana Adnan berada. Karina tanpa ragu melangkah mengikuti petunjuk dari staf tadi, beberapa orang yang dilewatinya menoleh ke arahnya dan berbisik kepada teman di sebelahnya. “Itu siapa? Penampilannya sangat kampungan sekali. Kenapa bisa masuk ke sini? Atau dia salah tempat kali, ya?” Temannya yang diajak bicara hanya menggeleng. “Mungkin dia seorang pesuruh, yang ingin mengantar pesanan.” Karina sempat mendengar bisikan orang-orang itu, tetapi dia diam saja dan tidak peduli. Lagian, tidak mungkin dia mengaku sebagai istri Adnan. Orang-orang pasti tidak akan percaya dengan penampilannya yang seperti ini. Saat dia sudah tiba di pintu ruangan CEO Karina menghentikan langkahnya. Dia sangat ragu untuk mengetuk pintu, dia takut mengganggu suaminya yang mungkin sedang sibuk. Tetapi, bukankah dia datang dengan niat baik? Membawakan makan siang untuknya. Adnan pasti tidak akan marah padanya. Pada akhirnya Karina pun mengetuk pintu. “Masuk!” Terdengar suara Adnan dari dalam memberi perintah. Karina mendorong pintu dengan lembut kemudian dia melangkah masuk. Namun tiba-tiba saja dia menghentikan langkahnya. Dia membeku di kedua kakinya ketika melihat jika suaminya sedang tidak duduk sendirian di kursi kerja, melainkan duduk di sofa dengan memangku seorang wanita yang tidak lain adalah Lidya. Dia bahkan sempat melihat mereka berdua sedang berciuman. Bukan hanya Karina yang terkejut, dua orang itu juga terkejut ketika melihat jika yang masuk itu adalah Karina Adnan langsung menurunkan tubuh Lidya dari pangkuannya dan berdiri. Karina masih dalam keterjutaannya, dia mundur beberapa langkah sambil menutup mulutnya dan menggelengkan kepalanya. Dia benar-benar tidak menyangka jika suaminya tega mengkhianatinya di belakangnya seperti ini. Adnan juga masih dalam keadaan terkejut, tapi dia langsung menguasai diri. Dia berdiri dengan tegak di depan Karina. “Kenapa kamu kesini? Siapa yang mengizinkan kamu masuk?” Hati Karina rasanya seperti tercabik-cabik. Bukannya meminta maaf, suaminya malah bertanya seperti itu. Karina menunduk, mengusap air matanya yang tidak terasa jatuh begitu saja di pipi putihnya. Kemudian dia mengangkat wajahnya dan berkata dengan datar, “Aku kesini hanya untuk mengantar makan siangmu karena tadi pagi aku telat menyiapkan sarapan. Tapi aku tidak menyangka jika kedatanganku kesini ternyata tidak tepat waktunya.” Adnan belum menjawab apapun, Karina kembali berkata, “Maaf kalau sudah mengganggu waktu kalian. Kalau begitu aku pulang dulu. Selamat bersenang-senang.” Selesai mengucapkan itu, Karina meletakkan rantang makanan diatas meja kerja, kemudian dia berbalik. Tetapi Adnan langsung memanggilnya. “Karina!” Karina tidak menoleh, tapi dia menghentikan langkahnya. “Lidya adalah pacarku. Dia sudah kembali, jadi kamu tidak punya hak untuk marah ataupun kecewa jika aku dan dia, “Ya, tentu saja.” Kalimat dari Adnan tergantung karena dipotong oleh Karina. Wanita itu menoleh, kemudian berkata lagi. “Aku memang tidak punya hak untuk marah atau kecewa. Tapi setidaknya aku masih punya hak untuk menuntut. Karena biar bagaimanapun juga, aku adalah istrimu yang sah. Jadi menurutku, perbuatan kalian ini sangat melanggar etika.” Selesai berkata demikian Karina tidak menunggu jawaban dari Adnan, dia langsung melangkah pergi meninggalkan ruangan itu. Sepanjang perjalanan keluar dari pergedungan kantor itu, hati rasanya sangat sakit dan sedih membayangkan adegan di depan matanya tadi. Sepertinya kali ini dia memang benar-benar harus mengambil keputusan. Karina merogoh ponselnya dan menghubungi Mia, terdengar dia berbicara dengan serius. “Baik, Nona Muda. Aku akan segera menjemputmu.” “Tidak perlu! Aku akan datang sendiri ke sana. Kamu tunggu saja.” Karina memutuskan panggilan kemudian dia menyetop taksi. “Ke mana, Nona?” Sopir taksi bertanya. “Grup Harmoko.”Mobil taksi yang ditumpangi Karina berhenti di depan gedung perkantoran grup Harmoko yang menjulang tinggi dan tampak mencolok di antara gedung-gedung lainnya di kota itu. Sebelum dia melangkah masuk ke dalam gedung perusahaan itu, Mia sudah terlihat menunggunya di depan pintu masuk bersama dengan dua pria kekar yang memakai jas hitam. Melihat Karina datang, Mia langsung berlari kecil menyambut, diikuti dengan dua pria tadi. “Nona Muda, ternyata anda benar-benar datang. Kalau begitu, mari silahkan.” Mia terlihat begitu senang, begitu juga dengan dua pria di belakangnya. Mereka tidak menyangka jika Nona Muda mereka benar-benar akan datang ke perusahaan. Sebelum melangkah masuk, Karina menoleh dan bertanya dulu pada Mia, “Kamu tidak memberitahu kakek kan, tentang kedatanganku ini?” “Tidak, Nona Muda. Tuan Besar sudah ada satu mingguan ini tidak pergi ke perusahaan. Dia terlalu khawatir memikirkan mu.” “Baguslah, jangan beritahu pada kakek dahulu tentang rencanaku.” Mia menganggu
Setelah mematikan panggilan dan memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas, tanpa ragu Karina melangkah membuka pintu. Ketika dia sampai di ruang tamu, dia melihat Laras sudah berbalik dan ingin menghampirinya. Laras terkejut melihat Karina keluar dengan penampilan seperti itu. Karina yang dekil, lusuh dan kucel itu tiba-tiba tidak ada di diri Karina yang sekarang. Dia terlihat seperti bak putri orang kaya yang baru saja datang dari sebuah perusahaan ternama. Laras sampai tercengang bukan main. Begitu juga dengan Lidya. Mereka tidak menyangka jika Karina bisa berpenampilan secantik itu juga. Apalagi gaun, tas, bahkan perhiasan yang dipakainya adalah merek terkenal. “Kamu! Apa-apaan kamu hah? Dari mana kamu mendapatkan semua barang mewah yang ada di badanmu itu?” Laras langsung menudingnya. Karina tersenyum sinis, kelembutan dan keramahannya yang selama ini selalu ia tunjukan tiba-tiba menghilang dari wajahnya. Dia kemudian berkata dengan nada datar, “Bukan dari mana-mana. Semua
“Kenapa semakin hari kamu semakin seperti ini? Kenapa kamu tidak mau patuh sedikitpun?” Karina langsung menegakkan punggungnya dan menatap Adnan dengan sangat dingin. “Patuh? Aku harus patuh bagaimana lagi? Hampir tiga tahun aku tinggal di rumah ini. Aku menjadi seorang menantu dan istri yang patuh untuk kalian. Sedikitpun aku tidak pernah mengeluh seperti apapun sakitnya kalian menindasku dan menghinaku, tapi aku tetap bertahan demi agar bisa menjadi istri yang baik untuk kamu Adnan. Demi bisa membalas semua kebaikan yang pernah kamu berikan padaku dulu ketika kamu menyelamatkan aku dari kecelakaan. Tetapi, selama itu aku sama sekali tidak dihargai. Aku terus dihina karena kalian melihatku hanyalah seorang wanita yang tidak punya apa-apa. Dan mungkin sekarang, wanita yang sudah meninggalkanmu dan bahkan hampir membuatmu malu itu kembali, tiba-tiba saja kamu berkata akan menikahinya tanpa memikirkan perasaanku bagaimana? Apakah aku masih harus patuh?” Adnan tercengang dengan jawab
Selesai nelpon, Adnan langsung terbalik dan masuk ke dalam rumah. Dia tidak memperdulikan ibunya dan Lidya yang memanggilnya. Dia langsung pergi ke dalam kamar. Dia memeriksa lemari. Dia tertegun saat menyadari jika tidak ada satupun barang milik Karina yang dibawanya. Gaun sederhana dan barang-barang lainnya yang pernah ia belikan untuk Karina, satupun tidak ada yang di bawa. Bahkan cincin pernikahan mereka pun telah tergeletak di atas meja tertumpang di sebuah kertas gugatan cerai yang sudah ditandatangani oleh Karina. Adnan meraih kertas itu dan meremasnya, kemudian melemparnya ke tempat sampah.“Dasar perempuan tidak tahu diri! Dia sendiri yang ingin masuk ke dalam kehidupanku dan dia sekarang yang ingin pergi juga! Dia pikir dia siapa hah? Lihat saja, aku akan menceraikanmu dan membuatmu menyesal sudah berani tidak patuh padaku!”Selama ini sebenarnya Adnan tidak terlalu kejam pada Karina. Dia bertemu dengan Karina dalam keadaan kalut. Karena pada saat itu pernikahannya hampir
Tiga mobil Bentley hitam yang meluncur di jalanan aspal hitam. Meskipun padat, tetapi tiga mobil itu tetap lancar seperti sengaja diberi jalan oleh para pengguna jalan lainnya.Di sebuah persimpangan jalan mobil-mobil itu berbelok dan berhenti di depan sebuah rumah besar dengan pagar besi hitam yang tinggi dan kokoh. Hanya selang beberapa detik gerbang besi itu terbuka tiga mobil itu masuk dan berhenti sebelum pintu mobil paling depan terbuka para pelayan wanita dan pria sudah keluar secara teratur dan berbaris rapi untuk menyambut kedatangan mereka Mia turun terlebih dahulu sebelum kemudian dia membuka pintu untuk sang putri pewaris. Para pelayan membungkuk Dengan hormat ketika Nona mudanya keluar dari dalam mobil. “Selamat datang kembali Nona muda.” mereka serempak mengucapkan kata penyambutan. Karina hanya tersenyum dan mengangguk ringan kemudian dia menatap seorang Pria tua yang memakai tongkat keluar dari pintu Kakek Harmoko menyambut kedatangan cucu satu-satunya miliknya i
Di Grup Limanto, Heri tampak panik. Dia berjalan tergesa-gesa menuju ruangan Adnan. Tanpa mengetuk pintu, dia langsung mendorongnya dan menghampiri Adnan yang sedang fokus pada beberapa berkas di depannya. "Tuan Adnan, ini gawat!" Adnan mendongak, menatap wajah Heri yang pucat dan keringat yang mengalir di rahangnya. "Ada apa?" tanya Adnan, terkejut melihat raut panik pada wajah Heri. "Hari ini, Grup Harmoko tiba tiba menghentikan suntikan dana dan mereka juga menarik semua saham yang ditanam di perusahaan kita tanpa alasan yang jelas." Adnan terkejut bukan main. Dia langsung berdiri dan mengebrak meja dengan kedua telapak tangannya. "Apa sebenarnya yang terjadi?" Heri menggelengkan kepalanya. "Saya juga tidak mengerti. Tidak ada alasan dari mereka dan yang lebih parahnya, tiba tiba saja mereka mengakhiri kontrak kerjasama dengan kita." Astaga! Adnan langsung terduduk lemas. Dia memegang alisnya dan mengurutnya. Mendadak, kepalanya terasa sangat pusing. Dunia rasanya terl
Lidya mengerutkan alisnya, hampir terjengkang ke belakang karena terkejut saat wanita itu menoleh ke arahnya. Wanita itu sangat mirip dengan Karina. Untungnya, Adnan tidak melihat ke arah wanita itu. Sementara wanita tersebut, setelah menyadari keberadaan Lidya dan Adnan, langsung pergi dan sepertinya membatalkan niatnya makan di restoran ini. Hal itu membuat Lidya semakin heran. "Apakah benar yang kulihat tadi adalah Karina?" gumamnya dalam hati. Adnan bertanya padanya karena melihat tatapan Lidya terlihat aneh."Ada apa?" tanyanya. "Oh, tidak. Tadi aku seperti melihat Karina, tapi ternyata bukan," jawab Lidya sambil berusaha menenangkan diri."Oh," Adnan hanya menjawab dengan singkat saja, meskipun saat Lidya menyebut nama itu, membuat perasaan Adnan menjadi tidak enak. Meski hanya terdengar sepele, namun hati Adnan merasa bersalah pada Karina karena selama ini tidak pernah mempedulikannya sampai wanita itu pergi meninggalkan rumah dan menggugat cerai dirinya. Tetapi lebih kepada m
Lidya tak berpikir dua kali, melangkah cepat mendekati Karina dan pria yang tengah berdiri di sampingnya. Sorot mata sinis Lidya tertuju pada keduanya sambil berkata, "Oh, jadi ini pengganti Adnan?" Wajah Karina tampak terkejut, dia tidak menyangka jika Lidya mengikutinya sejak tadi. Karina tak ingin menjawab pertanyaan Lidya. Dia memilih melenggang pergi mengabaikan kehadiran Lidya. Namun, Lidya terus melemparkan kata kata menyakitkan, yang membuat Karina kesal."Kamu tuli?! Aku bicara padamu, Karina! Jangan pura pura tidak tahu. Jadi, inikah laki laki yang akan menggantikan Adnan? Dasar perempuan murahan! Pernikahan kalian belum sah bercerai tapi sudah mencari mangsa lain!" Lidya mengejek dengan senyum sinis.Karina merasa ucapan Lidya tidak perlu benar benar diladeni, dia tetap melangkah pergi. Namun, Lidya tak menyerah begitu saja, tetap mengikutinya dari belakang, menggoda kesabaran Karina. "Murahan ya tetaplah murahan!" ejek Lidya sembari tertawa sinis.Mendengar ejekan tersebu
Beberapa bulan berlalu, dan kolaborasi dengan Hiroshi Tanaka membuahkan hasil. Bersama timnya, Adrian dan Sari meluncurkan produk terbaru mereka, Elysian, sebuah platform berbasis kecerdasan buatan yang tidak hanya melayani kebutuhan pelanggan tetapi juga mampu memprediksi tren masa depan.Peluncuran Elysian diadakan di Tokyo, Jepang, salah satu pasar terbesar mereka. Adrian dan Sari memilih Tokyo bukan hanya untuk menghormati Hiroshi sebagai mitra, tetapi juga untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka siap bersaing di panggung global.Acara tersebut berlangsung megah, dihadiri oleh para pemimpin industri dari berbagai negara. Ketika demo Elysian dipresentasikan, ruangan dipenuhi dengan tepuk tangan meriah. Platform ini menawarkan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya: teknologi yang dapat mengintegrasikan kebutuhan pelanggan dengan solusi yang benar-benar personal, ramah lingkungan, dan inovatif.Namun, seperti yang telah diperkirakan, Vino kembali mencoba menjegal mereka. Kali
Setelah forum bisnis di Zurich, Adrian dan Sari kembali ke kantor pusat mereka dengan energi baru. Aurora telah menjadi bukti bahwa mereka mampu bertahan di tengah persaingan sengit, tetapi perjalanan mereka masih jauh dari kata selesai. Pasar internasional semakin menuntut inovasi yang lebih cepat dan layanan yang lebih baik.Di pagi yang sibuk, Sari menerima sebuah panggilan telepon dari seorang mitra strategis di Jepang. Mitra itu, Hiroshi Tanaka, adalah pemilik perusahaan teknologi terkemuka yang sudah lama dikenal karena inovasinya dalam bidang kecerdasan buatan.“Sari-san,” suara Hiroshi terdengar penuh semangat. “Saya sangat tertarik dengan konsep Aurora. Saya percaya bahwa dengan kecerdasan buatan, kita bisa mengembangkan produk ini ke level berikutnya. Bagaimana jika kita berdiskusi lebih lanjut tentang kolaborasi?”Mendengar tawaran itu, Sari merasa ini adalah kesempatan emas. Ia segera memberi tahu Adrian, yang langsung setuju untuk mengatur pertemuan virtual dengan tim Hir
Beberapa minggu setelah peluncuran Aurora, hasil penjualan mulai menunjukkan dampak besar. Produk inovatif itu tidak hanya diterima dengan baik, tetapi juga menjadi tren global. Media internasional mulai meliput kisah sukses Adrian dan Sari, menjadikan mereka simbol pengusaha muda yang berani melawan raksasa industri.Namun, seperti yang diduga, Vino tidak tinggal diam. PT. Maxima mulai menggencarkan kampanye untuk mendiskreditkan Aurora. Mereka menyebarkan isu bahwa teknologi yang digunakan oleh Aurora memiliki cacat yang berpotensi berbahaya bagi pelanggan. Isu ini dengan cepat menyebar, dan beberapa pelanggan mulai meragukan kualitas produk Adrian dan Sari.Adrian langsung mengumpulkan timnya untuk menanggapi krisis ini. “Kita harus menyelesaikan ini secepat mungkin. Jika kita membiarkan rumor ini berkembang, reputasi kita akan hancur,” katanya dengan nada serius.Sari, yang selalu tenang dalam situasi genting, menyarankan, “Kita harus transparan. Mari undang para ahli independen u
Kesuksesan ekspansi internasional Adrian dan Sari bukan hanya buah dari kerja keras, tetapi juga bukti ketahanan mereka dalam menghadapi persaingan yang terus meningkat. Namun, mereka menyadari bahwa keberhasilan awal ini hanya permulaan dari perjalanan panjang yang penuh tantangan.Sebuah email masuk ke kotak masuk Adrian pagi itu. Pengirimnya adalah seorang mantan kolega yang kini bekerja sebagai konsultan bisnis di Eropa. Email tersebut menawarkan kolaborasi untuk memperluas produk mereka ke pasar yang lebih luas, terutama di wilayah Eropa Timur, yang dianggap sebagai ladang subur untuk produk inovatif. Adrian menunjukkan email itu kepada Sari, yang langsung melihat potensi besar dari tawaran tersebut.“Kita harus mempersiapkan semuanya dengan matang,” ujar Sari, mempelajari email itu dengan seksama. “Tapi, jika ini berhasil, kita akan punya pijakan kuat di pasar internasional.”Namun, di tengah perencanaan mereka, ancaman baru muncul dari PT. Maxima. Vino, yang dikenal licik dan a
Setelah kesepakatan dengan Ryan tercapai, Adrian dan Sari mulai melihat perubahan besar dalam perusahaan mereka. Penerapan teknologi terbaru yang mereka adopsi berjalan mulus. Tim mereka mulai terbiasa dengan sistem baru, dan hasilnya sangat memuaskan. Proses produksi menjadi lebih efisien, biaya operasional berkurang, dan yang paling penting, mereka bisa memberikan pengalaman pelanggan yang jauh lebih baik. Penjualan terus meningkat, dan reputasi merek mereka semakin dikenal di pasar.Namun, keberhasilan ini juga menarik perhatian para pesaing yang lebih besar, yang mulai merasa terancam dengan inovasi yang dibawa oleh Adrian dan Sari. Seorang pesaing utama, PT. Maxima, yang sudah lama mendominasi pasar, mulai melakukan langkah-langkah agresif untuk meraih pangsa pasar yang lebih besar. PT. Maxima, yang dipimpin oleh seorang eksekutif muda bernama Vino, mengumumkan peluncuran produk baru yang hampir identik dengan produk utama mereka. Mereka menawarkan harga yang lebih murah, yang la
Adrian dan Sari memutuskan untuk menolak tawaran besar dari Daniel Hartono, meskipun tawaran itu menawarkan banyak keuntungan dan peluang. Keputusan itu bukanlah keputusan yang mudah, tapi mereka tahu bahwa kebebasan dan kendali atas bisnis yang mereka bangun adalah hal yang lebih berharga daripada keuntungan jangka pendek yang bisa didapat dengan menyerahkan sebagian besar saham mereka.Setelah pertemuan itu, mereka merasa lega, tetapi juga cemas akan dampak keputusan ini pada masa depan mereka. Sari tahu bahwa mereka harus lebih kreatif dan bekerja lebih keras untuk tetap berkembang tanpa bantuan investor besar. Mereka berdua memutuskan untuk fokus pada pengembangan produk dan mencari peluang baru untuk menjangkau pasar yang lebih luas.Hari-hari berikutnya, mereka memulai perjalanan baru dalam mengelola perusahaan. Mereka berdua menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengembangkan ide-ide baru, memperbaiki sistem operasional, dan mencari cara untuk menarik perhatian pelanggan lebih
Meskipun kehidupan Adrian dan Sari kembali tenang setelah konfrontasi dengan Rina, ada perasaan yang mengganjal di dalam hati mereka. Keberhasilan mereka tidak serta merta menghapus semua keraguan dan kecemasan yang ada. Mereka berdua tahu bahwa dunia bisnis penuh dengan persaingan yang ketat, dan meskipun mereka telah mengalahkan rintangan satu per satu, ada banyak tantangan baru yang siap menanti.Beberapa bulan kemudian, Adrian menerima tawaran dari seorang investor besar yang ingin bekerja sama dengan usaha mereka. Tawaran itu sangat menggiurkan, dan dalam hati Adrian, ini bisa menjadi langkah besar bagi perusahaan mereka. Namun, tawaran itu datang dengan syarat yang cukup mengkhawatirkan. Investor tersebut meminta sebagian besar saham perusahaan dengan imbalan dana yang cukup besar dan jaringan bisnis yang luas.Adrian merasa bimbang. Ia tahu bahwa tawaran ini bisa membawa mereka ke level yang lebih tinggi, tapi ia juga tidak ingin kehilangan kendali atas perusahaan yang telah me
Beberapa minggu setelah artikel wawancara yang diterbitkan, kehidupan Adrian dan Sari berubah dengan cepat. Usaha mereka semakin berkembang pesat, dan popularitas mereka semakin dikenal. Namun, di balik kesuksesan itu, mereka menyadari bahwa tidak semua orang senang melihat mereka maju, terutama Rina. Meski keluarga Adrian mulai menerima keadaan, Rina tetap berusaha mencari celah untuk merusak kebahagiaan mereka.Suatu sore, ketika Adrian sedang di kantor untuk rapat dengan beberapa calon mitra bisnis, Sari duduk di ruang tamu rumah mereka yang sederhana. Ia tengah mengecek beberapa pesanan yang masuk melalui aplikasi, sambil sesekali tersenyum melihat betapa cepatnya usaha mereka berkembang. Namun, sebuah telepon yang masuk mengalihkan perhatiannya.“Hallo, Bu Sari?” suara di ujung telepon itu terdengar agak cemas.“Ya, ini saya. Ada apa, Pak?” jawab Sari dengan sedikit curiga.“Ini Pak Amran dari media tadi. Saya ingin memberitahukan sesuatu yang mungkin harus Anda ketahui. Beberapa
“Ibu minta maaf, Adrian. Kami terlalu keras padamu. Kami pikir jalan yang kamu pilih adalah kesalahan, tapi ternyata kami yang salah,” ucap sang ibu dengan suara bergetar. Matanya yang basah menatap Adrian penuh penyesalan.Ayahnya mengangguk pelan, menambahkan, “Kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Tapi kami tidak pernah benar-benar mengerti apa yang membuatmu bahagia. Kami salah menilai, dan kami ingin memperbaikinya.”Adrian menghela napas panjang, mencoba meredakan emosi yang berkecamuk di dadanya. Ia menatap kedua orang tuanya dengan penuh kejujuran. “Aku tidak pernah bermaksud mengecewakan kalian, Ayah, Ibu. Aku hanya ingin hidup sesuai dengan apa yang aku yakini benar. Bersama Sari, aku menemukan kebahagiaan dan tujuan hidupku. Aku hanya berharap kalian bisa menerima kami apa adanya.”Rina, yang duduk di sudut ruangan dengan wajah canggung, akhirnya angkat bicara. “Adrian, aku juga minta maaf. Aku terlalu sombong dan tidak menghargai perjuanganmu. Aku pikir aku lebih baik dar